[REVIEW BUKU] Kuntowijoyo – Islam Sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodologi, dan Etika

Kebenaran itu berbeda dgn pertumbuhan, dimana persepsi wacana kebenaran sering terpengaruh oleh kemajuan-kemajuan yg nampak. Kebenaran itu non-cumulative (tidak bertambah) sedangkan perkembangan itu cumulative (bertambah), artinya kebenaran itu tak makin berkembang dr waktu ke waktu, sedangkan pertumbuhan itu berkembang.

Termasuk dlm kategori non-cumulative; agama, filsafat, & kesenian. Sedangkan cumulative; fisika, teknologi, & ilmu kedokteran. Itulah sebabnya orang masih mampu menerima kebijaksanaan nabi Isa, filsafat politik Jean Jacques Rousseau, atau musik beethoven, tetapi tak fisika newton, kedoteran Ibn Sina, atau teknologi kendaraan beroda empat model T dr Ford (Kuntowijoyo, 2004: 4).

Dalam persepsi Pragmatisme, teori kebenaran itu merupakan kepercayaan itu benar kalau & hanya kalau berkhasiat. Ukuran kebenaran merupakan apakah suatu kepercayaan mampu mengirimkan orang pada tujuan. Pragmatisme menolak pandangan wacana kebenaran kaum rasionalis & idealis karena persepsi mereka tak berguna dlm kehidupan yg mudah.

 dimana pandangan tentang kebenaran sering terpengaruh oleh kemajuan [REVIEW BUKU] Kuntowijoyo - Islam Sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodologi, & Etika

Islam tak mirip itu. Islam memandang kebenaran merupakan apa saja yg datang dr Allah swt (“al-haqqu mirrabbik”, Q.S al-Baqarah [2]:144,147). Berguna atau tidaknya dlm kehidupan mudah, pertumbuhan jangan sampai memperdayakan. Yang dimaksud dgn “keleluasaan” ialah dlm hal bisnis & perkembangan dlm ilmu pengetahuan serta teknologi (Kuntowijoyo, 2004:5).

Untuk itu, perlunya Islam selaku teks (al-Qur’an & As-Sunnah) dihadapkan pada realitas, baik realitas sehari-hari maupun realitas ilmiah. Dengan kata lain, dr teks ke konteks (teks konteks). Hal ini berlainan dgn Islamisasi wawasan, yg berupa gerakan dr konteks ke teks (konteks teks).

Seperti uraian diatas, bahwa kebenaran dlm perspektif islam merupakan apa saja yg tiba dr Tuhan (“al-haqqu mirrabbik”, QS al-Baqarah:144,147). Kuntowijoyo (2014:6) orang hendaknya selalu pada al-Qur’an & sunnah selaku acuan, dgn kata lain selalu kembali pada teks, selama ini ada dua versi utama yg semuanya berusha kembali pada teks, yaitu (1) dekodifikasi (klasifikasi), & (2) Islamisasi wawasan. Kemudian kuntowijoyo menyertakan satu model yakni (3) demistifikasi Islam (penghapusan mistik Islam)/Pengilmuan Islam.

  Cara Backup Cobaan Nasional Berbasis Komputer (Unbk)

A. DEKODIFIKASI

Dekodifikasi. Supaya Islam tetap pada asasnya perlu dijaga. Kriteria tertentu bagi penafsir al-Qur’an dimaksudkan supaya ilmu agama tetap konsisten, tak berubah dr aslinya. Al-Qur’an & As-Sunnah kemudian dijabarkan (dekodifikasi) kedalam ilmu-ilmu agama, mirip tafsir, tasawuf & fiqh. Ini kepingan paling penting dr agama, karena subtansi agama terletak disini. Dengan kata lain dr teks (Al-Qur’an & As-Sunnah) dijabarkan kedalam teks (tafsir, tasawuf, & fiqh), atau teks – teks (Kuntowijoyo, 2004: 6).

Dari hasil dekodifikasi inilah kemudian dipakai untuk berfikir, berkata & berbuat. Dekodifikasi mempunyai sifat positif yakni tejaganya kekerabatan antar teks, namun pula mempunyai sisi negatif yakni (1) involutif & (2) ekspansif (Kuntowijoyo, 2004:7).

Involutif

Involusi ialah tanda-tanda perkembangan ilmu ke dlm menjadi ilmu yg semakin renik. Kebiasaan untuk berbagi wawasan dgn menulis buku-buku syarh (pembagian terstruktur mengenai) memberikan bahwa ukuran kesempurnaan penguasaan ilmu ialah pengembangan dr buku-buku usang yg dianggap sudah meraih standart, tak dlm pengembangan ilmu-ilmu gres, hormat yg berlebihan pada guru.

Involusi pula menjadikan tertutupnya pintu ijtihad, lantaran orang dibuat tak berani berfikir independen, lepas dr otoritas. Orang hanya harus taqlid.

Ekspansi

Ekspansi terjadi bila hal-hal yg bergotong-royong bukan agama, dianggap selaku agama. Masalah khilafiyah dimasa kemudian sudah mengakibatkan timbulnya dikotomi. Bagaimana tajamnya dikotomi antara santri & abangan merupakan bukti bahwa sudah terjadi ekspansi keagamaan.

B. ISLAMISASI PENGETAHUAN

Islamisasi pengetahuan berupaya biar umat Islam tak begitu saja menggandakan sistem-sistem dr luar dgn mengembalikan wawasan pada pusatnya, yakni tauhid. Dari tauhid akan ada tiga macam kesatuan, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan, & kesatuan sejarah. Islamisasi pengetahuan memiliki arti mengembalikan pengetahuan pada tauhid, atau konteks pada teks. Maksudnya supaya ada koherensi (lekat bareng ), wawasan tak lepas dr keyakinan.

  Belajar Jadi Usahawan Berhasil Lewat Tuan Krabs

Menurut Kuntowijoyo (2014:8-9) muncul pertanyaan mengenai kedudukan pengetahuan dlm Islam. Pengetahuan yakni kebudayaan, kebudayaan yaitu mua’malah, sehingga rumusan “semua boleh kecuali yg dihentikan” berlaku untuk pengetahuan.

Hanya kalau wawasan sudah egoistik (secara berlebihan merujuk pada diri sendiri) & melebihi batas-batasnya sehingga tak lagi semata-mata pengetahuan, maka hilanglah statusnya sekedar mua’malah. Kadang-kadang pengetahuan mengklaim sebagai kebenaran.

Pengetahuan yg betul-betul objektif tak perlu di-Islamkan, karena Islam mengakui Objektivitas. Teknologi itu sama saja, baik di tangan orang Islam maupun orang kafir. Karena itu kita harus pandai memilih mana yg perlu Islamisasi mana yg tidak. Tidak ada kegalauan apapun tentang ilmu yg betul-betul objektif & sejati. Kaprikornus, islamisasi pengetahuan sebagian memang perlu, sebagian pekerjaan yg tak berkhasiat.

C. DEMISTIFIKASI

Menurut D.A Rinkes dr Kantoor voor Inlandsche Zaken pada 1914 sebagaimana dikutip Kuntowijoyo (2014:10) mengatakan bahwa umat Islam cenderung mengadakan mistificatie agama. Lebih lanjut Kuntowijoyo (2014) menerangkan bahwa setidaknya ada lima macam “gaib” (misteri) yg ada pada umat Islam, yakni gaib metafisik, mistik sosial, mistik etis, gaib akal budi, & msitik kenyataan. Mistik metafisik ialah hilangnya seseorang “dalam” Tuhan yg disebut misticism atau sufisme, baik sufisme subtansi atau sufisme atribut.

Menyatu dlm arti dzat atau menyatu dlm arti kehendak/sifat/adat. Mistik sosial ialah hilangnya perorang dlm satuan yg lebih besar, organisasi, sekte, atau penduduk . Mistik etis merupakan hilangnya daya seseorang menghadapi nasibnya, meyerah pada takdir atau fatalisme.
Mistik akal budi merupakan hilangnya akal (kebijaksanaan) seseorang lantaran insiden-peristiwa disekitar tak masuk dlm akalnya. Mistik kenyataan merupakan hilangnya korelasi agama dgn kenyataan, realita asebagai sebuah konteks (Kuntowijoyo, 2004:10).

  Hukum Menyanyi Di Masjid

Dari semua itu, kiranya yg sesuai dgn keperluan kita merupakan mistik kenyataan. Agama kehilangan kontak dgn kenyataan, dgn realitas, dgn aktualitas, dgn kehidupan. Dengan kata lain, tekskehilangan konteks.

Demistifikasi dimaksudkan selaku gerakan intelektual untuk menghubungkan kembali teks dgn konteks. Supaya antara teksdan konteks ada korespondensi (kesinambungan).

Dalam praktik, pengajar “Islam Kontekstual” yaitu dosen mata kuliah dr fakultas yg bersangkutan, bukan dosen “agama” yg khusus. Pengajar agama di fakultas Kedokteran yaitu seorang dokter yg pula mengajar mata kuliah objektif yg lain. Di fakultas Pertanian merupakan seorang Insinyur pertanian yg pula mengajar mata kuliah “biasa”, & seterusnya.

Dengan Demistifikasi umat akan mengenal lingkungan dgn lebih baik; baik lingkungan fisik, lingkungan sosial, lingkungan simbolis, maupun lingkungan sejarah. Mereka akan betul-betul paham akan arti perintah iqra’. Pengilmuan Islam ialah Demistifikasi Islam.

Catatan Penulis: Melalui Buku ini Kuntowijoyo ingin memberikan bahwa gerakan Islamisasi Pengetahuan yg simpulan-simpulan ini berkembang sebagaian memang perlu, tetapi sebagian lagi pekerjaan yg sia-sia, oleh alhasil ia memandang lebih tepat jika Islam selaku Ilmu, bukan Islamisasi Pengetahuan.

Sumber: Kuntowijoyo. 2004. Islam sebagai Ilmu; Epistemologi, metodologi, & Etika. Bandung: Teraju