close

Sogok | Cerpen Yuditeha


SEDARI tadi gue melamun di teras, resah menimbang-nimbang Kandar, anakku semata wayang. ia ingin jadi polisi, namun gue tak setuju. Bukan semata dana, tetapi ada satu hal yg membuatku ragu. Sebenarnya gue tak tega merusak semangatnya. Aku jadi ingat istriku yg telah meninggal tatkala Kandar SMP. Andai ia masih ada, pasti kami mampu membicarakannya bersama.

Meski tubuh istriku kecil tetapi ia sudah mempersembahkan seorang putra berbadan tinggi & besar. Tapi gue rasa ada yg gila pada diri Kandar. Keanehan itulah yg jadi alasanku tak oke dgn keinginannya. Meski Kandar laki-laki, tapi perilakunya sangat lembut, mirip perilaku wanita.

Mungkin pendapatku itu terpengaruh Bapak. Sebenarnya dulu gue pula ingin jadi polisi, & tatkala kuutarakan keinginanku, impulsif Bapak murka. Katanya jadi polisi tak mudah, & katanya pula polisi bukan tipeku. Jangankan jadi polisi, untuk jadi lelaki saja, katanya gue terlalu alim. Selain itu, berdasarkan Bapak, untuk jadi polisi, otak encer saja tak cukup, alasannya adalah sekolah polisi tak akan menerima orang alim, terlebih yg kere. Jikapun ada, katanya seribu satu.

Kata Bapak, sekolah polisi yakni kawasan penampungan anak durjana yg dididik jadi polisi. Bahkan gali sekalipun mampu jadi polisi asal punya uang. Bapak pula sering menyebut bahwa polisi itu gali yg disragami. Waktu itu gue tak kuasa melawan pertimbangan Bapak. Jika pernyataan Bapak benar, lalu bagaimana gue bilang pada Kandar? Oleh Bapak, gue saja dianggap kurang laki, kemudian bagaimana dgn Kandar yg lembut begitu?

“Ya ampun Ayah masih di sini.” Kandar menyadarkanku. “Ayah mikirin apa sih?” tanyanya kemudian.

  Sampan Zulaiha | Cerpen Hasan Al Banna

“Ayah ingat ibumu,” jawabku singkat.

“Ayah jangan bohong deh. Kandar ngerasa, Ayah jadi membisu semenjak Kandar bilang mau jadi polisi. Ada apa, Yah? Ngomong saja. Anakmu ini sangat demokratis kok. Apa Ayah pikir Kandar tak layak jadi polisi, alasannya Kandar terlalu lembut? Karena Kandar mirip perempuan, gitu?” Bicara Kandar memberondong, & gue belum berani menanggapinya.

Kadar melanjutkan bicara. ia bilang apa yg ia pikir justru sebaliknya dr apa yg ia tanyakan. Kandar menganggap, dirinya cocok jadi polisi. Syarat untuk menjadi polisi semua ada padanya. Fisiknya murni, belum teracuni virus dunia, bahkan ngrokok saja tidak. Tentang akademik, ia senantiasa masuk tiga besar di sekolahnya. Tentang kedisiplinan, ia tak pernah lalai peran rumah & sekolah. Ketaatan, ia nyaris tak pernah melanggar hukum. Dan wacana kepatuhan, ia tak pernah menentang hikmah guru & orangtua. Terakhir ihwal dirinya, ia menyampaikan bahwa ia betul-betul laki-laki tulen. “Ayah ingin bukti? Oke. Tapi tak sekarang, dong,” lanjutnya.

Mendengar semua perkataan Kandar justru makin membungkam mulutku.

“Ayah kok membisu? Bicara dong, Yah!”

Sesungguhnya apa yg ia katakan seluruhnya memang benar. Kupikir ia memang pantas jadi polisi. Baiklah, gue menyetujuinya. Coba kalau sekolah polisi tak pakai duit sogok gue yakin ia niscaya bisa diterima. Tapi zaman kini duit memang semuanya.

“Ayah sudah tak galau lagi. Kamu benar, kita tak boleh mengalah. Kamu memang mesti jadi polisi. Meski mesti dgn uang sogok sekalipun, Ayah akan lakukan.”

“Gimana, Yah?” tanya Kandar kaget.

“Ayah akan memasarkan sebagian tanah kita. Kamu mesti diterima. Biar sekolah polisi tak sekadar diisi anak-anak brandal.”

“Makara kita nyogok?” tanya Kandar. (*)