Menggagas Kembali Rancangan Sistem Pendidikan Islam

Menggagas Kembali Konsep Sistem Pendidikan Islam 
Benarkah apa yang dinyatakan oleh Ajip Rosidi di atas? Bila benar, apa sebenarnya yang masih diwarisi oleh tata cara pendidikan nasional dari tata cara pendidikan kolonial? Apa indikasinya? Dan yang paling penting, apa yang musti dilakukan untuk memperbaiki metode pendidikan yang carut marut itu? Perombakan total seperti apa, mengikuti saran Ajip, yang mesti dikerjakan?
Salah satu duduk perkara pelik yang dihadapi oleh penduduk , selain ekonomi dan politik, yaitu problem pendidikan. Ketika tawuran antar pelajar marak terjadi di berbagai kota, ditambah dengan sejumlah sikap mereka yang telah tergolong kriminal, penyalahgunaan narkoba dan meningkatnya seks bebas di kelompok pelajar, dunia pendidikan kembali dituding sebagai telah gagal membentuk adab mulia pada anak latih. Maka, seperti biasa, secepatnya muncul saran untuk memperbaiki kurikulum atau muatan pada mata pemikiran, misalnya undangan untuk kembali diajarkan budipekerti sementara waktu kemudian. Tapi, jikalau sebelumnya yang dipersoalkan hanya sebatas dilema mata pelajaran atau paling jauh struktur kurikulum, kini Ajip Rosidi dan mungkin banyak dari kelompok pemerhati dan pelaku pendidikan, mempersoalkan hal yang lebih mendasar. Yakni tentang metode pendidikan nasional yang ditudingnya masih mewarisi sistem pendidikan kolonial. 
Diakui atau tidak, metode pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini memang yaitu sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Bila disebut bahwa tata cara pendidikan nasional masih mewarisi metode pendidikan kolonial, maka adab sekuler-materialistik inilah yang paling utama, yang terlihat terang pada hilangnya nilai-nilai transedental pada semua proses pendidikan, mulai dari peletakan filosofi pendidikan, penyusunan kurikulum dan bahan asuh, kualifikasi pengajar, proses belajar mengajar hingga budaya sekolah/kampus selaku hidden curiculum, yang sesungguhnya berperanan sangat penting dalam penanaman nilai-nilai.
Sistem pendidikan semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus mampu menjawab tantangan kemajuan lewat penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan menciptakan dikotomi pendidikan yang sudah berlangsung puluhan tahun, yaitu antara pendidikan “agama” di satu sisi dengan pendidikan lazim di segi lain. Pendidikan agama melalui madrasah, institut agama dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama, sementara pendidikan biasa melalui sekolah dasar, sekolah menengah dan kejuruan serta sekolah tinggi tinggi lazim dikontrol oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sungguh berpengaruh bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang selaku tidak bekerjasama dengan agama. Sementara, pembentukan abjad siswa yang ialah bab paling penting dari proses pendidikan di sini justru kurang tergarap secara serius. Agama diposisikan sekadar selaku salah satu aspek yang kiprahnya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh faktor. Di sisi lain, pengajaran agama dan masalah keagamaan digarap oleh Depag, seolah pendidikan Islami identik dengan pengajaran agama Islam saja. Adanya pesantren yang dalam banyak faktor acap dipuji selaku sebuah bentuk pendidikan Islam alternatif, dalam perspektif ini, bahwasanya kian mengukuhkan dikotomi pendidikan itu.
Pendidikan yang sekuler-materialistik ini memang mampu melahirkan orang yang menguasai sainsteknologi lewat “pendidikan biasa ” yang diikutinya, namun pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta ajar dan penguasaan tsaqofah Islam. Berapa banyak lulusan pendidikan lazim yang tetap saja “buta agama” dan rapuh kepribadiannya? Sementara mereka yang mencar ilmu di lingkungan “pendidikan agama”, memang menguasai tsaqofah Islam dan secara relatif segi kepribadiannya tergarap baik, namun di sisi lain, beliau buta terhadap perkembangan sains dan teknologi. Akhirnya, sektor-sektor modern (industri manufaktur, jual beli dan jasa) diisi oleh orang-orang yang relatif awam kepada agama alasannya adalah orang-orang yang mengetahui agama terkumpul di dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, depag), tidak mampu terjun di sektor modern.
Pendidikan sekuler-materialistik juga memberikan kepada siswa sebuah basis ajaran yang serba terukur secara material, kekinian dan serba profan serta memungkiri hal-hal yang bersifat transedental dan imanen. Disadari atau tidak, berkembang evaluasi bahwa hasil pendidikan haruslah mampu mengembalikan investasi yang telah ditanam. Pengembalian itu dapat berbentukgelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai bahan yang sudah dikeluarkan. Agama diposisikan pada posisi yang sungguh individual. Nilai transendental dirasa tidak pantas atau tidak perlu dijadikan selaku patokan evaluasi sikap dan perbuatan. Tempatnya sudah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.
PENDIDIKAN SEKULER BAGIAN DARI KEHIDUPAN SEKULER
Sistem pendidikan yang material-sekuleristik tersebut sebenarnya hanyalah ialah bagian belaka dari metode kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam tata cara sekuler, aturan-hukum, persepsi dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja dipakai untuk menata banyak sekali bidang, termasuk bidang pendidikan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pemahaman Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah banyak sekali bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, perilaku beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik.
Dalam tatanan ekonomi kapitalistik, kegiatan ekonomi digerakkan sekadar demi meraih perolehan materi tanpa menatap apakah aktivitas itu sesuai dengan aturan Islam atau tidak. Aturan Islam yang sempurna dirasakan justru menghambat. Sementara dalam tatanan politik yang oportunistik, aktivitas politik tidak diperuntukkan untuk tegaknya nilai-nilai melainkan sekadar demi jabatan dan kepentingan sempit yang lain. 
Dalam tatanan budaya yang hedonistik, budaya sudah meningkat sebagai bentuk ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, Barat telah menjadi kiblat ke arah mana “perkembangan” budaya harus dicapai. Ke sanalah dalam musik, mode, makanan, film bahkan gaya hidup ala Barat, orang mengacu. Buah lainnya dari kehidupan yang materialistik-sekuleristik ialah kian menggejalanya kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik. Tatanan bermasyarakat yang ada memberikan kebebasan yang seluas-luasnya terhadap pemenuhan hak dan kepentingan setiap individu. Kebebasan individu mesti ditegakkan sebab menurutnya itu yaitu hak, tidak menghiraukan kendati itu harus melanggar tuntunan agama. Koreksi sosial hampir-nyaris tidak lagi dilihat sebagai tanggung jawab bersama seluruh unsur penduduk . 
Sikap beragama sinkretistik pada dasarnya ialah menyamadudukan semua agama. Kebenaran agama menjadi sungguh relatif. Semua agama seolah menjadi benar. Sikap beragama mirip ini menjadikan sebagian umat Islam memandang rendah, bahkan membenci, menjauhi dan memusuhi aturan agamanya sendiri. Fenomena penolakan terhadap usul pembelakuan syariat Islam, yang justru juga dikerjakan oleh sejumlah elit umat, yakni bukti yang sungguh kasatmata. Sebagian umat sudah lupa bahwa seorang Muslim mesti meyakini hanya Islam saja yang diridhai Allah SWT.
Kehidupan yang sekularistik konkret-faktual sudah menjauhkan insan dari hakikat visi dan misi penciptaannya. Sekulerisme oleh Muhammad Qutb (1986) dalam bukunya Ancaman Sekulerisme, diartikan selaku iqomatu al-hayati ‘ala ghayri asasin mina al-dini, atau membangun struktur kehidupan di atas landasan selain agama (Islam). Sementara, Syekh Taqiyyudin An Nabahani (1953) dalam kitabnya Nidzamu al-Islam, menerangkan sekulerisme selaku fashlu al-din ani al-hayah atau memisahkan agama (Islam) dari kehidupan. Pemikiran sekulerisme itu sendiri berasal dari sejarah gelap Eropa Barat di era pertengahan. Saat itu, kekuasaan para agamawan (rijaluddin) yang berpusat di gereja demikian mendominasi nyaris semua lapangan kehidupan, tergolong di bidang ilmu wawasan dan teknologi. Para ilmuwan dan negarawan melihat kondisi ini sebagai suatu hal yang sangat menghalangi kemajuan, alasannya temuan-temuan ilmiah yang rasional sekalipun tidak jarang bertabrakan dengan anutan gereja yang dogmatis. Galileo Galilei dan Copernicus yang menolak mengganti pendapatnya bahwa mataharilah yang menjadi pusat perputaran planet-planet (heliosentris) dan bukan bumi (geosentris) sebagaimana yang didoktrinkan gereja selama ini, kesudahannya dieksekusi. Maka sampailah para ilmuwan dan negarawan itu pada satu kesimpulan bahwa jikalau ingin maju, masyarakat harus meninggalkan agama; atau membiarkan agama tetap di wilayah ritual peribadatan sementara daerah duniawi (politik, pemerintahan, iptek, ekonomi, tata sosial dan yang lain) harus steril dari agama. Inilah awal hadirnya pengertian sekulerisme.
Tapi, satu hal yang mesti diamati benar yakni bahwa gugatan yang menyangkut eksistensi atau peran agama di tengah masyarakat ini sebenarnya terjadi khas pada agama Nasrani saja yang dikala itu memang telah tidak lagi up to date. Karenanya, menjadi sebuah kejanggalan besar bila gugatan tadi lantas dialamatkan pula pada Islam, agama yang sempurna lagi paripurna dan diridloi Allah SWT bagi seluruh umat insan. 
Islam terperinci tidak mengenal pemisahan antara masalah ritual dengan permasalahan duniawi. Shalat adalah ibadah yang merupakan bab dari syariat dimana seluruh umat Islam harus terikat sebagaimana keterikatan kaum muslimin pada syariat di bidang lainnya, seperti ekonomi dan sosial politik. Seluruh gerak laris seorang muslim adalah ibadah, sebab Islam yakni sebuah totalitas. Dan merupakan tindak kekufuran bagi seorang muslim jikalau beriman kepada anutan Islam sebagian dan menolak sebagian yang lain. Oleh karena itu, benar-benar sangat gila kalau umat Islam ikut-ikutan menjadi sekuler.
SOLUSI FUNDAMENTAL
Pendidikan yang materialistik sebagaimana dapat dicermati pada Bagan Skematis Akar Masalah Pendidikan dan Solusi Paradigmatiknya yaitu buah dari kehidupan sekuleristik yang terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok eksklusif yang utuh, ialah seorang Abidu al-Shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang keliru dimana dalam sistem kehidupan sekuler, asas penyelenggaraan pendidikan juga sekuler. Tujuan pendidikan yang ditetapkan juga yaitu buah dari paham sekuleristik tadi, yaitu sekadar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dan serba individualistik.
Kedua, kelemahan fungsional pada tiga komponen pelaksana pendidikan, yaitu (1) kekurangan pada forum pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus selaku medium pendidikan sebagaimana mestinya, (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung, dan (3) kondisi penduduk yang tidak kondusif .
Kacaunya kurikulum yang berawal dari asasnya yang sekuler tadi lalu mensugesti penyusunan struktur kurikulum yang tidak memperlihatkan ruang semestinya terhadap proses penguasaan tsaqofah Islam dan pembentukan kepribadian Islam. Tidak berfungsinya guru/dosen dan rusaknya proses mencar ilmu mengajar terlihat dari tugas guru yang sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu wawasan (transfer of knowledge), tidak selaku pendidik yang berfungsi dalam transfer ilmu wawasan dan kepribadian (transfer of personality), karena memang kepribadian guru/dosen sendiri banyak tidak lagi patut diteladani. Lingkungan fisik sekolah/kampus yang tidak tertata dan terkondisi secara Islami (ditambah dengan minimnya fasilitas penunjang, seperti masjid/mushola) turut menumbuhkan budaya yang tidak memacu proses pembentukan kepribadian peserta latih. Akumulasi kekurangan pada bagian sekolah/kampus itu alhasil menjadikan tidak optimalnya pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan. 
Begitu halnya dengan kekurangan pada bagian keluarga yang biasanya tampak dari lalainya para orang tua untuk secara betul-betul menanamkan dasar-dasar keislaman yang mencukupi terhadap anaknya. Lemahnya pengawasan kepada pergaulan anak dan minimnya contoh dari orang tua dalam perilaku keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah selaku salah satu unsur pelaksana pendidikan. 
Sementara itu, masyarakat yang semestinya menjadi media pendidikan yang riil justru berperan sebaliknya balasan dari berkembangnya metode nilai sekuler yang tampak dari penataan semua aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, termasuk tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak hirau pada norma agama; informasi-informasi pada media kala yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada penduduk . Kelemahan pada unsur keluarga dan masyarakat ini pada kesannya lebih banyak menginjeksikan beragam dampak negatif pada anak ajar. Maka yang terjadi lalu yaitu sinergi imbas negatif kepada pribadi anak didik. 
Oleh alasannya adalah itu, penyelesaian dilema pendidikan yang fundamental harus dilakukan pula secara mendasar, dan itu cuma mampu diujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari pergeseran paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam. Sementara pada tataran derivatnya, kekurangan ketiga aspek di atas teratasi dengan cara memperbaiki seni manajemen fungsionalnya sesuai dengan instruksi Islam.
1. Solusi pada Tataran Paradigmatik. 
Secara paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan pada asas aqidah Islam yang bakal menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum dan tolok ukur nilai ilmu wawasan serta proses berguru mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus yang hendak dikembangkan. Sekalipun pengaruhnya tidak sebesar komponen pendidikan lainnya, penyediaan fasilitas dan prasarana juga mesti mengacu pada asas di atas. 
Paradigma gres pendidikan yang berasas aqidah Islam itu semestinya juga harus berjalan secara berkesinambungan mulai dari Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi yang pada ujungnya nanti dibutuhkan bisa menciptakan keluaran (output) akseptor asuh yang berkepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah), menguasai tsaqofah Islam dan ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keahlian). Bila dalam orientasi keluaran dari pendidikan sekuleristik (lihat Bagan Faktual Orientasi Pendidikan. Sekuleristik) ketiga bagian tersebut terpisah satu sama lain dan diposisikan berbeda dimensi (agama – non agama) dengan proporsi sangat tidak seimbang yang mengakibatkan kegagalan pembentukan karakter dan kepribadian peserta bimbing selama ini, maka dalam pendidikan yang ideal (lihat Bagan Ideal Orientasi Pendidikan. Integral), ketiga bagian tersebut mesti ialah satu kesatuan yang utuh. 
Melihat kondisi obyektif pendidikan saat ini, langkah yang diperlukan adalah optimasi pada proses-proses pembentukan kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah) dan penguasaan tsaqofah Islam serta memajukan pengajaran sains-teknologi dan keahlian sebagaimana yang sudah ada dengan menata ontologi, epistemologi dan aksiologi keilmuan yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sekaligus mengintegrasikan ketiganya seperti yang tampak pada Bagan Solusi Orientasi Pendidikan. Optimasi dan Integrasi.
2. Solusi pada Tataran Strategi Fungsional
Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga komponen pelaksana: adalah keluarga, sekolah/kampus dan penduduk . Bagan Faktual 3 Unsur Pelaksana Pendidikan. Sinergi Pengaruh Negatif, menggambarkan kondisi positif obyektif pendidikan ketika ini, di mana ketiga komponen pelaksana tersebut belum berlangsung secara sinergis, di samping masing-masing komponen tersebut juga belumlah berfungsi secara benar. Oleh sebab di tengah penduduk terjadi interaksi antar ketiganya, maka kenegatifan masing-masing itu juga memberikan dampak kepada bagian pelaksana pendidikan yang lain. Maksudnya, buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan memperbesar keruwetan dilema di tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba dan sebagainya. Sementara, suasana masyarakat yang buruk terang membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi jika pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut. 
Bagan Skematis Akar dan Solusi Problematika Kehidupan
Bagan Skematis Akar Masalah Pendidikan dan Solusi Fundamentalnya
Bagan Faktual Orientasi Pendidikan. Sekuleristik.
Bagan Ideal Orientasi Pendidikan. Integral.
Bagan Solusi Orientasi Pendidikan. Optimasi & Integrasi.
Bagan Faktual 3 Unsur Pelaksana Pendidikan.
Sinergi Pengaruh Negatif.
Dalam persepsi metode pendidikan Islam, semua unsur pelaksana pendidikan harus menunjukkan pengaruh nyata kepada anak ajar sedemikian sehingga arah dan tujuan pendidikan didukung dan diraih secara tolong-menolong, sebagaimana tampak pada Bagan Ideal 3 Unsur Pelaksana Pendidikan. Sinergi Pengaruh Positif. Kondisi tidak ideal seperti diuraikan di atas mesti dituntaskan. Bagan Solusi 3 Unsur Pelaksana Pendidikan. Alternatif Idealis, memberikan skema solusi maksimal yang berangkat dari kondisi obyektif saat ini. 
Bagan Ideal 3 Unsur Pelaksana Pendidikan. Sinergi Pengaruh Positif.
Solusi strategis fungsional bekerjsama sama dengan menggagas suatu tata cara pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis dan fungsional, yakni: Pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan dimana semua unsur berbasis paradigma Islam, adalah: (1) kurikulum yang paradigmatik, (2) guru/dosen yang profesional, amanah dan kafa’ah, (3) proses belajar mengajar secara Islami, dan (4) lingkungan dan budaya sekolah/kampus yang aman bagi pencapaian tujuan pendidikan secara optimal. Dengan melakukan optimasi proses berguru mengajar serta melaksanakan upaya meminimasi imbas-imbas negatif yang ada, dan pada dikala yang serupa memajukan imbas konkret pada anak bimbing, diharapkan efek yang diberikan pada langsung anak ajar yakni nyata sejalan dengan arahan Islam.
Kedua, membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan penduduk semoga keduanya mampu berperan maksimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi efek aktual dari faktor pendidikan sekolah/kampus – keluarga – masyarakat inilah yang mau menciptakan eksklusif anak ajar terbentuk secara utuh sesuai dengan kehendak Islam.
Berangkat dari paparan di atas, maka untuk merealisasikan forum pendidikan unggulan yang dimaksud setidaknya terdapat empat komponen yang harus dipersiapkan guna menunjang tindak solusif sebagaimana yang digagas – seperti tampak pada Bagan Skematis Fakta dan Solusi Problematika Pendidikan di Sekolah, yaitu penyiapan kurikulum paradigmatik, tata cara pengajaran, sarana prasarana dan sumberdaya guru/dosen. 
Bagan Solusi 3 Unsur Pelaksana Pendidikan Alternatif Idealis.
Bagan Skematis Fakta dan Solusi Problematika Pendidikan di Sekolah/Kampus.
PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan dalam pandangan Islam ialah upaya sadar, terorganisir serta sistematis untuk mensukseskan misi penciptaan insan sebagai abdullah dan khalifah Allah di tampang bumi. Pendidikan harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari metode hidup Islam. Sebagai bab integral dari tata cara kehidupan Islam, sistem pendidikan mendapatkan masukan dari supra tata cara, adalah keluarga dan masyarakat atau lingkungan, dan menunjukkan hasil/keluaran bagi suprasistem tersebut. Sementara sub-subsistem yang membentuk sistem pendidikan antara lain adalah tujuan pendidikan itu sendiri, anak didik (pelajar/mahasiswa), administrasi, struktur dan agenda waktu, materi, tenaga pendidik/pengajar dan pelaksana, alat bantu mencar ilmu, teknologi, fasilitas, kendali kualitas, penelitian dan ongkos pendidikan.
Interaksi fungsional antar subsistem pendidikan diketahui selaku proses pendidikan. Proses pendidikan ini didefinisikan Pannen dan Malati dalam buku Program Applied Approach (1996) selaku proses transformasi atau pergantian kesanggupan potensial individu peserta ajar menjadi kesanggupan positif untuk mengembangkan taraf hidupnya lahir dan batin. Proses pendidikan mampu terjadi dimana saja. Berdasarkan pengorganisasian serta struktur dan daerah terjadinya proses tersebut, diketahui adanya pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Melalui proses ini diperoleh hasil pendidikan yang mengacu pada tujuan pendidikan yang sudah ditetapkan. 
Selanjutnya, hasil pendidikan ini dikembalikan terhadap supra tata cara atau lingkungan. Di dalam lingkungan inilah, hasil pendidikan efektivitas dan efisiensi proses pendidikan yang berlangsung dapat dibuktikan. Dari hasil pendidikan ditambah interaksi dengan lingkungannya, metode pendidikan memperoleh umpan balik yang mampu dipakai untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses pendidikan.
Dari citra di atas diketahui bahwa kesinambungan tujuan pendidikan dalam setiap jenjang pendidikan sekolah (formal) sangatlah penting, dan itu akan mempengaruhi kemampuan anak didik dalam menjalani proses pendidikan. Untuk menjaga kesinambungan proses pendidikan, klasifikasi capaian tujuan pendidikan melalui kurikulum pendidikan, dengan guru/dosen dan budaya pendidikan yang mendukung menjadi sebuah keperluan yang tidak terelakkan. Kurikulum pendidikan Islam sendiri sangatlah khas, unique. Tampak pada penetapan tujuan/arah pendidikan, komponen-unsur pelaksana pendidikan serta asas dan struktur kurikulum.
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan yaitu suatu keadaan ideal dari obyek asuh yang akan diraih, ke arah mana seluruh acara dalam tata cara pendidikan di arahkan. Maka, sebagaimana pengertiannya, pendidikan Islam yang ialah upaya sadar yang terorganisir, terprogram dan sistematis bermaksud untuk membentuk manusia yang (1) berkepribadian Islam, (2) menguasai tsaqofah Islam, (3) menguasai ilmu kehidupan (sainsteknologi dan keterampilan) yang mencukupi.
a. Membentuk Kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah)
Tujuan yang pertama ini pada hakikatnya merupakan perwujudan dari konsekuensi seorang muslim, yakni bahwa sebagai muslim dia harus memegang akrab identitas kemuslimannya dalam seluruh aktivitas hidupnya. Identitas itu menjadi kepribadian yang tampak pada pola berpikir (aqliyyah) dan bersikapnya (nafsiyyah) yang dilandaskan pada ajaran Islam.
Pada prinsipnya, ada tiga langkah untuk membentuk dan mengembangkan kepribadian Islam pada diri seseorang, sebagaimana dicontohnya Rasulullah SAW. Pertama, menanamkan aqidah Islam kepada yang bersangkutan dengan tata cara sempurna, adalah yang tepat dengan kategori aqidah Islam selaku aqidah aqliyyah (aqidah yang keyakinannya dicapai lewat proses berfikir). Kedua, mengajaknya bertekad bundar untuk senantiasa menegakkan bangunan cara berpikir dan perilakunya di atas pondasi aliran Islam semata. Ketiga, berbagi kepribadiannya dengan cara memperabukan semangatnya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqofah Islamiyyah dan mengamalkan dan memperjuangkannya dalam seluruh aspek kehidupannya sebagai ujud ketaatan kepada Allah SWT.
Pendidikan, melalui banyak sekali pendekatan, mesti menjadi media untuk menawarkan dasar bagi pembentukan, kenaikan, pemantapan dan pematangan kepribadian anak ajar. Semua komponen yang terlibat dalam aktivitas pendidikan (guru/dosen/karyawan, orangtua, masyarakat bahkan sesama peserta bimbing), tergolong semua acara yang dikerjakan baik kurikuler, ko-kurikuler, ekstra kurikuler maupun interaksi diantara komponen di atas harus diarahkan bagi tercapainya tujuan yang pertama ini. 
b. Menguasai Tsaqofah Islam
Tujuan kedua ini juga merupakan konsekuensi (lanjutan) dari kemusliman seseorang. Islam mendorong setiap muslim untuk menjadi manusia yang cendekia dengan cara men-taklif-nya (memberi beban aturan) keharusan menimba ilmu. Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, membagi ilmu dalam dua klasifikasi dilihat dari segi keharusan menuntutnya. Pertama ilmu yang dikategorikan selaku fardu a’in, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim. Ilmu yang tergolong dalam kalangan ini ialah ilmu-ilmu tsaqofah Islam, yakni pemikiran, pandangan baru dan hukum-aturan (fiqh) Islam, bahasa Arab, sirah nabawiyah, ulumu al-Qur’an, ulumu al-Hadits dan sebagainya. Kedua adalah ilmu yang dikategorikan sebagai fardu kifayah, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian dari umat Islam. Ilmu yang termasuk dalam kelompok ini adalah sains dan teknologi serta aneka macam keterampilan, mirip kedokteran, pertanian, teknik dan sebagainya, yang sungguh dibutuhkan bagi perkembangan material penduduk .
Berkaitan dengan bahasa Arab selaku bab dari tsaqofah Islam, Rasulullah SAW sudah menyebabkan bahasa ini selaku bahasa umat Islam yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pendidikan. Karenanya setiap muslim, tergolong yang bukan Arab sekalipun, wajib mempelajari bahasa Arab. Imam Syafi’i dalam kitab al-Risalah fi ‘Ilmi Ushul menyatakan, “Allah SWT mengharuskan seluruh umat untuk mempelajari ekspresi Arab dengan bersungguh-sungguh dan benar-benar supaya dapat mengerti kandungan Al Qur’an dan untuk beribadah.”
Dorongan berpengaruh semoga setiap muslim mempelajari tsaqofah Islamiyyah di samping sains dan teknologi, pertanda bahwa Islam membentengi manusia dengan mengakibatkan aqidah Islam selaku satu-satunya asas bagi kehidupan seorang muslim, termasuk dalam sistem berpikir, berkehendak, sehingga setiap tindakannya diukur dengan standar ajaran Islam. Hanya dengan itu setiap muslim mempunyai pijakan yang sungguh kuat untuk maju sesuai dengan isyarat Islam.
c. Menguasai Ilmu Kehidupan (Iptek dan kemampuan)
Sementara itu, keharusan untuk menguasai ilmu kehidupan (iptek dan keterampilan) diharapkan semoga umat Islam dapat meraih perkembangan material sehingga mampu mengerjakan fungsinya selaku khalifah Allah SWT dengan baik di paras bumi ini. Dorongan Islam untuk menguasai Ilmu kehidupan (iptek) juga dapat diketahui dari pengkajian kepada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. 
Pada hakikatnya ilmu pengetahuan terdiri atas dua hal, yaitu pengetahuan yang dapat mengembangkan akal pikiran insan sehingga dia dapat memilih sebuah langkah-langkah (aksi) tertentu – dan pengetahuan mengenai tindakan itu sendiri. 
Berkaitan dengan akal, Allah SWT telah memuliakan manusia dengan akalnya. Dengan akalnya, insan dilebihkan atas seluruh makhluk ciptaan Allah SWT. Akal menjadi sesuatu yang paling berguna yang dimiliki manusia. Allah SWT menurunkan Al Qur’an dan mendelegasikan Rasul-Nya Muhammad SAW dengan menenteng risalah Islam untuk menuntun akal insan dan membimbingnya ke jalan yang benar. Dalam Al Qur’an aneka macam ayat-ayat yang membahas tentang fungsi dan pentingnya logika.
Sementara, dalam banyak ayat yang lain Allah SWT juga menyerukan manusia untuk memakai akalnya dan memanfaatkannya agar dapat menimbang-nimbang dan merenungkan ciptaan Allah SWT sehingga darinya mampu didapat sains dan aplikasinya berbentukteknologi. Dari dari itu pula mampu membuahkan pelengkap keimanan terhadap Allah SWT, kepada keesaan-Nya, kekuasaan-Nya dan keagungan-Nya. Di sinilah pentingnya peranan nalar insan, dimana lewat proses pemikirannya akan mampu menghantarkan manusia pada keimanan. 
Pada sisi yang lain, logika yang demikian juga akan memacu keinginanuntuk menguasai iptek, alasannya dorongan dan perintah untuk maju ternyata berasal dan sekaligus menjadi buah dari keimanan seorang muslim. Dalam kitab Al Fathul Kabir, contohnya, dikenali bahwa Rasul pernah mendelegasikan dua orang shahabatnya ke negeri Yaman guna mempelajari teknik pengerjaan senjata yang mutakhir dikala itu yang disebut dabbabah, sejenis tank yang terdiri atas kayu tebal berlapis kulit dan tersusun dari roda-roda. Rasul mengetahui betul manfaat senjata ini untuk menerjang benteng lawan. 
Dalam kitab Al Furusiyah (Ibnul Qoyyim), diriwayatkan bahwa Rasulullah suatu ketika menyaksikan busur-busur panah buatan orang-orang Arab, berkata, “Dengan ini, dengan busur-busur, tombak, Allah SWT mengokohkan kekuasaanmu di dalam negeri dan membantu kalian atas lawan-lawanmu.” Pada kali yang lain, Rasulullah SAW memerintahkan Asy-Syifa binti Abdullah supaya mengajarkan kepada Hafshah Ummul Mukminin menulis dan teknik pengobatan. Rasul juga menganjurkan kaum muslimah supaya mempelajari ilmu tenun, menulis dan merawat orang sakit (pengobatan).
2. Unsur Pelaksana Pendidikan
Berdasarkan pengorganisasian, proses pendidikan mampu dibagi menjadi dua, yakni secara formal di sekolah/kampus dan secara nonformal di luar kampus-sekolah/lingkungan, yaitu keluarga dan masyarakat.
a. Pendidikan di sekolah/kampus
Pendidikan di sekolah/kampus intinya merupakan proses pendidikan yang diorganisasikan secara formal berdasarkan struktur hierarkhis dan kronologis, dari jenjang taman kanak-kanak hingga akademi tinggi. 
Selain mengacu pada tujuan pendidikan yang dipraktekkan secara berjenjang, berlangsungnya proses pendidikan di sekolah/kampus sangat bergantung pada eksistensi subsistem-subsistem lain yang terdiri atas: anak latih (pelajar/mahasiswa); administrasi penyelenggaraan sekolah/kampus; struktur dan acara waktu aktivitas mencar ilmu-mengajar; materi materi pengajaran yang diatur dalam seperangkat metode yang disebut sebagai kurikulum; tenaga pendidik/pengajar dan pelaksana yang bertanggung jawab atas terselenggaranya kegiatan pendidikan; alat bantu berguru (buku teks, papan tulis, laboratorium, dan audiovisual); teknologi yang berisikan perangkat lunak (strategi dan seni manajemen pengajaran) serta perangkat keras (perlengkapan pendidikan); fasilitas atau kampus beserta perlengkapannya; kontrol mutu yang bersumber atas sasaran pencapaian tujuan; observasi untuk pengembangan aktivitas pendidikan; dan ongkos pendidikan guna melancarkan kelancaran proses pendidikan.
Berdasar sirah Rasul dan tarikh Daulah Khilafah pendidikan formal mampu dideskripsikan sebagai berikut:
  • Kurikulum pendidikan, mata fatwa, dan metodologi pendidikan disusun berdasarkan pada Aqidah Islam.
  • Tujuan penyelenggaraan pendidikan ialah pembagian terstruktur mengenai dari tujuan pendidikan Islam yang diubahsuaikan dengan jenjang pendidikan.
  • Sejalan dengan tujuan pendidikan, waktu berguru untuk ilmu-ilmu Islam (tsaqofah Islamiyyah) diberikan dengan proporsi yang diubahsuaikan dengan pengajaran ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan kemampuan).
  • Pelajaran ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keahlian) dibedakan dari pelajaran guna membentuk syakhsiyyah Islamiyah dan tsaqofah Islamiyyah. Materi guna membentuk syakhsiyyah Islamiyah mulai diberikan di tingkat dasar selaku materi pengenalan dan kemudian meningkat pada bahan pembentukan dan pematangan setelah usia anak didik menginjak baligh (cukup umur). Sementara materi tsaqofah Islamiyyah dan pelajaran ilmu-ilmu kehidupan diajarkan secara bertingkat dari mulai tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.
  • Bahasa Arab menjadi bahasa pengantar di seluruh jenjang pendidikan, baik negeri maupun swasta.
  • Materi pelajaran yang bermuatan fatwa, ilham dan hukum yang berlawanan dengan Islam, seperti ideologi sosialis/komunis atau liberal/kapitalis, aqidah ahli kitab dan lainnya, tergolong sejarah aneh, bahasa maupun sastra asing dan yang lain, cuma diberikan pada tingkat pendidikan tinggi yang maksudnya hanya untuk wawasan, bukan untuk diyakini dan diamalkan.
  • Pendidikan di sekolah tidak membatasi usia. Yang ada hanyalah batas usia wajib mencar ilmu bagi bawah umur, ialah mulai umur tujuh tahun, berdasar pada hadits,
  Pemahaman Diagnosis
“ Perintahkanlah anak-anak menjalankan shalat di masa mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka bila meninggalkan shalat pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka (pada usia tersebut pula)” (HR. Al Hakim dan Abu Dawud dari Abdullah bin Amr bin Ash)
  • Penyelenggaraan aktivitas olahraga dilangsungkan secara terpisah bagi murid laki-laki dan wanita.
  • Pendidikan diselenggarakan oleh negara secara gratis atau murah. Swasta bisa menyelenggarakan pendidikan asal visi, misi dan sistem pendidikan yang dikembangkan tidak keluar dari pemikiran Islam. 
Dalam kehidupan sekuler mirip saat ini, tugas penting sekolah/kampus sungguh terasa, mengingat materi masukannya berasal dari suprasistem yang sekuler. Beban sekolah bertambah berat manakala dia pun harus bisa mensterilkan sekolah dari gempuran pengaruh negatif yang datang dari kedua suprasistem. Proses pendidikan di sekolah/kampus harus mampu menghasilkan keluaran yang Islami, bukan sekuler. Proses pendidikan mirip ini dikerjakan melalui apa yang disebut small Islamic environment yang interaksi dengan suprasistem penduduk dan keluarga tergambarkan pada sketsa berikut:
Posisi Pendidikan Sekolah/Kampus terhadap Keluarga dan Masyarakat
b. Pendidikan di keluarga
Keluarga ialah daerah pendidikan yang pertama dan utama. Pembinaan kepribadian, penguasaan dasar-dasar tsaqofah Islam dilakukan melalui pendidikan dan pengamalan hidup sehari-hari dan dipengaruhi oleh sumber mencar ilmu yang ada di keluarga, khususnya orang bau tanah. 
Itulah sebabnya, proses pendidikan dalam keluarga disebut sebagai pendidikan yang pertama dan utama, sebab ia menjadi peletak pondasi kepribadian anak. Keluarga ideal berperan menjadi wadah pertama pembinaan keislaman dan sekaligus membentenginya dari dampak-imbas negatif yang berasal dari luar. Dalam dakwah pun, sebelum terhadap penduduk luas, seorang muslim ditugaskan untuk berdakwah apalagi dulu kepada anggota keluarga dan kerabat dekatnya.
Upaya pendidikan dalam keluarga bahwasanya sudah dan mesti dimulai sejak usia anak dalam kandungan hingga menginjak usia baligh dan memasuki jenjang pernikahan; dan bahkan akan terus berlangsung hingga usia tua. 
c. Pendidikan di tengah penduduk
Hampir sama dengan pendidikan di keluarga, pendidikan di tengah penduduk pada hakikatnya juga ialah proses pendidikan sepanjang hayat, khususnya berkenaan dengan praktek kehidupan sehari-hari yang dipengaruhi oleh sumber berguru yang ada di penduduk , adalah tetangga, sobat pergaulan, lingkungan serta sistem nilai yang berlangsung. 
Dalam metode Islam, penduduk ialah salah satu bagian penting penyangga tegaknya sistem selain ketaqwaan individu serta eksistensi negara sebagai pelaksana syariat Islam. Masyarakat berperan mengawasi anggota masyarakat lain dan penguasa dalam pelaksanaan hukum syariat Islam. Masyarakat Islam terbentuk dari individu-individu yang dipengaruhi oleh perasaan, ajaran, dan peraturan Islam yang mengikat mereka sehingga menjadi masyarakat yang solid. Lebih dari itu, masyarakat Islam mempunyai kepekaan indera bagaikan pekanya anggota badan kepada sentuhan benda ajaib. Tubuh yang hidup akan turut merasakan sakit saat anggota tubuh lain terluka, kemudian dia bereaksi dan berusaha melawan rasa sakit tersebut hingga lenyap. Dari sinilah amar ma’ruf nahi munkar menjadi bab yang paling esensial yang sekaligus membedakan penduduk Islam dengan penduduk yang lain
Ketaqwaan individu anggota masyarakat di samping diputuskan oleh upaya langsung, juga sungguh dipengaruhi oleh interaksi dengan anggota penduduk lain dan nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat. Dalam penduduk Islam, seseorang yang berbuat maksiyat tidak akan berani melakukannya secara terang-terangan, atau bahkan tidak berani melaksanakan sama sekali. Kalaupun ada yang tergoda untuk berbuat maksiyat, beliau akan berupaya melakukan secara sembunyi-sembunyi. Begitu sadar akan kesalahannya, ia akan terdorong secepatnya bertobat atas kekhilafannya dan kembali kepada kebenaran.
Kisah Ma’iz Al Aslami dan Al Ghomidiyah radliyallahu anhuma yang pribadi menghadap Nabi SAW untuk meminta hukuman sesaat setelah berzina, merupakan contoh konkret citra dari ketinggian ketaqwaan individu dalam penduduk Islam. 
3. Asas Pendidikan
Islam mewajibkan setiap muslim untuk memegang teguh aliran Islam dan membuatnya selaku dasar dalam berfikir dan berbuat, asas dalam relasi antar sesama manusia, asas bagi hukum masyaraka dan asas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk dalam menyusun sistem pendidikan. Penetapan aqidah Islam sebagai asas pendidikan tidaklah berarti bahwa setiap ilmu pengetahuan harus bersumber pada aqidah Islam, sebab memang tidak semua ilmu pengetahuan terlahir dari aqidah Islam. Yang dimaksud dengan mengakibatkan aqidah Islam sebagai asas atau dasar dari ilmu pengetahuan yaitu dengan menjadikan aqidah Islam selaku kriteria penilaian. Dengan kata lain, aqidah Islam difungsikan selaku kaidah atau tolak ukur pedoman dan perbuatan.
Al Qur’an sendiri menampung pemikiran dan doktrin dari berbagai agama dan golongan di era Nabi SAW. Islam tidak melarang mempelajari segala macam ajaran sekalipun bertentangan dengan aqidah Islam, asal diikuti koreksi dengan hujjah yang berpengaruh untuk menumbangkan usulan yang salah itu. Ilmu perihal usulan-pendapat yang berlawanan dengan Islam pasti bukan selaku sebuah pengetahuan yang utama, melainkan semata-mata dipelajari untuk wawasan, menerangkan kekeliruannya serta memperlihatkan balasan yang sempurna.
Yang tidak boleh yakni mengambil pedoman-pemikiran yang salah itu sebagai pegangan hidup. Teori evolusi Darwin contohnya, terang berlawanan dengan aqidah Islam. Perkembangan manusia tidak berawal dari binatang primata (kera), tapi, sebagaimana keyakinan aqidah Islam, diciptakan oleh Allah dari tanah lalu mani. Dalam aspek sosial, teori Darwin menghipnotis cara berpikir masyarakat bahwa yang terkuat akan berkembang dan menang, sesuai dengan prinsip seleksi alam (prinsip “survival for the fittest”). Paham ini memberi andil tegaknya ideologi kapitalis/liberal. Dari sana tercetus pemikiran bahwa cuma mereka yang berjuang secara bebas sajalah yang hendak mampu mencapai kedudukan yang baik secara ekonomi dan sosial. Jadilah beliau seorang machiavelis, insan yang berprinsip tujuan menghalalkan cara.
Contoh lain yang berlawanan dengan aqidah Islam ialah teori pertumbuhan (evolusi) bahan sebagaimana doktrin kaum komunis. Menurut teori ini, materi berkembang dengan sendirinya, tidak ada aspek lain yang turut campur mengadakannya ataupun menumbuhkannya. Dalam bidang biologi, dikenal dengan ungkapan generatio spontanea, yaitu bahwa makhluk hidup (dalam hal ini organisme sel) tercipta dengan sendirinya. Tuhan tidak ada.
Pengetahuan tentang ilham-ide yang bertentangan dengan aqidah Islam, mirip teladan-teladan tersebut di atas, tidak boleh diajarkan begitu saja alasannya adalah akan potensial menghancurkan aqidah. Kecuali disertai dengan penjelasan mengenai kesalahannya agar orang tidak meyakininya.
4. Struktur Kurikulum
Kurikulum pendidikan Islam di sekolah/kampus dijabarkan dalam tiga bagian utama, yaitu: (1) Pembentukan Syakhsiyyah Islamiyyah (Kepribadian Islami), (2) Tsaqofah Islam dan (3) Ilmu Kehidupan (Iptek dan keterampilan). 
Pada tingkat dasar atau menjelang usia baligh (Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar), penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat fundamental, biasa , terpadu dan merata bagi semua anak bimbing yang mengikutinya. Yang tergolong dalam bahan dasar ini antara lain: pengenalan Al Qur’an dari sisi hafalan dan bacaan; prinsip-prinsip agama; membaca; menulis dan mengkalkulasikan; prinsip-prinsip bahasa Arab; menulis halus; sirah Rasul dan Khulafaur Rasyidin serta berlatih berenang dan menunggang kuda (menyetir mobil?).
Khalifah Umar bin Khattab dalam wasiat yang dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya menulis, “Sesudah itu, ajarkanlah terhadap anak-anakmu berenang dan menunggang kuda, dan ceritakan kepada mereka budpekerti susila dan syair-syair yang baik.” Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan terhadap Sulaiman Al Kalby, guru anaknya: “Sesungguhnya anakku ini ialah cahaya mataku, saya percayakan padamu mengajarnya. Hendaklah engkau bertakwa terhadap Allah dan tunaikanlah amanah. Dan yang pertama-tama aku wasiatkan kepadamu ialah biar engkau mengajarkan kepadanya Al Qur’an, lalu hafalkan kepadanya Al Qur’an,…”
a. Pembentukan Syakhsiyyah Islamiyyah 
Pembentukan syakhshiyyah Islamiyyah harus dikerjakan pada semua jenjang pendidikan sesuai dengan proporsinya melalui berbagai pendekatan. Salah satu diantaranya yaitu dengan menyampaikan tsaqofah Islam terhadap para siswa/mahasiswa 
Setelah mencapai usia baligh, yakni pada SMP, SMU dan PT, materi yang diberikan bersifat Lanjutan (Pembentukan, Peningkatan dan Pematangan). Hal ini dimaksudkan untuk memelihara dan sekaligus memajukan keimanan serta keterikatan dengan syariat Islam. Indikatornya adalah bahwa anak didik dengan kesadarannya melaksanakan seluruh keharusan dan bisa menyingkir dari seluruh larangan Allah. 
b. Tsaqofah Islam
Tsaqofah Islam ialah ilmu-ilmu yang dikembangkan berdasar aqidah Islam, yang sekaligus menjadi sumber peradaban Islam. Materi ini diberikan di seluruh jenjang pendidikan secara proporsional. 
Materi tsaqofah Islam sebagaimana digambarkan pada Struktur dan Performa Komponen Kurikulum, diberikan secara bertingkat sesuai dengan tingkat kesanggupan dan daya serap anak bimbing dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai PT. Sebagai acuan, sasaran materi tahfidzu al-Qur’an untuk tingkat SD yakni contohnya 5 juz, SMP sebanyak 2,5 juz, SMU sebanyak 2,5 juz, sedang di PT diutamakan menghafal ayat-ayat yang terkait bersahabat dengan bidang ilmu yang ditekuninya. Sedangkan bahan Ulumu al-Qur’an semakin mantap diberikan pada tingkat SMP sebagaimana bahan Ulumu al-Hadist. Materi Ushul Fiqh mulai diberikan pada tingkat SMU.
Materi Sirah yang diberikan mulai tingkat Sekolah Dasar lebih bersifat pengenalan dasar yang dimaksudkan untuk membina dan mencerapkan nilai-nilainya. Barulah pada tingkat SMP, materi ini difokuskan lebih tematik, misalnya dengan tema khusus peperangan, dakwah dan lainnya. 
c. Ilmu Kehidupan (Iptek dan Keahlian)
Muatan yang ketiga ini diberikan secara bertingkat sesuai dengan perkembangan kesanggupan anak. Di jenjang pendidikan tinggi, pengajaran ilmu ini lebih terkonsentrasi. 
5. Dana, Sarana dan Prasarana
Berdasarkan sirah Nabi SAW dan tarikh Daulah Khilafah – sebagaimana disarikan oleh Al Baghdadi (1996) dalam buku Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, negara menawarkan pelayanan pendidikan secara cuma-cuma (bebas ongkos) dan peluang seluas-luasnya bagi seluruh warga untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dengan kemudahan (fasilitas dan prasarana) sebaik mungkin. Kesejahteraan dan honor para pendidik sungguh diamati. Dana pendidikan ditanggung negara yang diambil dari kas baitul maal. Sistem pendidikan bebas ongkos dilaksanakan oleh para shahabat (ijma), termasuk perlindungan honor yang sungguh membuat puas terhadap para pengajar yang diambil dari baitul maal. 
Contohnya, Madrasah Al Muntashiriah yang didirikan Khalifah Al Muntashir di kota Baghdad. Di sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa sebesar satu dinar (4,25 gram emas). Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya. Fasilitas seperti perpustakaan, bahkan rumah sakit dan pemandian tersedia lengkap di sana. Begitu pula dengan Madrasah An-Nuriah di Damaskus yang didirikan pada kurun keenam Hijriah oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, daerah peristirahatan untuk siswa, staf pengajar dan para pramusaji serta ruang besar untuk ceramah. Khalifah Umar Ibnu Khattab jauh sebelum itu, memberikan gaji kepada tiga orang guru yang mengajar belum dewasa di kota Madinah masing-masing sebesar 15 dinar setiap bulan.
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI MASA LALU 
Di zaman pemerintahan Islam, paling tidak semenjak 4 H telah banyak dibangun sekolah Islam. Tetapi sebelum sekolah semodel itu dikembangkan, pendidikan saat itu dilakukan di dalam masjid, majelis-majelis taklim dan kawasan-daerah pendidikan lainnya. Muhammad Athiyah Al Abrasi dalam buku Dasar-dasar Pendidikan Islam, memaparkan perjuangan-usaha para khalifah untuk membangun sekolah-sekolah itu. Dalam perkembangannya, setiap khalifah terus membangun sekolah tinggi Islam dan berusaha melengkapinya dengan sarana dan prasarananya. Pada setiap sekolah tinggi itu dilengkapi dengan iwan (auditorium, gedung pertemuan), asrama penampungan mahasiswa, perumahan dosen dan ulama. Selain itu, sekolah tinggi tersebut juga dilengkapi dengan kamar mandi, dapur dan ruang makan, bahkan juga taman rekreasi.
Di antara sekolah-akademi yang terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah Al Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Di antara madrasah-madrasah tersebut yang terbaik yaitu Madrasah Nizhamiyah. Sekolah ini kesudahannya menjadi persyaratan bagi daerah yang lain di Irak, Khurasan (Iran) dan lainnya.
Madrasah Al Mustanshiriyah di Baghdad didirikan oleh Khalifah Al Mustanir pada kala ke – 6 Hijriah. Sekolah ini mempunyai sebuah auditorium dan perpustakaan yang sangat lengkap. Selain itu, madrasah ini juga dilengkapi dengan pemandian, rumah sakit yang dokternya siap di tempat. Madrasah lain yang juga cukup terkenal yaitu Madrasah Darul Hikmah di Kairo yang diresmikan oleh Khalifah Al Hakim Biamrillah pada tahun 395 H. Madrasah ini yakni institut pendidikan yang dilengkapi dengan perpustakaan dan sarana serta prasarana pendidikan lainnya. Perpustakaannya dibuka untuk umum. Setiap orang boleh mendengarkan kuliah, ceramah ilmiah, simposium, aktifitas kesusastraan, dan telaah agama. Pada perpustakaan ini, seperti juga pada perpustakaan yang lain, dilengkapi dengan ruang-ruang studi dan ceramah serta ruang musik untuk refreshing bagi pembaca.
KENDALA 
Model pendidikan atau sekolah unggulan mirip itu terang hanya dapat diterapkan oleh negara alasannya adalah negaralah yang memiliki seluruh otoritas yang diperlukan bagi penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas, tergolong penyediaan dana yang mencukupi, sarana, prasarana yang mencukupi dan sumberdaya manusia yang berkualitas. Dalam membangun model pendidikan sebagaimana yang dikehendaki Islam dikala ini pastinya akan menghadapi kendala utama, yaitu belum diterapkannya bangunan tata cara Islam secara menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 
UPAYA
Mengingat hambatan di atas, maka tahap pertama mampu ditempuh aksi individual atau kalangan yang dibenarkan oleh aturan syara dan memenuhi standar sebagai forum pendidikan Islam, dari mulai asas kurikulumnya hingga operasionalisasi pendidikan keseharian. Tahap berikutnya, secara simultan berbarengan dengan tahap pertama tadi mesti diperjuangkan tegaknya sistem pendidikan Islami oleh negara sebagai bagian dari tata cara Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tahap pertama perlu dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan berkualitas bagi anak-anak Islam sekarang ini, yang dibutuhkan bisa pondasi penting bagi pembentukan kepribadian Islam dalam dirinya dalam rangka tumbuhnya tunas-tunas Islam yang amat diharapkan bagi dakwah. Tapi acara ini dihentikan melalaikan jadwal besarnya, adalah usaha penegakan kehidupan Islam yang di dalamnya seluruh faktor kehidupan bermasyarakan dan bernegara, tergolong di bidang pendidikan, diatur dengan syariah. Hanya dengan cara itu saja, kerahmatan syariah dapat betul-betul diujudkan.