Seminggu sesudah perceraiannya, perempuan itu memasuki suatu kafe, & memesan Rembulan dlm Cappuccino. Ia datang bareng senja, & ia mesti menanti malam tiba untuk menerima pesanannya.
Cappuccino¹ dlm lautan berwarna coklat, datang eksklusif dr tercemplung cangkir, tenggelam sebentar, tetapi lantas pingpong-tetapi bukan bola pingpong, ini rembulan. Semua orang berada dlm kafe diam-diam melangkah keluar, menengok ke langit, ingin menunjukan dgn mata kepala sendiri bahwa terapung-apung cangkir perempuan sesungguhnya, mirip telah pelajari semenjak di sekolah dasar, yaitu yg tiada pernah mereka saksikan sisi gelapnya, & rembulan itu memang sudah tak ada.
Mereka bergumam, tapi tak menjadi gempar, bahkan pura-pura seperti tak terpengaruh sama sekali. Mereka kembali duduk, berbicara dgn bahasa yg beradab, namun membisu-diam melirik, mirip kepalsuan yg sudah biasa mereka peragakan selama ini. Para pelayan yg berbaju putih lengan panjang, mengenakan rompi, berdasi kupu-kupu, & rambutnya tersisir rapi diam-membisu pula memperhatikan. Semenjak kafe itu berdiri sepuluh tahun lalu, baru kali ini ada yg memesan Rembulan dlm Cappuccino. Kafe itu memang menyediakannya, & minuman itu memang hanya bisa dipesan satu kali, lantaran rembulan memang cuma satu.
“Rembulan dlm Cappuccino, satu!” Teriak pramusaji ke dapur, & kepala cuilan dapur memijit-mijit nomor hp, seolah-olah ada antisipasi khusus.
“Akhirnya tiba pula pesanan ini,” katanya, “saya sudah jenuh melihatnya di daftar hidangan tanpa pernah ada yg pesan.”
Kepala dapur itu bicara dgn entah siapa lewat hp.
“Iyalah, turunin aja, sudah tak ada lagi yg membutuhkan rembulan.”
Perempuan itu bukan tak tahu bila orang-orang memperhatikannya. Apakah wanita itu akan mengkonsumsi rembulan itu, menyendoknya bertahap mirip menyendok es krim, ataukah akan menelannya begitu saja mirip Dewa Waktu menelan matahari?
Ia mengamati rembulan yg terapung-apung di cangkirnya, permukaan cappuccino masih dipenuhi busa putih, mirip panorama Kutub Utara-namun cappuccino itu panas, bagaikan masih mendidih. Ia senang dgn penampakan itu, masbodoh tapi panas, panas tetapi acuh taacuh, segala sesuatu tak selalu mirip tampaknya.
Seminggu kemudian, seorang lelaki memasuki kafe itu, & memesan minuman yg sama.
“Rembulan dlm Cappuccino,” katanya.
Para pelayan saling berpandangan.
“Oh, minuman itu sudah tak lagi ada Tuan, seorang perempuan sudah memesannya ahad lalu.”
Lelaki itu terpana.
“Apakah Tuan tak mengamati, sudah tak ada rembulan lagi dlm seminggu ini?”
Lelaki itu tersentak.
“Seorang perempuan? Istri saya? Eh, maaf, bekas istri saya?”
Para pelayan saling berpandangan. Salah seorang pramusaji menerangkan ciri-ciri perempuan yg telah memesan Rembulan dlm Cappuccino itu.
“Ah, pasti beliau! Dasar! Apa sih yg tidak mau ditelannya dr dunia ini? Apakah ia makan rembulan itu?”
Para pelayan saling berpandangan lagi.
“Tidak Tuan…”
“Makara?”
“Kalau memang wanita itu istri Tuan…”
“Bekas….”
“Maaf, bekas istri Tuan, mungkin Tuan masih bisa mendapatkan rembulan itu.”
“Maksudmu?”
“Dia tak memakannya Tuan, ia minta rembulan itu dibungkus.”
“Dibungkus?”
“Ya Tuan, ia tak menyentuhnya sama sekali, cuma memandanginya saja beberapa jam.”
Para pelayan di kafe itu teringat, betapa wanita itu mengaduk-aduk Rembulan dlm Cappuccino, bahkan menyeruput cappuccino itu sedikit-sedikit, namun tak menjamah rembulan itu sama sekali. Perempuan itu hanya memandanginya saja berlama-lama, sambil sesekali mengusap air mata.
Mereka ingat, perempuan itu masih di sana dgn air mata bercucuran, & masih tetap di sana, kebetulan di tempat kini lelaki itu duduk, sampai tamu-tamu di kafe itu habis menjelang dini hari.
Kemudian ia meminta rembulan itu dibungkus. Tatkala dibungkus, rembulan sebesar bola pingpong yg semula terapung-apung di dlm cangkir itu berkembang menjadi sebesar bola basket.
Itulah sebabnya kepala dapur meminta supaya pencoretan Rembulan dlm Cappuccino dr daftar menu ditunda.
“Rembulan itu belum hilang,” katanya, “siapa tahu wanita itu mengembalikannya.”
Lelaki itu menatap pelayan yg berkisah dgn seru. Ia baru sadar semua orang memandang ke arahnya. Tatkala ia menoleh, tamu-tamu lain itu secepatnya berpura-pura tak peduli, padahal penasaran sekali.
“Kalau ia muncul lagi, tolong katakan saya pula mau rembulan itu.”
“Ya Tuan.”
Lelaki itu melangkah pergi, tapi sempat berbalik sebentar.
“Dan tolong jangan panggil saya Tuan,” katanya, “mirip main drama saja.”
Padahal ia sungguh menikmati perlakuan itu-mirip yg dilaksanakan bekas istrinya sebelum mereka berpisah.
Tiada rembulan di langit. Tidak pernah terbayangkan akan terjadi betapa tiada lagi rembulan di langit malam. Namun di kota cahaya, siapakah yg masih peduli rembulan itu ada atau tidak?
“Yang masih peduli hanyalah orang- orang romantis,” kata perempuan itu pada dirinya sendiri.
“Atau pura-pura romantis,” katanya lagi.
Dia berada di suatu tempat tanpa cahaya, kelam, begitu kelam, mirip ditenggelamkan malam, sehingga bintang-bintang yg bertaburan tampak jelas, terlalu jelas, seperti peta dgn nama-nama kota. Perempuan itu belum lupa, apalah artinya nasib satu manusia di tengah semesta, nasib yg sebetulnya jamak pula dialami siapa pun jua di tampang bumi yg sebesar merica.
Namun, ia merasa bagaikan kiamat sudah tiba. Agak aib pula sebetulnya.
Banyak orang lain mesti hidup dgn gambaran bagaimana ayahnya diambil dr rumahnya di tengah malam buta. Digelandang & diarak sepanjang kota sebelum hasilnya disabet lehernya dgn celurit sehingga kepalanya menggelinding di jalanan & darahnya memancar ke atas seperti air mancur deras sekali hingga menciprati orang-orang yg mengaraknya itu. Tidak sedikit orang yg hidup dgn kutukan betapa ibunya telah menjadi setan jalang yg memotong-motong alat kelamin laki-laki sambil menyanyi & menari, & lantaran itu berhak disiksa & diperkosa, padahal semua itu merupakan kebohongan paling besar di wajah bumi. Hidup ini bisa begitu buruk bagi orang baik-baik meskipun tak mempunyai kesalahan samasekali. Tanpa pembelaan sama sekali.² Tanpa pembelaan. Tanpa…
Langit malam tanpa rembulan. Ada yg terasa hilang memang. Tapi selebihnya baik-baik saja. Tentu kini cuma mampu dibayangkannya bagaimana rembulan itu mirip bahtera yg membawa kelinci pada malam hari & mendarat di Pulau Jawa. Namun, tidakkah insan lebih banyak hidup dlm kepalanya daripada dlm dunia di luar batok kepalanya itu? Apabila dunia akhir zaman, & tak ada sesuatu lagi kecuali dirinya sendiri entah di mana, ia bahkan masih mempunyai sebuah dunia di dlm kepalanya. Tanpa rembulan di langit ia bisa menyaksikan rembulan mirip bahtera menjinjing kelinci yg mendarat di Pulau Jawa.³
Rembulan itu berada di punggungnya sekarang, terbungkus & tersimpan dlm ransel-apakah ia berikan saja pada bekas suaminya, yg diketahuinya selalu bercita-cita memesan Rembulan dlm Cappuccino? Kalau mau kan banyak cappuccino instant di lemari dapur (ia lebih tahu daerah itu daripada suaminya) & meski rembulan di punggungnya sekarang sebesar bola basket, nanti jikalau mau dimasukkan cangkir akan beradaptasi menjadi sebesar bola pingpong. ia & bekas suaminya sebetulnya sama-sama tahu betul aturan rembulan itu, namun itu dongeng masa kemudian- sekarang ia berada di sebuah jembatan & sedang berpikir, apakah akan dibuangnya saja rembulan itu ke sungai, mirip membuang suatu masalah semoga pergi menjauh selamanya & tak pernah kembali? Setiap orang mempunyai peluang bernasib malang, kenapa dirinya mesti menjadi perkecualian? Ia seperti sedang meragukan dirinya sendiri, jangan-jangan ia cuma mewajibkan dirinya berduka, lantaran selayaknyalah seorang istri yg diceraikan dgn semena-mena merasa terbuang, padahal perpisahan itu menciptakan peluangnya untuk bahagia terbuka seluas semesta…
Dalam kegelapan tanpa rembulan, perempuan itu tak mampu menyaksikan senyuman maupun air matanya sendiri di permukaan sungai yg mengalir perlahan- & ia tak tahu apakah masih harus mengutip Pablo Neruda.
Tonight I can write the saddest lines….4
Tiga ahad kemudian, pada hari hujan yg pertama animo ini, perempuan itu muncul lagi di kafe tersebut.
“Saya kembalikan rembulan ini, mampu diganti soto Betawi?”
Itulah masalahnya.
“Tidak bisa Puan, kami tak punya soto Betawi, ini kan kedai makanan Itali?“
Nah!
1. Kopi tradisional Italia, lazimnya untuk sarapan-kopi espresso yg dibubuhi susu panas & buih, sering pula ditaburi cokelat, dlm seduhan air panas 80 derajat celsius, dihidangkan dgn cangkir. (Sumber: dr kemasan gula non- kalori Equal).
2. Tentang penyiksaan sesama insan Indonesia, bisa dilacak dlm sejumlah dokumen, antara lain, Pipit Rochijat, “Am I PKI or Non PKI?” dlm Indonesia edisi 40 (Oktober 1985); A Latief, Pleidoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G 30 S (2000); Sulami, Perempuan-Kebenaran & Penjara (1999); Sudjinah, Terempas Gelombang Pasang (2003), & tentu saja Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Tunggal Seorang Bisu (1995).
3. Dari Sumanasantaka (sekitar 1204) karya Mpu Monaguna: “sang hyang candra bangun bahitra dateng ing kulem amawa sasa mareng jawa.” Tentang sisi astronomi bait ini, apakah itu bulan sabit di cakrawala sehingga bentuknya mirip perahu, ataukah bulan purnama, yg memungkinkan gambaran seekor kelinci, baca PJ Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983), terjemahan Dick Hartoko, h238.
4. Puedo escribir los versos mas triste esta noches-dari “Puedo Escribir” (“Tonight I Can Write”) dlm Pablo Neruda (1904-1973), 20 Puemas de amor y una Cancion desesperada (Twenty Love Poems and a Song of Despair), 1924, terjemahan ke dlm bahasa Inggris oleh WS Merwin, terbit pertama kali tahun 1969.