PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam usianya yang masih bayi, atmosfir milenium ketiga masih di dominasi oleh isu terkini global berupa atmosfir ilmu wawasan terbaru yang tak mampu lepas dari kehidupan kita. Ilmu mampu saja secara memiliki peluang sangat destruktif atau konstruktif tergantung bagaimana kita mengolahnya. Membiarkan ilmu wawasan dengan setumpuk aplikasinya dalam bentuk teknologi mutakhir berkembang begitu saja tanpa mengarahkan yang sistematis bisa sungguh rawan, mengenang kekuatannya yang sangat dahsyat. Oleh karena itu, segala upaya untuk menjinakkan dan mengadaptasikan kekuatan kolosal ilmu dengan habitat kultural kehidupan kita, sehingga berdaya guna secara maksimal, perlu kita sambut dengan bahagia hati selaku bagian dari tanggung jawab watak setiap cendekiawan, untuk memberi warna religius pada kehidupan ini.
Islam ialah suatu sistem universal yang mencakup seluruh faktor kehidupan manusia. Dalam Islam, segala hal yang menyangkut keperluan insan, dipenuhi secara lengkap. Semuanya diarahkan semoga insan bisa menjalani kehidupan yang lebih baik dan manusiawi sesuai dengan kodrat kemanusiaannya. Sebagai sebuah tata cara Islam mempunyai sumber ajaran yang lengkap, ialah Al-Qur’an dan Hadis, Rasulullah menjamin, kalau seluruh umat insan memegang teguh Al-Qur’an dan Hadis dalam kehidupannya, maka dia tidak akan pernah sesat selama-lamanya (HR. Muslim).
Ketika Alqur’an dan Hadis difahami dan dijadikan sebagai objek kajian, maka muncullah penafsiran,pengertian, dan pedoman. Demikian lahirlah berbagai jenis ilmu Islam yang disebut Dirasah Islamiyyah. Dan untuk mengerti Al-Alquran dan Hadis selaku sumber pemikiran Islam, maka diharapkan aneka macam pendekatan metodologi pengertian Islam yang tepat, akurat, dan responsibel.
Umat Islam di Indonesia yaitu komponen paling secara umum dikuasai. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan mampu disebut sebagai komunitas muslim terbesar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan. Sehingga ihwal di seputar permasalahan aturan islam ini menggelinding begitu deras dan merebak hingga di dunia Barat sekalipun, tidak ketinggalan pula di negara kita. Oleh karena itu diperlukan suatu pendekatan dalam studi Islam untuk mengetahui Islam utamanya dari apek aturan Islam Itu sendiri.
Karena Siapapun yang sedang belajar Islam tidak akan lepas dari mempelajari aspek aturan Islam. Bahkan seorang pakar sejarah mengatakan bahwa Islam itu identik dengan aturan. Tentu saja usulan ini bukanlah sebuah usulan yang tidak fundamental, karena pada kenyataannya dalam setiap pembahasan fatwa Islam, tema yang sering dibicarakan yaitu tema hukum Islam. Karena itu, menjadi sangat menawan untuk mengetahui alur perjalanan aturan Islam di tengah-tengah komunitas Islam tersebar di dunia itu dengan batas-batas duduk perkara di seputar pengertian, ruang lingkup, karakteristik, sejarah pertumbuhan pemikiran Hukum Islam, serta Metodologi dalam studi Hukum Islam itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
- Apa Pengertian Syariat, Tasyri’, Fiqh, Ushul Fiqh dan Ruang Lingkupnya?
- Bagaimana Sejarah Fiqh dari Masa ke Masa?
- Bagaimana Metodologi dalam Studi Hukum Islam?
- Bagaimana corak berpikir orang-orang fiqh?
C. Tujuan Penulisan Makalah
- Untuk mengetahui Pengertian Syariat, Tasyri’, Fiqh, Ushul Fiqh dan Ruang Lingkupnya.
- Untuk mengetahui Sejarah Fiqh dari Masa ke Masa.
- Untuk mengenali Metodologi dalam Studi Hukum Islam.
- Untuk mengenali corak berpikir orang-orang fiqh
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendekatan Fiqh
- 1). Pendekatan Fiqih secara Etimologi
Pendekatan Fiqh secara etimologi berasal dari dua kata yakni pendekatan dan fiqh. Yang mana kedua kata tersebut mempunyai arti yang berbeda.
- Pendekatan berasal dari kata “dekat”, yang berarti tidak jauh, pendek. Kemudian diberi imbuhan pe- di permulaan dan akhiran-an yang dapat diartikan cara atau aktivitas untuk mendapatkan sesuatu.
- Pendekatan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni proses, cara, perbuatan mendekati (hendak berdamai, akrab, dsb) atau perjuangan dalam rangka aktivitas observasi untuk mengadakan korelasi dengan orang yang diteliti, tata cara untuk mencapai pemahaman perihal persoalan observasi, acangan
Adapun pemahaman fiqh secara etimologi yakni sebagai berikut:
- Fiqh dalam bahasa arab علم و فهم yang artinya pengetahuan dan pengertian.
- Menurut Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor dalam kamus Al-Bishri, fiqh dalam bahasa arab juga memiliki arti علم و فهم yang artinya wawasan dan pengertian.
- Pengertian fiqh dalam Kamus Ilmiah Populer Lengkap diartikan selaku aturan ilmu aturan Islam.
Berdasarkan beberapa pemahaman di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan fiqh secara etimologi yakni cara atau kegiatan untuk mendekati Islam lewat ilmu hukum islam.
- 2). Pengertian Pendekatan Fiqh secara Terninologi
Pendekatan secara terminologi yaitu sama dengan metodologi, yakni sudut panjang atau cara menyaksikan dan memperlakukan sesuatu dilema yang dikaji. Makna metodologi juga meliputi banyak sekali teknik yang dilaksanakan untuk melakukan observasi dan pengumpulan data. Dengan demikian, pendekatan atau metodologi bukan cuma diartikan sebagai sudut pandang atau cara menyaksikan sebuah persoalan, melainkan juga meliputi pemahaman sistem-tata cara atau teknik-teknik observasi yang cocok dengan pendekatan tersebut.
Adapun pemahaman fiqh secara terminologi ialah :
- Menurut Al-Jurjani dalam buku Muqaddimah Ibnu Khaldun, Fiqh adalah mengenali aturan-hukum syara’ amaliyah (perihal perbuatan, perilaku) dengan lewat dalil-dalil yang jelas. Fiqh juga disebut selaku ilmu yang dihasilkan oleh pikiran serta ijtihad (observasi) dan memerlukan wawasan serta perenungan.
- Menurut Fuqoha, fiqh secara perumpamaan dikategorikan dalam dua segi, yakni fiqh selaku ilmu dan fiqh selaku hasil ilmu. Fiqh sebagai ilmu bermakna ilmu yang mengupayakan lahirnya aturan syara’ amali dan dalil-dalil rinci. Sedangkan fiqh selaku hasil ilmu yakni kumpulan aturan-hukum syara’ yang dihasilkan lewat ijtihad.
- Menurut Jumhur Ulama, fiqh mempunyai arti ilmu yang membahas aturan-hukum syariat bidang amaliyah (tindakan positif) yang diambil dari dalil-dalil secara rinci.
Berdasarkan pemahaman di atas maka mampu ditarik kesimpulan bahwa pendekatan fiqh secara terminologi bermakna perjuangan, cara, kegiatan atau tata cara untuk menelaah, mengkaji, memahami agama islam lewat kumpulan aturan-hukum syara’ bidang amaliyah, dihasilkan melalui ijtihad yang menurut dalil-dalil (al-Alquran dan Hadis) secara rinci. Sehingga dapat diperoleh karakteristik dari pendekatan fiqh sebagaimana berikut:
1). Cara untuk mengerti islam lewat Ilmu (fiqh)
- Tujuannya yakni mengetahui aturan-aturan syariat bidang amaliyah (tindakan kasatmata)
- Dalil-dalil jelas ialah cara mengetahui hukum-hukum syara’ amaliyah
2). Cara untuk memahami Islam melalui hasil ilmu (produk ilmu fiqh)
- Berupa kumpulan hukum-aturan syara’
- Ijtihad merupakan cara untuk memperolehnya
B. Pengertian Syariat, Tasyri’, Fiqh, Ushul Fiqh
Kata Syari’at, Fiqh, dan Hukum Islam seringkali dipakai secara bergantian dengan arti yang sama. Padahal bila dikaji lebih teliti ketiganya tidak bisa disamakan. Penggunaan syariat dan fiqh secara bergantian untuk memperlihatkan arti aturan Islam dalam kadar tertentu mampu dimaklumi, tetapi apabila dicermati secara konseptual keduanya memiliki makna yang berlainan.
Syari’at dari segi bahasa mempunyai arti madzhab dan jalan lurus. Kata syara’a memiliki arti nahaja (meniti), mengambarkan, dan menerangkan berbagai jalan titian. Menurut ungkapan, syariat memiliki arti agama dan berbagai aturan yang disyariatkan Allah untuk hamba-hambanya. Menurut terminologi Fuqoha’, kata syariat dipakai untuk menerangkan ihwal aturan-aturan yang sudah ditetapkan Allah kepada hamba-Nya lewat lisan seorang rasul. Sedangkan Tasyri’ ialah bentuk mashdar dari kata kerja syarra’a yang memiliki arti membuat syariat, memutuskan syariat, menerangkan aturan, dan menciptakan undang-undang.
Fiqh menurut bahasa artinya paham dan mengetahui. Sedangkan berdasarkan perumpamaan yaitu ilmu yang mempelajari hukum-aturan syara’ yang bersifat mudah yang diambil dari dalil dalil yang telah terinci.
Dan yang dimaksud dengan hukum syara’ yaitu setiap aturan yang bersumber dari Al-qur’an dan As-Sunah seperti wajib, sunnah, haram, makruh, mubah, sesuatu yang menjadi syarat, sebab, penghalang bagi sesuatu lainnya, janji menjadi sah, batal dan rusak. Dengan demikian ilmu fiqh tidak memuat hukum-aturan berkaitan kepercayaan atau budpekerti sebab keduanya masuk dalam wilayah syariat, dan syari’at itu sendiri lebih luas dari pada fiqh. Dan fiqh ialah hasil dari suatu ijtihad, istinbat (menggali aturan), nazhar (observasi), dan istidlal (berdalil).
Kata Ushul fiqh ialah gabungan dari dua kata, ialah ushul memiliki arti pokok, dasar, fondasi. Yang kedua yaitu fiqh yang berati paham yang mendalam. Kata ushul yang merupakan jamak dari kata ashal secara etimologi bermakna sesuatu yang menjadi dasar bagi yang yang lain. Ilmu ushul fiqh yaitu sebuah ilmu yang kepadanya didasarkan fiqh. Dengan demikian secara ungkapan mampu diartikan selaku ilmu tentang kaidah-kaidah yang menenteng terhadap perjuangan merumuskan aturan syara’ dari dalilnya yang terperinci atau dalam artian sederhana ialah kaidah-kaidah yang menerangkan cara-cara mengeluarkan aturan-aturan dari dalil-dalinya.
Perbedaan hukum Islam (fiqh), Syari’ah, dan Metodologi hukum Islam (Ushul Fiqh) jikalau dilihat dari ruang lingkup pembahasannya ialah selaku berikut;
- Ruang lingkup dari pembahasan aturan Islam (fiqh) yakni aturan-aturan yang terkait dengan perbuatan insan, terutama orang-orang mukallaf.
- Ruang lingkup dari pembahasan syari’ah cakupannya lebih luas, yaitu meliputi seluruh aliran Islam.
- Sedangkan ruang lingkup dari metodologi aturan Islam (Ushul Fiqh) ialah tentang dalil-dalil dalam mengistinbat aturan.
C. Dinamika Hukum Sebelum Islam
Keadaan di luar Semenanjung Arab, penduduk hidup di bawah penguasa diktaktor, sementara pihak lain menjadi tertindas, tidak mampu berbuat apa-apa cuma ikut keinginan para penguasa yang hasilnya melahirkan kebencian yang berkepanjangan.
Sedangkan di Semenanjung Arab, mereka hidup dalam kesesatan yang konkret, fanatisme kalangan dan kesukuan, hukum ditegakkan dengan landasan yang rusak yang dikontrol oleh kaum elite, sehingga yang menjadi ukuran baik buruknya sesuatu ialah darah dan nasab. Hal ini tidak hanya terjadi dalam satu kalangan kecil, namun telah menjadi watak bangsa arab agar mereka merasa yakin bahwa mereka yakni manusia terbaik dan orang lain lebih rendah dari mereka sehingga mereka menamakan umat lain dengan nama Barbar, Ajam, Mawali (budak). Kerusakan ini juga mencapai kerusakan budpekerti dan penyimpangan syariat.
Orang Yahudi menyelewengkan pedoman Taurat, mengingkari sebagian aturan yang mempunyai kesamaaan dengan syariat Islam, termasuk juga berita-berita yang menerangkan kabar besar hati datangnya Muhammad SAW serta ciri-cirinya. Mereka juga larut dalam kecintaan dengan harta dan kemudian menyebarkan sistem riba di setiap penjuru dunia, menebar makar dan fitnah kepada dua suku Aus dan Khazraj secara khusus.
Mereka juga memasukkan ajaran berhala, dengan menyembah berhala dan patung serta tidak meyakini adanya Tuhan yang satu, berharap pahala dan takut terhadap azab-Nya. Mereka juga tidak percaya kepada nabi, kitab-kitab yang diturunkan dari langit, tidak yakin hari darul baka, tidak diikat oleh agama apapun, namun mereka menciptakan Tuhan-dewa sesembahan yang mereka ciptakan sendiri, atau menyembah bintang dan bulan.
Mereka juga tidak memiliki satu pemerintahan yang mampu membuat undang-undang selaku dasar dan tumpuan dalam setiap pertikaian diantara mereka dan yang berkuasa yaitu kekuasaan kabilah dan kekuasaan sang pemimpin kabilah, suatu kekuasaan yang sungguh terbatas sekali ruang lingkupnya, tidak dapat memberi rasa kondusif dan ketenangan, oleh sebab itu wajar jiak tidak ada perilaku pembelaan terhadap komitmen dan penghormatan kepada sebuah kehormatan.
Sehingga terlihat terang bahwa keadaan dunia pada ketika itu sungguh mmbutuhkan suatu aturan yang dapat mengembalikan kemuliaan dan kehormatannya, memberi batasan antara hak dan keharusan pada setiap dimensi kehidupan, baik secara individu ataupun kelompok, baik penguasa ataupun rakyat jelata. Hingga lalu Allah menyuruh seorang rasul yang berjulukan Muhammad terhadap seluruh insan untuk menyatukan mereka dalam agama yang satu, ialah Islam. Tidak lama itu orang-orang mulai masuk dan berteduh di bawah payung agama yang baru ini dalam jumlah yang sangat banyak, sendirian, atau berjamaah, dan duniapun melihat sebuah hukum baru yang manusiawi, menebar rasa cinta dan kasih sayang, mengibarkan panji persamaan dan keadilan, sesuai dengan fakta ilmiah, akhlak dan mudah untuk dipraktikan sehingga Islam menjadi sebuah keyakinan yang membaha di dalam dada dan pikiran mereka, dan semua ini tidak akan pernah terjadi melainkan Islam adalah agama langit dan syariat dari Allah.
Syariat Islam sejak pertama kali timbul sampai hari ini sudah melewati beberapa tahapan, perjalanan waktu dan dinamika problematika hidup telah memberi dampak yang besar dalam perjalanannya baik dari faktor sumber, aplikasi atau dari aspek penyebaran dan ekspansinya atau dari faktor pertumbuhan fiqih Islam atau kejumudannya.
D. Periodisasi Perkembangan Hukum Islam (Tasyri’ Islami)
1). Fase Pendirian dan Pembentukan Hukum Syariat Islam
- Syariat pada Masa Kerasulan
Fase ini dimulai semenjak diutusanya rasululullah SAW pada tahun 610 M sampai wafatnya baginda Rasulullah pada tahun kesepuluh hijriah. Masa kerasulan atau era hidup Rasulullah SAW dapat disebut juga sebagai fase kelahiran dan pembentukan hukum syariat Islam alasannya adalah setiap syariat (undang-undang) yang datang setelah zaman ini semuanya merujuk terhadap manhaj yang telah digariskan Rasulullah SAW dalam meng-istinbath (mengeluarkan) aturan syar’i. Periode-abad sesudah abad kerasulan (sepeninggal Rasulullah) SAW tidak membawa sesuatu yang baru dalam fiqh dan syariat Islam, melainkan hanya pada masalah-persoalan baru atau insiden-insiden yang tidak ada di zaman Rasulullah SAW.
- Tahap Tasyri’ pada Masa Kerasulan
Fase ini bermula ketika Allah mengutus Nabi Muhammad SAW mendapatkan wahyu yang pertama di Gua Hiro. Terkadang wahyu turun kepada baginda Rasulullah dalam bentuk Al-Alquran yang merupakan kalam Allah dengan makna dan lafalnya, seringkali juga hanya berupa makna yang lafalnya dari Rasulullah, atau lalu termanifestasikan dalam bentuk hadis. Dengan dua pusaka inilah perundang-undangan Islam ditetapkan dan diputuskan. Atas dasar inilah perundang-usul pada era Rasulullah SAW mengalami dua abad istimewa, ialah periode legislasi aturan syariat di Makkah yang dinamakan perundang-permintaan kala Makkah (at-tasyri’ al-makki), serta legislasi hukum syariat diMadinah. Di Mekkah, perundang-permintaan lebih konsentrasi pada upaya menyiapkan masyarakat supaya mampu mendapatkan hukum-hukum agama, membersihkan aqidah dari menyembah berhala terhadap menyembah Allah, selain menanamkan budbahasa-adat mulia agar memudahkan jiwa untuk dapat menerima segala bentuk pelaksanaan syariat.
Adapun kala legislasi aturan syariat di Madinah yang disebut perundang-usul periode Madinah (at-tasyri’ al-madani) berjalan semenjak hijrah Rasulullah SAW dari Mekah sampai beliau wafat. Periode ini berlangsung selama 10 tahun. Perundang-ajakan pada masa ini menitikberatkan pada aspek aturan-hikum praktikal dan dakwah islamiyah yang membahasa perihal doktrin dan budbahasa.
Sumber Tasyri’ pada periode ini yakni Al-qur’an Karim yang ialah sumber pertama dan utama bagi perundang-usul Islam yang mencakup semua pemikiran pokok dan semua kaidah yang mesti ada dalam pembuatan undang-undang dan peraturan. Kemudian As-Sunah An-Nabawiyah, adalah setiap yang keluar dari Rasulullah SAW berupa ucapan, tindakan, atau pengakuan selain dari Al-Qur’an. As-Sunah menempati urutan kedua sesudah Al-Alquran alasannya dia menjadi penguat, penjelas, penafsiran, dan penambahan kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-qur’an
- Metode Pensyariatan
Nabi Muhammad menyampaiakn syariat (perundang-ajakan) pada fase ini melalui beberapa cara, diantaranya :
- Memberikan ketentuan aturan terhadap persoalan atau insiden yang timbul atau ditanyakan oleh para sobat, kemudian be;iau menjawabnya dengan satu atau beberapa ayat.
- Terkadang Rasulullah SAW memberi balasan dengan ucapan dan perbuatannya.
Adapun Ijtihad Nabi yaitu mengeluarkan aturan syariat yang tidak ada nash-nya. Ulama berbeda usulan mengenai boleh tidaknya rasulullah berijtihad menjadi dua kalangan besar. Pertama kalangan Asy’ariyah dari Ahli sunnah dan dominan Mu’tazilah yang berpegang teguh bahwa Nabi Muhammad dilarang berijtihad sendiri. Kedua mayoritas ulama ushul mengatakan boleh bagi Rasulullah untuk berijtihad dalam setiap problem, baginda boleh berijtihad dalam semua perkara yang tidak ada nash-nya.
Contoh ijtihad Rasulullah antara lain dikala beliau menunjukkan izin terhadap orang-orang munafik yang meminta izin untuk tidak berpartisipasi dalam perang Tabuk, maka turunlah ayat:
عَفَا اللهُ عَنْكَ لِمَ أَذِنْتَ لَهُمْ حَتّىَ يَتَبَيَّنَ لَكَ الّذِيْنَ صَدَقُوْا وَتَعْلَمَ الْكاَذِبِيْنَ
Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kau memberi izin kepada mereka, sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar dan sebelum kamu pahami orang-orang yang berdusta?(QS. At-Taubah (9) : 43)
Selain itu nabi juga pernah mengharamkan untuknya sebagian yang dihalalkan oleh Allah untuk satu kemaslahatan menurutnya, kemudian Allah SWT sigap menjauhkan baginda dari hal tersebut dengan menurunkan firman surat At-Tahrim (66) :1-2.
66:1. Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
66:2. Sesungguhnya Allah telah mengharuskan terhadap kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Sehingga jelas bahwa ijtihad Nabi memang sudah terjadi dalam masalah yang tidak ada nash-nya, dan semua ijtihad ini dikelilingi oleh wahyu daisegala sisi, jika baginda salah dalam salah satu ijtihadnya maka wahyu tidak akan membiarkannya begitu saja namun akan meluruskannya karena semua yang dibawa Rasulullah ialah syariat bagi umatnya, maka perlu ada perayaan dari wahyu kepada kesalahan tersebut dan menerangkan yang benar semoga menjadi suatu syariat yang mampu mereka amalkan.
Ijtihad pada zaman pembentukan dan perkembangan tidak cuma sesuai dengan impian Rasulullah, tetapi juga mencakup para sahabat. Rasulullah sudah memberi izin kepada mereka untuk berijtihad dikala Rasulullah ada ditempat atau sedang bepergian. Beliau mengakui ijtihad mereka jikalau memang benar dan mencelanya kalau memang salah.
- Karakteristik Perundang-ajakan pada Masa Kerasulan
- Sumber perundang-undangna pada zaman ini cuma berasal dari wahyu dengan dua bagiannya baik yang terbacam yaitu Al-qur’an atau yang tidak terbaca, adalah hadis.
- Referensi utama untuk mengetahui hukum-hukum syara’ pada zaman ini yakni Rasulullah SAW sendiri, karena Allah sudah memilihnya untuk menyampaikan Risalah. Semua produk perundang-seruan yang lahir pada zaman ini dinisbatkan kepada kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah SAW.
- Perundang-permintaan Islam pada kurun ini sudah tepat hukumnya, sudah dikukuhkan kaidah dan dasarnya. Sehingga turun ayat terakhir surat al-maidah ayat 3, dimana pada waktu itu Rasul sedang melaksanakan ibadah haji wada’ tiga bulan sebelum beliau wafat dan tidak ada lagi ayat yang turun mengenai halal haram.
- Kesempurnaan syariat mampu dilihat dari aspek manhaj yang unik dan metode yang khusus, di mana kitab Allah dan sunah nabi memuat beberapa kaidah dan dasar-dasar yang kuat dan membuka pintu ijtihad kepada para ulama untuk mengeksplorasi kembali yang menampung produk perundang-ajakan yang elastis dan sesuai untuk segala kondisi dan zaman sehingga sangat mudah bagi para mujtahid untuk menyebarkan kaidah-kaidah umum tersebut sehingga tidak ada satu masalah gres yang muncul kecuali jawabannya ada dalam kitab Allah.
- Fiqih Islam dengan pengertian secara terminologinya belum muncul pada zaman ini.
- Jika ada yang bertanya ihwal aturan sesuatu maka Rasulullah akan menjawabnya, dan dikala Rasulullah sedang tidak ada ditempat maka para sahabat akan berijtihad sendiri lalu mengembalikan keputusannya kepada Rasulullah untuk ditetapkan atau dibatalkan.
- Semua duduk perkara lahir dari realitas hidup yang perlu diterangkan hukumnya. Belum ada problem yang tampakiftiradhiyah (hipotesis).
2). Fase Pengembangan dan Penyempurnaan Hukum Syariat Islam
- Tasyri’ pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
Periode ini dianggap selaku era pertama dalam pembentukan fiqh Islam, ialah berawal dari wafatnya Rasulullah hingga akhir zaman khulafa’ ar-rasyidin pada tahun 40 Hijriyah.
1). Definisi sobat
Menurut terminologi para ulama fiqh, teman yaitu setiap orang yang pernah berjumpa dengan Nabi dalam status dogma kepadanya, dan meninggal dalam keadaan beriman pula. Sebagian ulama beropini bahwa seorang teman mesti bergaul dengan Nabi selama satu atau dua tahun dan pernah ikut perang meskipun cuma sekali. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa tidak ada syarat khusus untuk menjadi teman Nabi, karena setiap orang yang bertemu dengan Nabi ialah sobat. Walaupun tidak sempat duduk bersama ia ataupun tidak sempat melihat karena buta.
2). Sumber Tasyri’ pada era teman
- Meneliti dalam kitab Allah untuk mengenali hukumnya.
- Meneliti dalam sunnah Rasulullah bila tidak ada nash dalam kitab Allah. Jika mereka mendapatkan nash dalam kitab Allahatau sunnah yang menunjukkna hukumnya maka merekapun berhenti disini dan mencari hukumnya, dan berusaha mengerti kandungannya.
- Ijma’(konsensus bareng ), adalah bila tidak ada nash dalam kitab Allah atau sunnah Rasulullah atau ditemukan tetapi sifatnya global, atau nashnya banyak dan setiap nash memberi hukum yang berlainan, atau berbentukkhabar minggu. Salah satu manhaj mereka adalah khalifah mengundang para teman untuk melaksanakan ijma’.
- Ra’yi (usulan eksklusif), setiap hukum yang ditetapkan bukan berdas arkan isyarat nash termasuk qiyas, istihsan, mashalih, bara’ah adz-dzimmah, dan sadd adz-dzari’ah.
3) Karakteristik Tasyri’ pada Zaman Sahabat
- Fiqih sejalan dengan segala permasalahan yang timbul dan yang memegang kontrol ajaran dan qadha’ dalam aneka macam permasalaan penting yaitu para kholifah, tetapi alasannya adalah kemreka sibuk mengurusi problem politik danpengelolaan negara, makam peran ini diserahkan terhadap sahabat yang lain.
- Al-quran sudah dibukukan dan mushaf disentralisasikan semoga kaum muslimin terhindar dari pertikaian tentang sumber utama syariat Islam.
- Hadis belum diriwayatkan seperti sekarang, kecuali kalau ada kebutuhan mendesak. Sunnah pada zaman ini masih terjaga kemurniannya tidak terkotori oleh kebohongan atau penyimpangan .
- Muncul satu sumber gres perundang-seruan Islam yaitu Ijma’
- Banyak terjadi ijtihad yang berlandaskan pada pemahaman tentag ilat aturan baik ada atau tidaknya.
- Para teman tidak mewariskan fiqh yang tertulis yang mampu dirujuk namun mereka cuma mewarisakan anutan dan aturan yang tersimpan dalam dada para teman dan disampaikan terhadap kita dengan cara periwayatan.
- Dalam kaitannya dengan penggunaan ra’yi ada teman yang bersikap longgar dalam menggunakan pendapat eksklusif, ddipelopori oleh Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud. Namun ada yang sungguh berhati-hati untuk mengambil pendapat pribadi, cemas berdusta kepada Allah, dipelopori oleh Abdullah bin Umar dan Zaid bin Tsabit.
- Tasyri’ pada Masa Dinasti Umayyah
Periode ini dimulai saat para khalifah Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan kaum muslimin setelah terbunuhnya Imam Ali bin Abi Thalib pada tahun ke 41 hijriah. Zaman ini dipenuhi dengan banyak sekali peristiwa dan perkembangan, perbedaan fiqh dan pergolakan politik alasannya adalah sejakawal berdirinya pun kaum muslimin terbagi menjadi tiga kalangan syiah, khawarij dan Jumhur Kaum Muslimin.
1). Definisi Tabi’in
Tabi’in adalah setiap muslim yang belum sempat menyaksikan Nabi, namun dia sempat menyaksikan dan berjumpa dengan teman, baik beliau meriwayatkan atau tidak darinya. Sehingga tabi’in tidak mesti melihat Rasulullah, alasannya kalau ia menyaksikan itu artinya teman Rasulullah. Selain itu juga tidak disyaratkan harus menyaksikan teman, dan meriwayatkan hadis darinya, namun cukup melihat dan bertemu dikala dia sudah berusi Tamyiz.
2). Perpecahan Politik dan ajaran Pemikiran
Walaupun perpecahan yang terjadi diantara kalangan-kalangan pasca wafatnya Ali bin Abi Thalib ialah perpecahan politik, namun berimbas kepada fatwa-aliran fiqh yang disebabkan alasannya adalah perbedaan mereka (Khawarij, Syiah, Jumhur Ulama) ihwal sumber-sumber hukum fiqh.
Doktrin penting dari masing-masing ajaran tersebut diantaranya sebagai berikut :
Khawarij
|
Syiah
|
Jumhur kaum Muslimin
|
Menolak Ijma’ yang tidak mampu dijadikan selaku sandaran hukum.
|
Menolak Ijma’ selaku sumber aturan bagi perundang-undangan Islam alasannya adalah mengamalkan Ijma’ sama artinya dengan mengabaikan usulan sahabat yang lain atau tabi’in
|
Kelompok yang tidak ikut-ikutan dalam pergolakan politik, dan tidak inginbergabung dengan pasukan Ali dan pengikutnya.
|
Mengingkari Qiyas, tidak menganggap selaku sumber aturan syariat.
|
Mayoritas menolak Qiyas sebab beliau berupa usulan pribadi, dan agama tidak dikaji dengan usulan eksklusif.
|
Menempuh jalur ilmu yang benar dan manhaj yang lurus serta kajian yang sempurna dalam mengerti agama Allah.mengerti secara teliti anutan syariat berdasarkan klarifikasi Alquran dan sunnah yang suci serta riwayat-riwayat dari para sobat.
|
Sebagian mengingkari aturan-aturan syariat yang telah ditetapkan berdasarkan Ijma’, seperti menggugurkan eksekusi rajam bagi seorang pezina.
|
Tidak mengambil sunnah selaku sumber aturan kecuali hadis yang datang dari periwayatan andal bait dan para pengikutnya
|
Melahirkan dua anutan dalam mengistinbath hukum, mahir hadis dan hebat ra’yi
|
3). Karakteristik Fiqh pada Masa Dinasti Umayah
- Munculnya beberapa manhaj (metode) kajian fiqh yang bersih dari pertengkaran politik, terutama madarasah ahli hadis dan madrasah jago ra’yi.
- Terpengaruhnya beberapa sumber hukum dengan pergolakan politik seperti Ijma’ dan tidak yakinnya sebagian orang kepada sumber qiyas dan maslahat mursalah.
- Munculnya fiqh iftiradhy yang dibawa oleh ulama mahir ra’yi.
- Banyak perbedaan dilema furu’ fiqhiyah disebabkan oleh perbedaan pemikiran politik dan hijrahnya sebgaian ulama dari Madinah Al-Munawaroh ke aneka macam negeri..
- Tasyri’padaMasaDinastiAbbasiyyah
Periode ini dimulai semenjak berdirinya Dinasti Abbasiyah sesudah runtuhnya Dinasti Umayyah pada tahun 132 hijriyah berakhir pada pertengahan periode ke empat hijriyah dikala Dinasti Abbasiyah mengalami kemunduran dan tidak ada yang tersisa dari kekuasaan dinasti kecuali namanya saja. Zaman ini dianggap sebagai zaman yang paling gemilang dalam sejarah fiqh Islam, dimana sudah meraih tahap tepat dalam keluasan kajian, sempurna dan terinci sehingga menjadi ilmu yang berdiri sendiri yang sebelumnya hanya sebatas fatwa dan qadha’. Serta mempunyai mazhab ijtihad sendiri yang lalu diberi nama sesuai nama para imamnya. Pada periode ini fiqh mengalami kemajuan yang disebabkan oleh:
- Perhatian Khalifah Dinasti Abbasiyah terhadap Fiqh dan Fuqaha’ berbeda dengan zaman khalifah Umayyah yang memberikan fokus pada dilema politik.
- Perhatian dan Semangat Tinggi untuk Mendidik para Penguasa dan Keturnannya dengan Pendidikan Islam
- Iklim Kebebasan Berpendapat
- Maraknya Diskusi dan Debat Ilmiah di Antara Para Fuqaha
- Banyaknya urusan gres yang timbul
- Akulturasi Budaya dengan Bangsa-bangsa lain
- Penulisan ilmu dan penerjemahan kitab
- Manhaj dalam Penulisan Fiqh Islam
Ada 3 manhaj yang digunakan oleh para fuqoha’ dalam menulis fiqh :
- Menulis fiqh bercampur dengan hadis dan atsar (ucapan sobat) seperti metode penulisan kitab Al-Muwatha’.
- Menulis fiqh yang lepas dari hadis dan atsar mirip yang dilakukan oleh mazhab hanafi mirip penulisan kitab Al-Mudawwanah, sebuah kompilasi fiqh bermazhab Maliki.
- Menulis aturan-aturan fiqh bersamaan dengan semua dalil yang ada lalu dikomparasikan dengan berbagai usulan yang ada dalam fiqh mazhab lainnya. Kitab-kitabnya dinamakan kitab muqaranah (komparasi) sebab suatu pembanding sebaiknya mengumpulkan semua pertimbangan yang berbeda, kemudian dilaksanakan pengujian terhadap kekuatannya menurut dalil Al-qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan yang yang lain.
- Sumber-sumber Tasyri’ pada Masa Dinasti Abbasiyah
Sumber perundang-permintaan aturan islam pada zaman ini lebih luas dibandingkan zaman sebelumnya, ada sumber yang telah disepakati (Al-quran dan Sunnah), dan ada pula yang masih menjadi perdebatan dikalangna Fuqoha’. Adapun ijma’ dan Qiyas sebagian besar fuqoha menganggapnya selaku hujjah dalam menentukan hukum syar’i dan tidak ada yang menentang pendapat ini kecuali sebagian kecil para fuqoha saja.
Adapun sumber-sumber fiqh yang masih menjadi perdebatan adalah Istihsan, Al-Maslahah Al Mursalah, Al-Istishab, Saddu Adz-Dzara’i, Amal penduduk Madinah, Pendapat Sahabat, ‘Urf, dan Syariat sebelum kita.
- Karakteristik Fiqh Islam pada Masa Dinasti Abasiyah
Pemerintah memiliki kecenderungan fiqh tersendiri dalam mengerjakan roda kehakiman. Contohnya, fiqh Imam Abu Hanifah menguasai kehidupan perundang-permintaan pada zaman Dinasti Abbasiyah, dan fiqh Imam Syafi’I menguasai negeri Maroko dan Andalusia.
3). Fase Taqlid dan Kejumudan
Fase ini berawal dari pertengahan abad keempat hijriah sampai tamat periode ketiga belas hijriah.
- 1. Periode Taqlid
Disebut abad Taqlid sebab para fuqoha’ pada zaman ini tidak mampu menciptakan sesuatu yang gres untuk disertakan kepada kandungan mazhab yang telah ada. Dan faktor yang menyebabkan para fuqoha’ menentukan jalan Taqlid yaitu pergolakan politik yang menjadikan negara Islam terpecah menjadi beberapa negara kecil, di mana setiap negeri memiliki penguasa sendiri yang diberi gelar amirul mukminin. Negara yang besar terbagi menjadi beberapa negara kecil. Sehingga jika menyaksikan keadaan sosial politik yang terjadi, sungguh mustahil bagi fiqh Islam untuk maju seperti zaman sebelumnya.
Walaupun fase ini sarat dengan semangat taqlid, tetapi bahu-membahu masih ada beberapa ulama yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan meng-istinbat hukum mirip pendahulu mereka. Akan namun, mereka sudah menutup celah itu dan merasa cukup dengan apa yang sudah dilaksanakan oleh pendahulunya yakni oara ulam amazhab. Hal itu disebabkan tingkat ketakwaan dan ke-wara’-an mereka sehingga lebih memilih berputar diatas bahtera fiqh yang telah ada. Diantara ulama-ulama tersebut yakni Abu Hasan Al-Kharkhi, Abu Bakar Ar-Razi, Al-Jahshash dari golongan mazhab HAnafi, Ibnu Rusyd Al-Qurthubi dari MAzhab Maliki, Al-Juwaini Imam Al-Haramain, dan Al-Ghazali dari kalangna mazhab Syafi’i.
- 2. Periode Kejumudan
Periode ini dimulai semenjak tahun 656 hijriah, saat kota Baghdad jatuh ke tangan prajurit Mongol dan rampung pada akhir abad ketiga belas. Merupakan fase terpanjang dalam perjalanan fiqh Islam, tetapi mengalami kemunduran dan kejumudan. Jika di kurun awal kita lihat para fuqoha’ sibuk menggali fiqh, menggali illat, dan berijtihad, maka pada kurun ini para ulama beralih profesi menjadi taqlid buta, semangat menulis buku juga menurun, sehingga hasil karya para fuqoha’ sangat rendah, dan cuma terbatas pada apa yang sudah mereka temukan dalam kitab para pendahulunya, jauh dari ijtihad dan hanya menciptakan beberapa penjelasan singkat.
Namun tujuan para fuqoha’ pada era ini yaitu merealisasikan dua hal : pertama, semoga masyarakat mudah memahami persoalan fiqh. Kedua, memudahkan para pelajar menghafal kandungan fiqh mazhab dan menjadi wasilah untuk mengkaji kitab-kitab besar sedikit demi sedikit. Kontribusi mereka mampu dilihat pada kegemaran mereka dalam penulisan Matan (Teks), penulisan Syarah (penjelasan), Hasyiyah (catatan pinggir), dan Ta’liq (Komentar).
4). Fase Kebangkitan Ilmu Fiqh
Fase ini dimulai dari simpulan periode ketiga belas hijriyah sampai kini, karakteristik ilmu fiqh pada fase ini adalah mampu mendatangkan fiqh ke zaman gres yang sejalan dengan perkembangan zaman, mampu memberisaham dalam memilih tanggapan bagi setiap masalah yang muncul pada hari ini dari sumbernya yang orisinil, menghapus taqlid, dan tidak terpaku dengan mazhab atau kitab tertentu.
Pada zaman ini para ulama menawarkan perhatian yang cukup besar kepada fiqh Islam, baik dengan menulis buku atau dengan mengkajinya. Para penguasa pada zaman ini berpegang kepada mazhab tertentu dalam ber taqlid, serta memaksa rakyatnya untuk mengikuti mazhab tertentu mirip yang dijalankan oleh Dinasti Fatimiyah di Mesir, dikala mereka membatasi kurikulum Al-Azhar cuma dengan mazhab Syiah, atau seperti yang dilaksanakan oleh Dinasti Ayyubiyah saat mereka membatasinya dengan salah satu mazhab Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Pembahasan Fiqh pada abad ini berfokus pada pokok problem berkat kajian terhadap kitab-kitab fiqh klasik yang tidak memuat rumus dan kejumudan. Proses kodifikasi (taqnin) Hukum Fiqh yaitu upaya menghimpun beberapa persoalan fiqh dalam satu bab dalam bentuk butiran bernomor, ialah pertama dengan cara menyatukan semua hukum dlam setiap persoalan yang mempunyai kemiripan sehingga tidak terjadi tumpang tindih, masing-masing hakim memberi keputusan sendiri, namun semestinya mereka sepakat dengan bahan undang-undang tertentu, dan tidak boleh dilanggar untuk menghindari keputusan yang kontradiktif, kedua, untuk membuat lebih mudah para hakim dalam merujuk semua hukum fiqh maka disusun dengan susunan yang sistematik, ada bagian-bagian yang terstruktur sehingga mudah untuk dibaca.
E. Metodologi Studi Hukum Islam
Kajian fiqh merupakan bab dari ihwal keislaman yang tidak terpisahkan dari tradisi Islam klasik yang terus bergulir hingga abad digital kini. Dalam arus dinamika perkembangannya, fiqh lebih dikonotasikan pada pemahaman-pemahaman Al-Quran dan Hadis, untuk merumuskan atau menggali aturan Islam. Rumusan tersebut melahirkan hal-hal yang ta’abbudi dan yang ta’aqquli. Namun amat disayangkan, pada perjalanan selanjutnya fiqh sudah berkembang menjadi menjadi sebuah khazanah yang dipuja secara berlebihan, sampai mengisyaratkan kesan “mengkristal” dalam wujud rancangan-rancangan fiqh klasik.
Namun pertumbuhan dunia digital yang begitu dahsyat seperti melesat jauh ke depan meninggalkan desain-rancangan klasik. Realitas yang terjadi ketika ini seolah-olah tidak bisa terjamah oleh desain-konsep fiqh klasik. Dengan demikian, terdapat kesenjangan yang membatasi antara realitas abad sekarang dengan konsep-desain fiqh klasik. Sementara fiqh klasik berlangsung secara statis tanpa mengalami pergantian sedikitpun, pada sisi lain realitas kehidupan terus berkembang dan bergulir selaku konsekuensi logis dari adanya tuntutan dan kebutuhan zaman yang terus mengaktual, sampai memaksa perubahan dan pembaruan terhadap konstruksi lama. Pada proporsi inilah diharapkan adanya rekontruksi-dekontruksi suatu ajaran, tidak terkecuali fiqh dalam keseharian senantiasa bergumul dengan konteks kehidupan yang senantiasa berkembang serta dalam segala aspeknya.
Rekontruksi dekontruksi ini lahir bukan alasannya adalah adanya somasi terhadap problematika usang dalam tradisi Islam klasik, akan namun lebih diakibatkan oelh adanya tuntutan dan kebutuhan zaman yang dihentikan tidak mesti dilakukan dan diprioritaskan.
Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa memformat ulang fiqh tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak hal yang harus diamati , sebab upaya ini akan berbenturan dengan berbagai duduk perkara (opsi) dari mana harus memulai dan dalam hal apa format ulang itu harus dikerjakan, apakah dalam hal metodologinya atau materinya? Atau bahkan keduanya. Terlepas dari itu semua, Jamaludin ‘Atiyah (seorang pencetus pembaharuan fiqh) mengemukakan bahwa yang paling urgen dari semua itu untuk diprioritaskan dan amat mendesak untuk direalisasikan yaitu menggagas pergeseran atau perbaikan bahan fiqh yang sudah sekian usang dianggap baku alasannya adalah dikemas oleh sakralitas penganutnya.
Sejalan dengan problematika tersebut, Yusuf Qardhawi menjajal untuk menggagas materi fiqh yang dipandang bisa untuk mengakomodasi tuntutan dan kebutuhan zaman. Dalam hal ini beliau berusaha menghidangkan Fiqh Taisir, ialah upaya mencari format fiqh yang gampang dan modern. Fiqh Taisir ini lalu menjelma tiga unsur, yaitu Fiqh al-Waqi (fiqh realitas), Fiqh al-Muwazanat (fiqh perimbangan), dan Fiqh Aulawiyat (Fiqh prioritas).
Hukum Islam, bila ditilik dari aspek metodologis dapat dipahami selaku aturan yang bersumber dari Al-qur’an dan Sunnah Nabi lewat proses pikiran sehat atau ijtihad. Ia diyakini sebagai hukum yang mencakup seluruh faktor kehidupan insan bersifat universal. Ruang gerak metodologi antar wahyu sebagai sumber aturan yang menampung isyarat -petunjuk global dan kedudukan ijtihad sebagai fungsi pengembangannya, memungkinkan hukum Islam memiliki sifat lentur dan akomodatif sehingga kepercayaan tersebut tidaklah berlebihan. Karakteristik hukum islam yang bersendikan wahyu dan bersandarkan nalar merupakan ciri khas yang membedakan aturan Islam dari tata cara aturan lainnya.
Metodologi telah menjadi bab dari khazanah kosa kata bahasa Indonesia, yang diartikan selaku “uraian ihwal sistem”. Sedangkan metode sendiri dimaknakan selaku “cara kerja yang bersistem untuk mempermudah pelaksanaan kerja suatu aktivitas guna meraih tujuan yang telah diputuskan. Jika hukum Islam dipandang selaku suatu metode pengetahuan, maka yang dimaksudkan dengan metodologi aturan Islam ialah pembahasan konsep-desain dasar aturan Islam-Al-Qur’an, Sunnah, dn Ijma’. Kemudian bagaimanakah aturan islam tersebut dikaji dan diformulasikan.
Serasi dengan pengertian tersebut, maka seorang penulis kajian keislaman di era Post Modernism – Fazlur Rahman -memberi judul Islamic Methodology in History pada sebuah karyanya yang membicarakan evolusi historis prinsip-prinsip pokok dasar aliran Islam, yakni Al-qur’an, Sunnah, dan Ijma’.
Dengan pemahaman tersebut, maka metodologi aturan islam tidak berbeda dengan pengertian Ushul Fiqh, yang berdasarkan para ahlinya diartikan sebagai sesuatu yang di atasnya dibangun aturan Islam.
Masalah metodologi ialah persoalan epistemologis yang signifikan dalam pencapaian tujuan atau target yang dikehendaki. Selama ini, sudah terjadi polarisasi dikotomis dalam memahami Islam, antara pendekatan tekstual dan kontekstual. Problem tersebut bisa dipecahkan dengan cara mengadakan penggabungan kedua tata cara atau perspektif tersebut dalam satu perihal yang komprehensif dan holistik. Signifikansi dari pendkatan tekstual-kontekstual terletak pada upaya yang sebanding antara pemahaman normatif doktrinal di satu sisi, dan kontekstualisasi denganunsur-bagian kesejarahan pada segi lain.
Pendekatan tekstual menekankan signifikansi teks-teks sebagai konsentrasi kajian dengan merujuk pada sumber-sumber primer dari anutan Islam, Al-qur’an, dan Hadis. Pendekatan ini sangat penting saat kita ingin menyaksikan relaitas Islam normatif yang tertulis, baik secara eksplisit maupun implisit, dlam kedua sumber suci di atas. Selain itu kajian tekstual juga tidak menafikan eksistensi teks-teks yang lain sebagaimana tertuang dalam karya-karya para intelektual dan ulama besar muslim terdahulu dan kontemporer. Dalam aplikasinya, pendekatan tekstual barangkali tidak menemui kendala yang cukup berarti ketiaka digunakan untuk menyaksikan dimensi Islam normatif yang bersifat qat’i, seperti dilema ibadah mahdah dan problem tauhid. Persoalan gres akan timbul ketika pendekatan ini dihadapkan pada realitas ritual umat Islam yang tidak tertuang secara eksplisit, baik dalam al-Alquran maupun Hadis, tetapi kehadirannya diakui dan bahkan diamalkan oleh komunitas muslim tertentu secara luas dan sudah mentradisi secara turun temurun.
Di masa modern, dunia Islam banyak melahirkan pembaharu di segala bidang, upaya yang dilaksanakan oleh para pembaharu khususnya mengenai aturan keluarga, sekalipun pada realitasnya sudah berhasil merumuskan sejumlah produk perundang-ajakan aturan keluarga, tetapi beberapa pengamat menawarkan penilaian bahwa upaya pembaharuan tersebut belumlah memperlihatkan anutan aturan Islam yang memuaskan. Seharusnya para pembaharu menyebarkan aturan Islam secara komprehensif dan konsisten sesuai dengan kebutuhan di periode sekarang, yakni dengan merumuskan kembali metodologi hukum islam yang sistematis dn berpangkal pada dasar-dasar Islam yang kukuh.
Peta-peta ajaran aturan Islam tidak akan kering oleh pandangan baru-wangsit pembaharuan. Kehadiran sosok Fazlur rahman mungkin merupakan jawaban atas tantangan tersebut. Dalam sejumlah karya dan penelitiannya ia menunjukkan stressing pada aspek metodologi hukum Islam, di mana aturan ialah aspek yang dominan dalam pedoman metodologisnya. Dalam beberapa kajian historis, dia berupaya menemukan akar-akar penyebab terjadinya kejumudan (mandeg) anutan aturan Islam secara khusus. Sebagai terapinya, beliau merumuskan konsep-rancangan tentang dasar-dasar metodologi hukum Islam, yaitu al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad yang sekaligus dirumuskan dalam rancangan-desain metodis.
F. Pendekatan Fiqh dalam Studi Islam
Telah kita ketahui bahwa setiap ilmu bisa dikaji secara normatif dan historis. Agama Islam secara normatif bermakna menyaksikan islam dari segi ajarannya. Adapun agama islam jikalau dilihat dari kaca mata historis adalah bahwa agama terlihat bersahabat dengan kehidupan sosial. Contoh ruang lingkup studi islam yang normatif diantaranya, tafsir, Hadits, Fiqh, teologi, tasawuf, dan lain sebagainya. Contoh ruang lingkup studi islam yang historis adalah sosiologi, antropologi, psikoligi fenomenologi, dan lain sebagainya. Misalnya dalam meneliti ilmu hadis, tidak semua hadis itu normatif (teks) atau meneliti hadis secara kontentm namun bisa juga meneliti hadis secara historis adalah meneliti hadis dilihat berdasarkan tarikhnya, menurut keadaan pada saat itu (kontekstual).
Amin Abdullah memperlihatkan pendekatan integratif dan interkonektif dalam pendekatan studi islam. Agama Islam secara normatif dan agama islam secara historis bagaikan dua segi mata duit yang berlainan dan keduanya tidak dapat dipisahkan tetapi mampu dibedakan. Artinya dalam menekuni sebuah bidang ilmu tidak hanya terfokus pada satu disiplin ilmu itu saja yang ditekuni, tetapi mesti punya koneksi dengan bidang ilmu lain bukan dalam hal kontent namun dalam hal analisisnya. Inilah yang dinamakan interkonektif.
Perbandingan perilaku orang yang condong memandang islam secara normatif yakni, literalis, tekstualitas, absolutis, skeptualis, esoterism langsung (tertutup), sikap akan dipengaruhi oleh cara berpikirnya, menyaksikan sesuatu lebih terhadap teks (literer) atau tafsir, namun manfaatnya lebih bisa dipertanggungjawabkan alasannya adalah berpatokan pada sesuatu yang telah ada nash nya atau teksnya, namun kelemahannya orang tersebut menjadi kaku, semua serba akidah “pokoknya”, disamping itu juga bersikap deduktif, agama adalah sebagai akidah. Adapun corak pikir orang yang memandang agama secara historis yakni mereka cenderung bersikap redaksionis, yaitu pemahaman keagamaan yang hanya terbatas pada eksternal lahiriyah, kontekstual, eksoteris (paham/ilmu yang dapat dikenali oleh orang lain), aplikatif, melihat sesuatu lebih kepada konteks atau ta’wilnya, lebih terbuka teladan pikirnya, pada umumnya mereka adalah orang-orang yang berkecimpung di bidang ilmu sosial, selain itu contoh pikirnya juga induktif.
Kajian dalam fiqh mampu dipandang Normatif dan Historis, tergantung dari apa yang dikaji. Fiqih adalah hukumnya, tetapi keadilan yakni substansinya. Contohnya orang yang terbukti mencuri telah niscaya beliau melanggar aturan, namun hukuman yang ditetapkan belum tentu mencerminkan keadilan. Karna hukuman mencuri mempunyai kadarnya sendiri-sendiri. Jika fiqh hanya menyaksikan aspek formalnya saja maka disebut aturan. Fiqh tidak cuma segala yang berkaitan dengan benar-salah, halal-haram, hitam-putih saja. Sehingga fiqh ini lebih toleran alasannya disana masih ada opsi Mubah-makruh. Inilah yang disebut toleransi madzhab sehingga mampu dikatakan perilaku orang-orang fiqh ini lebih terbika (inklusif) bisa mengerti satu sama lain.f iqh juga menjadi lebih dinamis karena menckup aspek sosial, sehingga mesti senantiasa dikembangkan mengikuti pertumbuhan zaman. Artinya fiqh itu dibilang normatif bila dilihat secara hukumnya, tetapi bagaimana aturan itu didiskusikan, bagaimana proses para ulama mengistinbath hukum adalah historisnya, bagaimana proses para mujtahid zaman dahulu mendapatkan ketentuan halal, haram, Mubah, makruh, Sunah itu yaitu historisnya.
Dengan demikian karena fiqh itu lebih terbuka, maka seyogyanya selaku orang islam tidak usah memperdebatkan perbedaan usulan antara madzab atau aliran satu dengan pedoman atau madzab yang lain. Karena ijtihad yang satu tidak mampu dirusak dengan ijtihad lainnya. Sehingga sikap pluralisme lebih besar alasannya adanya toleransi. Inilah yang dinamakan agama islam didekati melalui pendekatan fiqh.
BAB III
PENUTUP
Hukum Islam sebagai sebuah fenomena sejarah, mengalami era-abad perkembangan dan kemajuan. Para hebat sejarah hukum Islam membaginya menjadi beberapa masa yang pastinya tiap kala memiliki corak dan dinamika tertentu.
Pendekatan fiqh secara terminologi memiliki arti perjuangan, cara, aktivitas atau tata cara untuk menelaah, mengkaji, memahami agama islam melalui kumpulan aturan-aturan syara’ bidang amaliyah, dihasilkan lewat ijtihad yang menurut dalil-dalil (al-Alquran dan Hadis) secara rinci
Hukum Islam (Islamic Law) identik dengan pengertian fiqh, yaitu sebagaimana diketahui oleh kelompok jago ajakan al-fiqh sebagai aturan mudah hasil ijtihad, sedang faqih identik dengan mujtahid. Kalangan fuqaha’ pada umumnya mengartikan fiqh sebagai kumpulan aturan Islam yang mencakup semua aspek aturan syar’I, baik yang tertuang secara tekstual maupun hasil daypikir atau teks.
Metodologi hukum Islam yaitu pembahasan rancangan-konsep dasar aturan Islam, Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’dan Ijtihad, serta bagaimana aturan Islam tersebut dikaji dan diformulasikan. Ciri yang paling khas dari hukum Islam yakni adanya elastisitas dan dinamika di dalamnya. Metodologi Hukum Islam tidak berbeda dengan pengertian Ushul Fiqh, yang berdasarkan para ahlinya diartikan sebagai sesuatu yang di atasnya dibangun hukum Islam.
Yang dimksud agama islam didekati melalui pendekatan fiqh yakni melihat fiqh tidak hanya pada faktor formal hukumnya saja tetapi lebih kepada bagaimana proses menerima suatu aturan itu, sehingga dapat dibilang fiqh itu lebih dinamis, lebih terbuka, maka seyogyanya selaku orang islam tidak usah memperdebatkan perbedaan pendapat antara madzab atau fatwa satu dengan aliran atau madzab yang lain (toleransi). Karena ijtihad yang satu tidak mampu dirusak dengan ijtihad lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, Risa, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Surabaya: Serba Jaya.
Ali, Atabik dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia “Al-Ashri”, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999.
Ananda Afra, Faisar, Sejarah Pembentukan Hukum Islam Studi Kritis Tentang Hukum Islam di Barat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Khaldun, Ibn dan Abu Rahman, Muqaddimah, Mesir: Dar al-Fikr.
Khalil, Rasyad Khasan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2010.
Maman Kh, et al, Metodologi Penelitian Agama Teori dan Prektek, Jakarta: Raja grafindo Persada, 2006.
Muallim Amir dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: UII, 1999.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 2002.
Poerwanarminta W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976.
Rasjid Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2007.
Roibin, Sosiologi Hukum Islam, Malang : UIN Malang Press, 2008
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2011.
Zaidan, Abdul Karim, Pengantar Studi Syariah Mengenal Syariah Islam Lebih Dalam, Jakarta: Robbani Press, 2008.
[1] W.J.S. Poerwanarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), hlm. 161.
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka , 1990), hlm.193.
[3] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), hlm. 1067-1068
[4] Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia “Al-Ashri”, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999), hlm.1344
[5] Risa Agustin, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, (Surabaya: Serba Jaya), hlm.126.
[6] Maman Kh, et al, Metodologi Penelitian Agama Teori dan Prektek, (Jakarta: Raja grafindo Persada, 2006), hlm. 94.
[7] Ibn Khaldun dan Abu Rahman, Muqaddimah, (Mesir: Dar al-Fikr), hlm.446.
[8] Amir Muallim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: UII, 1999), hlm. 29-31.
[9] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2007), hlm.5
[10] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2007), hlm.5
[11] Sulaiman Rasjid, Fiqh… hlm. 5
[12] Abu Rahman, Muqaddimah, hlm. 446
[13] Abu Rahman, Muqaddimah, hlm. 446
[14] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam ,(Jakarta: Robbani Press, 2008), hlm. 44.
[15] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 1
[16] Ibid, hlm. 5
[17] Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh ,(Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2011), hlm. 23
[18] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Amzah: Jakarta, 2010), h. 35
[19] Ibid, Rasyad Hasan Khalil, h. 51
[20] Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 581.