Namanya Kabul. Sudah lima tahun ia menjadi personel Satuan Polisi Pamong Praja atau yg sering disebut orang-orang Satpol PP, Trantib, serta tukang garuk PKL, PSK, gepeng, joki three in one, & pula orang-orang yg tinggal di tanah yg bukan miliknya. Wajahnya sesuai namanya, lucu & selalu menjadi penceria di antara mitra-kawannya sesama korps seragam biru bau tanah. Tapi, jangan harap wajah lucu Kabul menyembul ketika mengatur. Profesinya mengharuskannya memasang wajah ketat.
Saat ini, profesi Kabul & mitra-kawan sedang naik daun. Penertiban yg mereka kerjakan senantiasa menjadi penghias berita-berita di layar kaca & surat kabar. Tetangga kanan-kiri pula membuatnya bahan pembicaraan, bahkan anaknya yg gres kelas lima Sekolah Dasar sudah mengerti kerjaan ayahnya. “Ayah kejam,” kata anaknya setelah menyaksikan wajah ayahnya di TV sedang membongkar lapak para pedagang yg menangis meraung-raung sambil memburu-ngejar gerobaknya.
Sebelum jadi Satpol PP, Kabul melakukan pekerjaan sebagai teknisi listrik di kantor wali kota selama nyaris delapan tahun. Pekerjaan ini sungguh dinikmatinya sebab sesuai dgn sekolah yg di-enyam-nya, STM. Kabul tak bisa menolak tatkala diperintahkan menjadi Satpol PP. ia hanya berharap, dgn jadi seorang Satpol PP, dirinya bisa cepat diangkat menjadi PNS. Namun, sudah lima tahun berselang, pengangkatan tak pula kunjung tiba. Selama lima tahun pula hatinya senantiasa nelangsa setiap kali harus melakukan penertiban.
Saat pertama kali peran, Kabul selalu sukar tidur malam kalau siangnya harus menggusur warga. “Di mana mereka berteduh?” fikiran yg menggelayutinya hingga pagi datang. Karena sudah terbiasa, perasaan bersalahnya tak terlalu menggunung, namun rasa nelangsa tetap saja menggantung.
Pernah satu kali, setelah menertibkan PKL di suatu tempat yg katanya akan dijadikan taman kota, Kabul malas makan & ngomong selama sepekan. Ternyata, PKL yg ia garuk—yang gerobaknya ia naikkan ke atas truk—yakni kepunyaan teman satu kampungnya yg baru sebulan hijrah & mengadu nasib di kota. Kabul pula sangat sering melepaskan begitu saja hasil tangkapannya. Pernah seorang joki yg sudah ngos-ngosan dikejarnya, dilepas begitu saja, malah oleh Kabul diberi duit. Si joki menangis sambil memberikan resep obat yg harus ditebusnya. Ibunya bisa meninggal, katanya, kalau selama sebulan ia dibina di panti sosial sebab tak ada yg akan mencarikan uang untuk beli obat buat ibunya. Sebelum merazia anak jalanan, Kabul pula senantiasa mewanti-wanti teman seprofesinya biar hati-hati. “Ingat, kalian pula punya anak,” pesannya.
Pembenaran bahwa yg dilakukannya yaitu tugas mulia & perintah undang-undang kadang kala digunakan Kabul untuk melawan nelangsa hatinya. Biasanya, ia tak terlalu merasa bersalah lagi. “Pelacur itu dilarang agama, jadi nggak ada yg salah kalau kita garuk mereka. Malah, kita dapat pahala,” kata kawannya suatu kali.
Tapi, bagaimana dgn gubuk & rumah di pinggir kali yg mereka gusur, PKL yg mereka angkut gerobaknya. Gerobak yakni harta paling berharga bagi mereka. Gerobak pula jadi periuk nasi mereka. Pengamen & pengemis yg usianya kebanyakan sebaya dgn anaknya yg seharusnya duduk di pangkuan ibunya, dibelai rambutnya, duduk manis di rumah menonton film kartun, atau bermain bola dgn sobat sebayanya, namun harus hidup di jalan menghimpun receh. Setiap ketika, mesti siap diburu-buru Kabul & sahabat-temannya, dipalak preman & pengemis lain, atau ditabrak kendaraan. Joki pula sering mereka gunduli agar kapok. “Yang mereka lakukan itu pula dilarang undang-undang!” bentak temannya lagi, sok tahu.
Di benak Kabul, kerjaannya ini ada sebab tak becusnya kerja-kerja abdi kotanya. Bukankah sudah ada dinas informasi & potongan hukum di kantor wali kota yg tugasnya memberitahu kalau ada undang-undang yg melarang berjalan di trotoar, pundak jalan, & jalur hijau atau mendirikan gubuk di pinggir kali. Apa kerja dinas perekonomian kalau tak bisa membina para pedagang kecil. Apa pula kerja dinas sosial yg tak becus membina bawah umur jalanan. Para pemuka agama pula gagal menginformasikan umatnya bahwa jadi pelacur & pelanggannya itu, hadiahnya neraka.
Suatu pagi, akhir sarapan, Kabul melengkapinya dgn isapan rokok di beranda rumah. Anak laki-lakinya yg sedang bersiap berangkat ke sekolah hanya menyalami ibunya. Saat Kabul menyerahkan tangannya untuk disalam, si anak terus berlangsung tanpa memedulikan tangan ayahnya. Menatapnya saja tidak. “Ayah kejam,” kata-kata itu selalu menjadi salam anaknya sebelum berangkat sekolah. Kabul hanya bisa tersenyum miris. Bukan cuma PKL & PSK yg membencinya, tapi pula anaknya sendiri.
Belakangan ini, sebelum berangkat kerja, Kabul sering duduk melongo memandang deretan rumah tetangganya yg tinggal puing-puing. Hanya rumahnya & beberapa rumah tetangganya yg masih berdiri.
Siang ini, Kabul bersama sahabat-temannya harus menegaskan sekitar 100 kepala keluarga membongkar gubuknya & hengkang dr sebuah bantaran kali. Kabul sudah siap dgn linggisnya, jaga-jaga kalau ada warga yg tak mau membongkar gubuknya. Tapi, rupanya warga menentukan untuk membongkar gubuknya sendiri. Para orang tua dibantu anak-anaknya yg beranjak sampaumur sibuk mengeluarkan semua isi rumah walaupun mereka sendiri belum tahu akan tidur di mana malam ini.
Bantaran kali sarat dgn tumpukan kasur, kursi kayu lusuh, cermin kumal yg retak, kompor minyak karatan, & kipas angin kecil. Ternyata, ada pula satu-dua yg punya TV. Kabul heran, dr mana mereka dapat pemikiran listrik. Ada pula yg membongkar kayu-kayu triplek & seng-seng rumahnya. Itu pula adalah barang yg berharga bagi mereka & mungkin untuk persiapan membangun gubuk di bantaran kali yg lain. Di dikala para orang renta sibuk menguras isi rumahnya & berpikir keras akan tinggal di mana, anak-anak mereka pula sibuk bermain-main & berlarian seakan tak peduli beban orang tuanya.
Kabul & beberapa temannya cuma menyaksikan ‘pemandangan biasa’ ini dr bawah suatu pohon rindang. Sebagian temannya asyik berbincang-bincang & merokok. Sebagian lagi mengawasi para warga membongkar gubuknya. Tidak ada yg tahu kalau hati Kabul diselimuti nelangsa. Rumah yg ditempatinya nyaris delapan tahun di sebuah kompleks perusahaan jawatan pula akan digusur. Sampai ketika ini, ia belum punya tujuan akan berteduh di mana kalau rumahnya dibongkar. “Setidaknya, gue dapat ganti rugi,” gumamnya.
Pembongkaran pun final. Dengan berat hati & mata murung, warga pinggir kali ini menatap bekas rumahnya. Buldoser melaju, merobohkan tiang-tiang kayu penyangga gubuk yg memang sudah lapuk. Dalam sekejap, bantaran kali sudah rata dgn tanah. Anak-anak yg tadi bermain heran rumahnya sudah tak ada. Para orang renta gundah mau melangkah ke mana.
Seminggu lagi, Kabul & keluarganya pula mesti meninggalkan rumahnya. Uang ganti rugi sudah diterimanya, tetapi belum ada rumah yg bisa dibelinya dgn uang hasil ganti rugi walaupun sudah menyedot isi simpanan & menjual perhiasan istrinya.
Besoknya, sesuai agenda, Kabul bertugas mengontrol bawah umur jalanan di suatu jalan raya yg padat, bukan cuma oleh mobil, bus kota, & motor, tapi pula oleh para gepeng. Penertiban kali ini sengaja waktunya dimajukan satu jam sebab pada umumnya para gepeng & anak jalanan sudah hafal di luar kepala dikala-saat razia.
Saat mobil pikap berbangku yg dinaiki Kabul & kawan-kawannya berhenti di tepi jalan suatu jembatan penyeberangan, tepat di pinggir sebuah persimpangan yg keempat sisinya berhias lampu merah, para gepeng masih terlena menjajakan kantong plastik bekas permen ke beling-beling jendela mobil. Tapi, saat Kabul & sahabat-temannya turun dr mobil, seorang gepeng tiba-tiba berlari sambil berteriak, “Razia! Razia!”
Gepeng-gepeng pun berhamburan tak tentu arah. Sebagian bahkan ada yg berlari ke arah Satpol PP yg memang sudah mengepung lokasi. Suasana jalan jadi semrawut. Orang-orang berseragam biru berlarian ke segala penjuru, menawan & menangkapi para gepeng yg sebagian besar masih anak-anak. Jalanan yg semrawut bertambah kusut.
Pandangan Kabul tertuju pada seorang pengemis kecil, sebaya anaknya, sedang kebingungan hendak menyeberang jalan menyelamatkan diri. Tapi, laju kendaraan menahan langkahnya. Melihat teman-temannya tertangkap, si pengemis kecil terlihat kebingungan. Temannya sesama pengemis tiba-tiba saja menghilang. Berulang-ulang kakinya diinjakkan ke aspal jalan hendak lari menyeberang. Melihat ini, Kabul secepatnya bergerak ke arah si pengemis kecil, mencoba mencegahnya agar tak berlari menyeberang jalan. Sambil berlari kecil, Kabul memanggil & memberi instruksi pada si pengemis kecil supaya jangan menyeberang. Melihat sekelebat tubuh Kabul dgn seragam biru tuanya berlari ke arahnya, si pengemis kecil ketakutan & lari menerobos jalan raya untuk menghalau kendaraan.
Kabul cuma diam membatu ketika tubuh si pengemis kecil terkulai kaku. Sebuah sedan melemparkan tubuhnya sejauh 10 meter. Lalu lintas macet. Tampak kerubungan orang mengitari tubuh si pengemis kecil. Para pengguna jalan memandang sinis Kabul & teman-temannya. Si anak dibawa ke rumah sakit, tapi menyaksikan jauhnya badannya terlempar sepertinya rumah sakit tak akan bisa berbuat banyak. Darahnya terlampau banyak mengalir di aspal jalan.
Kabul masih tetap di posisinya semula. Syarafnya seakan tak bisa mengirim perintah ke otak untuk berbuat sesuatu, setidaknya menggerakkan badannya. Tubuhnya masih mematung. Mengapa mesti ia yg menjadi pembawa nahas bagi si pengemis kecil? Mengapa hatinya senantiasa nelangsa saat melakukan penertiban? Ia mencoba menanggung rasa bersalah yg akan senantiasa menjadi bayangannya seumur hidup. Kabul terbayang wajah anaknya berkata, “Ayah kejam.” (*)