Peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup yang pertama kali dikontrol yakni perihal Perikanan Mutiara dan Perikananan Bunga Karang (Stbl 1916 No 157). Menyusul lalu dengan mendasarkan pada ketentuan Hinder Ordonantie (HO) selaku hukum warisan kolonial/penjajahan Belanda yang diadopsi menurut Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 dimana ketentuan Hinder Ordonantie (HO) yang berorientasi pada larangan dengan tanpa ijin menciptakan acara yang menjadikan ancaman , kerusakan dan gangguan kepada lingkungan yang diakibatkan adanya kegiatan dimana para pemrakarsa kegiatan diharuskan mendapatkan ijin acara utamanya adanya persetujuan tetangga untuk melakukan aktivitas. Konsekuensinya yaitu bahwa pemrakarsa tidak mampu melakukan kegiatannya, jikalau dalam kegiatannya menimbulkan bahaya/gangguan dan pencemaran lingkungan, akan namun dalam kenyataannya masalah perijinan Hinder Ordonantie (HO) ini hanya digunakan sebagai prosedur saja oleh Pemeritah Daerah Kabupaten/Kota, karena ia tidak mempunyai struktur untuk menangani dilema lingkungan hidup sebagaimana diinginkan oleh politik aturan global yang meningkat dikala ini. Prosedur Hinder Ordonantie (HO) ini tidak menyangkut tentang dilema kesepakatan lingkungan, ia cuma memprioritaskan persetujuan tetangga. Proses lainnya yang bersinggungan dengan lingkungan masih tidak dituntaskan.
Hasil konferensi berupa :
a. deklarasi tentang lingkungan hidup manusia yang terdiri dari Preamble dan 26 azas yang umum disebut dengan Stockholm Declaration.
b. action plan lingkungan hidup.
c. usulan wacana kelembagaan dan keuangan yang menunjang pelaksanaan Action Plan tersebut.
d. memutuskan tanggal 5 Juni selaku Hari Lingkungan Hidup. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1972, perihal Pembentukan Panitia Interdepartemental yang disebut : Panitia Perumus dan Rencana Kerja bagi Pemerintah di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup. Panitia ini berhasil merumuskan acara pembangunan lingkungan hidup, kemudian dituangkan dalam Ketetapan MPR No. IV Tahun 1973, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara ( GBHN 1973 – 1978 ) dalam BAB III, bagian B ayat 10, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut lewat Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 1974 wacana REPELITA II, bab 4 perihal pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Panitia Perumus terus bekerja dan berusaha agar mampu berbagi diri serta mampu membuat konsep yang terperinci dalam rangka penanganan problem lingkungan. Adanya dorongan berpengaruh pembenahan dilema lingkungan secara konsepsional di Indonesia ialah adanya perkara pencemaran lingkungan yang terjadi pada ketika itu dan bisa dijadikan sandaran bagi panitia perumus untuk membuat rancangan secara kasatmata. Yaitu adanya kasus pencemaran lingkungan laut akhir kecelakaan kapal tanker raksasa “ Show Maru “ di perairan Karang “Buffalo Rocks” yang terletak kurang lebih 3 km dari pelabuhan Singapura yang mengakibatkan duduk perkara yang besar bagi pemerintah Singapura dan Indonesia dalam hal penyelesaian lewat hukum dan tuntutan ganti rugi. Hal ini di karenakan Indonesia belum memiliki undang-undang penanggulangan kerusakan lingkungan hidup dan belum diratifikasikannya konvensi-konvensi International mengenai hal tersebut.
Dalam rangka pelatihan aparatur pengelolaan lingkungan hidup maka pada tahun 1978 telah diangkat untuk pertama kali dalam kabinet, yaitu dalam Kabinet Pembangunan III (1978-1983), seorang Menteri yang mengkoordinasikan aparatur pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yaitu Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH), selaku menteri pertama yang menanggulangi dilema lingkungan hidup adalah Prof. Dr. Emil Salim, yang menjabat hingga 3 kali masa. Baru pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998) sudah diangkat Sarwono Kusumaatmadja selaku Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet Pembangunan VII (1998 – 1998) telah diangkat Yuwono Sudarsono Sebagai Menteri Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet Reformasi Pembangunan ( 1998 – 1999 ) telah diangkat dr. Panangian Siregar selaku Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet Persatuan ( 1999 – 2001) selaku Menteri Alexander Sony Keraf. Dalam Kabinet Gotong Royong (2001 – 2004 ) sebagai MenteriNabiel Makarim. Dalam Kabinet Indonesia Bersatu I selaku Menteri Lingkungan Hidup Rachmad Witular dan pada Kabinet Indonesia Bersatu II diangkat selaku Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta. Sehingga mampu dijumlah menteri lingkungan hidup mulai pertama sampai sekarang sudah dijabat oleh 8 orang yang menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup.
Dengan peran khususnya menyiapkan perumusan kebijakan Pemerintah tentang segala sesuatu yang bersangkutan dengan tugas pelaksanaan pengawasan pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup serta mengkoordinasi dan menanggulangi segala kegiatan pengelolaan, pengembangan dan pinjaman lingkungan hidup. Pada 1978 Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup mulai mempunyai ide untuk membuat rangcangan undang-undang perihal pengelolaan lingkungan hidup. Dibentuklah Tim Kerja yang khusus mempersiapkan konsep peraturan perundang lingkungan hidup. Atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat maka pada tanggal 11 Maret 1982, lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 (UULH Th. 1982) perihal Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup. Dengan demikian terbukalah lembaran gres bagi kebijaksanaan lingkungan hidup di Indonesia menuju pembangunan hukum lingkungan berdasarkan prinsip-prinsip hukum lingkungan terbaru yang diakui secara international.
Situasi politik hukum yang tengah berjalan secara global sungguh menghipnotis terbentuknya UULH Nomor 4 Tahun 1982, karena ketika itu Pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya menawarkan investasi penanaman modal bagi investor gila, sementara konsep lingkungan dalam konsep lingkungan global sedang dibahas. Oleh alasannya adalah itu Indonesia menunjukkan desain pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah kesejajaran antara pembangunan dan pengelolaan lingkungan. Pembangunan boleh mampu terus berlangsung dengan segala dinamika dan masalahnya, akan tetapi pembanguan tersebut dilarang mengakibatkan rusaknya daya dukung lingkungan demi generasi abad depan. Kita tidak butuhmempertentangkan antara lingkungan dan pembangunan. Dalam TAP MPR : NO II/MPR/1993 tentan GBHN yan antara lain memilih pemanfaatan sumber daya alam bagi kenaikan kemakmuran rakyat, sudah diupayakan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan keseimbangan dan keserasian fungsi lingkungan hidup serta selalu memperhatikan prinsip-prinsip pembanguna yang berkesinambungan demi untuk kepentingan generasi yang mau datang. Inimerupakan janji politik dari pihak penguasa ihwal bagaimana kita menanggapi masalah lingkungan. Hal ini menyebabkan implikasi bahwa semua acara pembangunan mesti menunjukkan jaminan bahwa pembangunan tersebut tidak akan menghancurkan lingkungan dan dengan demikian pembanguan yang dilaksanakan mesti berwawasan lingkungan.
b. pengetahuan perihal korelasi insan dengan lingkungan hidup.
Sumber : Catatat Materi Kuliah (Rangkuman)