PAGI belum tinggi. Udara baru bersih dr serbuk embun. Ali Akbar berlangsung pincang menembus jalan yg masih sepi. Mata kirinya yg cacat semenjak lahir terpicing. Sinar matahari terasa hangat menjamah wajah & kulit lengannya yg tak tertutup kemeja putih yg ia kenakan.
Seekor tikus got sebesar kucing akil balig cukup akal yg kesiangan berlari gupuh menyeberang jalan. Berpindah dr satu got ke got lain. Ali Akbar menyepak kaleng minuman bersoda di depannya. Ia agak menepi begitu mendengar derum mobil dr belakang.
Sebuah minibus melintas & melambat begitu melewati Ali Akbar. Kepala pengendaranya timbul dr beling jendela yg diturunkan. Ali Akbar tersenyum & melambai. Si pengendara menjulurkan tangannya & balas melambai. Mereka kawan sejak masa kecil, sama-sama merantau ke Surabaya selepas lulus Sekolah Menengan Atas.
Namun nasib selalu berlawanan atas tiap kepala. Minibus itu kembali mempercepat lajunya. Perjalanan ke kedai tak lama. Bahkan sekalipun kaki Ali Akbar pincang & membuat perjalanan terhambat. Asap dr minibus membubung hitam & bergumpal-gumpal.
Ali Akbar sering pusing melihat minibus tersebut. Seharusnya, pikir Ali Akbar, ia tak mengalah mirip yg dikatakan Wili Kucing, si pengendara minibus, beberapa tahun lampau tatkala mereka baru menginjakkan kaki di Surabaya yg keras & ganas.
“Tapi gue picak,” kata Ali Akbar waktu itu.
“Justru cantik. Orang-orang akan takut menyaksikan tampangmu. Kau hanya perlu menumbuhkan cambang & kumis yg lebat. Sudah, beres,” jawab Wili Kucing.
“Aku tak sepertimu.”
“Kau hanya mesti mencobanya. Percayalah. Kita kan kawan baik.”
Seminggu sesudah percakapan itu, sewaktu sangu dari kampung sudah menipis sementara pekerjaan belum pula didapat, dgn ragu Ali Akbar mengetuk kamar kos Wili Kucing. Tepat di sebelah kamar kosnya.
“Aku mau mencoba,” katanya begitu kepala Wili Kucing yg bulat & berminyak muncul dr celah pintu. Tatapan mata laki-laki itu tajam. Wili Kucing tersenyum seraya menyisir rambutnya yg sebahu ke belakang.
Percobaan itu terperinci tak sukses. Malaikat kesialan sedang merentangkan sayap-sayap hitamnya ke kepala Ali Akbar & Wili Kucing sewaktu wanita paro baya itu berteriak & seorang tentara bangkit tak jauh dr mereka. Tentara itu lepas dr observasi mereka alasannya adalah terlindung di balik angkot yg parkir asal pilih. Ali Akbar & Wili Kucing berlari. Ali Akbar dgn panik yg hebat, sementara Wili Kucing dgn tas perempuan di tangan kiri. Panik, mereka terpisah.
Pada waktu itulah malaikat kesialan mesti menentukan, menjaga sayap-sayapnya tetap menaungi Ali Akbar atau mengikuti Wili Kucing. Malaikat kesialan jelas tak menyukai kepengecutan di kota macam Surabaya. Maka ia beri kesempatan pada Wili Kucing & menimpakan tulah buruknya pada Ali Akbar. Si tentara menentukan memburu Ali Akbar sambil mulutnya terus meneriakkan kata copet.
Ketakutan & kecemasan, alih-alih menciptakan Ali Akbar kian gesit & cepat berlari, justru menciptakan tenaganya menyusut. Terdorong oleh teriakan si tentara, beberapa orang di jalan berupaya membatasi & menangkap Ali Akbar. Susah payah Ali Akbar berkelit & terus memaksakan kakinya berlari. Namun itu semua hanya kasus waktu. Setelah satu kilometer yg seakan sepanjang separo bumi, Ali Akbar terjatuh dgn napas hampir putus di seruas jalan yg lumayan ramai.
Di sanalah si serdadu mendaratkan kepalan & tendangannya. Lantas orang-orang yg kebetulan lewat, begitu menyaksikan seragam si tentara, pribadi saja turut andil dlm peristiwa yg tak akan pernah dilupakan Ali Akbar. Tak terhitung berapa kali Ali Akbar mengucapkan permintaan ampun. Tak terhitung pula makian si serdadu yg terus-akses menyebutnya maling & jambret terkutuk. Makian itu memanggil semakin banyak orang.
Mereka baru berhenti menimpakan penderitaan pada Ali Akbar setelah cowok itu jatuh pingsan & dua orang polisi datang untuk melerai. Ali Akbar dibawa ke rumah sakit & dokter menyampaikan ia akan segera pulih. Namun kaki kanannya tak akan berfungsi wajar sebagaimana sebelumnya. Tiga hari di rumah sakit, Ali Akbar dipindah ke kamar sempit penjara. Sebulan di balik jeruji, ia dibebaskan.
Setelah kejadian tersebut, Ali Akbar menetapkan mempertahankan jarak dgn Wili Kucing. Berulang kali Wili Kucing menemuinya & mengatakan bahwa waktu itu mereka sedang sial saja. “Kau harus menjajal lagi, jangan mengalah,” kata Wili Kucing. Ali Akbar menggeleng. Tatkala Wili Kucing terus mendesak, ia cuma menjawab lemah, “Kini kakiku sudah pula pincang. Dengan kaki wajar saja gue tak mampu meloloskan diri, apalagi dgn kaki seperti ini.”
Hubungan mereka nyaris beku sesudah itu. Mereka tak pernah lagi bercakap-mahir meski masih saling menyapa dgn senyum atau lambaian tangan setiap kali berjumpa. Untuk menebus rasa bersalah, Wili Kucing kerap menyelipkan uang ke celah bawah pintu kamar kos Ali Akbar selama Ali Akbar belum mendapatkan pekerjaan. Ali Akbar menyadari dr mana uang yg sering ia temukan itu berasal. Ia mendapatkannya & mempergunakannya untuk bertahan hidup sebagaimana mestinya. Namun ia tetap merasa risih bila harus bercakap atau mengucapkan terima kasih pada Wili Kucing.
Ketika kemudian Ali Akbar mendapatkan pekerjaan selaku pelayan di suatu kedai makan dgn gaji mingguan & menetapkan pindah kos yg lebih akrab ke tempat kerjanya, asupan uang dr Wili Kucing berhenti. Namun Ali Akbar pula tahu Wili Kucing pula menetapkan pindah kos, dekat dgn kosnya yg baru untuk kemudian –beberapa tahun setelahnya– mengontrak rumah di lingkungan itu juga. Ia merasa Wili Kucing berupaya menegaskan keamanannya. Dengan kondisi seperti itu, mereka masih sering berpapasan atau berjumpa. Dan seperti sebelumnya, mereka pula cuma saling menyapa.
Mungkin, pikir Ali Akbar, bila tak segera menyerah mirip yg dibilang Wili Kucing & mengambil potensi kedua yg disediakan mitra baiknya itu, ia sekarang sudah mampu membeli mobil mirip Wili Kucing. Dan tak mesti sukar payah mengajukan protes pada pemilik kedai demi peningkatan upah yg tak seberapa. Meski tak tertutup kemungkinan pula riwayatnya akan selsai dgn suatu lubang peluru di dada atau meringkuk bertahun-tahun dlm ruangan pengap penjara.
Sebuah motor berknalpot brong melintas & Ali Akbar tersentak dr lamunannya. Kedai tak jauh lagi. Plang aluminium besar bertulisan nama kedai tersebut sudah terlihat. Ali Akbar mempercepat langkah. Dua orang pegawai berdiri di paras kedai.
“Kenapa kalian tak masuk?” kata Ali Akbar menyapa.
Dua orang itu saling pandang. Madjuki, tukang masak dgn kumis melintang & kepala gundul licin, menghela napas besar sebelum menjawab. “Aku merasa tak enak,” katanya. “Agak canggung.”
“Kenapa? Ini sudah rampung,” jawab Ali Akbar.
“Tapi bagaimana ya…” Rusman Hadi, pencuci piring, menggantungkan kalimatnya di udara.
“Yang lain belum datang?” Ali Akbar menengok sekeliling.
Tiga palem ratu masih bangun kokoh. Dua laras palem kering teronggok di halaman, berbagi daerah dgn rumput-rumput liar yg menyembul dr sela-sela paving. Beberapa puntung rokok pula terserak, bertetangga dgn kantong plastik hitam yg dibawa angin entah dr mana. Pintu kedai masih tertutup.
Selain pemilik kedai, Rusman Hadi yaitu satu-satunya orang yg memegang kunci kedai. Di samping bertugas mencuci piring, ia mesti menyapu & mengelap beling & karena itu ia senantiasa menjadi orang pertama yg tiba di kedai.
“Aku tak yakin mereka bakal tiba,” jawab Madjuki pelan. “Malu. Mereka niscaya aib. Asal kamu tahu, gue pula nyaris tak berangkat tadi. Ah, seandainya ada pekerjaan di daerah lain untukku.”
“Kita kalah, bukan?” gumam Rusman Hadi.
“Ya. Kita kalah. Permintaan kita tak dituruti, bahkan sekalipun kita sudah empat belas hari mogok kerja. Dan sekarang kita kembali alasannya adalah kita butuh kerja, kita butuh makan. Kita memang kalah. Dua ahad tanpa pendapatan sungguh-sungguh menyeramkan,” jawab Ali Akbar.
Sebutir keringat terbit di keningnya. Tenggorokannya terasa kering. Ia memasukkan kedua tangannya ke dlm saku celana. Saku yg bahkan lebih kerontang daripada tenggorokannya.
“Ia bahkan tak peduli pada materi makanan yg mungkin saja kini sudah membusuk,” kata Madjuki.
“Ya. Kita belanja banyak sebelum mogok, bukan? Daging & sayur itu niscaya sudah tak enak dimasak. Kita berharap hal itu akan menjadi pemanis amunisi negosiasi kita. Tapi Albert itu… ah, gue tak tahu apa yg ada di pikirannya. Ia mengambil risiko barang-barang itu rusak dibandingkan dengan memaksimalkan upah kita,” timpal Rusman Hadi.
“Sudahlah. Kita tak perlu membahasnya. Hanya bikin sakit hati. Yang terang, ia menang. Dan di antara kita semua, gue yg mesti tiba kepadanya mengemis-ngemis biar kedai kembali buka & kita mampu bekerja mirip sebelumnya cuma alasannya ilham pemogokan itu berasal dr kepalaku. Albert sialan itu cuma tertawa & mengatakan semoga orang-orang mirip kita ini jangan macam-macam,” ucap Ali Akbar menerawang.
“Ia bahkan tak menerimaku di ruang tamu rumahnya. Ia duduk di kursi teras & tak mempersilakanku duduk. Ia benar-benar tahu cara menyiksa orang lain.”
Keheningan menggenang beberapa dikala. Satu dua kendaraan mulai meramaikan jalan, menangkal keheningan itu memanjang. “Ayo masuk. Kau masih bawa kuncinya, bukan?” kata Ali Akbar sesudah menghela napas panjang & mengembuskannya besar lengan berkuasa-kuat seraya menoleh ke Rusman Hadi.
Rusman Hadi mengangguk. Udara yg lebih hangat menyentuh kulit mereka begitu pintu terbuka. Rusman Hadi membuka tirai. Sinar matahari menerobos lewat kaca jendela & menciptakan abu-debu di lantai serta meja terlihat jelas.
“Inilah penjara bagi kita, penjara bagi orang-orang yg kalah,” teriak Ali Akbar. Kedua kawannya menoleh. Ali Akbar tersenyum memamerkan gigi-giginya yg putih & rapi. “Mau bagaimana lagi?” tambahnya.
Dalam hatinya, ia membayangkan dirinya Wili Kucing yg sudah mampu kontrak rumah & punya minibus. Dan selaku Wili Kucing, ia tak akan ragu untuk mengancam Albert, si pemilik kedai. Dan tatkala bahaya itu gagal, ia akan mengendap-endap di rumah Albert suatu malam, menyelinap ke dalam, & menggasak apa saja yg mampu ia gasak.
Tapi ia memang tak lagi punya cukup nyali. [*]