Selanjutnya, secara kelembagaan dimulai dengan berdirinya PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991 yang beroperasi penuh pada tahun 1992 selaku satu- satunya bank saat itu yang secara murni menerapkan prinsip-prinsip syariah berupa prinsip bagi hasil dalam melakukan aktivitas usahanya. Ketika krisis berlangsung secara kasatmata, Bank Muamalat Indonesia ialah salah satu bank yang sehat, disebabkan sebab memiliki CAR (Capital Adequacy Ratio) pada klasifikasi A (4% keatas) sehingga bank ini cuma diwajibkan untuk menyusun planning bisnis.
Perbankan Syariah makin berkembang sehabis dikeluarkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Dalam undang-undang ini, Bank dibagi menjadi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). UU ini secara eksplisit juga mengijinkan bank untuk menjalankan operasional usahanya sesuai prinsip bagi hasil (Pasal 1 ayat 12, Pasal 6 huruf m serta Pasal 13 aksara c). Hal tersebut kemudian dipertegas dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 wacana Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Kemudian Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) yang beromor No. 25/4/BPPP tanggal 29 Februari 1993. Dalam surat tersebut menegaskan 4 hal yaitu:
- Bank menurut bagi hasil yakni bank umum dan bank perkreditan rakyat yang melakukan usaha semata-mata sesuai prinsip bagi hasil.
- Prinsip bagi hasil yang dimaksud yakni prinsip bagi hasil menurut syariah.
- Bank menurut prinsip bagi hasil diwajibkan memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS).
- Bank Umum maupun BPR yang kegiatan operasional usahanya cuma menurut prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan usaha yang tidak sesuai prinsip bagi hasil.
Berdasarkan kondisi undang-undang perihal perbankan syariah yang dipakai ketika itu yaitu UU No. 7 tahun 1992 dinilai belumlah menunjukkan tunjangan aturan yang besar lengan berkuasa kepada berkembangnya Perbankan Syariah di Indonesia, mengingat belum ada ketegasan pemberlakuan prinsip syariah. Penggunaan perumpamaan bagi hasil dalam perundang-permintaan pada ketika itu belum meliputi secara tepat pemahaman Perbankan Syariah yang mempunyai cakupan lebih luas. Oleh sebab argumentasi tersebut, melalui lembaran negara Republik Indonesia No. 182 tanggal 10 November tahun 1998 disahkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 ihwal Perbankan yang berisi pergantian UU No.7 Tahun 1992 perihal Perbankan, ini menyertakan pasal menyangkut Bank Syariah, memperbesar sejumlah pasal menyangkut perbankan syariah, mengenalkan prinsip-prinsip syariah serta memperkenalkan beberapa prinsip seperti mudharabah, murabahah, musyarakah, dan ijarah (Pasal 1).
Ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 1998 ini memberikan awal dimulainya masa metode perbankan ganda (dual banking system) yang sangat diperlukan akan mempercepat laju pertumbuhan Perbankan Syariah di negara kita. Dalam periode ini, bagi Bank Umum Konvensional mampu memberikan pelayanan syariah melalui pembentukan UUS. Sementara untuk BPR cuma boleh menunjukkan pelayanan konvensional atau berdasarkan syariah.
Setelah mengalami perjalanan yang panjang, Undang-Undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah lalu disahkan pada tanggal 16 Juli 2008 yang berisikan 13 bab serta 70 pasal. Secara garis besar, undang undang ini menunjukkan kepastian aturan bagi Bank Syariah di Indonesia, penyebutan ungkapan “syariah” memperlihatkan identitas yang jelas untuk Bank Syariah dan bertanggung jawab secara syariah (shariah complience), Disamping itu melakukan fungsi sosial dan juga menyebutkan adanya derma bagi konversi serta adanya pergeseran bank konvensional menjadi Bank Syariah dan bukan sebaliknya.
Demikian runutan perkembangan undang-undang wacana perbankan syariah di Indonesia. Untuk lebih jauh meningkatkan pengetahuan, dapat dibaca pula sejarah bank syariah di Indonesia di blog ini tergolong pemahaman bank syariah dan fungsi bank syariah.
.