Membangun Model Pelayanan Publik Yang Dapat Memenuhi Keinginan Masyarakat
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah semenjak tahun 2004 membawa perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan didaerah. Salah satu perubahan itu ialah santunan wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan beberapa bidang pemerintahan. Seiring dengan bertambah luansya kewenangan itu, maka pegawanegeri birokrasi pemerintahan di daerah mampu mengelolah dan mengadakan pelayanan publik dengan lebih baik sesuai dengan keperluan masyarakatnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh (Hoessein, 2001) : “Otonomi tempat merupakan wewenang untuk mengendalikan persoalan pemerintahan yang bersifat lokalitas menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Dengan demikian desentralisasi bergotong-royong menjelmakan otonomi penduduk lokal untuk memecahkan banyak sekali duduk perkara dan dukungan layanan yang bersifat lokalitas demi kemakmuran penduduk yang bersangkutan. Desentralisasi dapat pula disebut otonomisasi, otonomi kawasan diberikan terhadap penduduk dan bukan kepada tempat atau pemerintah kawasan
Hingga kini ini kualitas pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, presodur yang berbelit-belit ketika harus mengorganisir suatu perijinan tertentu, ongkos yang tidak terperinci serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator rendahnya mutu pelayanan publik di Indonesia. Dimana hal ini juga selaku akhir dari berbagai persoalan pelayanan publik yang belum dirasakan oleh rakyat. Di samping itu, ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana penduduk yang termasuk miskin akan sukar menerima pelayanana. Sebalikya, bagi mereka yang memiliki uang, dengan sangat mudah mendapatkan segala yang diharapkan. Untuk itu, apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus menerus terjadin, maka pelayanan yang berpihak ini akan memunculkan kesempatanyang bersifat berbahaya dalan kehidupan berbangsa. Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar antara yang kaya dsn miskin dalam konteks pelayanan, kenaikan ekonomi yang lamban, dan pada tahapan tertentu mampu meledak dan merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Kemudian, terdapat kecenderungan di aneka macam instansi pemerintah pusat yang enggan menyerahkan kewenangan yang lebih besar terhadap kawasan otonom, alhasil pelayanan publik menjadi tidak efektif, efeseindan hemat, dan tidak menutup kemungkinan unit-unit pelayanan condong tidak memiliki responsibilitas, responsivitas dan tidak representatif sesuai dengan permintaan penduduk . Banyak teladan yang dapat diidentifikasi mirip pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, fasiliats sosial dan aneka macam pelayanan di bidang jasa yang dikelolah pemerintah daerah belum memuaskan penduduk , kalah berkompetisi dengan pelayanan di bidang yang di kelolah oleh pihak swasta. Norman Flyn (1990) mengemukakan bahwa pelayanan publik yang dikontrol pemerintah secara hirarkis condong bercirikan over bureaucratic, bleated, wasteful, dan under performing.
Kejadian-kejadian tersebut lebih disebabkan karena paradigma pemerintahan yang masih belum mengalami pergantian mandasar. Paradigma lama tersebut ditandai dengan sikap aparatur negara di lingkungan birokrasi yang masih menempatkan dirinya untuk dilayani bukan untuk melayani. Pada hal pemerintah sebaiknya melayani bukan dilayani. Seharusnya di kurun demokratisasi dan desentralisasi dikala ini, seluruh perangkat birokrasi, perlu menyadari bahwa pelayanan memiliki arti pula semangat pengabdian yang memprioritaskan efesiensi dan kesuksesan bangsa dalam membangun yang dimanifestisikan antara lain dalam sikap melayani, bukan dilayani, mendorong bukan menghambat, membuat lebih mudah bukan mempersulit, sederhana, bukan berbelit-belit, terbuka untuk siapa pun, bukan cuma untuk segelintir orang (Mustopadidjaja, 2003).
A. Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah
Di periode otonomi daerah ketika ini, seharusnya pelayanan publik menjadi responsif terhadap kepentingan publik, di mana paradigma pelayanan publik beralih dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke palayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan (customer-driven goverment) dengan ciri-ciri (a) lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan lewat aneka macam kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi acara pelayanan kepada masyarakat (b) lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan penduduk sehingga masyarakat memiliki rasa mempunyai yang tinggi terhadap kemudahan-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bareng (c) menerapkan tata cara kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga penduduk menemukan pelayanan yang berkualitas (d) berkonsentrasi pada pencapaian visi, misi tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil (outcomes) sesuai dengan masukan yang dipakai (e) lebih mengutamakan apa yang dikehendaki oleh penduduk (f) memberi jalan masuk terhadap penduduk dan responsif terhadap pendapat dari penduduk ihwal pelayanan yang diterimanya (g) lebih mengutamakan antisipasi terhadap pemasalahan pelayanan (h) lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksaan pelayanan, dan (i) menerapkan tata cara pasar dalam memperlihatkan pelayanan. Namun, dilain pihak, pelayanan publik juga memiliki beberapa sifat antara lain : (a) mempunyai dasar aturan yang terperinci dalam penyelenggaraannya, (b) memiliki wede stakeholders, (c) memiliki tujuan sosial, (d) dituntut untuk akuntabel kepada publik, (e) memiliki comlex and debeted performance indicators, serta (f) kadang kala menjadi gosip politik (Mohammad, 2003)
Murah dan tidak diskriminatif, dan transparan, disamping itu, upaya-upaya yang sudah ditempuh oleh pemerintah nampaknya belum optimal. Salah satu indikator yanag mampu dilihat dari fenomena ini adalah pada fungsi pelayanan publik yang banyak dikenal dengan sifat birokratis dan banyak menerima unek-unek dari penduduk alasannya adalah masih belum mengamati kepentingan penduduk penggunanya. Kemudian pengelolah pelayanan publik cenderung lebih besifat direktif yang hanya memperhatikan/ memprioritaskan kepentingan pimpinan organisasinya saja. Masyarakat selaku pengguna mirip tidak memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus tunduk terhadap pengelolahnya. Seharusnya pelayanan publik diatur dengan paradigma yang bersifat sportif dimana lebih memfokuskaan diri kepada kepentingan masyarakatnya, pengelolaan pelayanan harus bisa bersikap menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.
B. Model Pengelolaan Organisasi Pelayanan Publik
Model pengelolaan organisasi publik ini dimaksudkan untuk mempekerjakan lembaga pelayanan publik sehingga dapat memaksimalkan fungsi pelayanan publik sesuai dengan perkembangan tuntutan kemajuan ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Dengan melihat versi pengelolaan organisasi pelayanan publik ini, ada beberapa faktor yang dianggap sanagat mempunyai dampak langsung kepada upaya peningkatan kualitas pelayanan publik, adalah :
1. Aspek Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan proses berorientasi kepada insan dan mampu diukur dan pengaruhnya kepada perilaku organisasi dan penduduk yang dihadapinya. Dengan kata lain, dalam tataran ini, acara kepemimpinan sungguh penting artinya kepada motivasi orang lain, korelasi antara individu dan interaksi sosial, komunikasi interpersonal, iklim dalam organisasi, konflik interpersonal, perkembangan personil dan mengantisipasi produktivitas sumber daya manusia aparatur.
2. Aspek Sistem Kelembagaan
a. Aspek Sumber Daya insan (SDM)
Ketersediaan sumber daya yang mencukupi dan kesempatandipandang sebagai aspek yang signifikan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Aspek sumber daya yang dimaksudkan ialah meliputi sumber daya keuangan, SDM aparatur, teknologi dan faktor prasarana dan anjuran fisik lainnya. Secara umum, kekurangan pelayanan publik selama ini lebih dikarenakan oleh maslah kekurangan kesanggupan finansial dan fasilitas dan prasarana fisik. Kelemahan yang lain yaitu kemampuan dan kopentensi SDM aparatur yang terlibat langsung terhadap terhadap bantuan pelayanan, dimana rata-rata sumber daya insan Aparatur di daerah belum mahir dan memakai dan mengoperasikan teknologi isu dan komunikasi yang makin hari makin cepat berkambang.
b. Aspek Partisipasi Masyarakat
Dalam konteks partisipaasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan umum, komunikasi yang efektif antara masyarakat dengan pemerintah menjadi penting khususnya berhubungan dengan arah pelayanan yang berorientasi terhadap pelanggan di mana kepentingan, cita-cita, cita-cita dan tuntutan penduduk menjadi sandaran utamanya.Possisi masyarakat dalam tataran ini dipandang sebagai subyek yang mesti dilayani dan dipuaskan. Karenanya, ketika berbicara tentang kualitas pelayanan yang diberikan maka hal itu akan sejajar dengan tingkat kepuasan penduduk selaku pelanggannya. Dalam melaksanakan pelayanan yang bagus, seorang pramusaji harus mempunyai kesanggupan berkomunikasi dengan baik terhadap yang dilayanninya. Ada beberapa hal yang perlu diamati dalam melakukan komunikasi dengan orang lain, yakni: (1) komunikator dan komunikan harus sama-sama berpola pikir nyata yang didasarkan pada teladan pikir yang swhat dan logis, (2) komunikator dan komunikan mesti bisa menempatkan diri pada keadaan yang sempurna pada ketika melaksanakan komunikasi atau komunikator harus mampu menempatkan komunikan pada posisi yang bebas dan manusiawi, (3) komunikator harus mampu memperlihatkan perilaku yang santun dan memberikan potensi kepada komunikan untuk memahami isi pesan hingga dengan memberikan umpan balik, dan (4) kemampuan menentukan dan menggunakan bahsan yang sederhana dan mudah diketahui oleh komunikan. Dalam konteks ini, yang mesti lebih ditonjolkan oleh pemerintah ialah peran motivator, adalah tugas menggerakkan masyarakat atau mobilisasi mayarakat untuk mau ikut serta dalam menyukseskan atau memperlancar jalannya pelayanan.
C. Model Siklus Layanan (Moment Of Truth)
Dalam teladan ini, masing-masing instansi/unit terkait tetap melaksanakan kewenangan dan peran-tugasnya, serta dapat mampu menempatkan petugasnya pada daerah tersebut. Akan namun supaya proses keseluruhan pelayanan mampu berjalan sinergi, maka acara pelayanan dan masing-masing instansi/ unit terkait dikontrol dalam dalam sebuah prosedur dan terkoordinir dalam mekanisme tata urutan kerja yang tertentu pada satu lokasi/kawasan di bawah satu atap tersebut. Teknis pelaksanaan dengan contoh pelayanan umum satu atap, mampu dijalankan, antara lain :
1. Menyiapkan daerah/gedung untuk ditempati secara bareng oleh unit kerja/instansi terkait. Masing-masing instansi membuka meja/loket dan menempatkan petugasnya sesuai yang diputuskan dalam satu tempat/lokasi tersebut, serta mengerjakan peran dan fungsinya sendiri.
2. Sesuai dengan mekanisme urutan acara penyelesaian pelayanan yang diputuskan, maka penduduk (pemohon pelayanan) cukup mengunjungi da menuntaskan urusannya pribadi pada loket/petugas pada unit kerja/instansi terkait tersebut.
3. Untuk mendukung kelangsungan pertanyaan, maka proses pelayanan yang diberkaitan dengan masing-masing loket/meja dan unit/instansi terkait tersebut, mesti dilengkapi atau ditawarkan berita yang lengkap menyangkut urutan aktivitas, patokan, dan ongkos pelayan secara terang dan terbuka ddalam atu lokasi tersebut.
D. Model Standar Pelayanan Umum
Dalam hal untuk menggali pandangan penduduk kepada mutu pelayanan yanag diberikan harus didasarkan pada beberapa klasifikasi, aspek-aspek yang dijadikan dasar pengukuran meliputi beberapa unsur, di antaranya: Pertama, tangibility, yaitu berupa kualitas pelayanan yang dilihat dari sarana fisik yang kasat mata, dengan indikator-indikatornya yang mempunyai sarana parkir, ruang tunggu, jumlah pegawai, media isu pengurusan, media info ganjalan, dan jarak tempat layanan; Kedua, reability, yakni kualitas pelayanan yanag dilihat dari sisi kemampuan dan kehandalan dalam menawarkan layanan yang terpercaya, mencakup proses waktu penyelesaian layanan dn proses waktu pelayanan unek-unek; Ketiga, bertitik tolak dari kesanggupan dan kehandalan yang dipunyai, untuk berikutnya indikator kualitas pelayanan mesti ditunjang dari sisi responsiveness-nya, yaitu mutu pelayanan yang dilihat dari sisi kemampuan untuk menolong dana menawarkan pelayanan secara cepat dan sempurna, serta tanggap terhadap keinginan pelanggan; Keempat yakni assurence, ialah kualitas pelayanan yang dilihat dari sisi kemampuan petugas dalam meyakinkan iman masyarakat. Adapun indikatornya yaitu dengan adanya kejelasan tentang mekanisme layanan dan kejelasan mengenai tarif layanan; Kelima, emphaty, adalah pelayanan yang diberikan berupa sikap tegas namun penuh perhatian terhadap masyarakat (pelanggan). Dalam konteks ini, indikator yang dilihat ialah adanya budpekerti petugas selama pelayanan berlangsung dan santunan khusus dari petugas selama proses pelayanan berlangsung