Penurunan Kepercayaan Masyarakat Terhadap Hukum dan Keadilan Dalam Penyelesaian Masalah Agraria di Indonesia
(M. Rizal.Santoso)
Menurut KBBI aturan ialah peraturan atau akhlak yang secara resmi dianggap mengikat, yang di kukuhkan oleh penguasa atau pemerintah dengan undang-undang peraturan dan sebagainya untuk menertibkan kehidupan masyarakat atau standar kaidah perihal pristiwa tertentu, dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa hukum bertujuan untuk membuat sebuah keteraturan dalam masyarakat, dimana dalam keteraturan tersebut mengutamakan aspek santunan individu-individu kepada tindakan yang merugikan, lalu dari pernyataan tersebut dapat di tarik garis bahwa bekerjsama hukum bertujuan untuk mewujudkan keadilan yang akan menuntun keteraturan dalam relasi antar individu atau golongan di sebuah penduduk . Pendapat tersebut sejalan dengan pengertian aturan berdasarkan Sunaryati Hatono, Menurutnya hukum tidak menyangkut kehidupan pribadi seseorang dalam sebuah penduduk , tetapi kalau menyangkut dan mengatur banyak sekali acara insan dalam keterkaitannya dengan insan lainnya, dengan kata lain hukum adalah menertibkan banyak sekali kegiatan insan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Sedangkan secara sosiologis, hukum termasuk suatu norma sosial yang memliki tingkatan yang paling besar lengan berkuasa diatas norma kesusilaan dan norma agama, sehingga mampu memaksa individu untuk menaati hukum yang berlaku dalam masyarakat secara eksklusif, pandangan serupa juga di kemukakan oleh seorang emile durkheim, dimana dalam pemikirannya mengemukakan bahwa hukum yaitu sebuah fakta sosil atau yang secara sederhana mampu di pahami selaku sesuatu yang mendasari seorang individu bertingkah laku dalam penduduk dan bersifat memaksa. Hukum yang resmi berlaku intinya yakni bentuk tamat dari sebuah norma dan nilai yang dalam perosesnya mengalami persinggungan dengan kondisi sosial dan lalu dianggap menjadi suatu hal yang penting untuk di resmikan dalam sebuah undang undang yang berusaha mencegah sebuah kesemrawutan sosial ataupun merugikan individu sebagai subjeck aturan.
Akantetapi aturan yang pada mulanya bermaksud untuk menertibkan dan membuat sebuah kondisi yang adil dalam penduduk remaja ini telah di kotori oleh oknum yang membuat hukum bergeser dari tujuan mulanya sebagai sebuah alat untuk meraih keadilan menjadi tidak lagi adil untuk masyarakat itu sendiri, mirip halnya sentilan yang kita sering dengar bahwa aturan yang berlaku, kususnya indonesia yakni aturan yang bagaikan mata pisau yang lebih tajam ke bawah dan tumpul keatas, padahal sebaiknya aturan memiliki kedudukan tertinggi yang tidak di kendalikan atau di batasi ruang geraknya oleh penguasa atau pemerintah dalam kala tertentu. Seperti apa yang di kemukakan Karl Marx bahwa “Masyarakat selalu berubah, eksistensi aturan harus mengabdi kepada kepentingan rakyat untuk menekan kaum borjuis” . Akantetapi keadaan yang terjadi justru kebalikan dari kondisi tersebut, sebagaimisalnya yakni contoh perkara yang terkenal sementara waktu kemudian menegenai seorang nenek yang dianggap mencuri kakao di timpa dengan eksekusi kurungan, ataupun kasus panjang mengenai reforma agraria yang masih merugikan banyak rakyat,
Kondisi-keadaan tersebut kemudian menciptakan tingkat iktikad masyarakat terhadap hukum terus mengalami penurunan, lembaga hukum hanya di pandang sebagai suatu institusi yang di hindari oleh rakyat menengah ke bawah dan di pandang sebelah mata oleh golongan atas yang menganggap aturan di indonesia yaitu hukum yang seperti cabe di pasar tradisional karena mampu di tawar. Penurunan iman ini tampak terlihat terang pada hasil survey yang di lakukan oleh Lembaga Survei Indonesia yang menempatkan tingkat ketidak percayaan publik terhadap penegakan aturan ketika ini berada pada angka 56 persen dan cuma 29,8 persen yang menyatakan puas, bila dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya hanya 22,6 persen yang menyampaikan penegakan hukum di periode pemerintahan sekarang ini lebih baik dari pemerintahan sebelumnya. Dalam abad waktu 3 tahun terakhir prosentase tingkat ketidak puasan masyarakat kepada penegakan aturan di negri ini terus mengalami kenaikan yang cukup signivikan, Januari 2010, 37,4 persen, Oktober 2010 41,2, September 2011, 50,3 persen, Oktober 2012, 50,3 dan yang terakhir April 2013, sungguh mengejutkan meraih 56,0 persen. Dan yang paling mencengangkan ternyata penduduk di desa justru tingkat ketidakpuasannya mencapai pada angka 61,1 persen sementara di kota mencapai 48,6 persen[1]. Hal tersebut mengambarkan bahwa ada yang salah mengenai hukum yang seharusnya menjadi suatu pengatur keteraturan sosial, akantetapi masyarakat itu sendiri menjadi tidak percaya dengan aturan tersebut, penurunan doktrin yang sungguh besar terjadi di desa bukan tanpa alasan, masyarakat desa yang sering terdiskriminasioleh penguasa dan kapitalisme dengan metode aturan menjadi tidak percaya dengan unsur keadilan dalam hukum itu sendiri, masalah yang sering terjadi yakni dilema dalam bidang agraria, perampasan lahan acap kali terjadi di pedesaan, lahan yang telah di tempati selama beratus taun bahkan sebelum indonesia merdeka kemudian datang-datang di claim oleh kalangan penguasa atau pemilik modal yang mengaku memiliki akta kepemilikan, hal tersebut tentunya menjadi suatu masalah yang sungguh biasa terjadi di indonesia, pola di pulau jawa ialah salahsatunya di Desa Darmakeradenan Ajibarang. Kebumen, Rembang, pasuruan. Dan masih banyak lagi, jumlahnya yang sungguh banyak dan pelik membuat masalah agraria tersebut menjadi masalah yang sangat umum dan umumnya menyangkut hidup orang banyak , mulai dari beberapa rumah, suku, desa, bahkan beberapa kecamatan. Jalan yang biasanya di tempul oleh rakyat adalah melaksanakan pemblokiran susukan dan perlawanan yang bersifat pemberontakan fisik, alasannya adalah mereka senantiasa kalah dalam pengadilan negara..
Yang menjadi ironi dari pristiwa tersebut yaitu dikala negara selaku forum yang berwenang membuat rasa aman kepada warga negaranya justru menjadi bintang film dari masalah agraria tersebut, salahsatu contohnya adalah permasalahan pabrik semen dan pltu di beberapa kota di pulau jawa. Seperti yang kita ketahui, pertentangan vertikal tentusaja dengan mudah dimenangkan oleh negara sebagi lembaga yang mayoritas membuat regulasi dan mengendalikan lembaga peradilan tersebut. Hal tersebut dirasa menjadi faktor dominan yang mengakibatkan penurunan penduduk atas solusi hukum dimasyarakat. Selain dari penurunan alasannya adalah faktor tersebut faktor lain yang memengaruhi diantaranya yaitu kultur kebudayaan tempat jawa kususnya yang cenderung menyimpan pertentangan, sehingga bila pertentangan di angkat kepermukaan dianggap sebagi kekacauan sosial yang juga merupakan aib yang mesti di hindari, masalah tersebut tentunya menjadi aspek lain yang menimbulkan kesulitanyya proses propaganda dan agitasi untuk menciptakan suatu kesadaran di tengah masyarakat bahwa mereka tengah mengalami penindasan oleh negara.