Research Gap Observasi Empiris Anteseden Orientasi Pasar.

Research Gap observasi empiris anteseden orientasi pasar. 
Penelitian yang menguji wacana imbas orientasi pasar terhadap kinerja organisasi sudah diuji dengan ekstensif namun observasi yang meneliti antecedent dari orientasi pasar masih sungguh sedikit (Foley dan Fahy, 2004). Sehingga pertanyaan mengenai bagaimana cara menyebarkan orientasi pasar belum bisa terjawab secara terperinci. Kerangka yang dikembangkan oleh Jaworski dan Kohli (1993) telah menjadi pandangan baru sebagai bahan literatur penting yang menguji secara empiris baik antecedent maupun consequences dari orientasi pasar (Pulendran, 2000). Menurut Avlonitis dan Gounaris (1999) literatur tentang anteseden dari orientasi pasar sudah terabaikan sedangkan analisis perihal anteseden orientasi pasar sedikit yang mengikuti analisis orisinil Jaworski dan Kohli (1993), oleh sebab itu dikala literatur orientasi pasar telah mampu menawarkan santunan pada penerapan aplikasi konsep pemasaran, tetapi masih sungguh sedikit sumbangannya terhadap para praktisi untuk menyebarkan pada fokus pemasaran. 
Narver, Slater dan Tietje (1998) menyatakan bahwa hasil observasi yang sudah menunjukan bahwa orientasi pasar besar lengan berkuasa konkret kinerja organisasi telah banyak tetapi bagaimana suatu bisnis mampu membuat atau mengembangkan orientasi pasar masih perlu dipertanyakan. Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Bhuian (1998) yang menyatakan bahwa studi empiris yang digunakan untuk menjawab pertanyaan mengapa sebuah perusahaan lebih berorientasi pasar ketimbang perusahaan lain masih sangat terbatas. Untuk menanggulangi terbatasnya observasi perihal anteseden orientasi pasar Pulendran (2000) menyatakan bahwa dibutuhkan adanya penelitian lanjutan dengan lebih melaksanakan investigasi secara lebih lengkap wacana anteseden yang mampu menghipnotis orientasi pasar dalam organisasi. 
Faktor pimpinan dan metode organisasi memiliki dampak aktual kepada penerapan orientasi pasar dalam organisasi (Webster, 1988; Jaworski dan Kohli, 1990). Faktor pimpinan dalam Usaha Kecil dan Menengah (UKM) memiliki peranan yang sungguh penting bagi kesuksesan organisasi. Beberapa kelemahan pimpinan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia dalam kaitannya dengan orientasi pasar ialah lemahnya jiwa kewirausahaan, rendahnya kesepakatan pimpinan untuk menerapkan orientasi pasar dalam organisasi dan kurangnya pelatihan. Sedangkan masalah dalam sistem organisasi yaitu lemahnya penerapan sistem reward berbasis penjualan alasannya pada umumnya sistem reward pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) masih berdasarkan pada tata cara waktu dan tata cara borongan. Oleh alasannya adalah itu dalam observasi ini aspek karakteristik pimpinan yang berisikan orientasi kewirausahaan, orientasi jangka panjang, orientasi mencar ilmu, dan aspek sistem organisasi yaitu tata cara reward berbasis pemasaran dijadikan sebagai variabel anteseden orientasi pasar.
Penelitian ihwal orientasi pasar dan orientasi kewirausahaan pada ketika ini masih terbagi dalam dua pemikiran yang berlawanan (Gima, 2001). Literatur administrasi lebih menekankan pada orientasi kewirausahaan (Covin dan Slevin, 1989; Zahra, 1993), sedangkan literatur pemasaran lebih menekankan orientasi pasar Jaworski dan Kohli, 1993, Narver dan Slater, 1990, Ruekert, 1992, Slater dan Narver, 1994). Adanya dua pedoman yang berlawanan tersebut menyebabkan kontraproduktif, hal ini sebab kedua orientasi tersebut mampu dihubungkan untuk menerangkan terciptanya kinerja organisasi (Hamel dan Prahaland, 1994; Slater dan Narver, 1995). Moris dan Paul (1987) menyatakan bahwa orientasi pasar dan orientasi kewirausahaan masih perlu dihubungkan untuk meraih kinerja organisasi. 
Orientasi kewirausahaan diyakini memiliki hubungan eksklusif dengan orientasi pasar (Matsuno et al., 2002). Menurut Miller (1983) orientasi kewirausahaan merupakan sebuah orientasi untuk berupaya menjadi yang pertama dalam inovasi produk pasar, berani mengambil risiko dan melakukan tindakan proaktif untuk dapat mengalahkan pesaing. Sedangkan menurut Menon dan Varadarajan (1992) yang menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki budaya proinovasi akan mendorong penyebaran dan penggunaan isu (yang ialah bab penting dalam orientasi pasar). Kohli dan Jaworski, (1990) menyatakan bahwa seorang manajer yang mempunyai keberanian untuk mengambil risiko dan mendapatkan kegagalan akan condong lebih senang untuk mengenalkan produk gres untuk merespon pergeseran ajakan pelanggan. Proaktif dalam konteks kewirausahaan berkaitan dengan perspektif untuk menyaksikan ke depan dan condong untuk mengambil inisiatif dengan mengantisipasi dan mengejar potensi gres dan dengan ikut serta dalam merebut pasar (Lumkin dan Dess, 1996). Dimensi proaktivitas dalam kewirausahaan diyakini mendorong dalam melakukan kenali peluang pasar gres (Miller dan Friesen, 1982; Vekatraman, 1989), hal ini akan mengembangkan tingkat intelegensi pasar dan ketanggapan (Kohli dan Jaworski, 1990). 
Penelitian tentang orientasi jangka panjang pada ketika ini ialah hal yang sangat menarik dan relevan dengan kondisi ketika ini dimana setiap penyedia mesti menunjukkan perlakukan secara individual terhadap masing-masing pelanggan (Redondo dan Fiero, 2005). Orientasi jangka panjang bermakna menawarkan dan mendapatkan nilai tambah dengan membuat, mengembangkan, dan memelihara korelasi antara pelanggan dan penyedia (Rexha, 2000). Jika kedua belah pihak baik pihak pembeli maupun pihak pedagang mendapatkan laba maka dipandang selaku dasar untuk menjamin keberhasilan dan kelancaran perusahaan di pasar (Kothandaraman dan Wilson, 2001). Meskipun telah banyak penelitian tentang orientasi jangka panjang korelasi antara pembeli dan penjual (Spekman, 1988; Heide dan John, 1990; Ganesan, 1994; Garbarino and Johnson, 1999) namun masih sungguh sedikit yang menempatkan variabel tersebut selaku anteseden dari orientasi pasar.
Beberapa penelitian sudah berupaya menguji kekerabatan antara orientasi belajar dengan kinerja perusahaan (Zahra et al., 2000; Hult et al., 1999; Baker dan Sinkula, 1999). Penelitian yang menghubungkan orientasi mencar ilmu dengan kinerja kebanyakan memberikan bahwa perusahaan yang memiliki tingkat orientasi mencar ilmu yang tinggi condong mempunyai kinerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pesaingnya, utamanya dalam lingkungan yang tidak niscaya dan intensitas persaingan yang tinggi (Dicson, 1992; DeGeus, 1988). Kemampuan perusahaan untuk berguru dari pengalaman merupakan hal yang sangat penting dalam memilih kinerja (Farrell, 2001; Nevis et al., 1995; Slater dan Narver, 1995). Pembelajaran memungkinkan perusahaan untuk menentukan sasaran pasar dan memasuki pasar gres, sehingga dapat meningkatkan kinerja (McCann,1991; Zahra et al., 2000). 
Penelitian yang menguji orientasi kewirausahaan (Farrell, 2001; Nevis et al., 1995; Slater dan Narver, 1995), orientasi jangka panjang (Spekman, 1988; Heide dan John, 1990; Ganesan, 1994; Garbarino and Johnson, 1999) dan orientasi mencar ilmu (Zahra et al., 2000; Hult et al., 1999; Baker dan Sinkula, 1999) pada umumnya dijalankan secara sendiri-sendiri, dan langsung dihubungkan dengan kinerja organisasi, Oleh alasannya adalah itu perlu dilakukan penelitian untuk mengembangkan versi multikonstruk yang menguji dampak ketiga orientasi tersebut adalah orientasi kewirausahaan, orientasi jangka panjang, dan orientasi berguru melaui orientasi pasar sebagai variabel intervening.
Sistem reward mampu membentuk perilaku karyawan dalam organisasi (Jaworski, 1998). Secara lebih terang lagi Pulendran (2000) menyatakan bahwa terdapat relasi konkret antara metode reward dengan orientasi pasar. Berdasarkan uraian tersebut mampu diterangkan bahwa organisasi yang menerapkan sistem reward dengan berbasis pada kinerja penjualan akan mendorong tumbuhnya orientasi pasar dalam organisasi tersebut. Penelitian yang menguji imbas tata cara reward kepada kinerja pada umumnya dikerjakan pada perusahaan besar dengan latar belakang di negara-negara maju (Jaworski, 1998; Pulendran, 2000) oleh sebab itu perlu dijalankan observasi untuk menguji pengaruh sistem reward terhadap orientasi pasar pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan latar belakang di negara berkembang mirip Indonesia. Hal ini alasannya berdasarkan Jaworski dan Kohli (1990) orientasi pasar akan kurang berguna dalam situasi kompetisi terbatas kondisi pasar stabil, sedangkan pada negara berkembang ditandai dengan kompetisi yang ketat dan konsidi pasar yang tidak stabil (Luo,1999) sehingga penelitian ihwal orientasi pasar menjadi lebih penting.

BAGIAN ARTIKEL INI ADA DI BAWAH INI: KLIK AJAAAA……

  1. Research gap hubungan orientasi pasar dengan kinerja pemasaran.
  2. Research gap korelasi orientasi pasar dengan penemuan.
  3. Research Gap kekerabatan inovasi dengan kinerja penjualan.
  4. Research Gap peranan pembelajaran organisasional dalam hubungan antara orientasi pasar dengan kinerja pemasaran.
  5. Research Gap observasi empiris orientasi pasar pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan latar belakang negara berkembang.
  6. Fenomena Bisnis Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia dan di Eks-Karesidenan Banyumas.