Perkembangan Mazhab Syiah Pada Kala Dinasti Safawiyah

Perkembangan Mazhab Syiah Pada Masa Dinasti Safawiyah, thecustodiansin.files.wordpress.com
BAB II
PEMBAHASAN

A. Syiah yang Dianut Pada Masa Dinasti Shafawiyah
Pada kurun dinasti Shafawiyah, Syiah Itsna Asy’ariyah ditetapkan sebagai mazhab resmi negara. Syi’ah Itsna Asy’ariyah atau Syi’ah dua belas Imam yakni cabang dari anutan Syi’ah yang memiliki pengikut terbanyak. Mereka yang mengikuti ajaran yang disebut selaku Syiah Imamiyah ini mempercayai bahwa mereka memiliki 12 orang pemimpin, yang pemimpin pertamanya yaitu Imam Ali ra. dan pemimpin terakhir mereka ialah Imam Mahdi Al-Muntazhar (Imam Mahdi yang ditunggu), seorang Imam yang muncul dan lalu menghilang. Para pengikut Itsna Asyariyyah percaya bahwa Imam Mahdi akan kembali untuk menghadapi dajjal dan akan membangun pemerintahan Islam.
Menurut kepercayaan Syi’ah Dua belas, kepercayaan imamah sebagai bab aliran pokok Syi’ah Dua belas. Mereka meyakini bahwa setiap umat yang hidup di wajah bumi harus dipimpin oleh seorang imam. Imam adalah pemimpin setengah tuhan yang kharismatik, selaku mediator insan dan Tuhan. Imam menurut ajaran Syi’ah Dua belas selain mempunyai kemampuan wasayah (pemegang otorisasi wasiat agama) dan walayah (pemegang otiorisasi kekuasaan temporal). Selain itu, imam juga mempuyai sifat ’ismah, nubuwwah, dan ’yaitu. Namun karena para pemimpin Tarekat Syafawi bukan termasuk keturunan Imam Ali Ibn Abi Thalib, berarti mereka pun tidak mempunyai kemampuan dan sifat-sifat sebagaimana para imam (12 imam Syi’ah); dan oleh karenya mereka merasa dan meyakini selaku ”pengganti Imam Gaib berjulukan al-Mahdi al-Muntazar” (nuwab al-imam).
Syi‘ah Imamiyah atau Itsna ‘Asyariyah yaitu aliran Syi‘ah yang mengakui eksistensi dua belas orang imam yang berhak memimpin seluruh penduduk muslim. Kedua belas imam tersebut dimulai dari ‘Alî ibn Abî Thalib selaku akseptor wasiat dari Nabi Muhammad SAW. melalui nash. Para peserta wasiat (al-awshiyâ) sesudah ‘Alî adalah keturunan Fathimah, ialah Hasan lalu Husein, selanjutnya ‘Alî Zain al-‘Abidîn, Muhammad al-Bâqir, Ja’far al-Shiddiq ibn Muhammad al-Baqîr, Mûsa al-Kazhim, ‘Alî alRidha, Muhammad al-Jawad, ‘Alî al-Hadî, Hasan al-‘Askarî, dan anaknya, Muhammad, sebagai imam yang kedua belas. 
B. Perkembangan Mazhab Syiah Pada Masa Dinasti Shafawiyah
Pada pertengahan  tahun 1501 M Ismail I dinobatkan selaku syah Iran sekaligus memproklamirkan  berdirinya Dinasti Shafawiyah dengan Tabriz selaku ibu kotanya. Dia juga memutuskan Syi’ah Itsna Asy’ariyah sebagai mazhab resmi negara. Penetapan Syi’ah sebagai mazhab resmi negara dilakukannya dalam sebuah khutbah sholat jumat pada 1501 M. masyarakat iran yang mulanya bermazhab Sunni mesti berpindah menjadi pengikut Syi’ah. 
Ismail I menyuruh seluruh rakyatnya untuk menganut Syi’ah “ saya mendapat mandat untuk melaksanakan ini dan bahwasanya Allah SWT dan imam-imamnya yang maksum bersamaku dalam hal ini. Aku tidak takut dengan siapa saja, maka bila saya peroleh orang yang menentangku, niscaya akan kupenggal lehernya”. Ismail I tidak segan menganiaya, memenjarakan dan mengeksekusi Sunni yang keras kepala. 
 Ismail I memaksa rakyatnya untuk menganut Syi’ah, dia mengaku sebagai “bayangan ilahi di paras bumi”.  Syi’ah setuju perihal maslah imam yang harus sampai pada generasi kedua belas dari Ali, namun imam yang kedua belas hilang ketika beliau masih kecil. Orang Syi’ah mempercayai bahwa imam kedua belas tidak meninggal tetapi masuk ke dalam “keghaiban” (imam ghaib). Berdasarkan hal tersebut Syah Ismail I mengaku selaku imam ghaib. 
Dalam rangka menimbulkan seluruh masyarakatDinasti Shafawiyah bermazhab Syi’ah, Ismail I menyebarkan fatwa syiah sampai ke seluruh Persia. Syah Ismail menerima sambutan baik dari ulama Syi’ah di Tibriz, kemudian beliau memutuskan kota Rayy, Kasyan, Khuraan, dan Kota Qum selaku sentra penyebaran pedoman Syi’ah. Syah Ismail lalu menghadirkan beberapa ulama Syi’ah dari Syiria, Bahrain, Ardabil utara, Irak, dan Jabal Amin, Lebanon. Para ulama yang didatangkan oleh Syah Ismail I diberi tanggung jawab untuk berbagi pedoman Syi’ah dan mengorganisir sekolah, madrasah, dan peradilan.
Ismail I menegakkan ritual dan kutukan wajib bagi tiga Khalifah Sunni pertama (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) selaku perampas. Membubarkan Tariqah Sunni dan menyita aset mereka. Dia juga menghancurkan masjid-masjid Sunni.  Pada 1501 ismail I mengundang semua warga Syi’ah yang tinggal di luar Iran untuk datang ke Iran dan diyakinkan akan mendapat pelindungan dari secara umum dikuasai Sunni. Ismail I membekali pasukan militernya dengan pokok-pokok pemikiran Syi’ah, yang menciptakan para tentara Shafawiyah mejadi fanatic dengan paham yang dianut.
Bukan hal gampang bagi Ismail I untuk mengajak rakyat Iran beralih dari Sunni menjadi Syi’ah. Ismail I juga tak segan membunuh dan melaksanakan tindak kekerasan kepada penganut sunni. Di Baghdad dan Herat, Ismail membunuh secara kejam para ulama dan sastrawan Sunni yang menolak Syi’ah.
Syah  ismail I juga memerintahkan pengikutnya yang ada di Anatolia untuk mengembangkan pedoman Syi’ah. Para pengikut Ismail I melaksanakan pemaksaan pada penduduk kawasan Anatolia untuk menganut mazhab Syi’ah. Bagi penduduk yang tidak mengikuti perintah tersebut akan di ratakan dengan tanah. Banyak sekali wanita dan anak-anak yang dibantai. Hal tersebut memicu pertempuran dengan Turki Utsmani, alasannya adalah Anatolia masih tergolong dalam wilayah kekuasaan Turki Utsmani. 
Dalam memperkuat fatwa Syi’ah pada kala Dinasti Shafawiyah, para Syah mengadakan ritual kegamaan. Diselenggarakannya Tazieh, yaitu sutu pertunjunkkan yang menceritakan kembali insiden kesyahidan Hussein di Karbala . Tazieh ini dilaksanakan pada hari kesepuluh bulan Muharrram. Hari itu menjadi pusat seremonial cerita Hussein yang memilikan hati. Dengan mendengar kisah itu penduduk dapat mengerti jelas kesyahidan Hussein. Saat itu masyarakat sungguh-sungguh berkabung dan memukuli dirinya sendiri. Mereka merasa sakit sebagaimana yang dirasakan Hussein ketika itu. Rangkaian acar yang mendukung program tersebut meliputi, arak-arakan era, pertunjukkan, pidato, pembacaan syair-syair ratapan yang melambangkan rasa berkabung dan bersalah atas kematian Hussein. Pemerintan sungguh bergairah dalam menyelenggarakan program itu, sampai mengalokasikan dana khusus.
Ada juga ritual langsung seorang syah selaku keturunan imam ketujuh, dan inkarnasi dari sang imam tersembunyi. Bentuk ritualnya ialah dengan pemujaan terhadap para leluhur Shafawiyah di Ardabil dan mendatangi kawasan-kawasan keramat. Syah Abbas I selalu mengunjungi makam para leluhurnya sebelum berperang dan mengadakan ziarah (pilgrim) dengan berjalan kaki dari Isfahan hingga Masyhad yang memakan waktu 28 hari. 
Di bawah pimpinan Tahmasp I dinasti Shafawiyah menjalin relasi dengan kekaisaran Ottoman melalui perdamaian Amasya. Dengan perjanjian tersebut, Armenia dan Georgia terbagi rata. Kekaisaran Ottoman mendapatkan sebagian besar Irak tergolong Baghdad, yang member mereka susukan ke teluk Persia. Sementara Shafawiyah menjaga bekas ibu kota mereka Tabriz dan semua wilayah barat laut dan semua wilayah barat maritim yang lain di Kaukasus (Degestan, Azebaijjan). Utsmani lebih lanjut memberikan izin bagi peziarah Persia untuk pergi ke tempattempat suci Mekah dan Madinah serta ke situs ziarah Syi’ah di Irak. 
Pemerintahan Ismail II ditandai dengan kebijakan pro-Sunni. Ismail II berupaya untuk membalikkan praktek anti Sunni di kelompok masyarakat. Lebih khusus lagi ia berupaya menghentikan pencemaran nama baik Aisyah di depan umum dan ritual mengutuk Abu Bakar, Umar dan Utsman. Yang utama  ialah beliau berusaha mematuhi salah satu permintaan Ottoman dari perdamaian Amasya. 
Shiisme tidak sepenuhnya mapan hingga era pemerintahan Abbas I. Abbas tidak senang Sunni, dan memaksa masyarakatuntuk menerima Syi’ah dua belas. Pada 1602 sebagian besar Sunni Iran telah menerima Syi’ah. Namun sebagian besar tidak mendapatkan hukum Shafawi, mendorong Abbas untuk melembagakan sejumlah perubahan administrative untuk mengubah Iran menjadi negara Syi’ah dua  belas. Abbas I pada kurun pemerintahannya juga mengimpor lebih banyak ulama Syi’ah Arab ke Iran, membangun Institusi keagamaan untuk mereka, tergolong madrasah dan berhasil membujuk mereka untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Dibahwah bimbingan Muhammad Baqir Majlisi (1616-1698) salah satu ulama Syi’ah paling penting sepanjang periode, yang mengabdikan dirinya untuk pemberantasan Sunni di Iran, Dinasti Shafawiyah melakukan upaya besar pada abad ke-17 untuk memfasilitasi penyebaran Syi’ah di Iran di antara penduduk Sunni. Di bawah Majlisi inilah Islam Syi’ah sungguh-sungguh menguasai massa. 
Pada abad pemerintahan Syah Husain ada banyak kerusuhan agama dan pemberontakan yang bermotif agama. Kerusuhan agama dan pemberontakan terutama dipicu oleh penganiayaan kepada kaum Sunni. Husain berupaya secara paksa mengganti rakyat Afghanistan dari sunni ke syi’ah.
Para penguasa Dinasti Shafawiyah juga memanggil para sarjana agama Syi’ah asing ke pengadilan mereka untuk memberikan legitimasi bagi kekuasaan mereka sendiri atas Persia. Sejak Dinasti Shafawiyah bangun dengan Syah pertamanya Ismail I yang memutuskan Syi’ah selaku mazhab resmi negara. Ismail I telah berupaya dengan segala cara untuk memaksakan mazhab Syi’ah pada masyarakatShafawiyah yang lebih banyak didominasi Sunni. Usaha Syah Ismail I ini diteruskan oleh para penerusnya. Mereka tetap gencar membuatkan mazhab Syi’ah sampai tamat kekuasaan Dinasti Shafawiyah. Mazhab Syi’ah lalu menjadi mazhab yang lebih banyak didominasi dianut oleh penduduk Dinasti Shafawiyah.