Pengintai | Cerpen Mashdar Zainal



PENGINTAI itu terus mengikutinya. Semenjak ia pulang dr rumah sakit. Ia bermalam selama seminggu di sal mawar, kamar VIP, alasannya adalah darah tingginya kumat. Pada malam pungkasan dia bermalam, malam sesudah dokter menyatakan bahwa besok dia boleh pulang, dia menyaksikan pengintai itu untuk pertama kalinya. Seorang lelaki bongsor & jangkung, dgn wajah kurang jelas. Ia selalu mengenakan busana berwarna hitam, kadang, jas, kadang jubah. & kadang kaus oblong kedodoran, warna hitam.

Ia menyaksikan pengintai itu pertama kali ketika dini hari, selepas ia di kamar mandi. Tatkala itu, beliau mencicipi suasana yg gila. Gabungan antara hambar & senyap. Ia merasa sangat takut. Jantungnya berdegup kencang sekali. Karena takut.

Semenjak malam itu, dia kerap menyaksikan lelaki itu mengintainya di mana saja. Bahkan sehabis beliau pulang ke rumahnya sendiri. Tatkala dia sedang berada dlm kendaraan beroda empat di tengah kemacetan, lelaki berpakaian hitam itu tengah mengawasinya dr seberang jalan. Tatkala dia duduk di ruang tamu, kadang ia melihat lelaki itu mengintip dr pintu depan, namun tatkala dia memeriksanya, ia tak mendapati siapapun. Bahkan, tatkala dia berada di tengah hiruk pikuk, di mal, di lapangan, atau di manapun, lelaki itu tampak mengikutinya, jauh di belakang, di antara hiruk pikuk & kemudian lalang orang. dia merasa begitu jengkel, sekaligus takut.

Pernah dia mencoba untuk silih mengejar pengintai itu, namun selalu, dia tak mendapatkan jejak sejengkal pun. Ia mirip bisa menghilang tiba-tiba, & timbul tiba-tiba. Ia sudah menceritakan ihwal pengintai itu pada seluruh anggota keluarga, istrinya, anak-anaknya, para pekerja di rumahnya. Dan tak satupun dr mereka pernah mengaku pernah melihat laki-laki bongsor berpakaian hitam di pekarangan, atau di manapun. Alih-alih di dlm rumah.

  Ibu Jenderal | Cerpen Arie MP Tamba

“Mungkin Papa cuma berhalusinasi,” kata istrinya.

“Kami semua ada di sini, Pa. Di erat, Papa. Papa tak perlu takut,” ujar anaknya, menjajal menghiburnya. Namun, justru ujaran mereka itu membuat beliau semakin khawatir.

“Mungkin gue memang sudah mulai pikun,” ungkapnya pasrah.

Ia pula pernah melaporkan pengintai itu pada polisi, tapi dia senantiasa galau bila disuruh menyebutkan ciri-ciri pengintai itu. Ia hanya bilang, bahwa pengintai itu punya badan tinggi besar, & senantiasa mengenakan busana hitam. Mendengar keterangan yg cuma sekelumit itu, polisi tak bisa berbuat banyak kecuali menyarankannya untuk memasang CCTV di setiap sudut rumah. Dan dia sudah melakukannya.

Setelah CCTV terpasang, ia merasa lebih hening. Meski pemasangan CCTV itu tak membantu apapun. Nyatanya, pengintai itu masih saja muncul di balik jendela, di balik pohon di halaman rumahnya, di lantai atas, di balkon, di wajah pagar, & di mana saja lelaki itu ingin berdiri sambil mengintainya. Anehnya, eksistensi lelaki itu tak pernah terlacak oleh CCTV di sudut manapun.

Pada kesudahannya, sehabis mendapat saran dr keluarga & para kerabat, beliau menetapkan untuk mengunjungi orang cerdik. Di hadapan orang cerdik itu ia meceritakan seluruhnya. Semua yg beliau alami. Semua ketakutannya.

“Ia ada di mana-mana, & dia selalu memandang saya, memantau saya, mengintai saya,” lapornya.

Orang berilmu itu terlihat menerawang wajahnya, mengetahui setiap ketakutannya, rasa cemasnya. Dan mendadak, orang akil itu terlihat begitu gentar.

“Pengintai itu bukanlah penginta biasa,” bisik orang cendekia itu.

“Lalu, siapa dia sebenarnya?” balasnya.

“Bagaimana caraku menjelaskannya?” orang akil itu terlihat putus asa.

“Apakah dia mampu diusir?”

“Tidak, siapapun tak mampu mengusirnya.”

  Menunggu Jumat Pagi | Cerpen Khumaid Akhyat Sulkhan

“Apakah bila gue pergi ke luar negeri & tinggal di sana, pengintai itu akan berhenti mengikutiku?”

“Tidak, dia takkan pernah berhenti mengintaimu. ia akan mengikuti ke mana pun langkahmu pergi.”

“Bagaimana mampu? Bagaimana beliau melakukan itu?”

“Dia bisa melaksanakan itu dgn sangat gampang, semudah mengedipkan mata.”

“Tolong, jelaskan padaku, siapa beliau bahu-membahu?”

“Aku ingin menjelaskannya, tetapi gue takut Anda menganggapku gila & mengada-ada.”

“Jangan pedulikan semua yg kukatakan, jelaskan saja padaku, siapa bekerjsama pengintai itu. Apa yg dia kehendaki dariku?”

“Pengintai itu ialah sang maut. beliau tak mengharapkan apapun. beliau cuma menginginkan nyawamu.” (*)