Hamid sudah usang sekali mengurung dirinya di dlm kamar. Ia merasa mesti menyelesaikan proyek menulis buku yg sudah usang terabaikan. Tenggat waktu proyek buku yg ia terima selama 30 hari tinggal tersisa tiga hari lagi.
Inilah satu-satunya pekerjaan & pertama ia terima setelah satu bulan ini menganggur mengandalkan sisa tabungan yg mulai menipis. Kelaparan di dlm kamar pengap. Untungnya ibu kos tak mengejar-ngejarnya untuk melunasi sisa sewa yg sudah dibayar setengah tahun. Uang yg ia dapat dr hasil kerja serabutan mengerjakan sejumlah proyek.
Kok mampu ia mampu proyek pekerjaan yg super glamor seperti menulis itu? Adalah teman kuliahnya, Hamdan, yg menenteng Hamid ke dlm proyek menulis buku itu. Hamdan tahu sejak usang Hamid meninggalkan bakatnya menulis itu demi menerima uang lebih singkat.
Ketika Hamid butuh duit & ajuan tiba dgn jumlah menggiurkan, tak ada lagi alasannya menolak. Ia pribadi memenuhi dgn daya yg ia punya: sedikit riset, imajinasi, laptop pemberian, & satu lengan yg ia punya.
Sejak kecelakaan 10 tahun kemudian, Hamid mesti kehilangan lengan sebelahnya. Kecelakaan yg membuatnya sempat frustasi. Wajahnya rusak & lengan kirinya patah.
Setelah tubuh dirasa membaik & mampu diajak beraktivitas, ia berkelana menghabiskan masa buruknya ke berbagai daerah. Melakukan pekerjaan apa saja. Ijazah sarjananya tak memiliki kegunaan, alih-alih ia sudah ogah mengandalkan ijazahnya itu.
Kini di kamar kontrakan yg pengap ini, ia cuma memandang satu kalimat dgn kursor berkedip-kedip meminta proyek menulis teratasi.
Proyek menulis buku ini senantiasa membuatnya pusing. Ia senantiasa bergumam bahwa proyek ini ialah kejahatan paling brengsek yg bisa menyeretnya ke kehidupan lebih buruk. Itulah risiko terbesarnya.
Namun, uang 100 juta menjadikannya mau tidak ingin mesti mencampakkan ketakutan itu jauh-jauh. Ia tak peduli dgn segala risiko bahkan tatkala ancaman pembunuhan tiba padanya.
Berhari-hari ia harus merakit fakta-fakta & mengarang kisah seorang penguasa yg kini mencalonkan diri kembali sebagai presiden adalah penunjang gerakan partai setan yg menciptakan pengikutnya meringkuk dlm penjara. Apakah Hamid bakal ikut pula ke penjara?
Ia meremas kepalanya. Tenggat waktu yg mendesak tak menjadikannya mampu melanjutkan satu kata pun. Di kepalanya hanya terbayang duit 100 juta & tiket pesawat mancanegara yg akan ia kunjungi seusai menyelesaikan proyek buku ini.
Di satu siang terik, Hamid sudah merasa gerah. Ia butuh satu teguk kopi. Sudah lima hari ia tak mengopi. Uang di sakunya terus dihemat untuk bisa hidup setidaknya tiga hari ke depan. Tidak ada uang DP dr proyek buku ini.
Dari arah gedung yg lain, suara handy talky tampak mengganggu seseorang. Lubang peneropong berupaya difokuskan ke suatu pintu kamar. Lelaki dgn ikat tali warna hitam bertuliskan ‘Tuhan Harga Mati’ itu terus-menerus diusik bunyi-suara dr jauh: tentukan orang itu mati, kau akan kami bebaskan. H mesti lenyap. Seseorang menyebut inisial sebuah nama.
Hamid membuka pintu kamar. Ia sudah tak sabar harus menetralisir sakit kepalanya dgn aroma kopi. Pekerjaan ini teramat brengsek! Gumamnya.
Hingga tiba-tiba dering ponselnya berbunyi. Bergetar dr saku celana. Dilihatnya layar ponsel. Hamdan mengundang. Hamid heran.
Diangkatnya ponsel itu, lalu terdengar suara Hamdan. Tatkala bunyi ‘Halo’ terucap dr lisan Hamdan, tiba-tiba suara terdengar suara mengerang. Seperti menahan sakit. Suara itu menciptakan Hamid bergidik.
“Halo, Hamdan, ada apa? Ada apa, Hamdan? Kau kenapa?”
“Hamid, cepat sembunyi! Segera lari dr tempatmu. Ada yg menembakku,” Hamid tak mengetahui apa yg terjadi.
Dari tempat yg jauh, Hamdan terus memberi perintah seraya rubuh di tempatnya berdiri.
“Akkhh, Hamid, cepat kamu lari dr situ!”
Gila, ada apa ini? Hamid mematung usang. Ia berpikir keras. Ada apa sesungguhnya? Pikirannya kacau. Udara siang jadi makin terik & membakar. Apa yg ia fikirkan belakangan ini benar terjadi. Risiko yg sudah ia bayangkan sebelumnya.
“Kaprikornus, ini yakni cara semoga presiden jatuh dr kekuasaannya?” Hamid menyeruput kopi panas yg baru saja dipesannya.
“Ya, tentu. Kau tahulah bagaimana seharusnya propaganda itu melakukan pekerjaan . Proyek ini sebagaimana proyek bawah tanah ditargetkan menyasar pada orang-orang yg apatis dgn negara ini. Kita tak mampu mematahkan keberhasilannya, maka kita hancurkan sosoknya.”
“Waduh, waduh, sulit buat menolak, tapi berat pula untuk diterima.”
“Sudahlah, kau tak perlu banyak berpikir. Semua bakal kondusif. Tidak ada yg tahu & mengenalmu kok. Sengaja gue menentukan kamu untuk melakukan proyek ini karena kau orang gres.”
“Okelah. Terus, apa yg mesti gue lakukan?”
“Yang paling utama, kau harus segera pindah dr kontrakanmu & cari daerah kos kecil di kawasan yg tak biasa.”
“Oh ya, ngomong-ngomong ke mana saja kau gres kini timbul di hadapanku?”
“Hahaha, panjang ceritanya. Nanti saja. Aku mesti berjumpa kolega lagi di daerah lain.”
Hamdan beranjak dr tempat duduknya. Kedai kopi ini sungguh-sungguh tak ada pelanggan lagi selain gue & beliau. Hamdan rupanya paling tahu kapan kedai ini sepi dr pengunjung.
“Jangan lupa, besok lusa kabari gue kawasan kosmu yg baru. Data-data yg kau perlukan akan gue bawa ke kosmu. Nanti gue ceritakan lagi soal proyek ini.”
“Baiklah.”
Kepala Hamid masih dipenuhi banyak pertanyaan soal pekerjaannya ini. Termasuk risiko yg bakal ia terima dr proyek ini. Adakah yg lebih berbahaya dr jiwa yg terancam.
Pertemuan itulah yg membuatnya senantiasa merasa ada moncong senjata mengintainya. Hamid termasuk laki-laki lurus yg tak mengenal dunia politik. Namun, ia tahu ancaman apa yg mesti dihadapi dr penguasa yg dgn besar lengan berkuasa mencengkeram bangku kekuasaannya.
Dan mengerjakan proyek ini mirip menggali liang kubur bagi kematiannya. Kecuali dewi fortuna berkata lain.
“Darah kita ini berguna kalau pun mati, Hamid. Seberapa usang kamu menderita dgn kemiskinan karena ulah kekuasaan yg tak kamu sadari itu, Hamid? Aku berjuang demi rakyatku ini. Segalanya mesti kita lakukan. Mereka harus dijatuhkan, Hamid.”
Suatu ketika, Hamdan dgn menggebunya berkata padaku ketika pertama kali ia berjumpa denganku sehabis sekian usang menghilang.
Dan kini gue mesti bersiap untuk sesuatu hal yg mungkin terjadi.
“Siapa yg menyebar selebaran itu?”
“Info permulaan sudah kami dapatkan. Saya kira kita sudah tak abnormal lagi siapa yg selama ini selalu bikin kacau.”
“Dia lagi. Habisi sajalah.”
“Jangan. Itu bisa menjatuhkan presiden. Terlalu kasat mata untuk menghabisi dia. Biarkanlah ia menghirup udara segar negeri ini. Biar ia tahu jasa kita selama ini. Negeri ini dibangun oleh siapa,”
“Betul, betul. Dasar orang tak tahu balas jasa. Kaprikornus, bagaimana caramu?”
“Yang perlu kita habisi adalah orang-orang di bawahnya. Aktor intelektual hanya perlu menghirup dinginnya penjara. Namun, para eksekutor harus mencium liang kubur.”
“Siapa yg kau maksud eksekutor?”
Maka disusunlah cara menyingkirkan musuh-musuh negara itu.
Dari tempat yg jauh, seseorang merapikan senjata. Bagi Penembak Serius tampaknya, pekerjaan itu yakni misi jihad membela penguasa yg menegakkan aturan-hukum Tuhan di negara ini. Mereka yg menentangnya memang mesti disikat.
Dari jarak tak diduga, terlihat iring-iringan kepala negara berjalan pelan melewati kerumunan rakyat yg menyambutnya. Namun, bukan itu sasaran yg diintainya. Diisapnya dalam-dalam sebatang rokok yg tinggal sebatang itu.
“Musuh negara ialah musuh Tuhan.”
Ia mulai menjumlah mundur. Memastikan sasaran yg dilihatnya sudah betul-betul ada dlm bidikannya. Tinggal sedikit lagi ia menarik pelatuknya.
Dari jendela kamar yg paling tak dimengerti. Dari gedung megah itu ia menyaksikan betapa para konglomerat kapitalis itu berlomba-kontes menembus langit membangun gedung-gedung menjulang.
Hamid masih mematung usang. Ia ingin pergi menyelamatkan Hamdan namun ia tak tahu di mana posisinya saat ini.
“Hamid, cepat pergi!”
Suara Hamdan terngiang lagi. Ia sudah berjalan beberapa langkah dr pintu kamarnya di lantai dua. Ia seharusnya tahu duit 100 juta tak ada apa-apanya dibandingkan dengan menantang maut di tangan penguasa itu.
Hamid melangkah kembali masuk ke kamarnya. Ia memang harus pergi. Ia memercayai Hamdan.
Kakinya sampai di depan pintu. Tangannya merogoh saku celana & membuka kunci pintu. Hingga tiba-tiba terdengar desing peluru dr kejauhan. Itu suara-suara ramai orang dr pasar tak jauh dr daerah kosnya. Suara-suara teriakan histeris makin jelas terdengar. Orang-orang berlarian.
“Presiden tertembak, presiden tertembak…”
Hah, apa? Ada presiden tiba di bersahabat sini?
“Presiden tewas terbunuh…”
Suara-bunyi itu makin jelas terdengar. Presiden tertembak?
Dari daerah yg jauh, Penembak Misterius membereskan kembali alatnya. Ia sudah menjalankan tugasnya dgn baik. Musuh negara mesti ditumpas.
Hamid berusaha menelepon kembali Hamdan. Nomornya tak aktif. Aduh, ada apa ini bergotong-royong?
Penembak misterius itu melepas jaket hitamnya. Ia mengganti kostumnya mirip orang kebanyakan. Ia kenakan kemeja, sedikit wewangian disemprotkan ke badannya. Tugas simpulan.
Baru saja ia ingin melepas ikat hitam di kepalanya. Ponselnya berdering. Dilihatnya suatu pesan pendek.
Hamdan, ponselmu tak aktif. Aku meneleponmu berkali-kali. Temui gue di kedai kopi biasa.
Ia melepas ikat hitam di kepalanya kemudian melipatnya sampai tulisan ‘Tuhan Harga Mati’ yang tertera di atasnya tak kelihatan lagi.
“Aku mesti segera temui Hamid,” ujarnya lirih.(*)