JADILAH diriku. Cobalah sesekali waktu kalian membayangkan menjadi diriku. Tiap malam mengayun langkah menuju entah, lantaran masa depan yg terlukis dlm kepala hanyalah sebentuk kekosongan. Langkah, hanyalah sekadar untuk mencari remah masakan penyambung nafas. Selebihnya yaitu kebosanan menanti maut menjemput.
Namun jangan kira bahwa hidupku sesederhana itu. Tidak. Sama sekali tidak. Nasib tak pernah membeda-bedakan siapa pun. Semua diajaknya bermain. Semua mendapatkan jatah.
Jadilah diriku. Cobalah masuk ke dlm tubuhku yg sering kalian hina ini. Siang yg memanggang tatkala itu. Hidungku mendapatkan basi yg amat menggoda. Lapar menyeretku untuk terus mengikuti busuk itu. Masuk ke sebuah gang sempit, menemukan suatu pagar, kemudian sebuah pintu yg terbuka lebar, & basi itu kian berpengaruh mempesona langkahku. Kupikir nasib akan berbaik hati. Namun sangat tak kusangka bahwa ia akan menghadiahiku suatu pukulan telak yg tiba-tiba.
Rembulan mengapung, rembulan tenggelam. Dan busuk sedap yg masih meninggalkan bekasnya dlm hidungku itu pun sampai meresap ke dlm mimpi-mimpi yg kelam. Kuhitung, hingga tujuh kali rembulan melakukan itu, hingga kaki kiri depanku yg patah risikonya pulih & nyaman kembali untuk melangkah.
Apa ada yg peduli denganku? Tidak. Sebab tak ada yg sesekali waktu mau menjadi diriku. Sepertinya gue memang sengaja dilahirkan untuk menjadi yg tersingkir & tak pantas untuk diamati.
“Mau pergi ke mana?”
Sikapnya ramah sekali tatkala itu.
“Mencari siapa?”
Kupikir ia akan menjadi penolongku untuk tahu ke mana gue mesti pergi.
“Sudah makan?”
Mula-mula ia membuatku betah.
Kupikir stasiun itu akan menjadi kawasan yg tenteram untukku singgah sebentar & kemudian berpikir ke mana harus pergi nanti. Tapi ternyata tak. ia mirip malam yg membekap jelas dgn gelap. Hari diperkosanya paksa hingga semuanya menjadi sepi & hening sekali. Dan stasiun itu kini telah berumur tiga tahun dlm kepalaku. Namun masih saja membuatku galau ke mana mesti pergi saban hari.
“Kampung asalmu di mana?”
Mereka pun tahu bahwa gue tak memiliki tujuan.
“Ikut gue saja ya?”
Jeli sekali mata mereka.
Samar-samar gue masih ingat, bahwa dulu, dulu sekali, gue pernah punya tujuan. Sebuah tempat tenteram dgn kehidupan sebagaimana layaknya para perempuan. Masa gadis yg kemanja-manjaan, menikah, merindukan buah hati, mengorganisir rumah, mengorganisir segala. Di daerah itu berbagai harapan yg berjuntaian dlm kepalaku. Namun, entah apa itu yg menguruk hingga seluruhnya menjadi samar-samar. Bahkan sekarang hampir hilang. Membuatku kadang kebingungan setengah mati hendak melakukan apa ketika cahaya membuka hari.
Para laki-laki yg suka tertawa bandel. Riuh sekali tangan mereka. Seperti gelap yg suka menyelinap ke dlm bilik-bilik kumuh. Tanpa memedulikan rasaku.
Dan gue pun menjadi kian limbung kemudian.
AKU sering melihatnya mematung di kursi peron itu. Memandangi kereta yg pergi seolah jiwanya pula ikut terbawa pergi olehnya. Sesiangan ia akan di situ, sejak cahaya memaksaku membuka mata hingga peron semakin padat & ia kelihatan tak tenteram. Di malam hari, ia sering dijemput oleh ganti-ganti lelaki.
Mungkin kalian sering melihat bibirnya tersenyum dgn balutan merah menyala. Mungkin kalian sering melihatnya tampak bahagia. Tapi tak di mataku. Entahlah. Apakah lantaran gue tahu segalanya wacana ia, bahkan semenjak pertama kali ia menetap di peron ini?
Aku pernah melihatnya tersedu di sudut gelap tempat ini. Aku pernah mencium busuk amis darah dr tubuhnya sehabis keluar dr kamar mandi stasiun ini. Aku pernah melihatnya menggigil sendirian seperti sekarang.
Di sebuah dingklik kayu tak jauh dr stasiun, ia terlihat menggigil dlm rahim gelap. Aku tak yakin bahwa ia sedang menanti—laki-laki entah—seperti biasanya, karena sejak beberapa hari kemudian gue sudah melihat gelagatnya yg terlihat enggan bersua dgn mereka.
Sudah lama gue ingin mendekati & sekadar menyapanya dgn bunyi lembut. Ingin sekali kukatakan bahwa ia tak sendiri dlm balutan nasib yg begini. Tanpa kunyana tiba-tiba saja ia melemparkan sepotong roti untukku.
Sebenarnya hidungku menolak kuliner itu. Namun perutku tidak mau berbohong. Liur jadi makin menetes-netes setelah keinginan yg sudah empat hari menyiksaku ia pancing lagi keluar. Aku tahu ia sebetulnya baik. Aku bisa mencium kedaluwarsa hatinya. Tak mirip kebanyakan orang lain yg selalu terlihat bawel lantaran memandang rupaku.
Tak cuma sekali dua gue terleceh seperti ini. Terleceh dgn comberan, kerikil, pentungan, letusan yg memekakkan indera pendengaran, bahkan gue pula pernah selamat dr ajal setelah mengunyah daging ayam yg tampaknya telah dibubuhi racun. Entah apa salahku. Padahal tak pernah sekalipun gue menyalahi mereka.
Pastilah tersebab wajahku ini. Pastilah tersebab tubuh yg membungkusku ini, sehingga mudah bagi mereka melempar olok-olok, gampang bagi mereka mengataiku kotor. Maka, betapa bersyukurnya gue pada wanita ini, yg tak terkecoh dgn rupaku. Pastilah hatinya dipenuhi cahaya cinta yg begitu hangat.
Tujuan itu, bergotong-royong siapa yg memilih? Kita sendiri, ataukah sudah ditentukan sejak lahir? Jikalau kita sendiri, kenapa siang & malam terus saja berputar seperti itu? Jikalau sudah diputuskan semenjak lahir, kenapa gue bisa tersesat mirip ini?
Ataukah ini lantaran ada yg salah denganku?
Bahkan semuanya memiliki tujuan. Aku sudah memerhatikannya setiap hari. Kereta, orang-orang, pohon mangga di belakang stasiun, kucing betina yg gres saja melahirkan dlm gudang stasiun…, tampaknya cuma gue yg kehilangan tujuan. Meskipun tiap malam sudah kuserahkan segala yg kupunya pada gelap demi mampu terus bertahan memeluk hidup. Tetap saja hidup tidak ingin berbaik hati memperlihatkan arah kepadaku. Mereka bahkan makin merendahkanku tatkala kotoran semakin tebal menyanggupi tubuhku. Maka salahkah bila ingin kuakhiri saja hidupku yg tak memiliki tujuan ini? Toh hidup mati sama saja tak ada guna.
AKU melolong panjang tatkala kulihat dirinya tiba-tiba menggelosor & kemudian tergolek lemah. Kupanggil siapa pun agar cepat-cepat datang ke sini untuk menolong.
Anjing ndeso. Anjing terbelakang. Mau apa ia menyeret-nyeret tubuhku yg sudah sekarat ini? Seharusnya pergi saja ia setelah menerima roti itu. Jangan urusi urusanku. Sakit & luka ini yakni milikku sendiri. Takkan pernah ada siapa pun yg bisa ikut merasakannya. Juga tatkala seorang dokter bilang bahwa gue harus bersabar dgn penyakit kelamin yg mungkin tak akan tersembuhkan lagi.
Dia harus hidup. ia harus hidup. Hanya ia yg ternyata peduli kepadaku, tanpa memandang apa rupaku. Jika ia mati, di mana lagi gue mampu menemukan yg seperti dirinya?
Maka gue pun kian melolong panjang mengundang siapa saja. Apakah kalian mendengar lolonganku? Tolong, tolonglah kami! (*)