Karena sudah tiga hari berturut-turut mendapatkan mimpi yg sama, Mek menetapkan untuk bercerita wacana mimpi tersebut pada sang suami. Tentang lelaki berpakaian putih-putih yg menyampaikan bahwa Mek akan jadi tukang urut, kemudian menyentuh pundak kanan Mek. Pagi harinya, ketika sang suami sudah duduk di dingklik reyot, lelaki dgn badan ringkih itu cuma manggut-manggut menyimak kisah Mek. Menarik napas dalam-dalam. Lalu kembali menyeruput kopi.
“Bagaimana, Pak?” Mek mengejar.
“Apanya yg bagaimana?”
“Mimpiku itu, lho.”
“Ya sudah. Namanya pula mimpi.”
“Tapi sudah tiga kali, Pak.”
Suami Mek kembali menyeruput kopi.
“Pak?”
Suami Mek menghela napas panjang.
“Pak?!”
“Apa sih, Bu? Itu kan mimpi. Kenyataannya gue sudah tiga kali ditolak kerja di tempat orang. Garap lahan Pak Minto pula sudah tak bisa lagi. Kamu malah bahas mimpi.”
Mek membisu. Menatap lantai rumah.
Hingga tiga bulan lalu, suami Mek masih bisa menggarap lahan Pak Minto. Lahan itu sebelumnya cuma lahan mati dgn rumput ilalang setinggi orang cukup umur. Setelah Mek & suaminya datang selaku keluarga jauh yg merantau, Pak Minto mengijinkan keduanya memanfaatkan lahan itu untuk cocok tanam. Daripada jadi lahan tak terurus, begitu kata Pak Minto.
Dari lahan yg sebenarnya tak terlalu luas itu, Mek & suami mengerahkan semua kesanggupan. Mereka berhasil menanam beberapa tumbuhan. Hasilnya, sebagian dimakan sendiri & sebagian lain bisa dibawa ke pasar untuk dijual. Tentu saja tak banyak, namun cukup. Cukup untuk makan mereka & anak-anak yg kemudian lahir tiga kali beruntun. Pendek kata, cukup untuk hidup tak mewah.
Tentu saja, selama kurang lebih dua belas tahun di sela-sela hidup irit mereka, Mek & suami masih menyisakan uang untuk menabung. Hanya saja kadang kala tabungan itu mesti terpakai untuk kehidupan sehari-hari & keperluan lain. Bahkan, tak jarang, mereka justru harus berutang ke Pak Minto atau yg lain untuk keperluan-kebutuhan mendadak, mirip biaya melahirkan. Namun, sekuat apa pun mereka menabung, simpanan itu tak cukup untuk mempersiapkan jikalau suatu waktu lahan itu tak bisa lagi digarap. Dan itulah yg terjadi.
Saat mereka sedang bahagia-senangnya alasannya adalah tampaknya panen akan cukup berlimpah tahun ini, Pak Minto tiba mengetuk pintu rumah kontrakan mereka yg berada di sekitar tiga kilometer dr lahan garapan. Mek & suami sama sekali tak menduga bahwa sesudah senyum, salam, & ramah-tamah yg mengasyikkan, Pak Minto memberikan,
“Lahan itu sudah dijual. Ada orang yg mau membangun minimarket waralaba di sana. Kabarnya satu atau dua bulan lagi pembangunan akan dimulai.”
Kalimatnya tak persis seperti itu alasannya adalah disampaikan dgn berbelit-belit & sangat berhati-hati supaya tak melukai semua orang. Hanya saja, sehalus apa pun penyampaiannya, memang realita itu pahit & tak ada elok-manisnya.
Panen yg sudah dibayangkan oleh Mek & suami saat itu juga mesti menguap. Sebelum pulang, Pak Minto memberikan sebuah amplop yg berisi uang. Pak Minto sudah menyampaikan soal flora yg akan secepatnya panen & pemilik tanah yg baru oke untuk mengeluarkan uang ganti rugi. Setelah dijumlah, Mek & suami memang benar-benar rugi.
Setelah Pak Minto pulang, ada tiga puluh menit yg habis di dlm keheningan yg pekat. Baik Mek maupun suami tak bersuara. Meskipun begitu, ada keributan & kegaduhan dlm benak masing-masing. Kericuhan yg begitu rumit & sungguh sulit untuk disalurkan sampai tak ada kata yg keluar dr mulut keduanya.
“Bagaimana, Pak?” ucap Mek sehabis tiga puluh menit dlm kerapuhan yg memutusasakan.
“Ya mau bagaimana lagi. Kita cari penghasilan lain, Bu.”
Tapi rupanya mencari sumber penghasilan lain bagi kedua orang itu tidaklah mudah. Tangan mereka sudah terbiasa mencangkul, memupuk, & menyiangi. Sementara lahan semakin sempit & kebun orang lain sudah punya penggarapnya sendiri.
Sebenarnya Mek & suami takjub pula dgn pertumbuhan minimarket waralaba. Bisa-bisanya ia meraih titik di kampung yg letaknya ratusan kilometer dr kota provinsi. Apalagi, sebulan dr sana, dijual pula tanah di samping lahan garapan mereka yg selama ini aktif ditanami padi untuk kepentingan pembangunan minimarket waralaba pesaing.
Mek tahu persis bahwa petak kecil sawah itu digarap oleh tetangganya. Karena merasa senasib, didatanginyalah tetangga itu & menanyakan apa yg akan mereka kerjakan untuk menyambung hidup sehabis tanah itu dijual. Jawaban mereka yaitu, “Merantau ke kota. Cari kerja di sana. Di sini sudah tak ada lagi yg bisa dikerjakan.”
Langkah itu risikonya dilakukan pula oleh Mek, suami, & anak-anak. Berbekal uang ganti rugi dr pemilik gres lahan garapan ditambahi dgn sedikit tabungan mereka, kelima anak-beranak itu nekat pergi ke kota provinsi. Mencari kerja apa saja.
Di kota mereka mengontrak petak kecil di sudut gang kumal . Tak perlu deskripsi mendetail soal kondisi rumah kontrakan baru mereka. Anda tentu pernah membaca di berbagai cerpen & novel mengenai jenis-jenis rumah di tempat mirip itu. Atau, paling tidak, pernah melihatnya di sinetron & program televisi yg mengeksploitasi kemiskinan. Kurang lebih, mirip itulah kondisi kontrakan mereka yg terbaru.
Kelanjutannya, seperti yg sudah dimengerti, suami Mek ditolak bekerja di tiga daerah yg berlawanan. Mek sendiri mengalami mimpi yg sama tiga kali berturut-turut. Di hari-hari selanjutnya, Mek pula memimpikan hal yg sama.
Ia selalu menolak. Tidak mau menjadi tukang urut. Ia lebih memilih menjadi buruh cuci harian dibandingkan dengan menjadi tukang urut. Sekarang, sekali menunggu suaminya mendapatkan pekerjaan, ia sudah menjadi buruh basuh di tiga rumah berlawanan. Baginya itu lebih berwibawa. Namun, kian ia menolak, ia justru merasa bahu kanannya—serpihan yg disentuh oleh lelaki dlm mimpi—terasa makin sakit.
Berita baik muncul seminggu kemudian. Suaminya diterima untuk jadi buruh bangunan dlm sebuah proyek pembangunan jembatan layang. Dua sejoli itu dapat tersenyum sedikit lega. Menjadi buruh bangunan & buruh cuci di kota tentu lebih baik dibandingkan dengan tak melakukan apa pun di desa.
Kecuali mimpi yg terus sama saban hari & pundak kanan yg makin hari makin sakit, tak ada duduk perkara bermakna di rumah tangga mereka. Sampai akibatnya, seorang wanita muda dgn riasan yg sederhana tetapi memancarkan daya tarik sesungguhnya, tiba mengetuk pintu kontrakan mereka.
“Aku datang ke sini karena mimpi yg berkali-kali,” ujarnya. Mek & suami tertegun. Belum selesai keterkejutan keduanya, wanita itu melanjutkan, “Bahuku sakit sekali. Aku perlu tukang pijit.”
“Tidak ada yg bisa memijit di rumah ini. Anda mungkin salah alamat,” tukas suami Mek.
Perempuan itu menggeleng. Keras & sarat keyakinan. “Mek namamu, bukan? Marsini nama orisinil? Kau yg disebut oleh lelaki di mimpiku sebagai satu-satunya orang yg bisa menyembuhkan sakit di bahuku. Tolonglah saya.”
Demi mendengar nama aslinya disebut, Mek terperanjat. Mungkin dirinya sendiri sudah lupa dgn nama orisinil yg tak pernah diucapkan itu. Sementara itu, sang suami teringat dgn mimpi yg pernah diceritakan istrinya.
“Tolonglah. Aku akan bayar lebih mahal ketimang rumah spa langgananku. Sembuhkanlah bahuku, Mek,” perempuan itu bertutur tanpa gangguan.
“Masalahnya, gue tak bisa memijit & betul-betul tak pernah.”
“Cobalah dulu, Mek. Kumohon.”
Mek membisu. Menoleh pada suaminya yg kemudian mengangkat kedua pundak & berlangsung keluar rumah. Di dalam, wanita muda itu mengeluarkan dua lembar kertas berwarna merah. Memberikannya pada Mek.
“Ambil duit itu, Mek. Sebagai uang wajah. Kalau benar bahuku sehat sesudah kamu pijit, akan kutambahi lagi. Kalau tidak, ambil saja duit ini selaku rasa terima kasihku alasannya setidaknya kamu telah menjajal . Aku sungguh tak tahan. Sungguh. Bahu ini sudah sakit lebih dr sebulan.”
Mek mempesona napas panjang. Dipersilakannya sang wanita untuk rebah di satu-satunya kasur tipis yg ada di rumah. Wanita itu memahami & membuka baju kemeja yg ia kenakan dgn kesusahan karena pundak kanannya tak bisa bergerak dgn leluasa.
Tangan Mek menjamah bahu itu & dgn cara yg sulit diterangkan, ia bisa merasa bahwa ada satu urat kecil yg tak berada pada tempatnya. Urat itulah yg membuat perempuan di depannya merasa sakit. Saat Mek mencoba “meluruskan” urat itu, ia merasa sakit di bahunya sendiri pula ikut terobati. Mek benar-benar tertegun dgn perasaan yg baru ia alami ini.
Rupanya perempuan muda yg dipijit Mek pula mencicipi keajaiban itu. Ia berjanji akan mengiklankan kemampuan Mek pada semua orang yg dikenalnya. Juga meyakinkan Mek bahwa Mek akan bisa hidup jauh lebih patut dgn kemampuannya memijit. Mek tersenyum.
Dan mungkin karena memang sifatnya yg supel, ia mulai menceritakan rincian mimpinya pada Mek. Dua perempuan berlainan usia itu sepakat bahwa mereka telah didatangi orang yg sama. Sama-sama tak jelas siapa. Obrolan mereka jadi cair sehabis menceritakan mimpi aneh tersebut.
Mek sudah merasa bahwa tak usang lagi urat yg tadi salah kawasan akan segera ada di posisinya semula, saat sang wanita muda bercerita dgn tanpa hambatan bahwa ia yaitu istri seorang pengusaha muda yg berhasil. Suaminya baru saja membangun sebuah minimarket waralaba di salah satu pelosok kampung di provinsi itu, sebuah ekspansi.
“Suamiku mengalami perundingan yg cukup panjang dgn Pak Minto, pemilik tanah, sebab ia memikirkan nasib penggarap lahannya. Tapi berkat harga yg pas, Pak Minto pun rela melepas tanahnya. Tanah yg sungguh-sungguh strategis.”
Tinggal satu usapan jempol lagi, Mek percaya, & urat yg salah kawasan itu akan benar-benar kembali ke tempatnya. Namun, demi mendengar ucapan terakhir sang wanita muda, Mek merasa dirinya mesti mencoba untuk menolak memijit. (*)