Pabrik Skripsi | Cerpen On Thok Samiang

Waham memang gudangnya inspirasi-wangsit aneh. Ada-ada saja lontaran ide dr pikirannya. Tetapi, ya, begitu saja, sekadar ide saja. Lama kelamaan ide itu akan menguap & lenyap dikubur waktu. Maka tatkala ia menyatakan hendak mendirikan pabrik skripsi gue tak terkejut.

Begitu pula tatkala ia meminta gue untuk menjadi manajer buatan di pabrik yg akan didirikannya itu, kuanggap ia hanya sekedar bercanda. Bahkan tatkala undangan pelantikan pabriknya sudah di mejaku, gue masih saja mewaspadai kesungguhannya. “Serius awak rupanya?” tanyaku lewat handphone.

Alamaaak, kalau main-main mana mungkin gue mengajak awak tu. Selama ini memanglah banyak inspirasi gilaku yg tak sukses, tetapi yg ini beda, Kawan! Selain nilai komersial & harapannya prospektif, bisnis ini cukup prestisius. Karena itu mesti ditangani dengan-cara serius. Awak kan orang yg suka serius, inilah tempatnya!” celotehnya panjang lebar.

“Serius bagaimana? Masa awak tak tahu kehebohan tamat-final ini?”

“Apa itu?”

“Guru-guru naik pangkat dgn karya ilmiah diupahkan.” “Nah, itu ia. Karena lagi trendnya orang mengupah karya tulis, apa salah kita memanfaatkan momen itu?”

“Tetapi artinya kan kerja itu menyalah, ndak benar,” potongku.

Atan Waham termangu. Tetapi hanya beberapa detik. “Kata orang bijak, orang rasional mengikuti keadaan dgn kondisi sekeliling,” ucapnya terkekeh.

“Mengutip George Bernard Shaw itu jangan setengah-setengah. Dasar otak komersial,” celaku pula tertawa, sekedar mengimbangi gurauannya.

“Eh, gue salah, ya?” tawanya terhenti saat itu juga.

“Dagang sajalah yg awak tahu,” ejekku masih tertawa. “Filsuf Irlandia itu tak berhenti sampai di situ. ia bilang juga,”Orang yg tak rasional menyesuaikan kondisi sekeliling dgn dirinya. Semua pertumbuhan bergantung pada orang yg tak rasional,” tambahku mengutip kalimat Bernard Shaw yg tadi dikutipnya sepotong.

“Ah, terserah awaklah!” ucapnya enteng menutup obrolan.

Atan Waham tak main-main. ia bisa meyakinkan sekaligus meminta Walikota berkenan meresmikan pabrik skripsinya. Alasan yg paling sering digembar-gemborkannya adalah bahwa usahanya bergerak di bidang jasa intelektual. Makanya dgn sungguh percaya diri ia menamai pabriknya dgn sebutan “Pilar Akademika”.

“Kita berharap dgn adanya Pilar Akademika ini, birokrasi pengerjaan karya ilmiah dapat dipangkas. Sehingga kita tak akan mendengar lagi ganjalan mahasiswa yg sukar berjumpa profesornya melebihi bertemu birokrat di perkantoran,” urai Pak Walikota yg sudah bergelar Ir, Drs, MP, M.Sc, MH, MA, M.Ed, M.Pd. di depan & belakang namanya. Lengkapnya nama Walikota itu, Ir. Drs. Caba Tulen, MP, M.Sc., MH, M.Ag, M.Pd.

Usai program gue sempat berbincang dgn beberapa undangan. “Kalau sudah selesai 

kuliah, untuk apa lagi skripsi?” tanyaku heran pada seorang pemuda yg membawa map berisi materi untuk skripsi.

“Bos saya, Pak. ia hendak jadi caleg tahun depan. Makanya dr kini disediakan semuanya, ya…termasuk gelarnyalah,” jawab anak muda dgn senyum misterius.

  5+ Contoh Kisah Rakyat Bahasa Jawa Singkat Dan Pendek

“Itulah, Pak. Aneh pula rasanya negeri awak ni,” gerutu seorang ibu separuh baya. “Untuk jadi presiden ndak perlu syarat sarjana, tapi guru harus sarjana. Makanya jadilah sarjana jadi-jadian asal jadi. Sekepuk buruk banyaknya sarjana yg tak bisa menciptakan karya ilmiah, termasuk kami ini. Untunglah ada pabrik Pak Cik Atan Waham ni,” lanjutnya.

“Kami guru ni yg serba salah, Pak!” timpal seorang ibu muda pula.

Wah, lama-usang di sini gue bisa menjadi daerah luapan perasaan mereka. Tetapi tak etis pula rasanya jika gue meninggalkan mereka. Makanya gue bertahan saja menyimak mereka berkeluh-kesah.

“Ada kawan yg mengirimkan empat belas buah buku sastra. Ada kisah anak, ada cerpen. Sebagian buku itu pemenang kontes tingkat nasional yg dikerjakan Pusat Perbukuan, Jakarta. Tetapi tak satu pun yg diterima untuk syarat peningkatan pangkat ke IVB karena ia tak menciptakan Penelitian Tindakan Kelas atau PTK. Entah apa hebatnya PTK itu. Inikan penjajahan intelektual namanya, Pak. Ndak dihargai guru yg punya kesanggupan menulis bidang lain. Padahal sebaris puisi yg cantik saja, suatu cerpen
yang sarat nilai & sastrawi, dapat disebut selaku suatu karya intelektual, yg nantinya dapat ditularkan guru pada para siswa.”

“Barangkali maksud pemerintah supaya guru lebih fokus pada pembelajaran di kelas,” gue mencoba beralasan, berbasa-basi. “Apa puisi, cerpen, & karya sastra itu bukan materi pembelajaran? Itu malah bisa eksklusif dinikmati anak, langsung mampu dipraktekkan dlm pembelajaran. Bukan semata-mata untuk kepentingan naik pangkat guru. Iya, kan, Pak? Lagi pula PTK yg disusun guru itu banyak yg imitasi….”

“Ah, kalau itu kasuistis, Bu. Puisi, cerpen & yang lain itu pun lebih mudah lagi menggandakan-nya,” tangkisku.

“Kalau disyaratkan yg dinilai itu cuma yg termuat di media nasional, mana mungkin mereka menggandakan. Terlalu berani betul orang itu. Kalau pun mereka berani, akan lebih cepat atau gampang ketahuannya.”

“Tetapi itu kan berat, Bu. Hanya beberapa gelintir guru saja yg bisa menulis di media nasional.”

“Katanya mau professional, ya ndak bisa tanggung-tanggung. Kalau tidak, ya ndak usah buat aturan yg membuka potensi guru berbohong & membohongi. Apa bangsa ini dirancang untuk jadi penipu semua?”

Kacau, kacau. Aku mesti cari jalan untuk kabur, pikirku. Kalau tidak, gue benar-benar akan menjadi tong sampah kejengkelan mereka. “Tapi lewat Pilar Akademika ini kan urusannya mulus?” selidikku sambil berupaya keluar dr keramaian.

“Mulus karena fulus, Pak,” ucapnya kecut.

Tiga hari kemudian gue tiba ke pabrik skripsi Atan Waham. Aku mau menegaskan padanya bahwa gue sungguh-sungguh tak dapat menyanggupi permintaannya untuk bergabung dengannya, walaupun katanya beberapa orang berebut menduduki posisi yg ia tawarkan kepadaku. Sekitar lima ratus meter menjelang gapura bertuliskan “Pilar Akademika” itu, gue terkesima menyaksikan orang-orang yg berjubel di depan gerbang. 


Mulanya kukira mereka hendak berunjuk-rasa, tetapi tak ada teriakan-teriakan & caci maki. Tak ada lempar-lemparan kerikil. Antrian panjang yg meluber hingga ke jalan raya itu begitu tertib. Mirip warga di RT-ku tatkala antrian berbelanja minyak tanah. Bedanya, para pengantri ini pastinya tak menenteng diregen daerah minyak tanah, tetapi mengepit map berisi materi-materi untuk karya ilmiah mereka. Semuanya berpakaian necis, bergaya intelek.

  GoKill | Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Aku terpaksa memarkir motor di pinggir jalan. Lalu berjalan kaki menyelinap di antara pengantri.

Ei, antri Pak. Sama-sama ingin cepat!” tegur seorang pengantri dgn sinis melihatku menyelinap saja memotong antrian.

“Maaf, saya tak ….”

“Ya, tetap antri, Pak. Kami sudah sejak subuh di sini. Masa Bapak eksklusif nyelinap saja.”

“Tapi Bapak kan lihat, saya tak bawa apa-apa. Saya bukan ingin membuat skripsi, saya….”

“Apa pun permasalahan Bapak, tetap antri,” suaranya kian keras & tegas.

Keributan kecil itu tampaknya akan berlanjut bila gue tak mencari jalan pintas. Kuambil HP, kutelepon Atan Waham. Ada pula beberapa orang yg menghina tatkala gue menyebut nama Atan Waham. Dikiranya gue pura-pura kenal dgn sang pemilik pabrik. Tak sampai tiga menit, Atan Waham timbul di gerbang. ia menyelinap diantara para pengantri. Meskipun berkeringat, parasnya cerah sumringah begitu sampai di depanku. ”Terima kasih, awak tiba pula risikonya,” celotehnya dgn tertawa lebar.

Mulutku terkunci saat itu juga. Ucapannya yg bergairah & dekat itu membuatku kehilangan kata-kata. Sebenarnya gue ingin memberikan maksud kedatanganku disitu saja. Tidak perlu masuk ke kantornya. Tetapi melihatnya begitu bersemangat menyambutku, gue tak sampai hati. Apalagi beberapa pengantri mendengar percakapan kami. Bisa-bisa gue dianggap menjatuhkan marwahnya didepan para peminat yg berjubel itu.

Sambil menggandengku, ia melanjutkan, “Kenapa tak telepon tadi, biar dijemput mobil kantor.” Aku berdasarkan saja ke dalam.

Di ruang kerjanya tampak beberapa kertas berserakan di meja. Agaknya ia bergegas keluar begitu mendapat telepon dariku tadi. Puluhan skripsi, makalah, bahkan tesis & disertasi bertumpuk-tumpuk di pojok dekat meja kerjanya. Tumpukan paling tinggi terdapat pada karya bertuliskan CAR. Pastilah itu singkatan dr Classroom Actions Research atau yg lebih dikenal dgn PTK (Penelitian Tindakan Kelas). Karya ilmiah jenis inilah yg menjadi primadona sebagai syarat untuk naik pangkat ke IVB seperti yg disebut guru muda beberapa hari lalu.

“Ini order paling laku ketika ini,” jelas Atan Waham tanpa ku minta seraya menepuk tumpukan karya bertuliskan CAR itu. “Karena masih menanti awak, semua pekerjaan manajer buatan kutangani dulu. Kerja awak cuma merevisi karya yg sudah jadi. Itu pun awak dibantu tiga asisten. Ndak susah, kan?” lanjutnya.

  Mata di Bibir Subuh | Cerpen Artie Ahmad

Aku termangu, tak tahu harus berkata apa. Semua yg hendak kukatakan pada Atan Waham tatkala akan ke sini tadi, lenyap entah kemana. Untunglah sejurus kemudian meluncur ucapanku,

”Maaf, Tan. Aku betul-betul tak bisa.” “Awak bisa, cuma tak mau, ya kan?” “Apa bedanya? Aku ni guru, Tan!”

“Siapa bilang awak tu presiden?” Atan Waham mencoba bercanda. “Dari dahulu pula gue tahu awak tu guru. Guru yg sudah menulis puluhan buku. Itu sebabnya gue meminta awak menjadi manajer bikinan di sini,” lanjutnya masih berusaha meyakinkanku.

“Awak tahu perilaku hidupku kan?” tanyaku sehabis kami cukup usang termangu. Atan Waham menatapku lekat-lekat. Ada kekecewaan di parasnya. Tetapi sejurus kemudian ia tersenyum, lalu dgn setengah mengiba ia membujuk, “Awak tak kasihan padaku? Cobalah sebulan-dua, kalau tak selesa, terserahlah.”

Hampir saja gue luluh dipaksa begitu. Tak tega gue melukai kawan dekat kentalku ini. Meskipun dlm hal-hal tertentu kami punya prinsip & perilaku hidup yg berbeda, tetapi persahabatan kami tak pernah renggang. Salah satu sebabnya yaitu lantaran kami tak pernah saling memaksakan prinsip & sikap hidup.

Akan tetapi sekarang, bukankah Atan Waham sudah memaksakan prinsip & sikap hidupnya kepadaku? Hampir dua ahad ia membujukku semoga mau melakukan pekerjaan di kantornya, di Pilar Akademika. Setiap kali ia merayuku, setiap kali itu pula gue menolak, tetap menyampaikan tak sanggup. Hanya saja gue tak tega menerangkan alasanku pada Atan Waham. Bagaimana pun halusnya bahasaku, ia niscaya tersinggung jikalau kukatakan gue tak sanggup jadi pelacur intelektual. Setahuku membuat karya ilmiah untuk dipakai oleh orang lain merupakan pembohongan terencana, penipuan. Bukankah dlm budpekerti penulisan karya ilmiah, mengutip satu kalimat saja sudah harus mencantumkan sumbernya? Apatah lagi menciptakan satu karya ilmiah. Pelakunya sama saja dgn pelacur, pelacur intelektual. “Cari saja yg lain, ya Tan!” ucapku kesannya memohon pengertiannya setelah melihatnya frustasi membujukku. “Aku sungguh menghargai pertemanan kita. Aku tidak mau rusak gara-gara ini. Jadi tolong hargai sikapku….”

“Iya, gue hargai. Tetapi jelaskan kenapa kamu-sekalian menolak?” tanyanya putus asa.

“Aku belum sanggup menjadi pelacur.” Meluncur pula simpulan-nya kalimat itu dr bibirku tanpa sadar. Atan Waham melongo, macam patung belum jadi. Rona wajah-nya yg berkeringat berkilat- kilat, kusut, meleleh. [*]

Catatan:

  • Awak = kau; kau-sekalian (dapat pula bermakna saya, aku, tergantung konteks kalimat)  
  • Sekepuk buruk = istilah yg menyatakan sudah terlampau banyak (bahasa Melayu Telukriti)
  • Selesa = serasi; sesuai