close

Normativitas Dan Historisitas Dalam Studi Islam

Normativitas dan Historisitas dalam Studi Islam                                                           
                                                               PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi dan ilmu wawasan, yang termasuk di dalamnya ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan dengan segera relatif memperpendek jarak perbedaan budaya antara satu kawasan dan daerah lainnya. Pada gilirannya, hal ini berpengaruh pada kesadaran manusia wacana apa yang disebut fenomena agama. Pada masa sekarang ini agama tidak dapat lagi didekati dan difahami hanya lewat pendekatan teologis-normatif saja.
Pada penghujung kurun ke 19, lebih-lebih pada pertengahan era ke 20, terjadi perubahan paradigma pengertian tentang “agama” dari yang dulu terbatas pada “Idealitas” ke arah “historitas”, dari yang hanya berkisar pada “dogma” ke arah entitas “sosiol logis”, dari diskursus “esensi” ke arah “keberadaan”.
Orang tidak mungkin gampang disalahkan untuk melihat fenomena agama secara aspektual, dimensional, dan bahkan multi dimensional dikarenakan pergaulan dunia yang terbuka dan transparan. Selain agama memiliki kepercayaan teologis-normatif, dan memang disitulah letak hard core dibandingkan dengan keberagamaan insan, orang dapat pula melihatnya sebagai tradisi. Sedangkan tradisi susah dipisahkan dari aspek human construction yang semula dipengaruhi oleh perjalanan sosial-ekonomi-politik dan budaya yang amat panjang.
Normativitas dan Historisitas dalam Studi Islam  Normativitas dan Historisitas dalam Studi Islam
Bagi seorang muslim, pengertian yang mendalam dan kaaffah akan agama Islam dengan merumuskan kembali penafsiran ulang supaya sesuai dengan tujuan dari jiwa agama sangat diperlukan semoga ia dapat menjadi insan yang berpandangan luas, bijaksana dan dapat menyaksikan perbedaan-perbedaan yang muncul dalam menyikapi persoalan-permasalah dalam kehidupan dunia. Untuk mengarah pada pengertian yang holistik itu, diketahui dua pokok macam pendekatan, yakni normativitas dan historisitas. Normativitas ialah aturan baku, yang tidak mampu dilepaskan dari pedoman tentangnya, sedangkan historisitas ialah betuk sejarah bagaimana dogmatik itu timbul.
Perbedaan kedua jenis pendekatan ini sering menimbulkan ketegangan. Pendekatan normativitas menuduh pendekatan kedua, historisitas, sebagai pendekatan yang menekankan pengertian keagamaan terbatas pada faktor lahiriah keberagamaan manusia, dan kurang mengetahui menyelami, dan menjamah faktor batiniah, serta moralitas yang terkandung di dalam ajara-fatwa itu sendiri. Sifat mirip ini disebut dengan sifat “reduksionis”.
Sedangkan pendekatan historisitas menuduh bahwa perdekatan pertamna, normativitas, sebagai pendekatan yang bersifat sewenang-wenang. Karena pendekatan normativitas mengabsolutkan teks yang tertulis, tanpa berupaya mengetahui lebih dahulu apa bahwasanya yang melatarbelakangi aneka macam teks keagamaan yang ada.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas kiranya penting bagi penulis merumuskan masalah yang hendak dibahas selaku berikut.
  1. Apa pemahaman Islam dalam bingkai normativitas dan historisitas?
  2. Apa saja ruang lingkup kajian Islam normatif dan historis?
  3. Bagaimana negasi antara Islam dalam bingkai normativitas dan historisitas?
C. Tujuan
Sesuai dengan rumusan persoalan di atas, maka tujuan penulisan makalah ini ialah sebagai berikut;
  1. Untuk mengetahui pengertian dari Islam dalam bingkai normativitas dan historisitas.
  2. Untuk mengenali ruang lingkup kajian Islam normatif dan historis.
  3. Untuk mengetahui negasi diantara Islam dalam bingkai normativitas dan historisitas.  
                                                              PEMBAHASAN
A. Pengertian Islam Normatif dan Historis
  • 1). Islam Normatif
Kata Normatif berasal dari bahasa inggris norm yang mempunyai arti norma, fatwa, teladan, ketentuan perihal dilema yang baik dan jelek, yang boleh dikerjakan dan yang dilarang dijalankan. Adapun Studi Islam dengan pendekatan normatif yaitu sebuah pendekatan yang menatap agama dari segi ajarannya yang pokok dan orisinil dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat daypikir ajaran insan.
Islam normatif juga mampu diartikan Islam yang berada pada dimensi sakral, yang diakui adanya realitas transendental, yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu, atau sering disebut selaku realita ketuhanan. Dengan kata lain, Islam normatif merupakan Islam ideal atau Islam yang semestinya. Bentuknya berupa faktor tekstual Islam, yaitu aturan-hukum Islam secara normatif yang termuat dalam al-Qur’an dan Hadits yang kebenarannya otoriter dan tidak mampu dipersoalkan.
Hal itu dimanifestasikan dengan Quran dan Hadits. Alquran dan Hadits mengandung nilai-nilai yang sakral dan tidak bisa berubah hingga kapanpun. Keduanya mempunyai teks atau bentuk tulisan, dan terhadap kedua teks inilah pendekatan normatif berdasar. Makara, apapun yang terjadi, semua aturan yang dikontrol dalam Islam tidak boleh keluar dari teks. Jika teks berbunyi A, maka hukum yang ada pun harus A. Meski di kawasan lain ada aturan B yang berinti sama dengan teks A.
Pemahaman Islam secara normatif bersifat doktriner, ialah bahwa agama Islam selaku objek studi diyakini sebagai sesuatu yang suci dan merupakan keyakinan-akidah yang berasal dari ilahi yang memiliki nilai (kebenaran) absolut, mutlak, dan universal. Pendekatan doktriner tersebut juga berasumsi bahwa ajaran Islam yang bekerjsama yaitu aliran Islam yang berkembang pada abad salaf, yang menimbulkan banyak sekali mazhab keagamaan, baik teologis maupun aturan-hukum atau fiqh, yang tetap dan baku. Sesudah periode itu, studi Islam berjalan secara doktriner. Sehingga anutan Islam menjadi bersifat permanen, yang pada akhirnya menjadi tampak sebagai ketinggalan zaman.
Sisi lain dari pendekatan normatif secara biasa ada dua teori yang mampu dipakai bersama pendekatan normatif-teologis. Teori yang pertama ialah  hal-hal yang bertujuan untuk mengetahui kebenaran serta dapat dibuktikan secara empirik dan eksperimental. Teori yang kedua ialah hal-hal yang sulit dibuktikan secara empirik dan eksperimental. Untuk hal-hal yang dapat dibuktikan secara empirik lazimnya disebut dilema yang berafiliasi dengan ra’yi (penalaran).
 
Sedang persoalan-masalah yang tidak berhubungan dengan empirik (ghaib) lazimnya diusahakan pembuktiannya dengan mendahulukan kepercayaan. Hanya saja cukup susah untuk menentukan hal-hal apa saja yang masuk penjabaran empirik dan mana yang tidak sehingga terjadi menimbulkan perbedaan usulan dikalangan para mahir. Maka sikap yang perlu dilakukan dengan pendekatan normatif yakni perilaku kritis.
Dalam aplikasinya pendekatan nomatif tekstualis tidak menemui kendala yang bermakna ketika digunakan untuk melihat dimensi islam normatif yang bersifat Qoth’i. Persoalanya justru akan semakin rumit saat pendekatan ini dihadapkan pada realita dalam Al-Quran bahkan diamalkan oleh komunitas tertentu secara luas pola yang paling kongkrit yaitu adanya ritual tertentu dalam komunitas muslim yang sudah mentradisi secara turun temurun,mirip slametan (Tahlilan atau kenduren).
Dari uraian tersebut tampakbahwa pendekatan normatif tekstualis dalam mengetahui agama menggunakan cara berpikir deduktif yaitu cara berpikir yang berawal dari iktikad yang diyakini benar dan mutlak sehingga tidak butuhdipertanyakan lebih dahulu melainkan dimulai dari iman yang berikutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
  • 2). Islam Historis
Historis berasal dari bahasa inggris History yang bernakna sejarah, yang berarti pengalaman era lampau daripada umat manusia. Kata sejarah secara terminologis bermakna suatu ilmu yang membicarakan aneka macam peristiwa atau gejala dengan memperhatikan komponen daerah, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari insiden tersebut. Sejarah sebagai ilmu insan yaitu studi tentang rangkaian istilah-istilah (peristiwa-insiden) khusus yang tak dapat ditarik kembali di mana perumpamaan-perumpamaan yang lebih selesai secara kumulatif dipengaruhi oleh yang lebih dahulu.
Islam historis memiliki arti Islam yang tidak terlepas dari sejarah kehidupan manusia yang berada dalam ruang dan waktu. Maksudnya, Islam seperti ini terangkai oleh konteks kehidupan pemeluknya, sebab memang berlainan di bawah realitas ke Tuhanan. Dengan kata lain, Islam historis ialah Islam riil atau Islam yang senyatanya. Bentuknya berupa faktor kontekstual Islam, yakni penerapan secara mudah dari Islam normatif. Maksudnya, wujud Islam historis tersebut diambil dari upaya penggalian kepada nilai-nilai normatif melalaui aneka macam pendekatan di berbagai bidang yang menghasilkan aneka macam disiplin ilmu, antara lain ilmu tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh, teologi, tasawuf, dan lain-lain yang kebenarannya bersifat relatif dan terbuka untuk dipersoalkan.
Menurut M.Amin Abdullah dalam bukunya Studi Agama Nomativitas dan Historitas. Islam historis yaitu Islam yang ditelaah melalui banyak sekali sudut pendekatan keilmuan sosial keagamaan yang bersifat multi- dan inter-disipliner, baik lewat pendekatan historis, filosofis, psikologis, sosiologis, kultural, maupun antropologis. Melalui kajian ini seseorang akan diarahkan dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan terkenal diseluruh dunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya keselarasa bahkan kesenjangan antara yang terdapat pada alam idealis dengan yang ada pada alam empiris.
Pendekatan kesejarahan ini amat diharapkan dalam mengetahui agama, alasannya adalah agama itu sendiri turun dalam suasana yang kasatmata bahkan berhubungan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hal ini, Kuntowijaya telah melaksanakan studi yang mendalam kepada agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika beliau mempelajari al-Qur’an, ia hingga pada suatu kesimpulan bahwa pada dasar kandungan al-qur’an itu terdiri menjadi dua bab. Bagian pertama, berisi desain-rancangan dan bab kedua, berisi dongeng-cerita sejarah dan perumpamaan.
Selanjunya, bila pada bagian yang berisi konsep-konsep al-Quran berencana untuk membentuk pemahaman yang komprehensif tentang nilai-nilai Islam, maka pada bab kedua yang berisi kish-cerita dan istilah-ungkapan, al-Qur’an mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh pesan tersirat. Melalui kontemplasi(peny angkokan) kepada peristiwa-insiden atau peristiwa-kejadian historis dan juga lewat kisah-kisah yang berisi pesan yang tersirat tersembunyi, insan diajak merenungkan hakikat dan makna kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisikan undangan semacam ini, tersirat maupun tersurat baik menyangkut nasihat historis ataupun menyangkut simbol-simbol. Mislanya simbol perihal rapuhnya rumah laba-keuntungan, ihwal luhurnya sehelai daun yang tak lepas dari observasi Tuhan atau wacana keganasan samudra yang menyebabkan orang-orang kafir berdoa.
B. Ruang Lingkup Islam Normatif dan Historis
Berdasarkan pengertian studi Islam dalam bingkai normatif di atas yang menyampaikan bahwa pemahaman agama pada teks, maka dapat diperinci ruang lingkup dalam memahami Islam sebagai berikut.
  • 1). Tafsir
Tafsir yaitu ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (al-Quran) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta pesan tersirat yang terkandung di dalamnya. Al-quran menjadi objek pembahasan tafsir merupakan sumber agama Islam. Kitab suci ini menduduki posisi sentral, bukan cuma dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, namun merupakan inspirator, pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang lima belas masa sejarah pergerakan umat ini.
Amin Abdullah dalam bukunya yang berjudul Studi Agama yang mengatakan, bahwa sejarah penulisan Tafsir periode pertengahan, agak tidak terlalu meleset jika dikatakan bahwa dominasi penulisan al-Qur’an secara leksiografis (lughawi) terlihat lebih menonjol. Tafsir karya Shihab al-Din al-Khaffaji (1659) memusatkan perhatian pada analisis gramatikan dan analisis sintaksis atas ayat al-Qur’an. Juga karya al-Baydawi (1286), yang hingga searang masih dipergunakan di pesantren-pesantren, memusatkan penafsiran al-Qur’an corak leksiografis seperti itu.
Tafsir terbaru karya ‘Aisyah Abd Rahman bint al-Syati’ al-Tafsir al-Bayani lil al-Qur’an al-Karim, yang oleh silabus jurusan TH fakultas Usuluddin IAIN Sunan Kalijaga halaman 151 disebut sebagai al-Tafsir al-‘Asri, juga masih punya kesan berpengaruh corak leksiografi. Tanpa harus mengecilkan jasa besar tafsir yang bercorak leksiografi seperti itu, corak penafsiran seperti itu dapat menenteng kita terhadap pengertian al-Quran yang kurang utuh alasannya belum mencerminkan suatu kesatuan pemahaman yang utuh dan terpadu dari al-qur’an yang fundamental. Karya tafsir yang menonjolkan faktor Ijaz, umpamanya, akan membuat kita kepincut akan keindahan bahasa al-Alquran, namun belum mampu menguak nilai-nilai spiritual dan sosio-akhlak al-Qur’an untuk kehidupan seharihari manusia. Begitu juga penonjolan aspek asbab al-nuzul –jikalau terlepas dari nilai-nilai fundamental-universal yang ingin ditonjolkan- sudah barang tentu berfaedah untuk mempelajari latar belakang sejarah turunnya ayat per ayat, tetapi juga mengandung minus keterkaitan dan keterpaduan antara anutan al-Qur’an yang bersifat universal dan transendental bagi kehidupan manusia dimana pun mereka berada. Dalam kaitannya dengan ini kita lalu teringat, sekligus kesengsem untuk mengkaji lebih lanjut kaidah penafsiran yang berbunyi “al-‘Ibratu bi ‘umumi al-lafaldi laa bi khususi al-sabab”. Titik tekan yang berlebihan pada asbab al-nuzul akan menenteng kita secara tak tersadari terhadap pemahaman yang mengacu pada khususi al-sabab, bukan pada bi ‘umumi al-lafaldi.
  • 2). Hadits
Menurut jumhur ulama hadits yakni segala sesuatu yang dinukil dari Rasulullah saw, sobat atau tabiin baik dalam bentuk ucapan, tindakan maupun ketetapan, baik seluruhnya itu dijalankan ketika-waktu saja, maupun lebih sering dan banyak disertai oleh para sahabat.Seiring dengan waktu,  ilmu hadits tumbuh menjadi salah satu disiplin ilmu keislaman. Penelitian hadits nampaknya masih terbuka luas utamanya kaitannya dengan permasalahan remaja ini. Penelitian terhadap kualitas hadits yang dipakai dalam berbagai kitab contohnya belum banyak dijalankan. Demikian pula penelitian hadits-hadits yang ada keterkaitannya dengan banyak sekali duduk perkara nyata terlihat masih terbuka luas. Berbagai pendekatan dalam mengetahui hadis juga belum banyak dipakai. Misalnya pendekatan sosiologis, paedagogis, antropologis, ekonomi, politik, filosofis, sepertinya belum banyak dipakai oleh para peneliti hadits sebelumnya. Akibat dari kondisi demikian, maka tampak bahwa pengertian masyarakat kepada hadits pada umumnya masih bersifat parsial.
  • 3). Teologi
Secara etomologis, kata teologi diartikan ilmu agama, ilmu perihal Tuhan berhubungan dengan sifat-sifatnya, utamanya berhubungan dengan kitab suci. Sedangkan dalam arti perumpamaan teologi adalah ilmu yang membicarakan wacana persoalan ketuhanan, sifat-sifat wajibNya, sifat-sifat mustahilNya dan hal-hal lain yang berafiliasi dengan perbuatanya. Dengan demikian teologi ialah istilah ilmu agama yang membahas pemikiran dasar dari suatu agama atau suatu kepercayaan yang tertanam dihati sanubari. Setiap orang yang ingin memahami seluk beluk agamanya, maka perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang diyakininya.
Teologi, sebagaimanaa kita pahami, tidak bisa tidak niscaya mengacu pada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, akad dan pengabdian yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yaitu bahasa sebagai pelaku –bukan sebagai pengamat- adalah ialah ciri yang menempel pada bentuk ajaran teologis. Dalam Islam terdapat teologi Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Dan sebelumnya muncul teologi yang bernama Khawarij dan Murjiah. 
Menurut Abuddin Nata, bahwa pendekatan teologi dalam pengertian keagamaan yaitu pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya selaku yang paling benar sedangkan yang yang lain salah. Aliran teologi yang satu begitu percaya dan fanatik bahwa pahamannyalah yang benar sedangkan paham lainnya salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itu pun menuduh terhadap lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu pedoman dan pedoman yang lain tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan (eksklusifisme), sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak.
Berdasarkan uraian di atas, Amin Abdullah beropini bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak mampu memecahkan dilema esensial pluralitas agama dikala kini ini. Terlebih-lebih lagi kenyataan demikian mesti ditambahkan bahwa dogma teologi, intinya memang tidak pernah bangkit sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan senantiasa menyertai pedoman teologis yang telah mengelompok dan mengkristal dalam satu komunitas penduduk tertentu. Bercampur aduknya iman teologi dengan historisitas institusi sosial kemasyarakatan yang menyertai dan mendukungnya menambah peliknya dilema yang dihadapi umat beragama. Sedangkan studi historis dalam Islam mengarah pada faktor-faktor kebudayaan dan masyarakat Muslim, dalam pemahaman yang lebih luas, mencakup; antropologi agama, sosiologi agama, psikologi agama dan sebagainya.   
1). Antropologi
Pendekatan antropologis dalam mengerti agama dapat diartikan selaku salah satu upaya mengerti agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan akrab dengan masalah-dilema yang dihadapi insan dan berusaha menjelaskan dan menunjukkan jawabannya.
Dengan kata lain bahwa cara-cara yang dipakai dalam disiplin ilmu antropologi dalam memilih sesuatu duduk perkara digunakan pula untuk mengerti agama. Antropolog dalam kaitannya ini sebagaimana dibilang Dawan Rahardjo, lebih memprioritaskan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pendekatan sosiologis. Pendekatan antropologis yang induktif atau grounded, yaitu turun kelapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sungguh absurd sebagaimana yang dilaksanakan di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi tunjangan kepada observasi historis. 
2). Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bareng dalam penduduk dan memeriksa iktan-ikatan antara insan yang menguasahi hidupnya itu. Sosiologi menjajal untuk memahami sifat dan maksud hidup bareng , cara terbentuk dan berkembang serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula keyakinan, iktikad yang membiri sifat tersendiri terhadap cara hidup bareng itu dalam tiap komplotan hidup insan. Dapat diartikan juga bahwa pendekatan sosiologi termasuk ilmu yang mempelajari sebuah nilai yang terdapat di masyarat yang menjadi objek kajian. Sosiologi mampu digunakan selaku salah pendekatan dalam mengerti agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak didang kajian agama yang baru dapat diketahui secara proposional dan sempurna bila memakai jasa dukungan dari ilmu sosiologi.
Besarnya perhatian agama kepada sosial ini mendorong kaum agama mendorong mengetahui ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agama. Dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, Jalaludin Rahmat sudah memperlihatkan bahwa besarnya perhatian agama Islam kepada problem sosial dengan mengajukan lima argumentasi sebagai berikut;
  • Dalam al-Alquran dan hadits, proporsi paling besar kedua sumber aturan Islam itu berkenaan dengan masalah muamalah.
  • Bahwa ditekankan dilema muamalah (sosial) dalam islam yaitu realita bahwa jika permasalahan ibadah bersamaan waktunya dengan masalah muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan, melainkan masih tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
  • Ibadah yang mengandung relasi kemasyarakatan diberikan ganjaran yang lebih dari pada ibadah yang bersifat individu.
  • Kifarat (denda bagi yang melanggar peraturan agama) berbentuksesuatu yang berubungan dengan kemasyarakatan.
  • Ibadah yang mengandung korelasi kemasyarakatan diberikan ganjaran yang lebih dari pada ibadah sunnah.
3. Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa yakni ilmu yang mempelajari jiwa seseorang lewat gejala prilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Drajat, perilaku seseorang yang terlihat lahiriah terjadi alasannya adalah dipengaruhi oleh kepercayaan yang dianutnya. Seseorang dikala bertemusaling mengucapkan salam, hormat kepada orang tua, terhadap guru, menutup aurat, rela berkorban untuk kebenaran, dan sebagainya merupakan gejala-tanda-tanda kegamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama, sebagaimana dikemukakan oleh Zakiah Drajat, tidak akan mempersoalkan benar atau tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang ditingkatkan ialah bab dogma agama tersebut tampakpengaruhnya dalam prilaku penganutnya.
Psikologi yang ternama dalam pendekatan psikologi terhadap agama adalah Sigmund Freud (1866-1939). Freud sukses merumuskan satu pendekatan dalam bidang psikologi agama, yang ia sebut dengan psiko-analisis. Teori psiko-analisis Freud menatap bahwa iktikad agama, seperti doktrin akan keabadian, nirwana, dan neraka, tidak lain ialah hasil dari aliran kekanak-kanakan yang berdasarkan kelezatan yang mempercayai adanyakekuasaan muthlak bagi anutan-aliran insan.
Pandangan yang berkembang lainnya yakni bahwa perilaku seseorang terhadap Tuhan adalah peralihan dari sikapnya terhadap bapak. Yaitu perilaku Oedip yang bercampur antara takut dan butuh kasih sayang. Selain itu, persepsi bahwa doa-doa yang lain ialah cara-cara yang disadari (Obsession) untuk meminimalisir dosa. Yaitu perasaan yang ditekan balasan pengalaman-pengalaman seksual, yang kembali ke abad pertumbuhannya yang kompleks, Oedip. Dalam beberapa goresan pena, Freud selalu menampakkan perilaku ateisnya sebab dia menilai agama selaku bentuk gangguan kejiwaan.
C. Negasi antara Islam Normatif dan Historis
Dilihat dari pengertian dan ruang lingkup antara pemahaman keislaman dengan pendekatan normatif dan historis terdapat pembedaan dan terdapat titik temu atau kekerabatan di antara keduanya.
  • 1). Perbedaan antara Islam normatif dan historis
Lebih jelasnya akan perbedaan, penulis merangkungnya lewat tabel selaku mana yang tertera di bawah ini.
No.
Sudut Pandang
Normatif
Historis
1
Institusi
Keagamaan
Sosial masyarakat (ekonomi, sosial, politik, pertahanan, dll)
2
Sifat
Eksklusif 
Inklusif 
 3
Manfaat 
Mengawetkan fatwa agama dan selaku pembentuk aksara pemeluk.
Mengkomunikasikan pemikiran dengan kondisi riil yang ada.
4
Objek kajian
Tafsir, hadits, teologi.
Antropologi, sosiologi, dan psikologi.
5
Corak
Literalis, tekstualitas, absolutis, dan skriptualis
Reduksionis, kontekstual
6
Konsep      
Esoteris
Eksoteris
7
Pola pikir
Deduktif
Induktif
8
Prilaku
Salaf, rigit (kaku)
Modern, luwes
  • 2). Hubungan antara Normatif dan Historis
Kedua pendekatan ini bagaikan dua segi mata duit yang berlawanan, namun keduanya tidak mampu dipisahkan. Hubungan keduanya tidak bangkit sendiri-sendiri dan berhadap-hadapan, namun keduanya teranyam, terjalin dan terajut sedemikian rupa sehingga keduanya menyatu dalam satu keutuhan yang kuat dan kompak. Makna terdalam dan moralitas keagamaan tetap ada, tetap dikedepankan dan digaris bawahi dalam mengerti liku-liku fenomena keberagaman insan, maka beliau secara otomatis tidak mampu terhindar dari belenggu dan jebakan ruang dan waktu.
Pendekatan dan pengertian terhadap fenomena keberagamaan yang bercorak normatif dan historis tidak selamanya akur dan sinergi. Hubungan antara keduanya acap kali diwarnai dengan ketegangan (tension) baik yang bersifat kreatif maupun destruktif (menghancurkan). Pendekatan normatif di satu sisi merupakan pendekan yang senantiasa berpijak pada teks yang tertulis dalam kitab suci masing-masing agama sehingga pendekatan ini condong bercorak literalis, tekstualis, atau skriptualis.
Sementara di sisi lain, pendekatan kedua, historitas, melihat kitab suci dan fenomena keagamaan tidak lewat cara tekstualitas, namun dengan sudut pandang keilmuan sosial keagamaan yang bersifat multi demensional, baik secara sosiologis, filosofis, psikologis, historis, kultur, maupun antropologis. Jenis pendekatan apa pun masih terdapat kelemahan, kekurangan masing-masing, dan jauh dari membuat puas, sebab fenomena agama bersifat komplek. Masing-masing tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari yang lain. Religiositas atau keberagamaan insan kebanyakan ialah bersifat universal, infinite (tidak terbatas, tidak tersekat-sekat), transhistoris (melewati batasan pagar historis-kesejarahan insan), tetapi religiositas yang begitu mendalam-abstrak, pada hakikatnya tidak mampu dimengerti dan tidak dapat dirasakan oleh manusia tanpa sepenuhnya terlibat dalam bentuk religiositas yang aktual, terbatas, tersekat, historis, terkurung oleh ruang dan waktu tertentu secara subjektif. Kedua dimensi religiositas tersebut, berdasarkan M. Amin Abdullah bersifat dialektis, dalam artian saling mengisi, melengkapi memperkokoh, mempergunakan bahkan juga saling mengkritik dan mengatur.
Untuk meredakan ketegangan antara dua faksi pendekatan normativitas dan historisitas, Amin Abdullah menunjukkan paradigma “interkoneksitas” dan “integrasi” yang lebih modest (mampu mengukur kemampuan diri sendiri), humiliy (rendah hati), dan human (manusiawi). Berangkat dari paradigma “interkoneksitas”yang beranggapan mengetahui kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi insan, maka setiap bangunan keilmuan apa pun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kaealaman tidak mampu bangun sendiri dalam menyatukan, saling menyapa antara satu bangunan ilmu dengan lainnya, khususnya sains dan agama.
Interkoneksitas atas sains dan agama dapat didekati lewat tiga persepektif: ontologis, epistimologi, dan aksiologi. Dari setiap pendekatan ini bisa memberikan padangan dunia manusia beragama dan ilmuan yang baru, terbuka dan dialogis serta mencairkan kekerabatan berbagai disiplin keilmuan biar menjadi terbuka. Walaupun begitu, tidak mampu dihindari masih adanya persinggungan antara daerah tekstual, kebudayaan atau keilmuan, serta filsafat. Diharapkan pradigma ini bisa menunjukkan pergantian cara berpikir dan perilaku ilmuan.
Dengan pendekatan “integrasi” keilmuan ini seakan-akan diharapkan tidak ada ketegangan, sebab ada peleburan dan pelumatan yang satu kedalam yang lainnya. Baik dengan cara melebur segi normatif-sakralis keberagamaan secara menyeluruh masuk ke kawasan “historisitas-propanitis”, atau justru sebaliknya, dengan membenamkan dan meniadakan seluruh sisi historitas keberagamaan Islam ke kawasan normatifitas-sakralitas tanpa reserve. Ini sebanarnya yang menjadi argumentasi M. Amin Abdullah menunjukkan paradigma “interkoneksitas”. Keberagamaan dapat diumpamakan “sinar”. Sinar tidak mampu dirasakan secara nyata oleh manusia melainkan jikalau sinar tersebut sudah termanifestasikan dalam warna-warna tertentu (merah, jingga, kuning, biru, hijau, dsb).  Walaupun begitu, warna-warna sinar yang bermacam-macam tersebut hanya mampu dicicipi secara partikulistik. Salah satu warn yang bersifat partikulistik tidak mampu mengklaim bahwa warna merah sajalah yang paling unggul, terlebih bila klaim tersebut dibarengi dengan cita-cita dan tindakan ingin memerahkan seluruh yang ada.  
Berarti kedua pengertian atas keberagamaan mampu bersanding dan beriringan, kalau pengertian agama yang bersifat normativitas mau membuka diri atas pengertian yang meningkat sesuai keadaan keadaan yang sesungguhnya. Begitu juga pengertian agama yang bersifat historisitas diharapankan mampu menahan diri dan tidak memaksakan untuk menunjukkan pengertian akan keberagamaan berdasarkan riil kehidupan bermasyarakat dan mengenyampingkan dasar agama. 
Untuk lebih jelasnya penulis akan menggambarkan bagan kekerabatan antara pemahaman Islam dari sudut pandang normatif dan historis sehingga terbentuk bangunanan keberagamaan yang berpengaruh dan utuh. Adapun bagannya selaku berikut.
Normatif
Tafsir
Hadits
Teologi
Historis
Antropologi
Sosiologi
Psikologi
Dialektika/ interkoneksitas
Islam
Antropologi Agama
Sosiologi Agama
Psikologi Agama
                                                                    PENUTUP
A. Kesimpulan
Studi Islam dengan pendekatan normatif yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan orisinil dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat pikiran sehat pemikiran insan. Sedangkan Studi Islam dengan pendekatan historis bermakna sebuah ilmu yang membahas berbagai kejadian atau tanda-tanda dengan mengamati unsur kawasan, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari insiden tersebut. Ruang lingkup studi normatif dalam Islam yang lazimnya dilaksanakan kaum Muslim sendiri untuk menemukan kebenaran religius, meliputi studi-studi; tafsir, hadis, fiqh, teologi, dan tasawuf. Sedangkan ruang lingkup studi historis mengarah pada aspek-aspek kebudayaan dan penduduk Muslim, dalam pemahaman yang lebih luas, mencakup; antropologi agama, sosiologi agama, dan psikologi agama.
Kedua pendekatan ini bagaikan dua segi mata uang yang berlainan, namun keduanya tidak dapat dipisahkan. Hubungan keduanya tidak bangun sendiri-sendiri dan berhadap-hadapan, tetapi keduanya teranyam, terjalin dan terajut sedemikian rupa sehingga keduanya menyatu dalam satu keutuhan yang kokoh dan kompak. Untuk mampu saling mengisi dan melengkapi dibutuhan dialetika antara keduanya dengan paradigma “interkonektifitas” dan “integrasi” antara agama dan sains.
B. Saran dan Kritik
Tiada gading yang tak retak. Penulis mengakui terdapat kekurang yang begitu banyak terhadap makalah ini. Oleh karena itu penulis tidak sungkan dan tidak malu-malu terhadap pembaca untuk kiranya mengoreksi dan menawarkan catatan terhadap tulisan singkat ini. Saran dan kritika yang membangun akan senantiasa penulis butuhkan dan inginkan untuk lebih baik dalam lagi penulisan karya ilmiah.
Daftar Pustaka
Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam, Depok: PT. Rajagrafindo Putra Utama Offset, 2012, cet.XIX , hlm.34
Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2003
Amin Abdullah. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, Cet. V.
Dawam Rahardjo, Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Agama, dalam  M. Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990. cet.II
Deden Ridwan, ed al. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, Bandung: Nuansa, 2001
Hasan Shadaliy, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1983, cet. XIX
Imam al-Zarkasi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, jilid II, Mesir: Isa al-Baby al-Halaby, t.t,
Kuntowijaya, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Bandung; Mizan, 1991, Cet.I
Mariasusai Dhavamony, Terj. Sudiarja, Fenomonologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995, Cet. I
Muhaimin, ed al. Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana, 2007, Cet. II
Sayyid Husein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, (terj)Abdul Hadi W.M, dari judul orisinil Living Sufism, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985, cet. I
Zakiah Drajat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.cet. I
Zuhairini, Sejarah Pendidikan  Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2010
[1] Amin Abdullah. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, Cet. V, hlm. 9
[2] Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam, Depok: PT. Rajagrafindo Putra Utama Offset, 2012, cet. XIX, hlm.34
[3] atau pendekatan studi Islam secara konvensional ialah pendekatan studi dikalangan umat Islam yang berlangsung.
[4] Muhaimin, et al. Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana, 2007, cet. II, hlm.14
[5] Zuhairini, Sejarah Pendidikan  Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2010, hlm. 1
[6] Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2003, hlm. 56
[7]  Mariasusai Dhavamony, Terj. Sudiarja, Fenomonologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995, Cet. 1, hlm. 13
[8] Kuntowijaya, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Bandung; Mizan, 1991, Cet. I, hlm 328. 
[9] Imam al-Zarkasi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, jilid II, Mesir: Isa al-Baby al-Halaby, t.t, hlm. 13
[10] Amin Abdullah. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, Cet. V, hlm. 139
[11] Ibid, hlm. 139-140
[12] Abuddin Nata, op. cit. hlm. 237
[13] Amin Abdullah. op. cit. hlm. 29
[14] Dawam Rahardjo, Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Agama, dalam  M. Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990. cet.II, hlm. 19
[15] Hasan Shadaliy, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1983, cet. XIX, hlm. 53
[16] Zakiah Drajat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.cet. I.  hlm. 76
[17] Syarif Hidayatullah, Studi Agama: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana,20011, hlm. 104
[18] Zakiah Raradjat, dkk., Perbandingan Agama, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, hlm.  66.
[19] Secara lazim langsung ialah perilaku yang menatap bahwa akidah, persepsi asumsi dan diri islam sendirilah yang paling benar, sementara kepercayaan, persepsi, pikiran dan prinsip yang dianut agama lain salah, sesat dan harus dijauhi. Agama Islam diyakini selaku agama yang paling benar sedangkan agama lain dianggap sesat dan tidak akan diterima oleh Tuhan. Pandangan ini didasarkan pada ayat Al-Qur`an sebagai berikut:  Sesungguhnya agama (yang diridhai) di segi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Bibel kecuali setelah datang wawasan terhadap mereka, sebab kedengkian yang  ada di antara mereka. Barangsiapa yang kafir kepada ayat-ayat    Allah maka bekerjsama Allah sungguh cepat hishabNya (QS. Ali Imron 3:19)
[20] Islam inklusif merupakan suatu pandangan yang mengajarkan perihal sikap terbuka dalam beragama dan dengan bekerjasama dengan agama non muslim. Sikap terbuka akan berpengaruh pada hubungan sosial yang bersifat sehat dan serasi antar sesama warga penduduk . Teologi inklusifisme ini dilandasi dengan toleransi, itu tidak mempunyai arti bahwa semua agama dipandang sama. Sikap toleran hanyalah sebuah perilaku penghormatan akan kebebasan dan hak setiap orang untuk beragama, perbedaan beragama tidak boleh menjadi penghalang dalam upaya saling menghormati, menghargai, dan kerjasama Menurut pengertian inklusif, bahwa sebetulnya ajaran Islam lebih bersemangat mengandug komponen inklusif dibandingkan dengan ekslusif. Bahkan Islam melarang pemaksaan dalam beragama, artinya keberagamaan seseorang harus dijamin. Umat Islam harus memperlihatkan potensi dan keleluasaan yang seluas-luasnya kepada orang lain untuk memeluk agama yang diyakininya. Ini berarti inklusif menghormati dan menghargai kemajemukan agama.
[21] Reduksionisme religius pada umumnya mencoba untuk menjelaskan agama dengan cara meleburkannya bersama penyebab persepsi non-religius tertentu. Beberapa pola klarifikasi reduksionistik wacana adanya agama: bahwa agama dapat direduksi menjadi konsep kemanusiaan ihwal benar dan salah, agama tersebut pada dasarnya ialah sebuah perjuangan primitif dalam mengendalikan lingkungan kita, dan agama itu yakni cara untuk menerangkan eksistensi fisik dunia.
[22] Pengertian kata esoteris berasal dari bahasa Inggris, “esoteric”, yang mempunyai arti hanya dikenali dan diketahui oleh beberapa orang tertentu saja. Dalam kemajuan selanjutnya, kata esoteris bermakna  faktor dalam batin, hakikat, inti atau substansi, selaku musuh dari aspek luar, faktor lahir, aspek syariat, dan aspek materi. Maka yang dimaksud dengan Islam Esoteris adalah anutan agama Islam yang menekankan kajian pada faktor batin yang ialah inti dari agama. Aspek batin ini meliputi tujuan dari beragama, yaitu meraih kehidupan yang makmur, selamat, dan sentosa dengan jalan membersihkan dan mendekatkan diri kepada Allah.
[23] Dalam buku Tasawuf Sebagai Kritik Sosial karya Prof. Dr. Said Agil Siroj diterangkan bahwa Eksoteris ialah pedoman lahiriah yng berbentuksimbol-simbol, atribut-atribut, aksesoris-aksesoris, serta bentuk-bentuk legal formalitas lainnya. Pada dimensi tersebut, semua agama mempunyai aturan eksoteris yang bervariasi, seperti rumah ibadah, bentuk peribadatan, acara seremonial, dan lain-lainnya.
[24] Penalaran deduktif, kebalikan dari akal budi induktif yaitu; menarik kesimpulan dari prinsip/perilaku yang berlaku khusus berdasarkan fakta-fakta yang umum. Dalam kaitannya dengan keberagamaan maksudnya daypikir atau pola pikir deduktik yakni cara berpikir yang berawal dari akidah yang diyakini benar dan mutlak.
[25] Penalaran induktif yaitu proses pikiran sehat untuk menawan kesimpulan dari prinsip/perilaku yang berlaku biasa berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus. Dalam kaitannya dengan keberagamaan maksudnya penalaran atau pola pikir berawal dari rangkaian insiden-insiden khusus dalam mencari kebenaran.
[26]  Syarif Hidayatullah, Studi Agama: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana,20011, hlm. 62
[27] Menurut Taufiq Wirdayanto atas tamat keterangan dari Amin Abdullah bahwa Secara epistemologi, paradigma interkoneksitas merupakan tanggapan atau respon kepada kesulitan-kesusahan yang dicicipi selama ini, yang diwariskan dan diteruskan selama berabad-kurun dalam peradaban Islam wacana adanya dikotomi pendidikan lazim dan pendidikan agama. Masing-masing berdiri sendiri, tanpa merasa perlu tegur sapa. Sedangkan secara aksiologis paradigma interkoneksitas hendak menunjukkan persepsi dunia (world view) manusia beragama dan ilmuan yang gres, yang lebih terbuka, open maindedness, bisa membuka dialog dan koordinasi, transparan, dapat dipertanggungjawabkan secara publik dan visioner. Secara ontologis, kekerabatan antar berbagai disiplin keilmuan menjadi makin terbuka dan cair, walaupun blok-blok dan batas-batas daerah antara budaya penunjang keilmuan agama yang bersumber pada teks kitab suci (normatif) dan budaya penunjang keilmuan kealaman (positif-historis-empiris) masih tetap saja ada.
[28] Integrasi ialah upaya mempertemukan antara ilmu-ilmu agama (Islam) dan ilmu-ilmu lazim (sains-teknologi dan sosial-humaniora).
[29] Ibid, hlm. 64
[30] Ibid, hlm. 65
[31] Ibid, hlm. 64