Mengapa Allah Mewajibkan Puasa Ramadhan? Secara global Allah SWT menjelaskan biar orang yang beriman menjadi orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa itu mirip apa? Allah SWT menerangkan secara global dalam Surat Al-Baqarah ayat 2-4, ialah beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rezeki (mengembangkan), beriman kepada kitab yang diturunkan kepadanya dan kitab yg telah diturunkan sebelumnya, menyakini adanya kehidupan alam baka.
Dalam Surat Al Imran ayat 134-135 disebutkan bahwa ciri-ciri orang yang bertaqwa sbb;
- Mampu menafkahkan sebagian hartanya baik di waktu lapang maupun sempit. (dermawan)
- Mampu menahan amarah (Sabar).
- Mampu memaafkan kesalahan orang lain.
- Jika melaksanakan perbuatan keji atau menganiaya diri ingat terhadap Allah SWT, kemudian (segera) memohon ampun kepada dosa-dosa yang sudah ia kerjakan.
- (Dan) tidak mengulang tindakan keji, yang sudah ia ketahui.
Bila kita telisik dalam perincian perilaku orang bertaqwa dalam Surat Al Imran ayat 134-135 tersebut tergambar bahwa inti dari perintah puasa itu bahu-membahu sebagai latihan pengendalian sesuatu yang ada dalam diri kita. Begitu pentingnya esensi pengendalian itu sehingga Dia mewajibkan setiap tahun sekali selama satu bulan penuh berpuasa di bulan Ramadhan. Saya hendak menyampaikan bahwa esensi perintah puasa itu yakni perintah untuk mengendalikan sesuatu yang mana sesuatu itulah yang menyebabkan kita berbuat, berminat bahkan sesuatu itu mengajak kita berbuat baik dan melampaui batas. Bila demikian semestinya kita sadar bahwa bahwasanya dalam diri ini berisikan diri kita dan sesuatu. Ulama mengatakan bahwa sesuatu itu disebut nafsu. Jadi dalam bungkus raga, manusia selalu bersekutu antara dirinya dengan nafsu. Kesadaran inilah sebetulnya yang harus kita pegang apalagi dahulu sebagai seorang hamba di hadapan Robnya. Dari komplotan ini kita peroleh 2 (dua) kondisi amal perbuatan,
- Amal tindakan dalam dominasi diri.
- Amal tindakan dalam dominasi nafsu.
Bila hari ini kita diperintah berpuasa padahal badan terasa haus maka saat berjumpa minuman segar nafsu meronta mengajak minum, jika kita meminum air tersebut memberikan bahwa nafsu lebih mendominasi, namun ketika kita tidak meminumnya dan meneruskan berpuasa maka diri kita yang mendominasi, artinya kita bisa mengatur nafsu.
Nafsu itu Laksana Kuda Binal yang Harus Dikendalikan
Nafsu itu laksana kuda binal yang harus dikendalikan, sehingga kuda itu mampu berlari dan melompat dengan segera melompati penghalang dan jurang-jurang maksiat yang berada di depannya. Dalam istilah ini kita ialah penunggang kuda sedang kuda ialah nafsu. Nafsu yang tidak terkendali laksana kuda binal yang meronta susah dikendalikan. Kebinalan ini mampu tergambar secara ekstrim tatkala dua cukup umur putra putri yang dimadu cinta hendak melaksanakan maksiat sebelum terjadi ikatan yang syah, atau laki-laki dan wanita yang telah berumah tangga ketika hendak melaksanakan perselingkuhan. Rasulullah bersabda;
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Barang siapa tidak mempunyai kemampuan (untuk menikah), hendaklah dia berpuasa, alasannya bahu-membahu puasa akan menjadi peredam baginya.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasa’I, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad).1
Meskipun hadist tersebut ditujukan terhadap remaja sebelum menikah, tetapi terkandung makna bahwa pada pada dasarnya perintah puasa itu bergotong-royong untuk menundukkan kebinalan nafsu yang melekat pada manusia.
Pada kondisi lain ketika insan sudah bisa mengatur nafsu dikala datang perintah Allah SWT beliau segera melaksanakannya dengan antusias. Inilah bantu-membantu tujuan yang hendak dicapai di balik perintah puasa. Makara perintah puasa pada hakekatnya untuk membentuk manusia berakal dalam mengontrol ‘kebinalan’ nafsu menuju keridhaan Allah SWT. Rasul bersabda bahwa,
لا يُؤمِنُ أحَدُكُمْ حَتَى يَكُونُ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِه
“Masih belum sempurna akidah seseorang di antara kalian sebelum keinginannya (hawa nafsunya) mengikuti isyarat yang kusampaikan (HR. Al Baghawi, Tabrizi, Ibn Abu ‘Ashim, Muttaqi Al-Hindiy, Ibnu Hajar dan Al Khatib).2
Demikian sedikit pegangan menjawab pertanyaan Mengapa Allah Mewajibkan Puasa Ramadhan. Semoga berfaedah. Amiin.
Wallaahu ‘alamu bi As-Shawwaab.
PUSTAKA
Al Quranul Karim
1 Al-Buchori, Al-Sindi. 2011. Shohih Al Bukhari Dar
Al Kotob Al Ilmiyah. Lebanon. Edisi 5. Juz 1. Hal. 629.
2 Ibn Qoyim Al-Juziah._____.Raudhatul MuhibbiinWanuzhatul Musytaaqiin Diterjemah: Zubaidi,B,A,I. 2006. Taman Jatuh Cinta dan