Tulisan ini pada awalnya berjudul Akhlak dalam Pandangan Islam. Pengembangan lalu menjadi suatu makalah dengan tema yang lebih luas yakni Akhlak menurut Islam. Garis besar dalam kajian ini terkonsentrasi bahwa Agama pada pada dasarnya mesti menunjukkan imbas adab terhadap eksklusif pemeluknya.
Islam didefinisikan selaku agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, yang mengendalikan hubungan insan dengan Khaliq-nya, dirinya, dan dengan sesamanya. Hubungan manusia dengan Khaliq-nya tercakup dalam aqidah dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya tercakup dalam etika, kuliner/minuman dan busana. Sedangkan korelasi manusia dengan sesamanya tercakup dalam mu’amalat dan uqubat.
Islam memecahkan problematika hidup manusia secara keseluruhan dan memfokuskan perhatiannya pada umat manusia secara integral, tidak terbagi-bagi (untuk umat tertentu-pent). Islam memecahkan problematika insan dengan metoda yang sama. Peraturan Islam dibangun atas asas ruhi, yakni (menurut) aqidah. Jadi, aspek kerohanian dijadikan sebagai asas peradabannya, asas negara dan asas syari’at Islam.
Syari’at Islam telah membagi dan merinci sistem peraturannya itu. Ada peraturan ibadah, mu’amalat dan uqubat. Akan tetapi syariat Islam tidak menimbulkan akhlak sebagai bagian khusus yang terpisah. Meskipun demikian syari’at Islam sudah menertibkan hukum-aturan etika berdasarkan sebuah anggapan bahwa budbahasa yaitu perintah dan larangan Allah SWT, tanpa melihat lagi apakah adab mesti diberi perhatian khusus yang dapat melebihi hukum-aturan atau pedoman Islam lainnya. Akhlak ialah bagian dari rincian aturan-aturan. Bahlan porsinya paling sedikit dibandingkan rincian yang lain.
Dalam fiqih Islam tidak dibentuk satu bagian pun yang khusus membahas adat. Oleh sebab itu dalam buku-buku fiqih yang meliputi hukum-aturan syara’ tidak ditemukan satu bagian khusus dengan sebutan bagian akhlak. Para fuqaha dan mujtahidin tidak menitikberatkan pembahasan dan pengambilan aturan dalam kasus budpekerti.
Akhlak tidak mensugesti secara eksklusif tegaknya suatu masyarakat. Masyarakat tegak dengan peraturan-peraturan hidup, dan dipengaruhi oleh perasaan-perasaan dan aliran-pedoman. Akhlak tidak mempengaruh tegaknya suatu penduduk , baik kebangkitan maupun kejatuhannya. Yang mempengaruhinya yakni opini (kesepakatan) umum yang lahir dari persepsi ihwal hidup. Disamping itu yang menggerakkan penduduk bukanlah budpekerti, melainkan peraturan-peraturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat itu, aliran-fatwa, dan perasaan yang menempel pada masyarakat tersebut. Akhlak sendiri ialah produk banyak sekali pedoman, perasaan, dan hasil penerapan peraturan.
Atas dasar inilah, maka tidak diperbolehkan dakwah cuma diarahkan pada pembentukan adat dalam masyarakat. Sebab budbahasa merupakan hasil dari pelaksanaan perintah-perintah Allah SWT, yang dapat dibentuk dengan cara mengajak penduduk kepada aqidah dan melaksanakan Islam secara sempurna. Disamping itu, mengajak penduduk pada budpekerti semata, dapat memutar balikkan pandangan Islam perihal kehidupan dan mampu menjauhkan manusia dari pemahaman yang benar wacana hakekat dan bentuk masyarakat. Bahkan dapat membius insan dengan hanya melaksanakan keistimewaan amal-amal yang bersifat individual. Hal ini mengakibatkan kellalaian terhadap langkah-langkah yang benar menuju perkembangan hidup.
Dengan demikian sangat berbahaya mengarahkan dakwah Islamiyah cuma pada pembentukan etika saja. Hal itu menimbulkan anggapan bahwa dakwah Islam yaitu dakwah untuk akhlak saja. Cara mirip ini mampu mengaburkan citra utuh wacana Islam dan membatasi pengertian insan kepada Islam. Lebih dari itu mampu menjauhkan penduduk dari satu-satunya tata cara dakwah yang dapat menghasilkan penerapan Islam, yakni tegaknya Daulah Islamiyah.
Syari’at Islam, pada dikala mengatur hubungan manusia dengan dirinya, melalui aturan-aturan syari’at yang berkaitan dengan sifat-sifat akhlak, pasti tidak menjadikan hal itu selaku hukum tersendiri, seperti halnya peraturan ihwal ibadah dan mu’amalat. Yang dilakukannya tidak lain cuma berupaya mewujudkan nilai-nilai tertentu yang ditugaskan oleh Allah SWT seperti jujur, amanah, tidak curang, atau dengki. Kaprikornus budbahasa dapat dibuat dengan satu cara, yakni menyanggupi perintah Allah SWT untuk merealisir budbahasa, yaitu kebijaksanaan pekerti yang luhur dan kebajikan. Amanah, contohnya, ialah salah satu sifat budpekerti yang diperintahkan oleh Allah SWT. Maka, mesti diperhatikan nilai budbahasa ini tatkala menjalankan amanat. Inilah yang dinamakan dengan etika. Sifat-sifat tersebut timbul alasannya hasil perbuatan. Seperti sifat iffah (menjaga diri) ialah hasil dari pelaksanaan shalat. Atau, sifat-sifat itu muncul sebab memang wajib diamati tatkala melaksanakan aneka macam mu’amalat (transaksi), seperti jujur yang mesti ada pada saat transaksi jual beli.
Meski acara jual beli tidak otomatis menciptakan nilai akhlak. Sebab, nilai tersebut bukan tujuan dari transaksi jual beli. Sifat-sifat tersebut timbul selaku hasil dari pelaksanaan amal tindakan, atau sebagai kasus yang senantiasa mesti diamati dan merupakan sifat seorang mukmin tatkala dia beribadah terhadap Allah SWT maupun tatkala melaksanakan mu’amalat. Dengan demikian, seorang mukmin dalam contoh tadi telah menciptakan nilai rohani dari pelaksanaan sholatnya. Dan pada pola yang lain mendapatkan nilai yang bersifat materi dalam transaksi perdagangannya. Pada saat yang bersama-sama dia telah memiliki sifat-sifat etika.
Syara’ telah menerangkan sifat-sifat yang dianggap selaku budpekerti yang baik dan sifat-sifat yang dianggap sebagai adat buruk. Menganjurkan berlaku baik dan melarang berbuat buruk. Syara mendorong sifat jujur, amanah, elok wajah, aib, berbakti terhadap orang renta, silaturahmi terhadap kerabat, menolong kesulitan orang lain, mencintai kerabat sebagaimana mengasihi diri sendiri dan teladan lain, yang dianggap selaku dorongan untuk mengikuti perintah Allah. Begitu pula syara’ melarang memiliki sifat-sifat yang bertolak belakang dengan sifat-sifat tadi, mirip berdusta, khianat, hasud (dengki), melaksanakan maksiat, dan semisalnya. Sifat-sifat tersebut dan yang semisalnya dianggap sebagai larangan, yang sudah ditetapkan Allah SWT.
Akhlak bab dari syari’at Islam. Merupakan bagian dari perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Akhlak harus ada serta nampak pada diri setiap muslim, semoga sempurna seluruh amal perbuatannya dengan Islam, dan sempurna pula dalam melaksanakan perintah-perintah Allah. Namun untuk merealisasikannya di tengah-tengah masyarakat secara utuh, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan mewujudkan perasaan-perasaan Islami dan pemikiran-pedoman Islam. Setelah ini terwujud di tengah-tengah masyarakat, maka niscaya akan terbentuk pula dalam diri individu-individu. Untuk merealisirnya tidak dikerjakan dengan jalan dakwah terhadap akhlak, melainkan dengan metoda merealisasikan perasaan dan fatwa Islam di tengah-tengah penduduk .
Sebagai langkah pertama, harus dipersiapkan sebuah kalangan dakwah yang berlandaskan Islam secara keseluruhan, yang individu-individunya merupakan bab dari jama’ah, bukan individu yang terpisah. Mereka mengemban dakwah Islamiyah di tengah-tengah penduduk , merealisasikan perasaan dan pemikiran Islam. Sehingga seluruh anggota masyarakat akan mempunyai akhlak, sehabis mereka beramai-ramai kembali kepada Islam. Perlu digarisbawahi bahwa pemahaman kita dalam dilema ini tetap menjadikan budpekerti selaku suatu kebutuhan yang sangat penting tatkala memenuhi perintah-perintah Allah dan menerapkan Islam. Sekaligus menegaskan betapa pentingnya seorang muslim mempunyai etika yang terpuji.
Ayat wacana Akhlak : Allah SWT sudah menandakan dalam berbagai ayat pada surat Al-Alquran tentang sifat-sifat yang wajib dimiliki, serta yang wajib diraih oleh insan selaku budpekerti yang terpuji. Sifat-sifat tersebut menyangkut duduk perkara-dilema aqidah, ibadah, mu’amalat dan budpekerti. Empat sifat ini saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Allah SWT berfirman dalam surat Luqman:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ، وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ، وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ، يَابُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَوَاتِ أَوْ فِي اْلأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللهُ إِنَّ اللهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ، يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ، وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ، وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ اْلأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
“Dan camkan saat Luqman berkata terhadap anaknya, dikala beliau menunjukkan pelajarannya: ‘Hai anakku, janganlah kau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah itu yaitu betul-betul kezhaliman yang besar. Dan Kami perintahkan terhadap insan (untuk berbuat baik) terhadap kedua ibu dan bapaknya; ibunya yang telah mengandungnya dalam kondisi lemah yang terus bertambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kedua orang ibu dan bapakmu. Hanya terhadap-Ku-lah tempat kembalimu. Dan bila keduanya memaksa kau untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada wawasan tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Dan pergaulilah keduanya dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali terhadap-Ku. Kemudian cuma terhadap-Ku-lah daerah kembalimu. Maka, (kelak akan) Kuberitakan kepadamu apa saja yang telah kau kerjakan. (Luqman berkata:) ‘Hai anakku, bekerjsama tidak ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada di dalam watu atau di langit atau di dalam bumi, pastilah Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari tindakan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kau, bantu-membantu yang demikian itu hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari insan (karena angkuh) dan janganlah kau berjalan dimuka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang arogan lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kau dalam berlangsung dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara yakni bunyi keledai.” (TQS. Luqman [31]: 13 – 19)
Allah SWT juga berfirman dalam sebuah ayat pada surat Al-Furqan:
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى اْلأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا، وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا، وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا، إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا، وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا، وَالَّذِينَ لاَ يَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ وَلاَ يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَلاَ يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا، يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا، إِلاًّ مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا، وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللهِ مَتَابًا، وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا، وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا، وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا، أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَامًا، خَالِدِينَ فِيهَا حَسُنَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا
“Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb yang Maha Penyayang itu (yaitu) orang-orang yang berlangsung di muka bumi dengan rendah hati. Dan kalau orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka. Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, jauhkan azab Jahannam dari kami. Sesungguhnya azabnya itu ialah kebinasaan yang abadi. Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk kawasan menetap dan kawasan kediaman. Dan orang-orang yang bila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan yaitu (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. Dan orang-orang yang tidak menyembah yang kuasa lainnya beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (argumentasi) yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melaksanakan demikian itu, niscaya ia mendapat (akibat) dosa(nya). (Yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan beliau akan abadi dalam azab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal sholeh. Maka baginya kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dan orang-orang yang bertaubat dan menjalankan amal sholeh, maka bahwasanya beliau bertaubat terhadap Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan. Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang menjalankan tindakan-perbuatan yang tidak bermanfaat, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. Dan orang-orang yang bila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkan terhadap kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa. Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan martabat yang tinggi (dalam nirwana) alasannya adalah kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik daerah menetap dan tempat kediaman” (TQS. Al-Furqan [25]: 63-76)
Juga Allah SWT berfirman dalam surat Al-Isra :
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan semoga kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kau berbuat baik kepada ibu dan bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara kedua-duanya atau kedua-duanya hingga berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan terhadap keduanya perkataan ”ah” dan janganlah kau membentak mereka dan ucapkanlah pada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan sarat kasih sayang dan ucapkanlah: ‘Wahai Rabb-ku kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua sudah mendidik aku waktu kecil’. Rabb-mu lebih mengenali apa yang ada dalam hatimu. Jika kamu orang-orang yang baik, maka sebetulnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat. Dan berikanlah terhadap keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, terhadap orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu yakni kerabat-saudara setan. Dan setan itu adalah sangat ingkar terhadap Rabb-nya. Dan bila kamu berpaling dari mereka untuk menemukan rahmat dari Rabb-mu yang kau kehendaki, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas. Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kau terlalu mengulurkannya, karena dengan itu kamu menjadi tercela dan menyesal. Sesungguhnya Rabb-mu melapangkan rizqi terhadap semua orang yang Dia harapkan dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Tahu dan Maha Melihat hamba-hamba-Nya. Dan janganlah kau membunuh anak-anakmu karena takut menjadi miskin. Kamilah yang memberi rizqi terhadap mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka yakni sebuah dosa yang sungguh besar. Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu yakni suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. Dan janganlah kau membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu (argumentasi) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sebenarnya Kami sudah memberi kekuasaan kepada mahir warisnya (untuk membalasnya). Tetapi janganlah hebat waris itu melebihi batas dalam membunuh. Sesungguhnya beliau adalah orang yang mendapat santunan. Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (berfaedah) sampai beliau dewasa. Dan penuhilah komitmen; Sesungguhnya janji itu niscaya diminta pertanggungjawabannya. Dan sempurnakanlah takaran bila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik hasilnya. Dan janganlah kau mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai wawasan tentangnya. Sesungguhnya indera pendengaran, pandangan, dan hati, semuanya akan diminta pertanggungjawaban. Dan janganlah kau berlangsung di muka bumi ini dengan angkuh, alasannya adalah sebetulnya kau sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kau tidak akan sampai setingi gunung. Semua itu kejahatan yang amat dibenci di sisi Rabb-mu”. (TQS. Al-Isra [17]: 23-37)
Menurut ayat-ayat dalam ketiga surat di atas masing-masing ialah satu kesatuan yang tepat dengan menonjolkan sifat-sifat yang bervariasi, menggambarkan identitas muslim, dan menjelaskan kepribadian Islam yang pada hakekatnya berlawanan dengan umat yang lain. Yang menarik minatpada sifat-sifat tersebut, bahwa beliau berbentukperintah-perintah dan larangan Allah. Sebagian merupakan hukum-aturan yang berkaitan dengan aqidah. Sebagian lainnya berhubungan dengan ibadah, mu’amalat dan adat. Dapat diperhatikan pula, bahwa ia tidak terbatas hanya pada sifat-sifat adat, tetapi mencakup juga aqidah, ibadah, mu’amalat disamping budbahasa. Inilah sifat-sifat yang mampu membentuk kepribadian Islam.
Membatasi pengambilan aturan hanya pada adat, berarti menghapus terbentuknya insan yang tepat dan berkepribadian yang Islami. Untuk meraih tujuan budbahasa, maka hendaklah didasarkan atas landasan/asas ruhi, adalah aqidah Islamiyah. Dan sifat-sifat adat mesti berlandaskan aqidah semata. Oleh alasannya adalah itu seorang muslim tidak akan mempunyai sifat jujur hanya semata-mata kejujuran saja, tetapi alasannya Allah memerintahkan demikian; walaupun ia memikirkan realisasi nilai akhlaknya tatkala beliau berlaku jujur. Dengan demikian etika tidak semata-mata wajib dimiliki sebab dibutuhkan oleh insan, akan tetapi beliau ialah perintah Allah.
Berdasarkan hal ini, seorang muslim harus mempunyai adab dengan segala sifat-sifatnya dan melakukannya dengan sarat ketaatan dan kepasrahan. Sebab, hal ini bekerjasama dengan taqwa kepada Allah SWT. Akhlak kadangkala timbul selaku hasil ibadah, sesuai dengan firman Allah SWT:
إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu menghalangi dari perbuatan keji dan mungkar” (TQS. Al-Ankabut [29]: 45)
Wajib pula dipelihara dalam pelaksanaan (banyak sekali transaksi) mu’amalat, karena agama itu ialah mu’amalat (berafiliasi dengan masyarakat). Disamping itu, adab ialah sekumpulan perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Oleh alasannya adalah itu, adat pasti mengokohkan diri setiap muslim dan membuatnya sebagai sebuah sifat yang umum (mesti ada).
Menurut informasi di atas, maka disatukannya akhlak dengan seluruh peraturan hidup disamping ialah sifat-sifat yang bebas/bangkit sendiri akan menjadi jaminan pembentukan pribadi setiap muslim (semoga menyiapkan diri) dengan cara yang pantas. Memiliki sifat-sifat akhlak ialah pemenuhan kepada perintah Allah atau menjauhi larangan-Nya, bukan sebab etika ini menjinjing manfaat atau madlarat dalam kehidupan. Inilah yang menyebabkan seorang muslim memiliki sifat etika yang bagus secara terus menerus dan konsisten, selama dia berusaha melakukan Islam, dan selama beliau tidak mengikuti/ mengamati aspek faedah. Akhlak tidak ditujukan semata-mata demi kemanfaatan. Bahkan manfaat itu mesti dijauhkan. Sebab tujuan budpekerti yakni menciptakan nilai adat saja, bukan nilai materi, nilai kemanusiaan, atau nilai kerohanian. Selain itu nilai-nilai tersebut dilarang dicampur adukkan dengan etika, semoga tidak terjadi kebimbangan dalam mempunyai adat beserta sifat-sifatnya. Perlu diingat di sini, bahwa nilai materi harus dijauhkan dari etika dan dijauhkan pula dari pelaksanaan budpekerti yang cuma mencari kemanfaatan/ laba. Hal ini justru sangat membahayakan budpekerti.
Walhasil budpekerti tidak mampu dijadikan dasar bagi terbentuknya sebuah masyarakat. Akhlak yakni salah satu dasar bagi pembentukan kepribadian individu. Masyarakat tidak mampu diperbaiki dengan budbahasa, melainkan dengan dibentuknya anutan-aliran, perasaan-perasaan Islami, serta diterapkannya peraturan Islam di tengah-tengah masyarakat itu. Memang benar, etika ialah salah satu dasar bagi pembentukan kepribadian individu, tetapi itupun bukan satu-satunya. Malah dilarang dibiarkan sendiri, mesti digabung dengan aqidah, ibadah, dan mu’amalat. Atas dasar hal ini maka seseorang tidak tidak dianggap mempunyai budbahasa yang bagus sementara aqidahnya bukan aqidah Islam. Sebab beliau masih kafir, dan tidak ada dosa yang lebih besar dari pada kekafiran. Demikian pula seorang muslim tidak dianggap mempunyai akhlak yang sementara dia tidak melakukan ibadah atau tidak menjalankan mu’amalat sesuai dengan aturan syara’.
Dengan demikian telah menjadi kewajiban dalam meluruskan tingkah laris individu dengan membentuk dan memelihara aqidah, ibadah, mu’amalat, dan adab secara berbarengan. Syara’ tidak mengijinkan menitikberatkan hanya semata-mata adat dan meninggalkan sifat-sifat lainnya. Bahkan tidak boleh memfokuskan sesuatu sebelum mantap aqidahnya. Pemikiran fundamental di dalam budbahasa ialah bergotong-royong adab mesti disandarkan kepada aqidah Islamiyah. Setiap mukmin handaknya mempunyai sifat adat tidak lain selaku perintah dan larangan Allah SWT.
Itulah makalah yang membicarakan wacana akhlak berdasarkan Islam. Semoga ini dapat menjadi acuan terbaik untuk ilmu yang sedang dituntut.