Lembar Sastra dalam Rimba Raya Cerita | Damhuri Muhammad

Bila tuan penyuka cerita, tuan tak perlu repot pergi ke toko buku, mengobrak-abrik rak buku fiksi guna mendapatkan jenis cerita yg sesuai selera. Di kala Facebook & Twitter, keseharian kita sudah bergelimang dongeng. Di mana pun tuan berada—sedang bermalas-malasan di rumah, menanti pacar di kedai makanan cepat saji, di sela acara rapat yg padat, atau sekadar mengisi waktu dlm kalutnya kemacetan di Jakarta—tuan leluasa mengkonsumsi rupa-rupa cerita. Tuan tiada bakal kelemahan stok dongeng. Sebab, ia melimpah ruah & beralih rupa dlm waktu tak terduga. Tuntas satu kisah, tiba kisah gres yg lebih dahsyat, hingga dlm beban dilema yg semakin berat, kita sedikit terhibur, atau mungkin kepincut dibuatnya.

Ada kisah ringan wacana ibu rumah tangga yg ‘ngomel-ngomel’ di dinding Facebook lantaran fenomena ‘jilboops’—berjilbab di kepala, namun menganga kepingan dada (boops)—yang seolah menyindir gayanya berbusana. Betapa tidak? Kepala memang sudah berkerudung, tetapi wilayah dada masih membusung. Itulah permulaan mula isu ‘jilboops’ bergulir & menjadi pergunjingan yg sibuk di media sosial. Maklumlah, ibu muda itu gres saja terpanggil untuk berhijab & ia belum dapat meninggalkan tampilan seksi sebagaimana dahulu. Ia sudah punya niat baik, tetapi dunia maya malah menertawakan prosesi pertobatannya.

Atau kisah tragis wacana bocah perempuan yg disiksa hingga meninggal dunia oleh ibu kandungnya. Pasalnya sepele; saat ditinggal di rumah, si bocah asyik bermain corat-coret menggunakan lipstik milik ibunya. Ia memperlakukan lipstik mahal sebagai kapur tulis guna mencoreti dinding, daun pintu, hingga seprei. Setiba di rumah, ibunda marah bukan main. Tega ia menghajar anak manisnya. Menjambak rambutnya, menendangnya, hingga tersungkur di lantai, lalu mencekik anak kandungnya itu hingga tewas. Tak lama berselang, ibu muda itu mendapatkan secarik kertas berisi goresan pena pensil lipstik gesekan tangan almarhumah gadis kecilnya; I Love Mama.

Ada pula ironi ihwal wanita bercadar yg sedang berbelanja di sebuah minimarket di Paris. Setelah menerima barang-barang kebutuhan, lekas ia menuju kasir. Kasir yg dituju ialah wanita keturunan Arab berbusana terbaru. Sinis ia menatap wanita bercadar itu. Ia mengkalkulasikan nilai barang-barang belanjaan wanita bercadar, lantas melemparkannya dengan-cara kasar ke atas meja. Tapi wanita bercadar begitu hening, hingga kasir semakin geram. “Kita punya banyak perkara di Prancis & cadar ananda itu salah satu masalahnya. Di sini kita buka usaha, bukan untuk pamer agama. Kalau ananda mau mengenakan cadar, pulanglah ke negerimu & jalani agamamu sesukamu!” Sesaat perempuan bercadar berhenti memasukkan belanjaan ke dlm keranjang. Lekas ia membuka cadar, kemudian memandang mata kasir. Wajah di balik cadar ternyata wajah wanita kulit putih dgn sepasang mata biru. “Aku wanita Prancis tulen. Begitu pula ibu-bapakku. Ini Islamku & ini negeriku. Kalian telah menjual agama kalian & kami membelinya.

  Sajak Cinta Kembang Hujan

Kisah-kisah semacam itu kemudian-lalang saban hari. Tak perlu repot mencari alamat situsnya. Cukup mengikuti dinamika linimasa (timeline) masing-masing media umum. Setiap user akan mendistribusikannya pada sesama pengguna. Mungkin pada awalnya tuan tak berhasrat, tapi karena tautannya terus-menerus menghujani linimasa, mau tak ingin, tuan akan membacanya, suka atau tak. Inilah zaman tatkala lubang kesendirian yg kita gali di dlm telepon pintar menjelma belantara dongeng, belukar kisah yg rimbun & subur, dgn dramaturgi yg mampu diuji ketajamannya, imaji tragik yg bisa dipertandingkan mutunya, elegi yg lebih menikam tingkat kepedihannya ketimbang cerita garapan pengarang sungguhan. Lalu, apa yg tersisa bagi cerpen koran?

Cerpen koran tak mampu melarikan diri dr belantara maya itu, terlebih menganggapnya selaku residu kelisanan belaka. Cerpenis yg tak memiliki kepekaan pada realitas ganjil yg sedang menggejala akan terkepung dlm bulat keusangan yg kehilangan daya tariknya.Cerpen mampu tersingkir & tergeletak sebagai teks lapuk karena tak disentuh pembaca. Sebab, cerita yg berseliweran di sekitar kita lebih tragik ketimbang teks sastra yg di masa lalu mungkin dipuja sebagai karya besar & adiluhung. Maka, kreativitas untuk melahirkan bentuk-bentuk baru menjadi penting di ranah kepengarangan. Menemukan ilham yg genuine memang bukan kasus mudah.Namun, bukan bermakna kebaruan tak mampu digali & realisme terbelakang tak mampu diperbaharui.

Upaya-upaya eksperimental dlm merancang kisah menjadi salah satu pendapatrubrik cerpen Media Indonesia sepanjang 2014. Boleh jadi gagasannya ialah susila politik yg dekaden sebagaimana terlihat pada Pilpres 2014, namun cerpen tak berpretensi mengisap realitas itu seutuhnya. Satmoko Budi Santoso dlm Peci Ayah (MI, 31/8), misalnya, hanya memakai imaji perihal peci yg menempel di kepala ketua RT. Lipatan peci yg biasa dipakai ketua RT untuk menyimpan duit, berkembang menjadi sumber kecurigaan warga, bahwa ia pula menyimpan duit hasil korupsi di situ. Simbol peci yg berkonotasi kesucian dikontradiksikan dgn watak korup yg bejat. Satmoko mengaburkan makna ‘peci’ menjadi dunia bubuk-abu. Keterpujian yg bersenyawa dgn ketercelaan, hingga keduanya tak dapat dipisahkan.

  Puisi Badai Kehidupan - Oleh Hartini Dewi Putri

Dalam konteks berlainan, imaji wacana peci terulang pada Lelaki Berpeci (MI, 22/6) karya Yusri Fajar. Di sini peci dicurigai selaku atribut yg akrab kaitannya dgn radikalisme, sebagaimana imaji banyak orang wacana cadar & sorban, semenjak maraknya fundamentalisme agama di aneka macam belahan dunia. Sekali lagi, cerpen mempertukarkan ‘yang putih’ & ‘yang hitam’ dlm ruang metafiksionalnya. Bila etika & agama memastikan garis demarkasi bahkan menempatkan ‘yang mulia’ & ‘yang tercela’ dengan-cara hierarkis, sastra melakukan pekerjaan mencampurbaurkannya, membuat keduanya berkilah-kelindan, hingga susah memilahnya. Dalam ‘yang tercela’ senantiasa saja ada ‘yang patut dipuja’, atau sebaliknya.

Eep Saefulloh Fatah dlm Jaket Ayah (MI, 4/5) pula memperlihatkan upaya eksperimental serupa. Muka dua kaum politisi yg sudah jamak dlm penglihatan kita, tak direkam dlm gambaran utuh, tapi hanya dikisahkan melalui atribut partai di ekspresi dominan kampanye. Jaket yg sejatinya menjadi identitas sekaligus kebanggaan kepada partai yg mengantarkan seorang politisi menjadi bupati, di tangan pengarang berbalik menjadi muasal kebencian, hingga Eep mengunci cerpennya dgn adegan seorang istri aben jaket partai milik suaminya, lantaran kecewa pada lelaku politik yg sudah mengganti suaminya menjadi individu ambisius, kemudian menghalalkan segala cara demi merengkuh kekuasaan.

Upaya kreatif dlm penelusuran bentuk gres telah menimbulkan nama-nama baru dgn kedalaman refleksi & keahlian teknis yg layak dipertimbangkan. Sebutlah, misalnya, cerpen Keputusan Ely (MI, 3/8) karya Dewi Kharisma Michellia, & Kisah Sedih Kontemporer (MI, 7/12) karya Dea Anugrah.

Michellia membuatkan layar imaji perihal keretakan relasi suami-istri yg berakibat berat bagi belum dewasa usia pradewasa. Tak ada kekerasan, pula dialog-dialog yg menggambarkan perseteruan sebelum perceraian. Ia hanya membangun abjad Ely, yg mengangkut semua mainan kesayangan semasa masih bersama ayah kandung, ke tempat tinggal ayah tiri yg tak ia senangi. Di sana, Ely merawat kenangan bahwa dirinya masih berada di pangkuan ayah kandung. Ruang penceritaan sarat dgn halusinasi wacana ayah yg hilang & masa kanak-kanak yg lekas berlalu. Cerpen dikunci dgn penegasan bahwa sejatinya ayah Ely telah lama meninggal dunia, hingga ceracau gadis kecil di sepanjang cerpen itu cuma sandiwara yg tak perlu. Tapi, imaji pembaca tidak mungkin direnggut begitu saja. Problem psikis yg dialami Ely tetap menjadi ‘penyakit jiwa’ yg mampu menimpa semua orang.

  Pak Sakur Penjual Kasur | Cerpen Sulistiyo Suparno

Dea Anugerah merancang sentimentalisme terhadap pseudo-romantika dunia maya. Cinta sejati, belahan jiwa, setia hingga renta sebagai ‘ideologi’ dlm romantika masa silam hendak dipatahkan, atau diposisikan sebagai jargon lapuk yg tak layak dipercaya. Kisah Sedih Kontemporer ialah kamuflase dlm kekerabatan percintaan modern. Banyak yg latah mengucapkan rindu & cemburu dlm korelasi ‘terselubung’ yg berjalan tanpa perjumpaan fisik. Ada yg patah hati karena merasa dikhianati, frustrasi hanya alasannya pasangan abai membalas pesan yg terkirim melalui private message, padahal mereka tak pernah berjumpa wajah. Banyak orang terobsesi hendak meng-online-kan perasaan, tapi mereka kerap tersiksa hanya alasannya adalah mati lampu atau koneksi internet terputus tiba-tiba.

Eksplorasi imajiner dgn corak kebaruan serupa dapat pula didapatkan pada Menara Dosa (MI, 13/7) karya Maya Lestari Gf, Seekor Capung Merah (MI, 25/5) karya Rilda A Oe Taneko, & Dunia Angka (MI, 27/4) karya Wina Bojonegoro. Para pendatang baru yg patut jadi perhatian sesudah generasi Taufik Ikram Jamil, Arswendo Atmowiloto, Yanusa Nugroho, Gus Tf Sakai, Agus Noor, Ratih Kumala, Iksaka Banu—sekadar menyebut beberapa nama.

Demikianlah seharusnya kiprah lembar sastra di harian dgn segmen pembaca umum. Ia mempertimbangkan bacaan yg tak cuma mampu dimakan penyuka sastra, tapi pula mampu dirasakan oleh sebanyak-banyaknya pembaca. Selain itu, lembar sastra tak melulu mengisi ruangnya dgn nama-nama besar, tetapi memberi kesempatan pada nama-nama gres dgn prosedur kuratorial yg ketat & terukur. Maka, tunai pula peran koran berikutnya; melahirkan cerpenis baru guna memperkaya khazanah sastra. Jayalah terus cerpen Indonesia… (*)

Damhuri Muhammad. Cerpenis, esais Kurator cerpen lembar sastra Media Indonesia.