Yang dimaksud dengan kegiatan pembelajaran adalah kegiatan yang dijalankan oleh guru dan peserta latih untuk meraih kompetensi yang dituju. Untuk bahan yang sama, guru mampu mendesain acara yang berbeda sesuai dengan konteks kehidupan dan kondisi lokal. Penyesuaian bahan latih yang umum menjadi situasi kasatmata yang dihadapi oleh akseptor ajar, akan membuat proses mencar ilmu lebih mengena dan membentuk peserta asuh yang bisa menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya dengan memanfaatkan faktor keilmuan yang dipelajarinya.
Perlu dicatat bahwa guru mesti berperan aktif untuk menjadi mentor, membuat acara pembelajaran mempesona dan menggali daya pikir peserta didik. Guru tidak boleh membiarkan peserta ajar beraktivitas sendiri dan cuma menjadi pengamat saja. Proses belajar harus dibarengi dengan dialog yang membangun acuan pikir komputasional terhadap desain informatika.
Bimbingan dan instruksi kian dikurangi seiring berkembangnya kompetensi peserta asuh dangan menerapkan teknik scaffolding. Teknik scaffolding dapat dipraktekkan di semua satuan pendidikan baik Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama maupun Sekolah Menengan Atas.
1. Pembelajaran Konvensional atau Klasikal
Pembelajaran konvensional atau klasikal yaitu suatu aktivitas yang dijalankan seperti praktik yang dilaksanakan semenjak usang (konvensional), yaitu di mana guru memberikan desain, teori, dan menawarkan pola, sementara akseptor ajar menjajal memahaminya di kelas (kalau tanpa alat/komputer) atau di laboratorium jika membutuhkan peralatan khusus.
Saat ini, selain bercerita dalam bentuk narasi, guru diperlukan mampu menawarkan selingan berbentukvideo pendek yang terkait dengan konsep yang diajarkan. Dengan demikian, peserta didik dapat mendapatkan gambaran yang lebih nyata walaupun apa yang diajarkan tidak ada di lingkungannya. Pembelajaran konvensional masih dibutuhkan untuk pengenalan awal suatu desain dan teori.
Asesmen untuk menguji kesanggupan penerima didik hendaknya mencerminkan pertanyaan-pertanyaan yang menuntut kesanggupan berpikir tingkat tinggi (HOTS), meskipun bentuknya ialah pilihan ganda atau isian/uraian singkat.
2. Praktikum
Praktikum konvensional ialah di mana peserta latih mengasah keterampilan, mempraktikkan konsep yang sudah dipelajari dengan menggunakan perangkat keras, perangkat lunak, untuk memperlihatkan/mengambarkan sebuah desain yang sudah dipelajari. Contoh pendekatan ini misalnya akseptor didik mengimplementasi algoritme yang menggerakkan sebuah robot berdasarkan algoritme yang diajarkan di kelas
Pada “praktikum” yang tidak konvensional, adalah dengan pendekatan ABL dan konstruktivisme (constructivism), praktikum tidak selalu mesti didahului dengan pengenalan konsep. Untuk beberapa kasus, akseptor ajar dapat melaksanakan praktikum dengan mengeksplorasi suatu fenomena supaya mampu mengkonstruksi pengetahuan atau teori.Misalnya dengan mengeksplorasi sikap robot, akseptor asuh akan mengkonstruksi algoritme yang mendasari sikap tersebut.
Praktikum di bidang informatika tidak senantiasa harus diartikan dengan adanya suatu laboratorium berisi komputer, tetapi bisa juga dirancang dengan menggunakan perangkat sederhana, mirip computer papan tunggal (contohnya raspberry pi) atau kit robotika untuk anak-anak yang ketika ini banyak tersedia atau memakai aplikasi yang berlangsung di telepon pintar maupun tablet. Beberapa rancangan komputasi mutakhir yang mustahil dimiliki sekolah bahkan dapat dipraktikkan lewat kegiatan-acara yang dilaksanakan oleh penerima didik tanpa komputer yang mau didefinisikan pada subbab selanjutnya.
Untuk tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, praktikum dapat dilakukan dengan menggunakan HP, tablet atau perangkat sehari-hari di sekeliling didalamnya mengandung “komputer”.
Tidak adanya komputer desktop atau komputer sederhana juga tidak membatasi dilakukannya praktikum tanpa komputer mirip yang diperkenalkan pada https:/csunplugged.org.
3. Permainan – Games
Peserta didik berguru dalam suatu konteks pedagogi yang dirancang mengandung faktor gamifikasi, biar dapat menikmati (enjoy) apa yang dipelajari dan memberi motivasi untuk kesengsem kepada materinya. Peserta latih menggunakan aplikasi permainan (games) atau konsep yang digamifikasi untuk mencar ilmu bahan lain, yang agar dapat dibedakan dengan games komputer yang menyebabkan kecanduan.
Namun demikian perlu diperhatikan bahwa games yaitu sarana untuk belajar informatika. Tujuan mencar ilmu mesti didefinisikan dengan baik untuk dicapai bersama oleh guru dan peserta latih, Peserta ajar dihentikan cuma terpaku atau mengingat permainannya saja, melainkan mampu mengkonstruksi konsep informatika yang menjadi konsentrasi di baliknya.
4. Permainan Peran – Role Play
Pada versi role play atau permainan tugas, akseptor asuh bukan cuma melaksanakan tugas manusia, tetapi juga memerankan mekanisme, fungsi, cara kerja dari perangkat keras atau perangkat lunak atau tata cara komputer. Biasanya permainan peran dikerjakan dalam kelompok dan mampu dilaksanakan tanpa komputer.
Guru dapat mendesain permainan-permainan inovatif terkait informatika dengan merancang peran yang mempesona, membuat penerima ajar menumbuhkan kesanggupan kognitif, afektif dan sekaligus motoriknya. Permainan tugas penting untuk dapat dikerjakan pada anak usia dini dan SD pada konteks perangkat sederhana (black box), dan proses-proses yang lebih abstrak untuk diwujudkan bagi penerima latih Sekolah Menengah Pertama.
Peserta latih diajak melakukan refleksi, discovery, dan mengkontruksi wawasan setelah permainan. Konsep informatika yang menjadi inti dari proses belajar lewat permainan peran perlu dimengerti oleh akseptor ajar dan dijadikan bahan refleksi, dirajut menjadi pengetahuan utuh sehabis permainan peran dilakukan. Proses mencar ilmu tidak berhenti atau terbatas terhadap permainan, namun mesti diikuti dengan apakah penerima didik memahami konsep informatika yang dijadikan tujuan pembelajaran dengan melakukan permainan tugas.
Untuk melakukan permainan peran, tidak diharapkan komputer. Guru dapat memanfaatkan bahan-materi dan skenario permainan yang dikala ini telah banyak disediakan (sumber: csunplugged.org), atau tutorial acara yang didefinisikan oleh Computer Supported Telecommunications Applications (CSTA). Contoh dari pendekatan ini adalah misalnya dalam penyampaian konsep komunikasi data yang menerangkan bagaimana suatu data (file) dikirim dari sebuah server ke server yang lain, peserta latih diminta untuk memindahkan sejumlah buku yang tak mungkin untuk dibawa sekaligus, mendefinisikan algoritme pembentukan paket di server asal, proses pengantaran, dan assembly paket di segi peserta, serta bagaimana menentukan (mengecek) bahwa pengantaran berjalan baik.
Peserta asuh mampu memerankan server pengirim, server penerima, protokol komunikasi, pembawa data, dan acara komputer pengantarserta akseptor. Banyak teladan permainan tugas yang tersedia dalam kriteria kompetensi yang didefinisikan oleh CSTA, yang laman khususnya dapat diakses pada http://litbang.kemdikbud.go.id
5. Tantangan – Challenge
Pada tantangan atau challenge ini, penerima latih diminta untuk menuntaskan peran-tugas dilema solving dengan durasi pendek berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan juga ada relasinya dengan keilmuan informatika. Peserta didik bukan cuma diminta untuk menyelesaikan dilema, namun diminta untuk mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya menuntaskan tugas duduk perkara solving dan membentuk acuan solusi.
Tantangan cocok untuk mengasah akseptor latih dalam membentuk kesanggupan berpikir komputasional yang telah dibuktikan dalam beberapa artikel jurnal ilmiah. Jika diwujudkan dalam sebuah suasana persaingan, tantangan akan memotivasi akseptor ajar untuk bersaing dengan sportif dan mendapatkan reward.
Catatan: Contoh dari tantangan yaitu Tantangan Berpikir Komputasional Bebras, yang dijalankan secara rutin setiap tahun bareng dengan akseptor ajar lain di sekeliling 60 negara dunia, untuk akseptor asuh Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengan Atas. Saat Tantangan Bebras, akseptor latih konsentrasi ke pemecahan masalah. Setelah Tantangan Bebras, peserta ajar perlu diberi waktu untuk diajak berpikir ulang tentang soal-soal yang sudah dicoba dan menggali faktor Informatika yang ada di balik setiap soal tersebut.
Jadi, mencar ilmu berpikir komputasional tidak berhenti sehabis tantangan berlangsung. Dengan demikian, penerima bimbing mencar ilmu desain informatika lewat soal-soal. Guru mesti menentukan sekumpulan soal untuk meliputi rancangan berpikir komputasional secara utuh tidak hanya mencuplik satu atau dua soal secara acak untuk semua aspek berpikir komputasional. Itulah sebabnya pada buku Pembahasan Soal Bebras, selalu ada bagian “Inilah Informatika!” yang perlu diperhatikan.
Selain untuk berpikir komputasional, tantangan STE(A)M juga sudah banyak diadakan di seluruh dunia, khususnya untuk belum dewasa. Pada tantangan ini, anak diajak untuk mulai menimbang-nimbang masalah-duduk perkara besar dan kompleks, serta merekomendasikan penyelesaian sesuai usianya. Tantangan STE(A)M menarik dan mengasyikkan, karena dikemas dalam suasana kompetisi, pemberian reward bagi akseptor, kesempatan tampil diri dalam bentuk eksposisi dan penyajian.
6. Ekskursi
Dengan mengikuti ekskursi, penerima bimbing dibawa ke suatu lingkungan dunia konkret yang memanfaatkan teknologi berita, misalnya tempat layanan publik, toko pemasaran perangkat, pabrik, software house, game industri biar penerima latih pernah menyaksikan dan mengalami dunia faktual terkait dengan bidang yang dipelajari. Ekskursi dapat dijalankan di lingkungan sekitar sekolah yang tidak membutuhkan biaya mahal.
Contoh ekskursi yakni menjinjing penerima ajar ke pusat data kantor pemerintah, bandara, stasiun, halte bus yang telah dilengkapi dengan perangkat TIK dan memperhatikan bagaimana tata cara informasi berfungsi untuk mendukung suatu tujuan tertentu. Kemudian, untuk tingkatan SMP, peserta ajar mampu menciptakan laporan sistematis dengan mempergunakan perangkat TIK mulai dari kamera, smart phone, paket aplikasi pemroses kata, dan penyajian.
Setelah ekskursi, akseptor didik akan berguru mengkonstruksi pengetahuan lewat pengalaman dari apa yang diperhatikan dan dicatat selama ekskursi. Kemudian mengintegrasikan observasi, teori, dan memakai keterampilan penggunaan perangkat TIK misalnya aplikasi pengolah presentasi, untuk menuangkan dalam sebuah visualisasi sempurna yang mencerminkan alur pikir kritis dan sistematis. Mungkin juga, untuk menciptakan laporan dan memperlihatkan solusi-solusi dari masalah yang teridentifikasi pada ketika eksursi.
7. Simulasi
Simulasi, di mana akseptor bimbing mencoba atau melakukan simulasi sebuah proses dinamik kepada suatu versi, sehingga mengamati dan menyimpulkan. Seringkali simulasi digabungkan dengan gamifikasi. Simulasi didasari oleh sebuah model matematis atau model sistem komputasi, yang telah ada atau mulai dikembangkan oleh akseptor latih. Model yang dijadikan perkara hendaknya ialah versi dari situasi terkait informatika.
Simulasi dengan model matematis dan sistem komputasi melatih peserta ajar berpikir berdasarkan model dan melakukan analisis. Jadi, proses pembelajaran tidak berhenti dengan berhentinya hukuman versi, melainkan mesti dilanjutkan dengan aspek analisis dan latihan untuk mengambil kesimpulan untuk hasil yang efisien dan optimal.
Sumber : Pedoman Implementasi Muatan/Materi Pelajaran Informatika Kurikulum 2013
Sumber https://blogomjhon.blogspot.com/