Sebelum daun milik nenek gugur, nenek pernah bercerita perihal sebuah pohon yg tumbuh di tengah alun-alun kota. Kata nenek, pohon itu sudah ada semenjak ratusan atau mungkin ribuan tahun lalu.
Tak ada yg tahu persis, kapan & bagaimana pohon itu berkembang. Sewaktu nenek kecil, pohon itu sudah menjulang meneduhi alun-alun kota, serupa payung raksasa. Menilik kokohnya, tampaknya akarnya telah menancap jauh ke kedalaman bumi. Batangnya pun tampak seperti lengan laki-laki yg kuat & penuh urat. Dahan & ranting berjabar serupa jari-jemari yg lentik. Dedaunnya lebar serupa wajah-wajah yg tengah tersenyum dlm keabadian.
Kata nenek, kehidupan setiap penduduk di kota ini tersemat di tiap daun yg bertengger di cabang, ranting, & tangkai pohon itu. Setiap kali ada satu daun yg gugur, artinya seseorang di kota ini telah lepas dr kehidupan. Satu daun artinya satu kehidupan, begitu kisah nenek.
Suatu sewaktu, gue pernah mendesak nenek untuk mengantarku ke alun-alun kota, untuk menyaksikan pribadi pohon itu. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibu. Karena, kalau ibu tahu niscaya ibu tak akan mengijinkan. Diam-membisu kami pun berangkat, secara perlahan-lahan gue menuntun nenek yg jalannya sudah tak tegap lagi. Jarak antara rumah & alun-alun kota sebetulnya tak terlalu jauh. Kami cukup naik transportasi biasa satu kali, tak hingga setengah jam kami sudah hingga.
Begitu hingga di alun-alun kota, nenek langsung mengajakku ke pusat alun-alun, tempat di mana pohon itu berada. Kami berteduh di bawahnya, nenek duduk dgn napasnya yg terdengar ngik-ngik. Kepala nenek menengadah ke atas. Aku pun menirukannya.
”Banyak sekali misteri & kehidupan di atas sana,” gumam nenek.
Lelah menengadahkan kepala, gue pun menunduk. Tampak daun-daun kering acak-acakan di mana-mana, sebagian terinjak-injak oleh kakiku.
”Nek,” gue menjawil lengan nenek.
”Ya?”
”Apakah daun-daun kering yg acak-acakan di bawah ini yakni jasad orang-orang yg sudah mati?”
”Ya, daun-daun itu yakni jasad tilas mereka dr pohon kehidupan.”
”Berarti jasad tilas ayah ada di antara daun-daun kering itu?”
”Mungkin. Tapi nenek kira, kini, jasad ayahmu sudah menyatu kembali dgn tanah.”
”Nek.”
”Ya?”
”Mengapa daun-daun kering itu tak dibersihkan atau dibakar saja.”
”Tak perlu, lambat laun mereka pula akan kembali ke muasalnya, tanah, melebur menjadi tanah. Dari tanah kembali ke tanah.”
Kepalaku kembali menengadah, ”Kalau daun-daun kemuning yg ada di atas sana itu siapa?”
”Mereka yakni orang-orang bau tanah yg masih hidup di kota ini, mereka-mereka yg sudah lama bertengger di atas pohon kehidupan.”
”Apakah mereka akan segera gugur.”
”Tentu saja, Nak. Gugur yakni takdir mereka.”
”Apa Nenek ada di antara salah satu daun kemuning yg ada di atas sana, yg siap gugur itu?”
”Nenek tak tahu. Itu rahasia yg di atas, tak seorang pun berhak tahu.”
Aku terus menengadahkan kepala, mencari-cari di mana letak daun milik nenek, milikku, & pula milik ibu.
”Nek.”
”Ya?”
”Tunas-tunas daun yg tersemat di pucuk pohon itu, niscaya adalah bayi-bayi yg gres lahir di kota ini, ya, kan?”
”Ya. Benar, memang kenapa?”
”Berarti, kini, gue berada di antara daun-daun muda yg bertengger di atas sana?”
”Ya. Tentu saja.”
”Artinya, masa gugurku masih sungguh lama, ya, Nek?”
Nenek mengernyitkan dahi, ”Siapa bilang? Setiap lembar daun kehidupan yg ada di atas sana adalah diam-diam. Tak ada seorang pun yg tahu. Gugur yakni hak semua daun, dr yg kemuning, yg masih segar & hijau, bahkan yg masih tunas pun mampu saja patah & gugur.”
Aku melamun. Mencerna kata-kata nenek.
Sepulang dr alun-alun kota, nenek mengeluhkan kaki tuanya yg keram. Beberapa hari berikutnya nenek terbaring sakit. Ibu menyebut penyakit nenek dgn ’penyakit orang tua’. Musabab itulah ibu tak memarahiku tatkala kukatakan bahwa bahwasanya akulah yg menjadikan nenek sakit. Kian hari penyakit nenek kian parah. Tubuh nenek mati separuh. Tak mampu digerakkan. Nenek berak & buang air kecil pun di tempat. Dengan sabar ibu mengurusinya. Barangkali memang itu kewajiban seorang anak. Tatkala ibu masih bayi, niscaya nenek pula melakukan hal yg sama.
Kian hari badan nenek kian kering. Bahkan ia sudah tak sanggup lagi bicara. Saat itu gue sungguh-sungguh takut. Takut ditinggalkan nenek. Takut kehilangan nenek. Tiba-tiba gue teringat pohon itu. Daun-daun kemuning itu. Tanpa izin ibu, gue beringsut pergi menuju alun-alun kota. Aku berdiri di bawah pohon itu dgn kepala tengadah. Berjaga-jaga jika sewaktu-waktu sebuah daun gugur dr sana. Tapi tidak, detik itu gue tak ingin ada satu daun pun gugur dr sana. Tapi mirip kata nenek, daun-daun di atas sana ialah diam-diam. Tak seorang pun berhak tahu atas rahasia itu.
Berjam-jam gue berdiri di bawah pohon itu. Tak terlihat satu daun pun yg gugur. Nenek hanya sakit tua biasa. Ia akan segera sembuh, bisikku dlm hati. Tatkala gue beranjak pergi meninggalkan pohon itu, tiba-tiba angin berhembus. Sekilas hembus. Beberapa daun dr pohon itu terbang-layang di udara & risikonya rebah di tanah. Aku melongo menyaksikannya, lalu pergi dgn rahasia yg masih mengepul kepala.
Sampai di rumah, tiba-tiba ibu memelukku dgn isakan lirih, ”Nenekmu sudah pergi.”
Bujur badan nenek mengingatkanku pada daun kemuning yg rebah di tanah, di alun-alun kota beberapa dikala lalu.
Seiring usia, masa kecilku hilang dilalap masa. Sebagai dewasa yg bebas, gue pun merantau dr kota ke kota. Satu hal yg kemudian kusadari, setiap kota yg kusinggahi senantiasa mempunyai pohon besar yg tumbuh menjulang di alun-alunnya. Hal itu mengingatkanku pada cerita nenek perihal pohon kehidupan di alun-alun kotaku. Namun, geliat zaman menyulap dongeng itu menjadi cerita picisan yg susah untuk diandalkan.
Setiap insan pasti akan pergi ke muasalnya. Tak ada keterkaitannya dgn pohon & daun-daun. Tapi entahlah, hati kecilku selalu menyampaikan bahwa dongeng nenek itu benar adanya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah setiap pohon yg ada di alun-alun kota ialah pohon kehidupan yg menyimpan belakang layar kehidupan setiap penduduknya? Entahlah, kukira itu pula suatu diam-diam.
Meski hidup dlm rantauan, gue senantiasa pulang ke kota ibu, kota lahirku, paling tak setahun sekali. Setiap idul fitri fitri. Dan benar, setiap tahun, alun-alun kotaku selalu mengalami pergantian. Taman, bangku-kursi, air mancur, bahkan kini di segi-sisi jalan sudah ditanami ruko-ruko berderet. Mulai dr pengamen, pengemis, topeng monyet, pedagang tahu petis keliling, bahkan tante-tante menor, semua tumplek blek di alun-alun kota. Satu-satunya hal yg tak berganti yaitu pohon itu. Pohon itu masih terlihat kokoh dr waktu ke waktu. Setiap gue melihat pohon itu, rol film dlm kepalaku kembali berputar, menayangkan bocah kecil & neneknya yg tengah asyik berbincang ihwal kehidupan di bawahnya.
Tahun berlalu-lalang seperti insan-manusia yg tiba & pergi di alun-alun kota. Kian tahun, pohon itu kian rimbun, penduduk kota kian merebak. Namun entahlah, daun-daun yg bertengger di pohon itu terlihat kusam & menghitam, warna hijau seperti pudar perlahan. Barangkali kian waktu bertambah banyak serangga & hama yg hinggap di sana. Membuat sarang, mencari makan, mencampakkan kotoran & beranak pinak di sana. Aku jadi bertanya-tanya, apakah itu artinya, para insan yg hidup di kota ini pula terserang hama? Entahlah.
Aku tak pernah menyalahkan waktu, tetapi memang banyak sekali hal berganti oleh waktu. Kudengar dr ibu, kini, kota kelahiranku telah jauh berubah. Kian waktu, pepohonan kian habis. Sawah-sawah mulai ditumbuhi rumah-rumah. Tempat ibadah kian melompong. Muda-mudi lebih suka keluyuran ke mal & bioskop-bioskop. Gadis-gadis kini tak sungkan lagi mengenakan busana setengah jadi. Para bujang pun lebih suka bergerombol di pinggir-pinggir jalan ditemani botol, kartu, & gitar. Gadis hamil di luar nikah menjadi kabar biasa. Merentet kemudian, banyak didapatkan bayi-bayi dibuang di jalan. Sengketa & pembunuhan merajalela.
Barangkali orang-orang di kotaku memang sudah terjangkit hama. Seperti daun-daun di pohon kehidupan yg kian kusam di alun-alun kota. Berkali-kali ibu menggumamkan syukur, gue menjadi seorang perantau yg merekam berbagai pohon kehidupan, tanpa melupakan kenangan.
Di zaman yg sudah berubah ini, ruang tak pernah menjadi penghalang. Meski ruang kami berjauhan, setidaknya, setiap sepekan sekali, gue & ibu saling bertukar kabar, bersilang doa.
”Kian waktu, dunia kian renta, Nak, mirip pula ibumu. Dari itu, pandai-pandailah kau-sekalian menempatkan diri,” begitu pesan yang tersirat ibu yg terakhir yg sempat kurekam. ”Kian waktu, daun-daun itu pun akan luruh satu per satu & habis. Suatu saat nanti, akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dr akarnya. Semua sudah tercatat & tersimpan rapi dlm perkamen rahasia yg tergulung di atas sana.
”Kita cuma manusia yg naif & ringkih, yg tak tahu apa-apa. Satu-satunya hal yg bisa kita lakukan ialah berjaga-jaga jika sewaktu-waktu nanti pohon kehidupan melepaskan kita dr tangkainya,” Ibu membisikkan hikmah-nasihat itu dgn bunyi serak. Tiba-tiba gue teringat kerutan yg berombak di dahinya, pula rambutnya yg mulai pecah memutih.
Terbayang dlm kepalaku bahwa kini, mungkin, daun ibu telah menguning & siap luruh. Tiba-tiba gue ingin pulang, kembali terlelap dlm pangkuan ibu yg hangat. Namun, sebelum langkahku sampai di tanah lahir, sudah kudengar kabar bahwa tragedi besar telah melanda kotaku. Merebahkan seluruh kota setara dgn tanah. Ada yg mengatakan, peristiwa yg menimpa kota itu yaitu suatu cobaan. Ada pula yg mengartikan tragedi itu sebagai perayaan. Namun, pula tidak sedikit yg mengemukakan bahwa peristiwa itu merupakan azab. Entahlah.
Ketika gue kembali ke kota itu, yg kutemui hanya kota yg mati. Dengan sisa-sisa kenangan, gue merelakan ibu, merelakan kotaku, merelakan tilas masa kecilku. Bersama air mata, semua kularung ke udara.
Aku merangkak mendatangi alun-alun kota yg sudah porak poranda. Dari kejauhan, pohon itu masih terlihat menjulang meski compang-camping. Di bawah pohon itu, tubuhku gemetar memandangi satu-satunya daun yg masih bertengger di sana.
”Suatu dikala nanti akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dr akarnya. Semua sudah tercatat & tersimpan rapi dlm perkamen diam-diam yg tergulung di atas sana,” kata-kata ibu kembali mengiang di telinga.