Sabtu. Hari yg senantiasa dianggap terakhir sebelum Minggu. Atau Sabtu memang merupakan hari terakhir dlm seminggu, jikalau Minggu dihitung selaku hari pertama. Namun kita sama-sekali tak usah mempersoalkan itu. Sebab bagaimanapun, Sabtu senantiasa disebut sebagai simpulan pekan.
Akan namun, Sabtu bukan sekadar simpulan pekan lazimbagi laki-laki itu—atau tepatnya laki-laki penyair itu.
Di pagi yg gres saja lahir, lelaki itu baru saja kembali menidurkan mimpinya. Ia bangkit dr matras, menata kembali letak selimut & bantalnya. Kemudian membuka sedikit celah jendela kayu disisi utara. Seketika ruang kamar kecil itu menjadi benderang. Cahaya ultraviolet menembus bersama kehangatannya. Lelaki itu, atau laki-laki penyair itu sama-sekali tak tahu kini jam berapa.
Hanya satu yg ia sadari dikala ini, hari ini ialah Sabtu.
Lelaki itu membangkitkan ponsel pintar-nya. Menatap layarnya, menanti-nunggu barangkali ada notifikasi masuk. Semenit berlalu, dengan-cara otomatis layar smartphone itu menggelap kembali. Ya, sama-sekali tak ada kabar hari ini. Kabar besar hati maupun kabar tak gembira.
Ia pandang-pandangi smartphone yang gres dibelinya tiga bulan kemudian. Harganya cukup mahal, baginya. Hampir setara dgn harga notebook baru berspesifikasi rendah. Ia lebih menentukan berbelanja ponsel pintar, ketimbang memperbarui notebook-nya yg sudah dipakai semenjak Sekolah Menengan Atas. Sebab menurutnya, notebook itu masih cukup anggun, & masih tahan untuk dipakai sehari-harinya. Apalagi, notebook itu cuma ia pakai untuk mengetik goresan pena—puisi-puisi, tepatnya—dan kemudian mengirim tulisan itu melalui email. Ya, itu saja.
Alasan ia berbelanja smartphone cukup sederhana: agar mudah mengevaluasi e-paper koran. Sebagai seorang yg bergelut di dunia kepenulisan, ia beranggapan tentu harus berkala & faktual mengecek aneka macam koran yg terbit di aneka macam sudut kota. Tidak cuma koran ibukota, koran-koran yg tak terdata di dewan pers pun ia cek setiap hari. Kegiatan ini setiap hari dilakukannya.
Inilah yg menimbulkan seorang mahasiswi kesengsem pada keanehannya. Di permulaan-awal masa perkenalan mereka—di saat ponsel pintar itu belum terbeli—senantiasa keheranan melihat laki-laki itu kenapa senantiasa membawa koran ke kampus. Meski mahasiswi yg kini menjadi pacarnya itu tak sempat berpendapat, bahwa lelaki itu ialah penjaja koran keliling.
Dari sekian banyak koran yg terbit, hampir setengah di antaranya pernah menampung nama laki-laki ini, pastinya beserta karya puisi-puisinya. Namun, dr semua itu ada dua koran nasional berkaliber, tentunya, yg memuat rubrik puisi di saban hari Sabtu. Dua koran ini telah usang menjadi incaran dirinya—dan tentu para penyair sebayanya—lewat karya puisi. Sudah entah berapa kali, yg terperinci lebih dr bilangan belasan, ia mengantarkan puisi-puisinya ke koran-koran itu. Namun hingga saat ini ia belum sukses, sama-sekali.
Terkadang, ia membayang-bayangkan namanya di koran itu. Dilengkapi lukisan gambaran, & di bawah puisi-puisinya itu bakal tertulis biodatanya yg singkat. Sering pula ini menjadi mimpi yg menghiasi tidurnya. Ia terbayang, puisi manakah yg bakal dimuat sang redaktur tersebut. Bila puisi ini kira-kira di sebelah sinilah letaknya yg manis. Dan ilustrasinya dapat diperkecil sedikit, dan..dan.. itu semua cuma angan.
Hari ini Sabtu. Ya, hari yg ditunggunya itu kembali berkunjung. Lelaki itu begitu setia melaksanakan ritual hari Sabtu-nya. Bangun, bangkit, menatap smartphone, dan—mirip biasa—kembali kecewa. Tak jarang ia menelan ludah.
Akan tetapi, kali ini, di Sabtu pengujung bulan ini, ia merasakan sesuatu yg berlawanan. Semacam sesuatu yg menggairahkan, baginya. Ya, kali ini ia kembali mematikan smartphone-nya. Kemudian membuka lipatan notebook-nya, & menuliskan suatu kisah ihwal itu. Dan cerita itu kini sedang Anda baca…