Kalau ada sayembara penjajahan di atas dunia ini, mungkin istriku juaranya. ia mirip kompeni. Meregulasi semuanya ihwal rumah tangga kami. Padahal gue yakni kepalanya. Tetapi gue justru cuma sebagai rakyat yg dijajahnya. Apalagi setelah gue dirumahkan oleh perusahaan karena pailit. ia makin menjadi-jadi, menjarah seluruh kehidupanku.
AKU tak pernah diberi sedikit pun peluang untuk menjadi kepala pengelola rumah tangga dgn baik. Sayang sekali, gue sangat cinta pada beliau. Sehingga ketidakberdayaan ini tersembunyi di balik itu semua. Padahal gue sudah berupaya untuk tetap menghidupi mereka, istri & anak-anak. Berusaha untuk memberinya uang yg cukup. Mengantar duit SPP ke sekolah untuk dua anak kami. Membayar token listrik. Sekali-kali membelikan ia martabak Andir atau sate Kaijan sepulang kerja seharian.
Tetap saja. ia memperolokku dgn sebutan sarjana tak berkhasiat.
“Orang-orang senantiasa gembira dgn gelar haji di depan namanya. Karena mereka sadar betapa sukar payahnya untuk menjadi itu. Dan kau, bahkan punya gelar sarjana pun tak pernah kau sandang untuk sebuah pekerjaan murahan seperti ini,” demikian ia suatu ketika berkata. Membuat hati mirip digilas truk sampah. Sayang sekali, gue sungguh mencintainya.
Benar. Setelah di-PHK, gue berjuang untuk menyambung hidup. Dengan pesangon seadanya, setelah sebagian banyak diberikan pada si penjajah itu, gue membeli sepeda motor & mengikuti tren sahabat-sahabat senasib: menjadi driver ojek online.
Aib rasanya jikalau semua kejelekan ia harus kuceritakan. Bagaimana dgn sesuka hati ia menyuruhku untuk mencuci pakaian satu baskom besar. Pakaian kami. Aku mesti menyeduh kopi sendiri. Mengambil makan sendiri. Tanpa pramusaji alasannya yg seharusnya pelayan yaitu penjajah.
Inilah yg menciptakan istriku seperti jijik melihatku. Aku diusir dr kamar kami. Dan disuruh membersihkan gudang untuk menjadi kamar.
“Kulitmu makin lecek. Kumel!” omelnya. Ya, memang demikian adanya. Seorang driver ojol mesti legam. Karena itu adalah atribut yg bekerjsama. Dan istriku tak terima.
Apa pun yg ia katakan gue senantiasa senyum. Karena cuma itu yg gue bisa. Aku takut untuk marah terlebih menangis lantaran cercaan istri sendiri. Bila gue pencipta kamus bahasa Indonesia, akan kuhapus cengeng itu. Seperti pula gue yg tak suka mengenal nama-nama rumah sakit, lantaran tidak mau sakit.
Aku selalu merenung dlm gudang yg sudah disulap ini. Perenungan yg meraih suatu titik, bahwa gue mesti pergi dr sini. Bukan sebagai pengungsi, tapi cuma memberi pelajaran bagi ia. Bahwa ia harus segera memerdekakanku selaku makhluk lelaki yg lebih berkuasa. Titik keputusan itu tak pernah terealisasi sebelum meraih puncaknya untuk melaksanakan itu semua.
Aku kian dijauhi. Keluarga dgn suami istri yg gila. Tak pemah bertegur sapa tatkala berpapasan. Meski sebenarnya ia masih melakukan beberapa hal mirip mengolah masakan, namun itu pula untuk kepentingan anak-anak. Aku cuma menumpang. Segalanya serba kaku. Serba canggung. Bila ia ada di dapur gue berusaha untuk berada di ruang tengah. Mungkin ia cuma ingin gue tak ada di sini. Di rumah tempat membesarkan bawah umur. Dan pada puncaknya gue pun segera mengemas busana, tanpa ia ketahui. Pergi dgn segala kepiluan.
Aku menumpang di rumah sahabat yg ngekos di daerah yg lebih menyerupai kandang ayam tersusun. Tak apalah, yg penting untuk sementara gue menikmati dulu kehidupan mirip ini. Mungkin selaku materi refleksi diri untuk kemudian bisa menjadi materi memperbaiki kehidupan. Biarlah istriku pula dipaksa untuk berpikir & mungkin menyesal dikarenakan telah tega “mengusirku” dengan-cara perlahan. Bagaimana mampu hidup, bila sang penjajah tanpa rakyat yg mau bekerja keras.
Kehidupan harus terus berlangsung. Nasib yakni bayangan. Terkadang di depan, terkadang di belakang. Ataupun di samping kiri-kanan. ia mengikutiku sepanjang waktu. Sepanjang perjalanan yg bikin capek ini.
Aku tetap pada pekerjaanku sebagai driver ojol. Menggantungkan rezeki pada kuota. Menge-bid orderan tanpa tahu siapa & bagaimana bentuknya. Ngorder di malam hari yaitu pekerjaan yg menghibur hati. Menanti para karyawan mal, para pemandu lagu, atau pemijat pulang. Mereka yakni para pekerja malam yg handal. Dan mereka adalah para customer yg sering gue order. Seperti penumpang yg satu ini. Seorang karyawan di panti pijat plus-plus di tengah kota.
Penumpang yg cukup elok. Hitam manis. Dan ia di belakangku dgn santai. Mungkin sedang memegang ponsel pintar. Yang terperinci ia terlihat tenang melekat di punggungku. Parfumnya anyir. Menyelinap diam-diam ke lubang hidungku. Mencari tahu tentang merek & jenisnya. Aku sering menemukan wangi ini, pada istriku.
“Kerja selarut ini, Neng?” tanyaku. Pertanyaan yg sebenarnya sudah lazimkutanyakan sebagai pembuka obrolan.
“Iya, Pak,” jawabnya singkat, “mampu lebih larut lagi. Bisa hingga subuh malah mah.”
“Banyak langganannya ya, Neng?”
“Alhamdulillah, Pak. Rezeki jangan ditolak.”
“Betul, Neng.”
“Bapak pula selarut ini?”
“Iya, Neng. Bisa hingga subuh pula malah mah.”
Dia tertawa kecil.
“Siapa ya peduli dgn nasib kita ya, Neng, kalau bukan kita sendiri.”
“Betul, Pak. Makanya saya mah tak pernah peduli dgn omongan orang-orang. Mereka gak ngasih makan pula sama saya.”
“Memangnya suka ada yg nyinyir?”
“Bukan ada lagi, Pak. Banyak. Tetangga, sobat-teman sekolah dahulu, kerabat. Tapi saya hambar aja. Ngapain juga dipikirin. Saya gak minta duit ke mereka.”
Aku jadi teringat istriku. Untuk sebuah prinsip wanita ini memang benar. Tapi gue makin cinta pada istriku. ia bahkan tiba seperti bayangan, & bayangan adalah nasib. ia tiba bersama nasibku. Mengiringi ke mana gue pergi. Aku tak pernah bertanya pada perempuan yg menempel di belakangku ini, apakah ia senantiasa berdoa sebelum & sesudah bekerja
Di Jalan Bahagia, ia memintaku berhenti. Aku agak terkejut lantaran tak sesuai aplikasi.
“Di sini aja, Pak.”
“Ini kan Jalan Bahagia Neng, bukan Jalan Sederhana?” tanyaku.
“Bahagia itu kan sederhana, Pak,” sahutnya sambil tertawa kecil. “Mau ke kosan temanku dulu. Udah janjian.”
“Oh…” Aku percaya ia yakni penyuka film serial SpongeBob.
Hanya tiga hari. Ya, hanya tiga hari gue terlunta tanpa keluarga. Menjadi duda insidental. Aku harus secepatnya menemui istriku. Untuk meminta maaf atas segala penderitaannya selama ini.
Aku pulang. ia sedang mengolah adonan gorengan. Tampak mencicipinya. Tatkala gue tiba ia tak menyikapi sedikit pun. Biarkan saja, gue bahkan bangga padanya. Kuselipkan pada hati saja rasa gembira ini. Kubiarkan ia menjalankan apa yg ia nikmati. Hari yg panjang.
Sampai kesudahannya ia berkata di kamar tidur di malam hari, seusai tangisku berhenti.
“Sekali-kali jadilah laki-laki yg cengeng. Agar gue bisa tahu betapa hebatnya suamiku ini.” Katanya sambil tersenyum.
Aku gres menyadari bahwa istriku pula penyuka serial kartun SpongeBob. (*)