Pembuat Kursi | Cerpen Pangerang P. Muda

Gerung dua jip dr arah gerbang praja mendetakkan nadi kota. Jalanan masih senyap. Orangorang lebih senang mengintip dr balik beling jendela tatkala dua jip itu melalui depan rumah mereka. Sebagian besar warga masih enggan keluar rumah, sesudah sehari sebelumnya angin ribut debu melintas & mengubah rupa kota kecil itu serupa mumi yg telah berbaring ribuan tahun. Sejauh tatap menyalang, yg terlihat kelabu semata.

Begitu mendapati orang, rombongan itu mengajukan pertanyaan di mana rumah pembuat kursi yg banyak dibicarakan itu. Saat menemukan orang kedua di jalanan & mendapat tudingan arah yg sama, yakinlah yg mereka cari memang tak keliru.

Rumah pembuat kursi itu berfungsi pula sebagai kawasan kerja. Setelah kendaraan beroda empat berhenti di depan rumah, yg duluan melangkah masuk yaitu orang yg turun dr jip belakang. Masih di ambang pintu, tamu itu sudah menukas, “Apakah ananda pembuat kursi yg populer itu?”

Tamu itu bertanya karena keliru menyangka usia pembuat kursi yg mereka kunjungi. Meski tak terlihat gerak tangan gemetar dikala mengetam sisi sebuah balok yg akan dijadikan kaki-kaki sebuah kursi, tetapi kerut-merut di wajah cukup untuk mewartakan usianya.

Pembuat kursi di depannya tak acuh & tetap meneruskan melakukan pekerjaan , membuat tamu itu merasa tersinggung. “Mm, ananda tak mengenal saya?” sergahnya.

Pembuat kursi itu sudah jamak didatangi pembesar, pula para pesohor, untuk memesan & berbelanja kursi buatannya. Makanya enteng saja ia menjawab, “Saya memang hanya mengenali hadirin yg pernah memesan kursi bikinan saya.” Barulah ia mendongak, menatap & mulai menilai-nilai perilaku congkak tamunya. “Dan tampaknya … ah, Tuan pasti belum pernah memesan kursi sebelum ini.”

“Memang belum.” Tak pula lekang sikap congkaknya, tamu itu menatap lekat si pembuat kursi seraya mengajukan usul, “Buatkan saya sebuah kursi yg sungguh istimewa,” berjeda seraya menghela napas, “Begitu istimewanya, sehingga kursi serupa itu belum pernah ananda buat sebelumnya, & pula tak akan ananda buat lagi samanya.”

Merespons dgn paras tak terkejut, tetap sedatar sisi-segi balok yg selesai ia serut, pembuat kursi itu mengangkat balok sepanjang dua kali lengannya yg sedang ia jalankan. Satu matanya memicing, sedang matanya yg terbuka ia tatapkan selurus garis tepi balok, menentukan balok itu telah presisi lurusnya. Ia kemudian mengusap permukaan balok, memutuskan kehalusan hasil serutannya.

  Cinta Laki-laki Biasa | Cerpen Asma Nadia

Sikap itu membuat si tamu mengulang sergah, “Kamu sanggup menjadikannya?”

“Tentu, Tuan,” jawab pembuat kursi. Balok dr tangannya ia turunkan, menggeletakkan di lantai bareng tumpukan balok lain yg telah ia laksanakan. Selerak repihan serutan kayu menghambur bercampur debu, membuat tamunya terburu-buru membekapkan telapak tangan ke hidung.

Di luar, angin bertiup sedikit lebih deras dr sebelumnya. Pembuat kursi itu berdiri, menutup sebagian tirai matahari di gerbang masuk kawasan kerjanya, serentak rombongan itu keluar. Orang yg beranjak paling belakang sempat berbisik kepadanya, “Ketahuilah, yg gres saja memesan kursi tadi, yakni orang penting.”

*****

Belum sepekan lewat sejak kunjungannya, rombongan dlm dua jip itu kembali datang. Dua orang di jip pertama & tiga orang di jip kedua. Mereka tiba memutuskan apakah pesanannya mulai dibentuk.

Melihatnya masuk, pembuat kursi menaruh siku baja yg gres ia pakai memeriksa sudut balok yg selesai diketam, mendongak ke arah tamunya & menyambut, “Maaf, Tuan, jika boleh saya bertanya: untuk apa sebetulnya kursi istimewa seperti yg Tuan pesan itu?”

Sedikit memeram kesal di wajahnya, tamu itu berujar, “Kamu tahu, kursi istimewa kini amat susah didapat.” Lalu balik bertanya, “Jadi ananda tak tahu untuk apa orang memesan kursi pada kamu?”

“Selama ini, saya hanya menciptakan, Tuan.”

Seusai melepas hela napas, menyerupai orang berpidato tamu itu berkata, “Saat kursi yg selama ini diduduki mulai terasa kerendahan, kekecilan, atau terlalu sederhana; maka dikala itulah orang mengharapkan duduk di kursi yg lebih tinggi, lebih besar, atau lebih mewah. Sementara orang-orang yg belum merasakan duduk di kursi yg istimewa, berusaha pula memilikinya.”

Penjelasan tamu itu cuma menerbitkan tawa tipis si pembuat kursi.

*****

Tak jua tanggal sikap congkak tamu itu tatkala tiba lagi. “Bagaimana dgn kursi istimewa pesanan saya? Sudah jadi?” tuntutnya.

“Sebenarnya, sebelum kehadiran Tuan, ada pemesan lain yg lebih dulu meminta dibuatkan kursi seperti yg Tuan pesan itu,” elak pembuat kursi, merasa yakin paras tamunya sontak berganti kesal. “Orang itu ingin pula dibuatkan kursi yg tak ada samanya, baik yg sudah maupun yg akan saya buat. Dan anehnya, sesudah kehadiran Tuan, beberapa orang tiba pula dgn maksud yg sama. Entah kenapa banyak orang memesan kursi mirip itu.”

  Lelaki yang Menjadi Api | Cerpen Hendy Pratama

“Di luar sana, di banyak kota, kursi-kursi buatanmu memang sudah menyebabkan persaingan,” tamu itu menyela dgn nada bunyi meninggi. “Dan saya ingin yg lebih dibandingkan dengan mereka.”

Pembuat kursi menghentikan gerak tangannya memaku bagian kursi yg sedang ia laksanakan, sejenak menyimak lanjutan kalimat tamunya, “Makanya buatkan saya kursi yg super-istimewa, yg melampaui keutamaan kursi-kursi mereka.”

Tak terpengaruh kalimat tamunya yg bernada ancaman, si pembuat kursi kembali memukulkan palunya ke kepala paku.

Sebelum berlalu, tamu yg senantiasa datang berpengawal itu berkata tegas, “Bila saya datang berikutnya, kursi istimewa pesanan saya harus sudah selesai ananda buat.”

*****

Si pembuat kursi merasa tak sedang berimajinasi . Dalam remang, ia lihat dinding-dinding kamar berputar, berbareng denging suara kakeknya masuk ke kupingnya, “Orang-orang yg telah berbelanja kursi buatanmu selalu saling pamer; merasa kursi-kursi mereka begitu istimewa, & mendudukinya menjadikannya merasa jadi andal. Akibatnya, mereka saling berebut imbas, memunculkan kompetisi & intrik banal. Kursi-kursi buatanmu malah menyebabkan kegaduhan: konflik, perpecahan, bahkan kesempatankerusuhan. Makara, Nak, untuk apa ananda membuat kursi, bila alhasil seperti itu?” Sudah berpuluh-puluh tahun suara itu tak ia dengar, semenjak kakeknya meninggal, membuatnya menduga cuma sedang berhalusinasi.

Sampai berhari-hari kemudian, kejadian itu terus mengusik pikirannya, menjadikannya lebih banyak duduk-duduk saja alih-alih membuat kursi. Jari-jari tangannya yg sudah demikian karib mengusap segi-segi suatu balok kayu setiap selesai diketam, kini dibiarkan diam tak melaksanakan apa-apa, menjadikannya merasa jari-jari itu akan membatu. Hasrat membuat kursi serasa bunyi palu mengetuk-ngetuk paku sedang ada di dlm kepalanya.

Merapatkan badan pada kursi panjang, ia terus memikirkan kejadian itu. Dari tirai depan yg kisi-kisinya terlepas, siang ini angin yg berembus masuk sedikit lebih higienis dr hari-hari sebelumnya, mengusap-usap kelopak matanya, membuatnya tertidur.

  Maling | Cerpen Putu Wijaya

Lalu timbul peristiwa lain, membuat ia mau saja bersumpah, bahwa sosok kakeknya ia yakini sedang berdiri di sisinya, & mendengarnya berkata, “Saya tahu sukar hatimu. Agaknya memang sudah takdirmu mengabdikan hidup membuat kursi. Kalau ananda memang tak bisa berhenti menciptakan kursi, maka cobalah membuat kursi yg sama sekali lain daripada yg umumananda buat….”

Ia terbangun oleh bunyi tirai penghalang sinar matahari yg terayun-ayun, mirip orang sedang mengetuk jendela depan. Begitu membuka mata, ia eksklusif bertekad tak akan membuat lagi kursi istimewa yg malah menciptakan orang berkonflik. Sosok kakeknya yg sudah lama tiada, yg dahulu menurunkan kesanggupan membuat kursi padanya, dua kali datang memberi instruksi. Kejadian itu membuatnya yakin bahwa memang sudah waktunya ia membuat kursi yg sama sekali lain.

Rancang dr wujud kursi itu coba ia buat teladan di dlm kepalanya: sebuah kursi yg tak bisa diperebutkan orang, tak akan menjadikan persaingan, & tak akan menciptakan konflik. Dalam bayangannya, orang yg duduk di kursi ini nantinya akan merasa sungguh tenang, tenang, & tak mengingini lagi kursi lain. Bila ada pemesan datang, ia berniat menawarkan kursi ini.

Saat itulah ada mobil berhenti, membuat debu bergemulung di depan rumah. Ia mengintip dr celah tirai, & menyaksikan tamu congkak beserta pengiringnya yg datang.

Sontak ia berdecak; walau tahu kedatangan tamu itu pasti untuk menagih kursi istimewa pesanannya, tapi ia berhasrat menunjukkan kursi baru rancangannya. Buru-buru ia bangun, menahan pengar yg mengurung kepalanya, seraya mencoba menguntai kalimat penawaran ketika memapak tamu itu nanti. “Maaf, Tuan, usia sudah melamurkan sebagian kesanggupan saya membuat kursi istimewa seperti yg Tuan pesan. Sekarang saya hanya bisa membuat satu macam kursi; kursi khusus, & bila Tuan berhasrat, akan saya buatkan yg mirip ini.”

Tamu itu dapat jadi tersenyum, pikirnya, mungkin perilaku congkaknya seketika punah, & pasti akan balik mengajukan pertanyaan, “Kursi apa itu?” Dan ia sudah siapkan jawaban: “Kursi kematian.”

Saat itulah tamu beserta pengawalnya tiba di depannya, dgn wajah agresif menghardik, “Mana kursi istimewa pesanan saya!”. (*)