Kemarin malam Abah mengajakku makan sego kucing di angkringan. Aku heran, tak lazimnya Abah mengajakku makan di luar. Apalagi hanya berdua denganku. Tatkala tengah menikmati santapan, Abah mengambil napas panjang, lalu berujar.
“Nak, Abah pengen kisah.”
“Cerita apa, Bah?” gue menatap wajah Abah dalam-dalam.
“Tapi ananda ndak boleh ketawa, lho. Soalnya ananda pasti bakal mengira ini cerita konyol.” Nada bicara abah agak kurang percaya diri.
“Iya deh, Bah. Memang kisah apa, sih?”
“Begini, Nak. Kaprikornus, tatkala abah ketiduran di masjid kita kemarin siang, abah berkhayal bertemu kakek.”
Abah membisu sebentar. Menyalakan rokok kreteknya. Mengisap, mengembuskan asapnya, kemudian melanjutkan kisah.
“Kakek yg di mimpi itu berpakaian serbahitam, memberikan pesan yg menciptakan abah tidak yakin,” wajah abah berganti serius.
“Pesan apa, Bah?”
“Kakek bilang bahwa di bawah tiang paling tengah masjid kita itu ada sebilah keris warisan kakek yg sebaiknya Abah simpan!”
Aku tercengang, tetapi menjajal hening. Masjid Syuhada yg dibangun tepat di samping rumahku itu memang dulu kakek yg membangun. Konstruksinya semua dr kayu jati. Disangga sembilan tiang yg kuat, Masjid Syuhada jadi kebanggaan keluarga kami. Namun, mimpi ajaib abah mengusikku juga.
“Abah percaya mimpi itu?”
“Itulah masalahnya, Nak. Abah resah, katanya mimpi itu dapat dr setan atau dr Allah, ya?”
“Tapi masa iya Allah nyuruh kita nyari keris di bawah tiang masjid, Bah? Mimpi dr setan kali itu, Bah.”
“Tapi, Abah itu rasanya mirip bertemu kakek beneran. Pesan kakek itu tampaknya harus dituruti.”
“Lantas, Abah mau mencari keris itu? Mau merobohkan masjid?” Tidak habis pikir aku, bagaimana bisa Abah terpengaruhi mimpi tak logis itu.
“Wah, ndak tau lah, Nak. Abah jadi tambah resah. Sudah, ayo kita pulang aja.”
Di perjalanan pulang, kami saling membisu. Sampai rumah gue tak kunjung memejamkan mata. Mengapa ya, abah bermimpi mirip itu? Ada apa gerangan? Taruhlah jikalau mimpi itu benar, kenapa pula kakek menanam keris di bawah tiang tengah masjid? Aku ketiduran gara-gara capai menduga-duga.
Aku perhatikan, tamat-simpulan ini abah jadi kian sering tidur siang di masjid. Biasanya setelah shalat Dzuhur, tanpa berganti busana abah merebahkan tubuh di samping tiang tengah masjid. Ditiup angin yg berkesiur dr kebun singkong di utara masjid, abah kolam di-ninabobokan. Mungkin abah berharap mimpinya perihal keris itu berlanjut. Aku belum berani bertanya lebih lanjut mengenai kebiasaan barunya itu.
Masjid Syuhada dibangun 40 tahun yg lalu. Saat itu gue belum lahir. Abah pula masih berusia belasan. Pohon jati yg ditanam Mbah Buyut di sehektare tanah belakang rumah jadi materi baku utama pembangunan masjid itu. Diam-membisu, bahwasanya gue menyimpan rasa gembira melihat masjid keluargaku itu. Masjid yg kuat & eksotis!
Pertanyaan yg menggelayutiku kini, bagaimana bisa hadir mimpi dlm tidur abah untuk mengambil keris yg tertanam di bawah tiang masjid? Bukankah itu bermakna akan merobohkan masjid atau minimal mencederai masjid? Abah pula pasti dianggap orang yg konyol & jadi bahan tertawaan orang sekampung jika menuruti mimpi itu. Tiba-tiba gue jadi ingat Nabi Ibrahim yg diperintah Tuhan melalui mimpi untuk menyembelih Ismail. Namun, abah bukan nabi!
Sesaat lamunanku buyar oleh bunyi ketukan di pintu depan. Ada tamu sepertinya. Bergegas gue menyambangi pintu. Muncul sosok laki-laki parlente berpakaian kasual lengan panjang motif garis-garis. Aku belum pernah melihat ia sebelumnya di kampung ini.
“Benar ini rumah Abah Dahlan?” tanyanya sembari melempar seulas senyum.
“Iya, benar.”
“Boleh saya bertemu beliau?”
“Mari, silakan masuk.”
Setelah kupanggil, abah menemui laki-laki parlente itu, sedangkan gue kembali masuk kamar. Dari kamarku yg terletak di samping ruang tamu, sayup-sayup gue mendengar percakapan abah dgn tamu asing itu. Sekilas gue mirip mendengar kata-kata masjid, real estat, kompensasi, & harga pantas. Selebihnya gue tak bisa mendengar dgn terang. Ada apalagi ini? Aku jadi curiga.
Selepas shalat Maghrib, abah tak eksklusif membaca Alquran seperti lazimnya . Beliau memanggilku, duduk di serambi masjid. Tatapan mata abah mengitari sekeliling masjid. Seolah tak satu pun sudut di masjid ini terlewatkan dr sapuan matanya. Bisa kutangkap gelagat resah yg sungguh dr wajah abah.
“Ada apa, Bah? Kok murung, masih memikirkan mimpi kemarin, ya?”
“Bukan dilema itu saja, Nak,” abah memandang lekat mataku, “kamu tahu tho tamu abah tadi siang?”
“Iya. Memangnya tamu tadi siang itu siapa, Bah?”
“Dia itu usahawan kaya yg mau membangun real estat di tempat kita. Katanya tempat sini itu masih asri, masih terasa nuansa alaminya, pokoknya ia bilang tempat ini cocoklah kalau dibangun real esatat.”
“Lalu, apa masalahnya?”
“Orang itu mau membeli masjid kita, Nak! ia bilang lahan-lahan penduduk di sekeliling masjid sudah dibebaskan, tinggal masjid kita yg belum. ia berani bayar 100 juta untuk masjid kita beserta tanahnya!” terperinci abah kepadaku.
Benar dugaanku! Tamu itu tak beres!
“Jangan dijual, Bah! Semiskin apa pun kita, Allah niscaya menurunkan rezeki untuk hamba yg menjaga & memelihara rumah-Nya,” gue coba meyakinkan abah.
“Memang benar, Nak. Tapi, 100 juta itu tidak sedikit, lho, buanyak banget itu. Dan pasti memiliki kegunaan sekali bagi keluarga kita. Apalagi keenam adikmu sudah masuk sekolah semua.”
“Abah, walaupun jamaah masjid ini tak pernah lebih dr dua shaf, tetapi masjid ini yaitu warisan kakek yg harus kita pelihara. Walaupun belum dewasa sekarang malas pergi TPA, dulu orang-orang kampung mencar ilmu baca Alquran pula di Masjid Syuhada ini.” Aku berusaha meyakinkan abah. Kupegang pundaknya erat. Menahannya supaya tak goyah hati.
“Sekarang apa artinya masjid jikalau tidak memiliki jamaah? Buat apa TPA bila muridnya cuma satu-dua? Jangan-jangan perintah kakek untuk mengambil keris itu yaitu aba-aba bahwa akan adanya peruntungan besar jikalau abah merobohkan masjid. Mungkin itu keris bertuah pembawa keberuntungan, ya mungkin saja,” tatapan mata abah menerawang.
“Istigfar, Bah, istigfar.” Aku tak mampu menutupi kekhawatiranku.
Gubraak!!!
Tiba-tiba terdengar bunyi benda jatuh dr dlm masjid. Serempak gue & abah menengok ke dalam.
Innalillahi….
Mbah Giyo, satu-satunya jamaah yg masih tinggal di masjid untuk nderes AlQuran, tertimpa kipas angin! Kepalanya bersimbah darah. Mushaf Alquran renta warna cokelat lusuh terpangku di tangannya. Dan, masya Allah, ia duduk tepat di bawah tiang paling tengah. Tiang yg berdasarkan mimpi abah tersimpan keris pusaka di bawahnya!
Malam itu kampung kami heboh. Warga berdatangan ke masjid. Abah tampak merasa bersalah sekali. Memang di tiap tiang terpasang kipas angin. Tapi, entah bagaimana bisa kipas angin yg di tiang paling tengah yg jatuh. Tepat tatkala ada orang di bawahnya lagi. Maut selalu tak mengenal tempat & waktu.
Setelah dimandikan & dishalatkan, mayit Mbah Giyo dimakamkan malam itu juga. Keluarga ia berupaya memasang raut wajah tulus menerima. Pun begitu kesedihan tak bisa dihapuskan begitu saja. Mbah Giyo memang diketahui sebagai warga yg baik. Beliau tipikal pendiam, tetapi cekatan tatkala menolong warga yg sedang butuh santunan. Untunglah dua orang anaknya sudah sama berkeluarga sehingga perginya Mbah Giyo tak begitu jadi beban keluarga.
Warga sejatinya bersepakat untuk menganggap maut Mbah Giyo ini selaku musibah, bukan salah abah. Akan tetapi, bunyi-bunyi sumbang tetap terdengar. Menyalahkan abah, memaki abah & menuding abah yg bukan-bukan. Abah pasrah saja mendengarnya. Untuk sedikit menebus rasa bersalahnya, abah mengambil sebagian tabungannya sebagai santunan buat keluarga Mbah Giyo. Walaupun sepenuhnya abah sadar, uang yg tak sebarapa ini tak bermakna banyak untuk keluarga yg ditinggalkan.
Hari selanjutnya, ibu masuk rumah sakit. Berita kematian Mbah Giyo di masjid jadi beban anggapan ia pula ternyata. Dokter berkata bahwa ibu mesti dirawat. Istirahat di rumah sakit lebih baik, kata dokter. Abah mengelus dada. Memikirkan ongkos pengobatan. Sebagian simpanan sudah dipakai untuk santunan keluarga Mbah Giyo. Tapi, bukan abah namanya bila tak menunjukkan yg terbaik bagi ibu, cintanya.
Untung abah tak bercerita perihal mimpinya pada ibu. Andai kata abah bercerita, tak bisa dibayangkan keadaan ibu sekarang ini. Tawaran untuk memasarkan masjid beserta tanahnya pula tak pernah diceritakan abah pada ibu. Di mataku, abah yaitu kepala keluarga yg bertanggung jawab walau kadang-kadang hatinya sering goyah.
Sore ini gue & abah mempertahankan ibu di rumah sakit. Waktu menunjukkan sudah hampir Magrib. Seketika, Lik Yoto, tetangga samping rumahku, datang tergopoh-gopoh dgn wajah pias.
“Abah Dahlan, anu Bah, em… itu Dik Bayu, Bah. Dik Bayu kakinya tertimpa beduk masjid!” Gugup sekali Lik Yoto memberikan kabar yg membuat seisi kamar tempat ibu dirawat beristigfar.
“Astagfirullahal ‘adzim, Laa ilaaha illallah, di mana ia kini?” Abah bereaksi cepat. Mulutku masih ternganga. Sedang ibu sesenggukan menahan tangis. Beliau kian terkulai & kehilangan kata. Lekas-lekas gue mengusap-usap bahu dia, coba menenangkan.
“Di UGD, Bah,” Lik Yoto mukanya makin kusut.
Melihat keadaan Dik Bayu kontan abah lunglai. Telapak kaki Dik Bayu sudah hampir putus, terpisah dgn mata kaki. Dokter & para perawat bergerak tangkas. Tangis Dik Bayu tak henti-henti. Di samping telinganya abah membaca banyak zikir sambil mengusap rambut Dik Bayu yg lembap oleh keringat.
Masuk ruang operasi abah sedikit damai. Dokter mempersilakannya menanti di luar. Abah menurut, ia duduk di kursi panjang depan ruang operasi. Sesaat kemudian, dokter menghampirinya.
“Anak bapak harus diamputasi kakinya.”
Mata abah berkunang-kunang.
Lik Yoto bercerita kalau tadi tatkala TPA di masjid, Dik Bayu bermain di bersahabat beduk bersama temannya. Belajar iqro’ sudah dimulai Dik Bayu masih asyik bermain. Tak terang bagaimana mulanya, tiba-tiba saja tangisnya pecah mengejutkan orang-orang di masjid. Setelah tahu kakinya kejatuhan beduk, warga sekitar berdatangan & membawanya ke tempat tinggal sakit. Abah mendengar cerita itu geleng-geleng kepala. Mimpi berjumpa kakek serta ajuan dr pengembang real estate berkelebat di benaknya.
Masjid pembawa sial. Itulah julukan bagi Masjid Syuhada saat ini. Dua petaka sudah terjadi di masjid itu. Dalam waktu yg tak berselang lama pula. Jamaah menurun drastis. TPA malah telah melarat. Kepercayaan masyarakat desa terhadap hal-hal mistis mengalahkan segala rasionalitas. Masjid warisan kakek itu benar-benar jadi simalakama. Tak dibongkar salah, dibongkar pula salah. Abah muram risikonya.
Lorong rumah sakit sepi. Ibu & Dik Bayu istirahat. Tinggal gue & abah terpekur di atas kursi. Napas abah terdengar berat sekali. Seberat beban yg disandangnya.
“Nak, abah sudah mengambil keputusan. Masjid Syuhada kita itu akan abah jual. Abah betul-betul butuh uang dikala ini. Biaya pengobatan ibumu & amputasi Dik Bayu butuh uang tidak sedikit. Inilah mungkin tafsir mimpi abah kemarin hari. Menjual masjid itu.” Abah sampai pada titik nadir kepasrahan.
“Abah, bukannya tak sepakat, namun apa tak ada jalan lain untuk memperoleh uang? Allah pasti memberi isyarat ,” kataku meyakinkan abah.
“Tabungan abah sudah habis, Nak. Sejak dulu abah berprinsip kita tak boleh mengutang walau sedikit. Kaprikornus, memasarkan masjid ialah pilihan terbaik. Toh, dr uang 100 juta itu kita bisa berbelanja tanah & membangun masjid lagi.”
Aku menghela napas panjang. Tak lagi bisa berkata apa pun jua.
Nuansa pagi ini kalah cerah kalau dibanding dgn wajah pengusaha yg gres saja menandatangani surat perdagangan. Masjid Syuhada kini bukan lagi milik kami, melainkan miliknya. Dua hari selanjutnya masjid dirobohkan. Rata dgn tanah. Dari jendela kamar gue menatap nanar tanah bekas masjidku dulu. Namun, malam itu gue menyaksikan sosok lelaki bau tanah membawa cangkul. Menuju bab tengah masjid. Mencari letak tiang paling tengah dahulu berdiri. Tak salah lagi, itu abah! Perlahan gerimis turun kemudian berkembang menjadi hujan. Abah terus saja menggali, terus menggali. Hujan kian deras, deras sekali. (*)