Masjid Diatas Bukit | Cerpen Eka S. Saputra

Azan Magrib belum berkumandang, tapi sudah terdengar senandung salawat diawang-awang. Langit masih lazuardi yg sama, dgn corak kemerahan di ujung tepinya—jikalau ujung tepi itu ada.

SUNGGUH, gue senantiasa suka situasi seperti ini. Tenang & menenangkan. Nun diatas, burung-burung melayang bersama-sama. Berputar searah jarum jam. Berarak. Apa yg mereka cari? Entah, namun seorang bau tanah pernah berkata, mungkin mereka sedang tawaf. Ibadah.

Hari ini, walau hujan sudah usang tak membasuh bumi, tetap gue bersyukur karena masih bisa berdiri tegak menikmati hari. Angin sepoi menerpa menyapa tubuhku. Rambut ilalangku sedikit tersibak layu.

Ah, betapa hidup ini sungguh sarat senang yg sederhana. Terlalu sederhana sampai-sampai kita mudah lupa. Kita? Maaf, mungkin pikun, ini milikku seorang.

Aku bahkan tak ingat semenjak kapan tinggal disini. Masa demi masa berlalu, gue bisa merasakan dunia sekitar melangkah pergi. Yang dahulu ada, kini tiada. Yang dulu tak ada, kini mengada.

Rasanya, cuma gue yg begini-begini saja. Mau bagaimana lagi, yg kutahu hanya terus menjalani hidup selagi bisa. Tentu adakalanya gue merasa sakit & letih, tapi tak jarang pula gue senang & bersemangat. Terutama saat ada orang-orang didekatku. Entah mereka sekadar menyaksikan-lihat, mengambil gambar, duduk-duduk memuji Sang Pencipta, atau beribadah & berdoa.

Begitu ada orang lain didekatku, gue merasa mendapatkan semangat gres. Semangat untuk terus mengarungi hari demi hari. Mungkin gue tak pernah ke mana-mana. Tapi, dr orang-orang yg tiba, gue sudah cukup mengenal dunia.

Ada banyak kisah menyedihkan disini—dan sepertinya pula di belahan dunia mana pun. Dan, kupikir, justru karena itulah kemudian seorang manusia diutus untuk menyampaikan kabar bangga. Dan, boleh dikatakan ia sukses melakukannya.

Tapi, yg aneh, sesudah sang delegasi pergi, tak semua pengikutnya berbagi kabar besar hati. Tak sedikit yg malah menggaungkan ancaman & cemas. Amarah membara. Aku gundah: siapa mengikuti siapa? Memang adakalanya pengikut lebih galak ketimbang yg diikuti. Macam-macamlah manusia.

“Kaprikornus, semenjak kapan masjid ini berdiri, Pak?”

Mmm, diperkirakan pada simpulan kala ke-16, tahun 1587 Masehi atau 1008 Hijriah.”

Percakapan dua orang itu mengalihkan lamunanku. Bukan maksudku untuk menguping, melainkan mereka memang sudah berada didekatku & suaranya terdengar cukup terang ditengah gemerisik daun bambu yg bersahutan.

Aku belum kenal dgn sosok yg bertanya, tetapi orang yg menjawab pertanyaan itu yaitu sobat karibku. ia selalu memperhatikan keadaanku, rajin membersihkanku. Lalu Alip namanya.

Dia tahu banyak wacana saya, karena keluarganya sedari dahulu merawatku. Tentu ia tak melakukannya sendiri, namun bersama warga sekitar.

“Konon, menurut cerita orang bau tanah terdahulu, masjid ini didirikan oleh Wali Sembilan. Tapi, ada pula yg mengatakan didirikan oleh muridnya. Makanya, ukuran luas bangunan masjid ini sembilan kali sembilan,” Lalu Alip berkata lagi.

  Para Pendaki | Cerpen Ken Hanggara

Si penanya mengangguk-angguk kecil. Kulihat ia agak kelelahan, napasnya tersengal naik turun. Mungkin ia tak menduga mesti berjalan mendaki bukit selama sekitar 10 menit untuk menemuiku. Ya, tempatku memang agak tinggi, kurang lebih 400 meter di atas permukaan laut.

Mungkin ananda heran, kenapa gue berada di tempat begini tinggi? Untuk menyulitkan orang-orang yg ingin bertamu? Tentu tak demikian.

Alkisah, dulu di sekitarku ini yaitu permukiman warga. Nah, tempatku ini berada persis di tengah-tengah permukiman yg disebut Kedatuan Pujut tersebut. Jadilah gue dibangun di sini. Di antara rumah warga. Mudah dijangkau dr segi mana pun. Adil, bukan? (Sungguh gue senang mendapati kehadiranku bertumpu di atas asas keadilan).

Nah, kemudian, seiring waktu, terjadi kekeringan. Air begitu sulit didapat di atas sini. Akhirnya, masyarakat turun & membikin perkampungan di kaki bukit. Oh iya, ananda perlu tahu, oleh warga, bukit ini dikenal pula selaku gunung. Gunung yg bukit.

“Oh iya maaf, tadi siapa nama side?” terdengar lagi bunyi Lalu Alip.

“Muhdar, Pak. Biasa diundang ‘Dar’ saja.”

Ah, risikonya gue tahu nama si penanya itu.

“Begini, Dar, berdasarkan cerita orang-orang renta dulu, penduduk Pujut awalnya menganut agama Buddha. Setelah Datu Pujut masuk Islam, ia bermusyawarah dgn raja yg empat: Bayan, Selaparang, Pejanggik, & Pujut. Alhasil, Datu Pujut diutus untuk memanggil Wali Sembilan untuk membuatkan anutan Islam di Lombok, terutama untuk masyarakat Pujut. Memang sudah ada pemeluk Islam waktu itu, tapi masih sembunyi-sembunyi.”

Sontak, pikiranku berkelana memasuki lorong waktu mendengar ucapan Lalu Alip. Kalau gue tak salah ingat, Datu Pujut yg dimaksud adalah Meraje Olem. Diyakini, dialah orang Pujut yg pertama memeluk Islam.

Meraje Olem merupakan cicit dr pendiri Kedatuan Pujut, yakni Ame Mas Meraje Mulie. Menurut dongeng yg kudengar sejak lama, Ame Mas Meraje Mulie berasal dr Jawa. ia termasuk bangsawan Majapahit.

Nah, ia menikah dgn Putri Kelungkung dr Bali. Syahdan, sesudah menikah, Ame Mas Meraje Mulie mendapat wangsit untuk berlayar ke timur demi menemukan tanah yg cocok sebagai tempat tinggal. Di mana ia melihat daratan yg bercahaya dlm pelayaran tersebut, di sanalah ia mesti berlabuh menambatkan sauh.

Lantas, ia pun berlayar bersama istri & para pengiring & kemudian menemukan “tanah yg dijanjikan” tersebut di bukit di serpihan selatan Pulau Lombok. Bukit itulah yg kini diketahui sebagai Gunung Pujut.

Sekuntum bunga kamboja terlihat gugur ke tanah. Aku tersenyum melihatnya. Kulihat pohon Kamboja itu melambai ramah ke arahku. Entah berapa usang sudah pohon Kamboja ini menemaniku. ia cukup sering meluruhkan dedaunan yg belum layu & masih sungguh bacin. Aku selalu suka bacin itu. Lumayan untuk menyegarkan fikiran.

  Parut diatas Alis | Cerpen Ayi Jufridar

Kau tahu kenapa banyak pohon Kamboja berada di kuburan? Ya, salah satunya alasannya adalah bunganya bersedia jatuh ke tanah dikala masih indah-indah & bau-wanginya. Makara, tanah kuburan yg tak sering dijejak insan itu dapat senantiasa dipenuhi taburan bunga & harum semerbak.

Di sekitarku pun ada beberapa pohon Kamboja serta rumpun Bambu, Randu, & Beringin. Selain burung-burung yg sesekali singgah, merekalah temanku berbicara sehari-hari. Yang kami obrolkan yg sederhana-sederhana saja. Tentang kabar kami hari ini atau Semut-Semut yg begitu tekun bekerja mencari nafkah.

Tapi, belakangan kami lebih sering membicarakan cuaca yg terasa jauh berubah dibandingkan dahulu. Kini, di trend panas, kami merasakan hawa yg jauh lebih menyengat. Dan, di musim hujan, dinginnya terasa lebih menusuk kulit. Kami pun gundah dgn kurun waktu yg seolah mulai bergeser.

Saat sekarang lazimnya sudah memasuki ekspresi dominan hujan, eh matahari masih bersinar terik. Tatkala biasanya sudah masuk isu terkini panas, eh hujan masih tekun mengguyur kami. Tentu kami tak paham ada apa, namun kami tahu sesuatu sedang berubah.

“Kau tahu, tadi si Kecial mampir ke tempatku. Kata dia, di utara sana sudah turun hujan,” ucap Kamboja tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiranku. Kecial yg ia maksud yaitu burung kecil yg bulu-bulunya berwarna kuning di cuilan leher sampai ekor & agak kehijauan di punggung sayapnya.

“Ya, si Bubut malah bilang di timur sudah ada yg kena banjir,” sahut Beringin sambil mengibas-ngibaskan dahan kecilnya. Nah, kalau burung Bubut ini berwarna hitam dgn sayap kecokelatan.

“Wah, repot sekali ya jadi insan. Musim panas kekeringan, ekspresi dominan hujan kebanjiran,” sahut Kamboja.

“Tapi, kita pula turut mencicipi dampak panas & hujan itu, kan.”

“Betul, padahal kita sudah melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Menyerap air, mengambil udara kotor, kemudian mengeluarkan udara bersih. Lah, kalau insan-manusia itu, coba lihat, apa yg sudah mereka buat?”

Aku berdeham menengahi percakapan keduanya. “Sudahlah. Yang penting kita tetap menjalankan apa yg mesti dijalankan. Selebihnya, berserah saja.”

Keduanya pun diam, mengangguk-angguk kecil. Untung mereka tak bertanya apa yg sudah gue kerjakan. Sebab, gue niscaya gelagapan menjawabnya. Ya, mau bagaimana lagi, gue memang tak bisa melakukan apa-apa. Aku cuma tempat insan beribadah & memanjatkan doa.

Sampai kini, gue masih setia melakoni peranku. Meskipun sudah sejak lama tak khusus dimanfaatkan untuk sembahyang lima waktu, tetap saja ada orang yg mengunjungiku. Bahkan, dua tahun terakhir ini ada perayaan Maulid Nabi di tempatku.

Selain itu, orang-orang datang ke sini untuk program ngurisan atau mencukur rambut & saur sangi atau mengeluarkan uang nazar. Ngurisan sendiri merupakan pecahan dr tradisi orang dulu. Katanya, ngurisan ini penunjukseseorang sudah memeluk agama Islam. Kalau sekarang, tradisi ini biasa dikerjakan untuk anak kecil atau bayi yg baru lahir.

  Mereka Mengeja Larangan Mengemis | Cerpen Ahmad Tohari

“Mulai tahun 1965, masjid ini sudah tak difungsikan seperti masjid umum lain. Di bulan mulia pula tak ada Tarawih di sini. Cuma di hari terakhir puasa ada pukul beduk & takbiran,” kata Lalu Alip.

Lho, kok, bisa nyambung ya ucapan Lalu Alip dgn ceritaku? Apa ia pula sejenis Kamboja yg bisa membaca fikiran?

Eh, tapi, kalian jangan salah paham ya. Bukan mempunyai arti penduduk disekitarku sudah berhenti sembahyang & beribadah. Mereka tetap tekun salat, tetapi di masjid lain yg lebih gres—dibangun jauh setelahku, didekat permukiman di bawah sana.

Kalau kalian tanya bagaimana perasaanku, tentu mulanya gue kesepian. Karena orang-orang jadi tak sering berkunjung lagi. Tapi, seiring waktu, gue justru merasa tersanjung. Kupikir-pikir, itulah cara mereka mempertahankan gue dr gerusan waktu.

Kau tahulah gue masjid renta. Atapku dr ijuk ilalang yg dikeringkan, dgn dinding pagar bambu & lantai tanah yg dipadatkan. Tiang-tiangku dr kayu. Kalau tetap rutin digunakan sehari-hari, belum tentu gue masih bisa menikmati udara sore ini.

Toh, gue tetap mendapat perhatian yg cukup dr orang-orang. Kalau melihat atapku sudah mulai rusak & lapuk, mereka tak segan mengeluarkan iuran & menggantinya dgn yg gres.

Aku jadi terharu …

“Kami tetap ingin menjaga masjid ini, alasannya adalah ada nilai-nilai yg diajarkan pada kami. Atap masjid, semisal, berundak dua. Bagian atas yg mengerucut lancip itu selaku pengingat untuk menjaga kekerabatan dgn Allah Yang Mahakuasa. Sedangkan atap bawah yg melebar mengingatkan untuk merawat kekerabatan dgn sesama manusia,” terdengar lagi bunyi Lalu Alip.

“Oh, begitu. Makanya di akrab situ masih ada Padewa ya. Itu masih dihadiri umat Buddha juga, Pak?” Dar mengajukan pertanyaan.

“Iya, masih.”

“Kalau kayu penopangnya ini kayu apa, Pak?”

Aku heran sendiri kenapa Dar tiba-tiba mengajukan pertanyaan soal kayu.

“Nah, itu. Masyarakat sini tak ada yg tahu pasti kayu apa yg dipakai. Tapi, dr kisah dulu, katanya ini kayu Sanggar Guri. Masalahnya, Sanggar Guri kan kecil. Tidak sebesar ini,” ujar Lalu Alip.

Eh, jangan kamu tanya pula gue soal kayu ini. Aku pun tak tahu. Kan, bukan gue yg dulu diajari nama-nama benda. Yang niscaya, kayu ini memang sungguh kuat menopang tubuhku.

Tiba-tiba Kamboja kembali bersuara, “Eh, dua orang itu mau apa sih ke sini?” ia melirik sekilas ke arah Lalu Alip & Mas Dar dipelataranku.

“Entahlah, sedari tadi mereka hanya bercakap-piawai … mirip kita. Tenang saja.” (*)