close

Puisi Patah Hati Penuh Kesedihan Gesekan Luka

Bukan sebab tornado taufan,
Bukan diterjang ombak gelombang,
Rasa teriris begitu pedih,
Sebab sedang patah hati.
.
.
.
Oleh kieta _ Anna Noor Jannah

 adalah puisi yang menggambarkan perasaan seseorang yang sedang kecewa Puisi PATAH Hati Penuh Kesedihan Goresan Luka

Puisi patah hati yaitu puisi yang menggambarkan perasaan seseorang yang sedang kecewa. Biasanya berkenaan dengan cinta.

Aku jadikan
Huruf-aksara ini
Sebagai fasilitas membereskan duka laraku, menulis puisi usangku, dan membuatkan patah hatiku.

.

Patah hatiku sudah kubungkus rapi,
Dalam bait-bait puisi.

Bukan untuk kau.
Hanya sekedar menyimpan
Kenangan. Sebab aku tahu.
Kepedihan ini kadang menjadi indah, nanti di suatu waktu.

.

Dari patah hati,
Lahirlah puisi. Sedih sekali.

Tapi aku suka.
Seperti sukaku pada puisi senja.

.

Tak Mau

Aku tidak mau
Mendengarkanmu,
Menulis puisi apa
Membaca novel apa
Sebab, aku sedang tidak jatuh cinta. Tapi aku sedang patah hati. Gitu.
.

Tak Ada Waktu

Tida ada waktu
Untuk bersedih
Pada lembaran hidupku.

Apalagi lari
Dari kehidupan ini.

Aku tahu
Masa depan sedang menanti
Untuk kesentuh sembari sarat senyuman.

Karena di sana
Ada impian sarat kebahagiaan.

.
.

Semuanya Baik.

Namun, ingatan tetap indah
Ia laksana lukisan,
Merekam era lalu

Tetapi:
Boleh kau buang
Atau kamu simpan.

Saatnya
Ketika kebahagiaan tiba,
Patah hati itu dengan sendirinya hilang.

.
.

Tertusuk, Maka Patah Hatiku.

Aku sendirilah
Yang menciptakan patah hati.

Sebab meletakan impian
Kepada seseorang yang lemah,

Yaitu kau.

.
.

Aku perlu jatuh cinta
Untuk membuat puisi yang indah.

Seperti perlu patah hati
Untuk menciptakan bergetarnya puisi.

.
.
Sesekali
Berikan kabarkan patah hati
Pada secangkir kopi.

Agar kau mengerti
Sepahit apapun kopi
Ia akan dicicipi
Manakala
Bertemu pada tempat
Dan waktu yang tepat.

.
.

Kamu mungkin
Tak lagi perlu diriku.

Hanya perlu
Puisi-puisi yang kutulis

Karena didalamnya
Bisa mengenang luka dari patah hati.

1. Kecewa karena sikapmu

Kamu Pergi.

Lalu kamu membisu
Lari menuju sunyi,
Puisi, dan secangkir kopi.

Padahal kau tahu
Aku lebih sakit dari dirimu

Sebab telah banyak
Berkorban, tetapi dibalas pengkhianatan.

.
.

Biar Kucari.

Biar kucari
Dimana senang itu.

Aku tak menemukannya
Padamu. Pergilah jauh bila memang ingin pergi.

.
.

Sedih ini kian duka
ketika patah hati.
Puisi ini semakin puitis
ketika patah hati.

Dan kopi?
Nikmat sekali
Saat disesap saat patah hati.

.
.

Perasaan

Mengapa kau merasa murung
Membiarkan perasaan tercabik
Karena orang-orang
Yang tak punya perasaan.

Lindungi
Setiap jengkal perasaan
Jangan pernah kau serahkan
Pada serigala;
.
.

Terlanjur.

Ini cuma wacana
Keterlanjuran.

Bahwa saya mengasihi
Seseorang yang disangka,
Disangka tak patah hati.

Lalu menuntutku
Sebagai pengganti.

.
.

Kamu
Terlalu dalam
Saat patah hati.

Hingga luber menjadi puisi,
Mengalir jadi duka.

Padahal
Itu kau.
Kamu saja
Yang terlalu.

.
.

2. Hati Dan Perasaan

Masih.

Aku masih punya hati.
Dari hati itu mengalir perasaan.

Maka dikala hati terluka,
Mengalir pula luka pada perasaan.

Ingin kubalas sakit hati
Tapi untuk apa.

  Kau Mengecewakan [Puisi]

Lebih sendiri.
Merangkai kebahagiaan
Yang sempat kau campakan.

.
.

Perihnya Cinta.

Saat lara mendekap,
Baru aku mengerti,
Mengapa cinta begitu perih.

Ada luka
Meski tanpa darah.

Ada perih,
Yang sulit terobati.

Tak lagi berharap,
Takut-takut kamu khianati. Lagi.

.
.

Bukan Kecewa.

Bukannya saya kecewa,
Dengan semua sikapmu.

Hanya ingin menangis,
Mengapa berjumpa
Lalu berpisah..
..dalam luka.

.
.

Goresan hati yang terluka.

Sepi datang-tiba mendekap,
Udara terasa pengap.

Ingin menangis,
Tapi air mata ini tak mengalir.

Hanya menambah pedih saja.

Kutorehkan saja
Pada puisi senja,
Moga tak ada lagi luka
Seperti luka yang kau bawa.

.
.

Salam terakhir untuk kekasih.

Berapa usang
Kita menata cerita,
Disusun sungguh indah,
Dengan segala rasa.

Semua dan segala
Rupanya sebatas
Kenangan.

Selamat tinggal,
Aku ingin pergi jauh ke depan,
Tak lagi menoleh ke belakang,
Apalagi pada kenangan.

3. Cinta Bertepuk Sebelah Tangan

Namamu, Kenapa Dalam Hidupku?

Kenapa
Kamu datang
Mengacaukan rasa
Dalam dada?

Mengombang-ambing
Diriku bagai buih di lautan:
Antara harapan dan kekecewaan.

.

Cinta Tak Kunjung Datang.

Ingin kutuliskan
Setiap butir kesedihan
Menjadi kata-kata.

Agar terlepas segala
Beban rasa cinta.

Kapankah hadir
Cinta murni
Pelepas sepi
Yang lama menanti.
.
.

Penantian Sunyi.

Mengapa harus ada cinta
Pada orang yang salah,

Yang kutahu
Bahwa cinta ini tidak akan berjumpa
Dalam pelabuhan asmara.

Hanya singgah, sebentar saja.
Seperti orang abnormal yang kemudian pergi.

Pergi kemudian menghadiahi
Diriku dengan seonggok sepi.

.

Kepergianku Untuk Selamanya.

Tidak.
Aku tak lagi mengharap cintamu,
Seperti dulu.

Dunia ini terlalu luas,
Untuk kuarungi.

Bukan sekedar
Meratapi cinta yang tak berbunga,
Kuingin melanglang, mencicipi
Setiap getar kehidupan.

Ingin kurasakan
Getir dan pahitnya,
Manis dan asamnya.

Meski terluka,
Aku ingin tahu rasanya.

Meski tersiksa,
Aku ingin tahu sebatas mana.

Karena kuyakin,
Dunia ini penuh warna,
Bukan cuma sendu dari orang yang patah hati.

.

Menunggu Ketidakpastian.

Kamu sudah menempatkanku,
Pada dinding karang;
Yang pintunya tertutup,
Jendelanya tiada.

Terkurung
Dalam penantian panjang,
Tanpa tahu
Kapan final dari penantian panjang.

Hampir saja aku keletihan,
Menunggu dalam ketidakpastian.

Haruskah aku merobek
Sebuah akad yang kubuat dahulu,
Untuk senantiasa setia menanti?

4. Puisi Rindu dan Kecewa

Patah Hati Karena Cinta.

Kalau hatiku yang dibuat
Dari batu. Maka pecahlah.

Kalau terbuat dari
Kayu. Maka patahlah.

Sebab telah rusak
Karena cinta.

.

Hatiku Merindu.

Kepadamu aku merindu,
Seperti kemarau yang rindu
Pada turunnya hujan.

Kepadamu aku merindu,
Seperti angin yang rindu,
Pada bunga yang mewangi.

Sebab ada cinta
Yang tumbuh bersemi.

Yang kamu tanamkan
Ke lubuk hatiku.

Walaupun sebutir,
Ia berkembang terus
Tak terhenti.

Mungkin suatu hari nanti
Kamu akan tahu,
Apa artinya suatu rindu.

.

Rindu Ini, Indah Sekali.

Kamu,
Sudah cukup memberiku.

Hanya dengan membuatku rindu,
Sudah cukup bagiku,
Sebagai kado,
Terindah,
Yang
Pernah
Ada.

Karena kau cakrawala,
Tempatku melayang mengakasa,
Memaknai hari-hari dengan cinta.

Betapa sederhana,
Kau bawakan senang,
Lalu kurajut
Untuk kuberikan lagi untukmu.

.
.

Patah Hati dan Kecewa.

Dalam lembar putih,
Dari bukuku yang dahulu,
Ada sedikit puisi,
Tentang patah hati.

ada terangkai aksara,
menggambarkan rasa kecewa.

5. Puisi Patah Hati Panjang

Hati Yang Patah.

[ditulis dengan Kahlil Gibranis]

Hujan turun sungguh perlahan. Seperti gemarai daun-daun di demam isu gugur. Sesekali angin berhembus, dengan langkah gemulai yang sarat kelembutan.

Dinginnya amat membeku. Inilah malam yang sangat mengenaskan.

Aku tersandar pada kepiluan hati. Yang sebelumnya indah, mekar, seperti kembang-kembang di animo bersemi.

Tapi sekarang telah patah. Retak oleh kepedihan bercampur kecewa mendalam. Bukan padamu. Namun pada diri yang telah salah:

Salah; meletakan seuntai cinta terindah pada leher seseorang berhati serigala.

Setelah malam-malam yang kelam; pagi yang sarat kabut; dan siang yang begitu kelam, maka sekarang telah belajar bahwa:

Tidaklah hati ini pedih, kecuali berharap pada yang salah.

Maka

Tuhan sudah meminta kita, untuk menyerahkan hati untuk Dia.

Sebab jika engkau menyerahkan hati pada insan, berarti menyerahkannya pada tangan yang lemah. Yang tak bisa menjaga.
.
.

  Puisi Galau Yang Menyentuh Hati Ihwal Rindu Patah Hati #210

Patah Hati Terindah.

Jikalau air mata ini menitik, mungkin saja ada beban di dalam dada. Tak mampu dadaku menampungnya.

Maka ia akan mengalir. Mencari jalan ke luar dari dunia. Atau sekedar memberitahukan, bahwa jiwa ini sedang berduka.

Jikalau pedihku terurai menjadi puisi, mungkin saja pada setiap aksara ada cerita. Menggambarkan kegelisahan di dalam jiwa.

Maka beliau menyusun. Menjadi bait-bait puisi. Atau sekedar sajak yang tak begitu indah, tetapi menggamit kepedihan.

6. Puisi Patah Hati Galau

Haruskah Begini Selamanya?

Kenapa mesti bersedih,
Sedang kesedihan tak mengembalikan
Apapun yang pergi.

Aku tidak ingin seperti
Selamanya. Yang kuingin
Pengganti yang lebih baik.

Kalaulah harus menangis
Tentu air mataku telah habis.
Hanya kutabahkan hati ini
Semoga kau bahagia di sana
Dan aku, aku tahu kau bukan yang terbaik untukku.
.
.

Resah Melanda.

Bagaikan sebutir debu
Tertiup angin di padang pasir.

Di antara gelora
Panas dari terik mentari.

Hadirmu bagaikan mimpi,
Laksana embun yang membasahi.

Kemarauku selesai,
Berganti isu terkini nan hijau.

Kamu adalah
Anugerah dari Tuhan.
Sebagai jalan tuk
Menarikku kembali dari tepi jurang kehancuran.
.
.

Terukir Namamu.

Namamu begitu indah,
Terukir di sanubari.

Di antara kelopak cinta,
Di antara bunga-bunga
Yang harum aneka aroma.

Ingin kupeluk,
Dengan segenap kasihku,
Agar engkau tahu,
Betapa berharganya dirimu.

.
.

Ingin Kembali.

Aku ingin kembali,
Seperti dulu.

Ketika kau
Membawa perhatian,
Kepadaku. Setiap waktu.

Ketika kamu
Selalu membela,
Memberiku semangat
Dan meyakinkan diriku,
Bahwa aku amat berharga.

Aku ingin mirip dahulu,
Kembali mengulang periode indah,
Saat kamu selalu menunjukkan,
Seulas senyuman yang begitu mesra.

.
.

Untuk Apa Datang Lagi?

Kau tinggalkan saya
Dengan segenap luka.

Tak hiraukan diriku
Walaupun berurai air mata.

Kau berlalu pergi
Seolah tak ada kisah.

Tak pedulikan rasa
Walaupun usang kita menata.

Tetapi aku bersyukur,
Pergimu menenteng berkah,

Laraku menumbuhkan kekuatan,
Dukaku mempublikasikan keteguhan.

Aku tidaklah sama
Seperti saat pertama berjumpa.

Untuk apa kau datang lagi?
Aku mampu lebih senang, setelah kamu lama pergi.

.
.

Sebaiknya Aku Menata Diri.

Justru
Kini saya bersyukur,
Berjumpa seseorang
Yang mengajarkan

Agar kepadaNya berserah,
untukNya segala ibadah,

hidup dan matiku,
bukan untuk menderita,
tapi untuk bermunajat seutuh jiwa.

Kau pergi.
Aku sudah menata diri,
Untuk hari-hari akhiratku nanti.

.
.

Pernah Jatuh.

Aku pernah jatuh
Hingga susah berdiri.

Terbuang di sudut waktu,
Sedih sendiri. Redup sekali.

Kau yang pernah ada,
Cintanya semakin meredup
Tak lagi menenteng cahaya senang.

Maka biarlah,
Aku kembali pada
Kebahagiaan hakiki
Kepada-Nya saya kembali.

.

Tunggu Aku.

Setelah ini – sehabis kita tak bersama lagi.
Tunggu saya suatu hari nanti. Bukan dengan patah hati.

Mungkin aku
Kembali tiba. Bukan untuk bareng .

Hanya berterimakasih,
Karena telah mendidiku
Menjadi lebih remaja.

Lebih besar lengan berkuasa. Sebab luka yang pernah kamu sajikan untukku.

7. Luka Terdalam

Mencintaimu
Dari kejauhan tak selamanya menyakitkan.

Selalu ada kilasan dari kebahagiaan
Menyelusup membisu-membisu dalam hatiku.

Melihatmu dongeng,
Bahagia, dan puas dalam kehidupan
Telah menjadi obat dari luka.

Sebab
Inginku bersamamu
Semata-mata biar kamu senang.

.
.

Perih.

Aku sudah punya cara
Untuk menyembuhkan luka.

Aku sudah menemukan
Bagaimana meredakan perih
Yang dahulu terasa begitu pedih.

Cerialah dalam hidupmu,
Bahagiakan orang-orang
Yang menyanyangimu.

Jangan lagi kamu toleh
Ke belakang. Apalagi melihat
Kenangan antara aku dan kau.

Sebab
Aku cemas,
Ada penyesalan
Yang mampu merusakan.

.
.

Jangan Menangis.

Tetes air mata adalah cara
Agar luka tak bersemayam
Dalam dada.

Jangan biarkan
Kata “andai” memasukinya.
Sebab itu cuma untuk mereka,
Yang ingin berlarut-larut dalam nestapa.

Menyesali bukanlah cara
Untuk menghadirkan bahagia.

Melainkan taburan garam
Di atas perih yang telah ada.

Cobalah bangun.
Kembali pada Allah, Tuhan semesta.

Karena bersama-Nya
Terhapus segala duka.
.
.

Biarkan saja.

Biarkan saja
Semua kenangan terkubur
Dalam-dalam. Sebab ia kelam.

Bukalah cakrawala
Yang indah. Menantikan kedatangan
Dari dirimu dan senyumannya.

  Kehidupan Antara Murung Dan Senang [Puisi]

.
.

8. Hati Seorang Wanita

Sebelum Berbeda.

Dahulu, saat seluruhnya belum berubah;
saat segalanya diperjuangkan bantu-membantu:

kamu senantiasa ada
dengan seulas senyuman
yang begitu indah.

Jenak yang sengsara
Membuatmu setia: menemani
Tanpa letih beriring dengan doa.

Kaprikornus, apakah kini kau telah lelah?
Ataukah putus asa? Atau kau kecewa?

Setahuku,
Hari ini, kamu adalah bukan kau yang dahulu.
.
.

Iri.

Aku sangat iri
Pada dirimu yang berhasil
Mendapatkan hati yang bahagia.

karena keikhlasannya demikian jernih,
sehingga mendekaplah padamu – dengan kehangatan – segenap
yang berjulukan bahagia, rasa tenteram, dan kasih sayang.

Aku sangat iri padamu.
Yang parasnya memiliki cahaya yang hanya dimiliki orang-orang berjiwa teduh.

.
.

Mimpiku.

Bersamamu, mimpiku hanyalah
Ingin kau mengecap luasnya bentangan damai.

Memberitahukanmu, terbangkanlah jiwamu
Tinggi-tinggi. Lepaskanlah ikatan duniawi.

Kamu tahu,
Tenang itu justru dikala kamu
Tak lagi terikat dengan tarikan duniawi.

.
.

Berpisah.

Bila karenanya kau meminta berpisah,
Aku ingin menjadi orang paling bahagia.

Sebab sudah puas
Menuliskan kebaikan sebisaku,
Mengorbankan semampuku,
Dan mendoakan kebaikan untukmu, selalu.

Bahwa aku
Mengakui segala salah,
Memperbaikinya tanpa lelah.

Tanpa pembelaan yang mungkin mampu merendahkanmu.

.
.

Pengganti.

Meskipun tak bareng , kala lalumu tak pernah tergantikan.

Tak dipungkiri, ada jenak kebahagiaan dikala senyumanmu datang membayang.

.
.

Di balik amarah,
Aku selalu terpuruk dalam penyesalan.

Amarah itu
Telah membuatk tubuhku rapuh,
Serupa tangkai bau tanah, ambruk tersapu topan.

Bisakah kamu
Obati beribu luka pada tubuhku?

Mampukah
Menyembuhkan lara pada jiwaku?

Serta menerima
Apa adanya siapa diriku.

.
.

Kamu.

Kamu begitu indah bagiku.
Sabarmu bagai telaga
Tempat tumpahkan segala resahku.

Teduhmu lebih dari gerimis
Mengusir panas dari amarahku.

Dan kasihmu,
Mendekap mesra. Meruntuhkan
Kecemasanku.

Terimakasih
Untuk semua lezat hidup ini.

.
.

Di antara malam-malam sunyi,
Senyumanmu yang paling tampak
Di mataku.

Mencintaimu, begitu menggemaskan.
Aku teringat, senyum sendiri.

9. Sakit Hati Diselingkuhi

Melepaskanmu.

Untuk seseorang yang pernah
Aku jatuh cinta padanya,

Untuk seseorang yang pernah
Meletakan harapanku padanya,

Untuk seseorang yang pernah,
Membuatku termimpi di abad depan,

Untuk seseorang yang pernah
Mengganggu tidur malamku,

Untuk seseorang yang tak pernah
Tahu berterimakasih.

Aku melepaskanmu. Hari ini.

.
.

Aku Pernah.

Aku pernah menjadikanmu impianku,
Aku pernah menjadikanmu tempat berteduhku.

Aku pernah melepaskan resahku padamu,
Aku pernah menceritakan impian terindahku,

Menjadikanmu senjaku – waktu terindah.
Menjadikanmu hujanku – kawasan tumpah air mata.

Semuanya telah berakhir.

Entah ke mana. Tiba-tiba aku mirip kehilanganmu, semestaku.

Dan engkau-pun kehilanganku, salah satu bintang, dari bintang-bintangmu.

Puisi by Echaviva.

.
.

Kubiarkan.

Kamu, satu-satunya orang yang kubiarkan,
Mengusik telaga rinduku.

Kamu, kubiarkan bermain
Di sela-sela pohon cintaku.

Karena saya tahu,
Hatiku tertawan oleh
Kepolosan senyumanmu.

Tapi itu dulu.

Kini sepertinya
Dunia sudah merusak segala rasa;
Semua keindahan jiwa.

Perlahan-lahan
Kamu pergi, sembari
Menaburkan sebilah luka.

.
.

Untuk Lelaki Yang Kupatahkan Hatinya.

Untuk laki-laki yang kupatahkan hatinya.

Duduklah.

Dengarkanlah. Aku ingin bicara.

Maafkan – bukannya saya tega. Tapi memang ketegasan lebih aku butuhkan ketimbang menyerah pada rasa.

Aku mengerti keinginanmu.
Juga penghormatanmu kepadaku.

Tapi –

Waktu tak mungkin berhenti. Ia kan terus mengalir. Jauh sekali. Meninggalkan diriku.

Sedangkan dihadapanku, ada lentera terang yang begitu terperinci akan menerangi jalan hidupku.

Cinta –
Aku lebih menentukan cinta
Yang menerima restu
Dari Dia Yang Maha Pemurah.

Bukan cinta –
Yang mengundang dosa dan peristiwa.

10. Mencintai Yang Telah Pergi

A k u masih mencintaimu.
Tidak. A k u masih sungguh mencintaimu.

Semenjak kamu pergi,
Sepi menyergapku.

Sepi itu cuma satu
Dari sekian menerangkan,
Bahwa cintaku padamu
Tak pernah padam. Hari ini. Esok. Dan entah hingga kapan.

Meskipun pedih.
Kutabahkan hati. Pergimu aku memahami.

Bukan untuk menyakitiku,
Tapi saya tahu, kamu berlari
Dari genangan air menuju samudra
Yang bahkan kamu tak tau tepinya.

Ya, itulah kebahagiaan yang kau temukan.

Maka jika
Kau berbahagia di sana,
Aku tak akan pernah mengganggu, sedikitpun jua.

Karena saya bukan sekedar mencintaimu,
Aku juga menghormatimu.

.
.

Untukmu Yang Di Sana.

Tidak semua abad kemudian itu indah.

Adakalanya lebih baik menyelipkannya
di antara kegiatan hari-hari.

Untuk kamu yang di sana.
Jangan pernah tiba lagi.
Atau sekedar mengorek abad lalu
Yang telah kukubur jauh-jauh.

Aku sudah mencintaimu,
Dan cukup bagiku.

Telah selesai cintaku,
Selesai pula keinginanku.

Tak mungkin lagi
Aku membuka pintu keinginan,
Pada dirimu, yang membuka pintu kelam.

.
.

Mencintaimu Sepanjang Waktu.

Semenjak kepergianmu,
Barulah aku tahu pedihnya sembilu.

Semenjak kepergianmu,
Barulah saya tahu artinya rindu.

Dulu – ketika hari-hari bareng ,
Betapa nikmatnya hidup.

Tawamu yang renyah,
Tatapanmu yang sarat kasih,
Dan cemberutmu yang begitu saya suka.

Aku rindu,
Menikmati panorama
Dimana engkau memegang mushaf
Dan menghafal ayat demi ayat.

Aku rindu,
Menikmati jenak
Saat senja datang menikmati
Secangkir kopi. Bersamamu.

Aku rindu.
Kekasih hatiku. Padamu.

.
.

Kau Patahkan Hati.

Kau patahkan
Hati milikku yang satu-satunya ini.

Kau pecahkan rasa
Dari seorang yang lemah,
Tak berdaya, mengharap lalu kamu bawakan sebongkah kecewa.