close

Keadaan Dan Jenis-Jenis Naskah Sunda

Keadaan Dan Jenis-Jenis Naskah Sunda 
Prasasti-Prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi, Pasir Jambu, Cidangiang, dan Tugu ialah kesaksian bahwa kepandaian tulis-menulis di kawasan Sunda telah mulai ada sejak pertengahan era ke-5 Masehi.Pada waktu itu huruf dan bahasa tulisan yang di gunakannya adalah karakter Pallawa dan bahasa Sansekerta.Baik aksara Pallawa maupun bahasa Sansekerta berasal dari India. Prasasti-prasasti ini di temukan di tempat-tempat Bogor, Banten, dan Bekasi.
Walaupun dalam jumlah yang kecil dan jarak waktu yang sungguh jarang, tradisi tulis-menulis dalam bentuk Prasasti di kawasan Sunda itu terus Berlanjut.Pertama-tama, adalah prasati di Daerah Sunda itu terus berlanjut.Pertama-tama, yakni prasasti Bantarmuncang (4 buah) yang di peroleh di Cibadak, Sukabumi dan di tulis dalam huruf dan bahasa Jawa Kuna serta bertitimangsa tahun 955 Saka yang sama dengan tahun 1030 Masehi. Kemudian, Prasasti Kawali (5buah),prasasti Kebantenan , dan prasasti Batutulis yang di tulis dengan huruf dan bahasa Sunda Kuna serta masing-masing di peroleh di daerah-daerah Kawali (Ciamis), dan Bogor dan Berasal dari abad ke-14 dan era ke-16 Masehi.
Di tinjau dari lokasi penemuannya yang kiranya juga memberikan lokasi pembuatannya dan jarak antara waktu pembuatannya, maka sepertinya wawasan dan tradisi tulis-menulis di daerah Sunda (Jawa Barat) itu bukan sesuatu yang kebetulan semata-mata, melainkan sungguh-sungguh di kuasai dan di miliki oleh (golongan tertentu) masyarakat Sunda yang bahkan penyebarannya meliputi nyaris seluruh wilayah Sunda. Hal itu diperkuat pula oleh kesaksian lain berbentuktradisi tulis-menulis dalam bentuk naskah.
KEADAAN NASKAH-NASKAH SUNDA
Yang di maksud dengan naskah Sunda disini yakni naskah-naskah (manuscripts) yang di buat di daearah Sunda, lepas dari standar jenis isinya, karakter dan bahasa serta bentuk karangan yang di gunankannya.
Jika perhitungan N.J. Krom benar dan titimangsa itu memberikan waktu penyusunan naskahnya, maka naskah Sunda yang berangka tahun 1256 Saka yang sama dengan tahun 1334 Masehi merupakan naskah Sunda tertua yang sudah di pahami ada. Di samping itu, masih ada dua buah naskah pula yang bertitimangsa tahun 1341 Saka yang sama dengan tahun 1419 Masehi dan bertitimangsa tahun 1357 Saka yang serupa dengan tahun 1435 Masehi. Tetapi keabsahan angka-angka tahun tersebut masih mesti menanti hasil penelitian yang khusus dan betul-betul atas naskah-naskah tersebut. Sedangkan naskah-naskah Sunda tertua yang telah konkret dan terang di pahami waktu penyusunannya berdasarkan observasi filologi dan sejarah berasal dari awal abad ke-16 Maehi. Naskah-naskah di maksud adalah Siksa Kanda Ng Karesian (Atja, 1981), Pantun Ramayana (Noorduyn, 1971), Carita Parahiyangan (Noorduyn, 1962, 1965;Atja, 1968), Amanat dari Galunggung (Atja dan Saleh Danasasmita, 1981), peta tanah Sunda (Holle, 1864), dan Bujangga Manik (Noorduyn, 1982). Selanjutnya, tradisi pengerjaan naskah Sunda itu terus berkembang dan berkembang mirip tampak dari kesaksian naskah-naskahnya yang ada sampai sampaumur ini (Lihat Ekadjati, 1983).
Berapa Jumlah naskah Ssunda yang pernah ada secara pasti sampai kini belum mampu di pahami, alasannya adalah penelitian yang menyeluruh dan sempurna atas naskah-naskah tersebut belum dilakukan Edi S.Ekadjati dkk. (1983) yang melaksanakan investarisasi naskah Sunda secara agak menyeluruh gres berhasil mencatat 1787 buah naskah.
Belum mampu di ketahuinya jumlah naskah Sunda secara agak pasti yang di simpan di koleksi-koleksi naskah sekali pun, di sebabkan belum adanya buku katalogus naskah Sunda yang lengkap yang mecatat data naskah Sunda secara menyeluruh. Memang naskah-naskah Sunda sudah tersebar ke banyak sekali daerah, baik yang sudah di simpan di koleksi naskah maupun yang masihada di kalangan penduduk .
Sejauh pengetahuan aku, kawasan-daerah koleksi yang antara lain menyimpan naskah Sunda mampu di klasifikasikan atas koleksi di dalam negeri dan koleksi di luar negeri. Di dalam negeri naskah Sunda terdapat di koleksi-koleksi naskah: Museum Nasional Jakarta, Museum Negeri Jawa Barat di Bandung, Museum Pangeran Geusan ulun di Sumedang, Museum Cigugur di Kuningan, Kantor EFEO di Bandung. Di mancanegara naskah Sunda mampu di peroleh di koleksi-koleksi naskah: Universiteits Bibliotheek Leiden dan KITLV Bibliotheek di negeri Belanda, Bodleian Library, SOAS London Royal Asiatic Society di Inggris, dan Swedia.
Di dalam penduduk naskah-naskah Sunda berada pada tangan-tangan individual yang tersebar di seluruh kawasan Jawa Barat dan Luar Jawa Barat, baik di kota-kota maupun di desa-desa, bahkan di perkampungan yang terpencil di Pegunungan sekalipun. Pada lazimnya mereka memiliki naskah itu karena warisan yang bebuyutan dari leluhurnya, baik secara pribadi maupun secara tidak eksklusif. Banyak di antara mereka merupakan pemegang naskah generasi ketiga ke atas. Sering terjadi perubahan generasi pemegang naskah dibarengi pula dengan perpindahan lokasi penyimpanan naskah itu tidak mengenali isinya, bahkan membacanya pun ada yang tidak bisa lagi.
Berhubung dengan statusnya sebagai benda warisan , sedangkan isinya tidak dapat di pahami , maka banyak di antara naskah itu di anggap keramat sehingga muncul aturan-aturan untuk memperlakukan naskah tersebut, baik dalam bentuk suruhan maupun dalam bentuk larangan. Sebaliknya, banyak di antara pemegang naskah menatap naskah-naskah itu selaku benda biasa seperti halnya buku. Karena tidak mengenali atau tidak kesengsem pada kandungan isinya, maka banyak di antara mereka yang menelantarkan naskah-naskah miliknya sendiri sehingga hasilnya rusak binasa atau hilang tak pasti rimbanya. Di samping itu, ada pula penyimpan naskah yang merahasiakan benda-benda yang di simpannya sebab berbagai alasan. Kasus penemuan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah-naskah Pustaka Negarakertabhumi, Pustaka Pararatuan I bhumi Javadvipa, dan Pustaka Pararatuan I bhumi Nusantara menerangkan hal tersebut terakhir itu. Pengrahasiaan naskah-naskah itu berakibat banyak naskah-naskah yang baru di dengar beritanya saja.
Berdasarkan pengalaman di lapangan , para pemegang naskah Sunda itu secara garis besar mampu di klasifikasikan , terdiri atas keturunan keluarga para bupati dahulu di tanah Sunda,kelompok tokoh agama (ulama, kiai), pecinta atau keturunan pecinta kesenian Sunda, utamanya seni Beluk, dan keturunan pemelihara tempat yang di anggap keramat (juru kunci) yang lazimnya diikuti banyak sekali penganut iman tradisional.
Identities dan perilaku para pemegang naskah Sunda tersebut di atas, kiranya akrab hubungannya dengan fungsi naaskah dalam kalangan masyakat Sunda.Beberapa fungsi naskah di antaranya ialah pegangan bagi kaum aristokrat untuk naskah-naskah yang berisi silsilah dan sejarah leluhur serta sejarah kawasan mereka; alat pendidikan bagi naskah-naskah yang berisi pelajaran agama,aliran budbahasa, saran, dan lain-lain; media menikmati seni budaya bagi naskah-naskah berbentukkarya sastra, isyarat sebuah jenis kesenian, alat upacara ritual untuk menginginkan keamanan dan kesejahteraan hidup serta menghindari mara ancaman yang mungkin menimpa hidup manusia; melesstarikan khazanah kebudayaan, memperbesar pengetahuan bagi naskah-naskah yang berisi berbagai gosip ilmu pengetahun; keperluan Praktis kehidupan sehari-hari bagi naskah-naskah berisi Primbon, metode perhitungan waktu, resep kuliner, dan lain-lain (Ekadjati, 1982:276-279; Ekadjati, 1983: 10). Fungsi-fungsi naskah tersebut di atas remaja ini cendrung memudar sebagai konsekwensi dari terjadinya pergeseran norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Memudarnya fungsi naskah menimbulkan jumlah dan peranan naskah makin menyusut.Hal itu di sebabkan sebab upaya pemeliharaan dan penggandaan naskah nyaris terhenti. Berkat kemajuan teknologi di bidang percetakan, pengerjaan naskah gres tidak butuhlagi. Yang patut di khawatirkan ialah adanya sikap hirau, bahkan sikap sengaja, para pemilik naskah untuk menelantarkan miliknya sendiri sehingga di tambah dengan faktor lain seperti iklim, ketuaan usia, petaka memungkinkan naskah-nasskah yang telah ada pun cepat rusak dan jadinya hancur (Ekadjati, 1982). Sebaliknya, perilaku merahasiakan dan menatap benda keramat atas naskah melahirkan imbas aktual dan pengaruh negatif atas kelangsungan hidup naskah-naskah itu, Dampak positifnya berupa upaya diperhatikan dan di peliharanya naskah-naskah itu sehingga kelestariannya mampu terjamin. Dampak negatifnya ialah ketidaktahuan cara memelihara dan merawat naskah dengan baik serta daerah penyimpanan naskah yang kurang terjamin keamanannya, baik dari gangguan alam, bencana, gangguan hewan maupun gangguan tangan insan sendiri akan berakibat fatal bagi kelestarian naskah-naskah itu.
Sejauh wawasan saya, ada empat macam abjad yang pernah di gunakan untuk menuliskan naskah-naskah Sunda. Keempat macam huruf itu ialah aksara Sunda Kuna, huruf Jawa Sunda, abjad Arab, dan huruf latin. Urutan penyebutan keempat jenis huruf tersebut merefleksikan pula urutan waktu pemakaiannya untuk pertama kali. Huruf Arab merupakan jenis aksara yang paling banyak di pakai untuk menuliskan naskah Sunda.
Ada empat macam pula bahasa yang di gunakan dalam menuliskan naskah-naskah Sunda.Keempat bahasa itu yakni bahasa Sunda Kuna, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Melayu. Bahasa Sunda Kuna di gunakan untuk menuliskan naskah-naskah pada kurun ke-16 Masehi, sedangkan bahasa Jawa dipakai guna menuliskan naskah Sunda sekitar kurun ke-17 sampai dengan pertengahan abad ke-19 Masehi. Sejak pertengahan kurun ke-19 Masehi bahasa Sunda di pakai untuk menuliskan naskah Sunda (Ekadjati dkk., 1980). Pada final kurun ke-19 Masehi di temui pula naskah-naskah Sunda berbahasa Melayu.
Daun lontar, janur, daun enau, daun pandan, nipah, daulang, dan kertas ialah bahan yang dipakai untuk menulis naskah-naskah Sunda (Atja, 1970:5). Naskah-naskah yang ditulis dengan daun lontar biasanya berasal dari kala yang lebih renta, sedangkan naskah yang di tulis dengan kertas berasal dari periode yang lebih muda. Naskah pada daun lontar, janur, daun enau, pandan, dan nipah dijalankan dengan menggunakan alat pengerat (penggores) yang disebut Peso Pangot. Sedangkan naskah-naskah yang di tulis pada kertas memakai alat pena, tinta atau pensil. Daluang dan kertas merupakan bahan yang paling banyak di gunakan oleh naskah-naskah Sunda.
Diatas sudah dikemukakan bahwa upaya penggandaan atau penyalinan naskah dan pengerjaan atau penyusunan naskah gres sudah nyaris terhenti. Pada tahun 1950-an aktivitas penyalinan naskah masih terdapat di beberapa daerah di wilayah Priangan, namun pada tahun 1970-an saya hanya menjumpai di tiga kawasan saja, adalah di Cidadap (Kotamadya Bandung), di Cicalengka (Kabupaten Bandung), dan Garut. Sedangkan upaya penyusunan naskah baru , kiranya kegiatan tersebut mampu di katakan terhenti sama sekali. Namun hal itu tidak bermakna bahwa aktivitas inovatif karang-mengarang di tempat Sunda terhenti.Sejak permulaan kala ini hasil karya tulis masyarakat Sunda kebanyakan eksklusif di terbitkan melalui percetakan dan konsepnya pun banyak yang telah ditik. Konsep yang ditulis tangan (naskah) pada umumnya dihancurkan sehabis ditik atau dicetak. 
JENIS-JENIS NASKAH SUNDA
Klasifikasi naskah-naskah Sunda mampu di kerjakan melalui tinjauan atas wujud naskah, aksara dan bahasa yang di gunakan, daerah naskah, usia naskah, bentuk karangan, wujud karangan,dan jenis karangan. Dalam makalah ini pembicaraan atas jenis-jenis naskah itu tidak dikerjakan secara mendalam dan mendetil. Disamping pastinya mustahil dijalankan dalam sebuah makalah yang waktu pembahasannya terbatas, juga data-data yang terkumpul belum banyak. Dalam hal ini uraian itu cuma dilaksanakan secara garis besar dan bersifat informatif.
Ditinjau dari sudut wujudnya, naskah-naskah Sunda mampu di klasifikasikan menurut ukuran naskahnya, tebal naskah, keadaan naskah, dan bahan naskah. Berdasarkan ukurannya, naskah-naskah Sunda di bedakan atas naskah berskala kecil, menengah, dan berskala besar. Naskah-naskah berskala kecil ialah naskah-naskah yang berukuran di bawah 15 X 20 cm. Naskah menengah yakni naskah-naskah yang berukuran antara 15 X 20 cm sampai dengan 23 X 35 cm. Naskah berskala besar ialah naskah-naskah yang berskala di atas 23 X 35 cm. Naskah berskala menengah jumlahnya paling banyak dalam khazanah naskah Sunda. Selanjutnya dibarengi oleh naskah berukuran kecil dan naskah berukuran besar. Sejauh wawasan saya, naskah yang paling besar ukurannya yakni naskah-naskah Pustaka Rajyarajya I bhumi Jawadwipa, Pustaka Negarakertabhumi, dan Pustaka Rajyarajya I bhumi Nusantara.Naskah lotar tergolong ke dalam naskah kecil.
Berdasarkan tebalnya, nasskah-naskah Sunda dapat pula di bagi atas naskah tebal, naskah menengah, dan naskah tipis, walaupun sukar untuk menentukan kriterianya. Yang terperinci sepengetahuan saya belum dijumpai sebuah naskah Sunda yang tebalnya lebih dari 1.00 halaman. Memang naskah Pustaka Rajyarajya I bhumi Nusantara yang semuanya 25 Jilid dan naskah Pustaka Rajyarajya I bhumi Jawadwipa yang seluruhnya 15 jilid serta naskah Pustaka Negarakertabhumi yang semuanya 10 jilid, bila masing-masing di jumlahkan atau disatukan akan lebih dari 1.000 halaman tebalnya. Namun pada umumnya naskah Sunda itu telah dianggap naskah tebal, bila jumlah halamannya telah melampaui 250 halaman. Naskah Sunda yang paling tipis yaitu naskah setebal 1 halaman contohnya peta tanah Sunda, silsilah Seh Abdulmuhyi. Naskah setebal di atas 100 halaman kiranya mampu di pandang sebagai naskah menengah tebalnya. Tampaknya yang paling banyak adalah naskah Sunda yang tebalnya antara 50-250 halaman.
Berdasarkan keadaannya, naskah-naskah Sunda itu mampu di golongkan atas naskah-naskah yang telah rusak, naskah-naskah yang sebagian rusak, dan naskah-naskah yang masih utuh. Naskah-naskah yang sudah rusak ialah naskah yang secara keseluruhan sudah rusak bahannya dan tulisannya pun tak dapat atau sulit sekali untuk dibaca dan dipahami isinya. Sedangkan naskah yang setengah rusak yakni nasskah yang sudah mengalami gangguan kerusakan sebagian, biasanya bagian depan dan bab belakangnya atau berlubang tengahnya jikalau kena gangguan hewan ngengat. Cukup banyak naskah Sunda yang sudah mengalami rusak berat, bahkan banyak pula yang hancur seluruhnya.
Diatas telah dikemukakan perihal materi yang dipakai untuk menciptakan naskah. Naskah lontar, janur ,dan daun nipah yang berasal dari kala yang lebih lama berskala kecil, sekitar 5 X 20 cm. Jumlah naskah Sunda yang yang dibuat dari materi lontar yang diketahui ada kini tidak banyak, tidak sampai lebih dari 250 buah. Naskah yang yang dibuat dari bahan kertas dapat diklasifikasikan atas kertas bikinan sendiri dan kertas bikinan pabrik. Kertass produlsi sendir disebut daluang atau kertas saeh yang umum digunakan sebelum pertengahan kurun ke-19 Masehi. Sesudah masa ke-19 Masehi nasakh-naskah Sunda di tulis pada kertas produksi pabrik.
Berdasarkan daerahnya, naskah-naskah Sunda dapat diklasifikasikan atas daerah pembuatannya dan daerah penemuannya. Ukuran wilayahnya pun dapat di bagi secara beertingkat berdasarkan pembagian sosial budaya dan atau pembagian administrasi pemerintahan. Pengetahuan ihwal daerah pengerjaan dan wilayah inovasi naskah penting, alasannya adalah dekat kaitannya dengan problem isi naskah dan lain-lain.
Pengetahuan mengenai usia naskah sangat penting dalam dalam rangka analisis isi naskah. Berdasarkan waktu pembuatannya, naskah-naskah Sunda mampu di bagi menjadi tiga era. Ketiga abad itu yakni periode kuna, kala masa ke-17 Masehi ke belakang; kala peralihan, era sekitar abad ke-18 hingga pertengahan masa ke-19 Masehi; dan periode gres kala sekitar pertengahan era ke-19 samapi akil balig cukup akal ini (Ekadjati dkk., 1980).
Bentuk karangan yang di gunakan dalam naskah Sunda dapat digolongkan atas prosa, prosa lirik, dan puisi. Bentuk puisi mampu di bagi lagi atas pantun (Sunda), tembang, sindiran, dan bentuk puisi lain. Bentuk prosa telah dipakai untuk menuliskan naskah-naskah Sunda sejak kurun ke-16 Masehi hingga masa ke-20ini. Karena itu jumlah naskah Sunda yang memakai bentuk prosa menempati urutan teratas. Bentuk prosa lirik dipakai dalam naskah Sunda yang berisi tentang kisah pantun, mirip Lutung Kasarung, Mudinglaya. Sedangkan bentuk puisi pantun dipakai dalam naskah Sunda era ke-16 Masehi, mirip tentang dongeng Ramayana. Bentuk puisi ini tiap baris terdiri atas 8 suku-kata (Noorduyn, 1971). Bentuk puisi tembang banyak dipakai dalam naskah Sunda yang di sebut wawacan. Jumlah naskah yang berbentuk puisi tembang cukup banyak. Naskah wawacan lazimdi gunakan selaku alat untuk pentasseni beluk.
Berdasarkan wujud karangannya, naskah-naskah Sunda mampu di bagi atas naskah yang karangannya berwujud kisahan, paparan, dan cakapan. Sering terjadi satu naskah mengandung karangan yang berwujud kisahan dan cakapan sekaligus atau paparan dan kisahan, dan pasangan lainnya. Wujud kisahan yakni wujud karangan yang bercerita, berkisah, mirip pada naskah Carita Parahiyangan, Babad Cirebon, Wawacan Ranggawulung. Dalam hal ini ada alur cerita, jalan dongeng. Wujud paparan ialah wujud karangan yang membicarakan sesuatu topik, Seperti wayang Lilingong, Babad Kawung, Resep Masakan. Dalam hal ini ada topik atau pokok yang di bahasnya. Sedangkan wujud cakapan adalah wujud karangan yang berdialog antara Dua Pandita. Bagian paling besar naskah Sunda merupakan perpaduan antara wujud karangan kisahan dan cakapan.
Dilihat dari jenis karangannya, naskah-naskah Sunda mampu diklasifikasikan atas 12 kelompok. Ke-12 kalangan itu yakni agama, bahasa, aturan, kemasyarakatan, mitologi, pendidikan, wawasan, primbon, sasstra, sastra sejarah,sejarah, dan seni. Di tinjau dari kuantitas naskahnya, naskah Sunda yang berisi keagamaan (Islam) menempati urutan teratas, baru kemudian menyusul naskah-naskah yang berisi sastra, sastra sejarah, primbon, sejarah, wawasan, dan lain-lain (Ekadjati, 1983:503).
RANGKUMAN DAN UPAYA YANG PERLU DILAKUKAN
Dari seluruh uraian di atas citra secara lazim dan menyeluruh perihal kondisi naskah Ssunda cukup umur ini dan jenis-jenis naskah Sunda yang ada sudah diperoleh. Atau dengan kata lain, begitulah kondisi dan jenis naskah Sunda itu.
Gambaran tersebut menghidupkan dua perasaan bagi kami, setidak-tidaknya bagi aku.Pertama, perasaan bahagia (bagja, dalam ungkapan bahasa Sunda) alasannya adalah generasi kami telah memperoleh warisan dari leluhur kami berbentukkekayaan batin dan wawasan mereka yang di amanatkan lewat naskah. Kedua, perasaan khawatir dan khawatir (hariwang, dalam perumpamaan bahasa Sunda) Karena sebagian (besar) warisan tersebut belum berada di tangan kami sepenuhnya, baik fisiknya maupun (lebih-lebih) isinya.
Guna menanggulangi atau menghilangkan perasaan cemas tersebut perlu dikerjakan upaya yang bermaksud dan sedikit demi sedikit, berdasarkan irit kami, selaku berikut.
Pertama, penyelamatan naskah-naskah yang masih tersebar di golongan penduduk dengan cara mencari dan menghimpun naskah aslinya maupun dalam wujud kopinya. Pengertian kopi di sini yaitu hasil fotokopi, foto, mikrofilm atau mikrofis. Dalam hal ini kiranya perlu ditetapkan, lembaga atau forum-forum apa yang diberi peran atau memiliki wewenang untuk melakukan kegiatan ini dan berikutnya menyimpan naskah-naskah ersebut agar tidak membingungkan di tingkat bawah.
Kedua, inventarisasi dan katalogisasi naskah-naskah terrkumpul itu beserta naskah-naskah yang telah terkumpul ditempat-kawasan koleksi naskah untuk lalu disusun buku katalognya.
Ketiga, observasi dan penerbitan atas naskah-naskah itu menurut prioritas kepentingan isinya.
Upaya-upaya tersebut di atas sebagian sudah dijalankan, tetapi kiranya masih perlu ditegaskan dan ditingkatkan lagi, baik kuantitasnya maupun kualitasnya.