close

10 Contoh Puisi Beni R. Budiman

Beni R. Budiman & Contoh Puisinya – Beni yaitu penyair yg lahir di desa Dawuan, Kadipaten, Majalengka, 10 September 1965. Pendidikan formal terakhirnya ditempuh di jurusan Bahasa Asing, Program Bahasa & Sastra Prancis, Fakultas Pendidikan Bahasa & Seni IKIP (Institut Keguruan & Ilmu Pendidikan) Bandung, hingga wisuda. 


la mulai menulis semenjak masih duduk di bangku sekolah menengah. Semasa masih kuliah, ia aktif dlm aktivitas ekstrakurikuler di bidang sastra, teater & pers. Sajak-sajaknya hinggap di halaman “Pertemuan Kecil” Pikiran Rakyat. Sajak-sajaknya sering dimuat di surat kabar Bandung Pos, Surabaya Pos, Jawa Pos, Pelita, Suara Pembaruan, Media Indonesia, majalah sastra Horison, & radio Deutsche Welle

Beberapa sajaknya turut diangkut dlm antologi Dua Wajah (1992), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Malam Seribu Bulan, Cermin Alam, Tangan Besi, & Angkatan 2000 dlm Sastra Indonesia (2000). Pada tahun 1996 ia turut diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk membacakan sajak-sajaknya & berbicara perihal sajak-sajaknya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. la pun banyak menulis esai mengenai sastra & kebudayaan. 

la meninggal di Malangbong, Garut, 3 Desember 2002, sesudah menderita penyakit jantung, paru-paru & ginjal. Penunggu Makam yakni kumpulan sajak tunggal Beni R. Budiman yg pertama & terakhir.


Berikut 10 teladan puisi dr Beni R Budiman yg tersurat di kumpulan sajak Penunggu Makam.

Kasmaran
bersama Diwana Fikri Aghniya

Tiba-tiba saja kita mirip orang yg sedang
Belajar menjadi anak & ayah. Di mesjid itu
Keharuan mirip sungai gunung mencari lembah
Dan kita hanyutkan keinginan hingga ke ujung sepi
Muara bagi setiap doa & ikan menciptakan akad


Kita pun bermetamorfosis puisi yg hidup di antara dua
Keabadian surga & neraka. Kita berimajinasi selaku
Keluarga Lukman yg kekal sepanjang zaman. Tenang
Bersama paras -wajah malaikat yg putih. Dan Tuhan

Kita terus kasmaran sepanjang kumandang azan. Dan
Lupa pada bumi yg selalu menyanyikan lagu pilu
Juga pada rumah yg penuh desah & tumpukan
sampah

Kita terus berpelukan dlm irama Tuhan. Berlayar
Di antara pulau-pulau yg kemilau, mencari Lukman …


1996

  Buku Puisi Letih Hati Dan Asumsi

Melankolia

Seperti barisan mahoni di tepi jalan
Tubuhku tegak sepanjang ceruk subuh
Dan bayang hitamku terkapar di aspal
Menekuri arah kendaraan & merkuri


Azan berkumandang mengajakku pulang
Tapi gema membuat banyak makna bunyi
Menggambar persimpangan bagi langkah
Dan cuaca menawarkan mimpi indah juga

Derita. Aku ragu-ragu di antara bintang
Sisa. Dan suatu ukiran keras sukar
Terhindarkan. Aku acak-acakan & luka
Hati belah dua dlm langit melankolia


1996

Fantasi Siang

Duduk di beranda tengah & langit memangku
Tungku api. Matahari mirip sedang mengkremasi
Poci dan cangkir tembikar. Menjerang laut dan
Danau kopi. Fantasi kita pun menulis kisah api


Dan burung-burung segera kembara sebelum
Menjelma abu & bara rokok. Sekawanan ikan
Menjauh dari pantai sebelum menjadi buih D
aun-daun kuning seketika. Gugur sebelum
Rontok tiba. Angkasa mengobarkan satu nyala

Seorang anak menangis hingga suaranya habis
Berdoa supaya cuaca secepatnya berganti warna
Tapi angin & hujan tak memberi jawaban
Selain buah kelapa yg jatuh di kepala. Pecah


1996

Epilog Kamar

Kamar ini menggenapkan kita sebagai petapa
Yang merana. Hiruk-pikuk menarik hati dr luar
Jendela. Menciptakan gema yg melingkar di
Kamar. Dan melipat diri sebagai lagu sunyi


Siapakah kita di luar kamar ini? Sejumput rambut
Di atas daging & sepi merambat seperti batang
Markisa di sepanjang lorong hati. Lalu kita lunta
Dalam kelana tanpa peta. Dan lisan kekurangan kata

Di dlm & di luar kamar, alhasil kita tetap
Petapa yg kekal memuja dusta. Dan doa ini satu
Minta: “Tuhan beri kami waktu untuk terus dosa!”


1995

Karnaval

Dengan busana berwarna kita bergaya.
Beriring Dalam barisan belibis. Kita kembali sebagai anak
Pada karnaval hari-hari besar. Wajah bercahaya
Mulut sarat gula-gula. Hari-hari tinggal canda


Siapa punya air mata ? Di sini tak ada kata bernama
Duka. Mimpi & imaji mengalahkan luka
Derita menyerupai bahasa karangan bunga. Kepedihan
Hanya milik pejuang di medan perang. Kesedihan
Melayang. Dunia dihiasi lampu & umbul-umbul

Pesta terus dirayakan. Karnaval masih berjalan
Parade bergerak lamban. Penyair menentukan diam:
Siapa punya air mata? Siapa lebih suka tangisan?


1995

Solitaire


Kota larut dlm hujan. Cahaya-cahaya pun
Kabur terkubur. Pucuk-pucuk kelapa gemetar
Bambu-bambu kuning saling merapatkan pelukan
Menancapkan kuku-kukunya pada tanah dalam
Sampai gemerutuk sepi membentang sepanjang

Kawat listrik, menegang. Petir turun. Anakku
Menangis keras, memecah Iamunanku.leritnya
Meredakan hujan. Mengusir & mengusir bakal
Badai angin ribut. Dan mencipta kembali Bandung
Sebagai danau mutiara yg menyala. Orang pun
Berenang & menyelam lagi di sana, berebut
Mimpi. Sedang gue menjelma rino yg berkubang
Sepi, menyusuri sungai & hutan; nyeri sendiri


1995

Kadipaten

Dua rel kereta membagi kota yg tidak ingin
Mati. Lalu lalang orang sepanjang lorong
Pasar. Kendaraan yg datang & pulang
Menghardik sepi, tetapi pula menjinjing nyeri


(Aku masih terkenang tatkala tanganmu, ayah
melayang pada kedua pipiku. “Aku ingin
bebas mirip unggas lepas,” pekikku)

Dua rel bergetar. Angin kumbang berpusar
Di atas trotoar. Aku pun terkapar di setiap
Kamar yg mengkremasi. “Selamat tinggal, ayah
Sebab setiap kawasan yaitu alamat. Tenanglah!”


1993-1995

Sepanjang Namamu

1
Belum lengkap kusebut namamu. Sedangkan
Fajar telah lama mekar. Kabut pagi terus
Beringsut. Dan burung-burung bersiut-siut
Di antara reranting nangka milik tetangga

2
Mestinya sudah kupanggil namamu berkali-kali
Ketika matahari memperabukan separuh rambutku
Bayang-bayang tubuhku menciut lebih pendek
Dari aslinya. Lalu kucium mesra keningmu

3
Masih tak kuseru namamu. Tatkala para petani
Mulai menyirami bunga kol. Dan batang labu
Mengendorkan lilitannya di setiap pagar bambu
Tiang listrik berbayang-bayang lebih panjang

  Puisi Perihal Jeritan Rakyat Dalam Kehidupan

4
Tak kueja pula namamu. Padahal lembayung telah
Berkelebat di rerimbun markisa. Burung-burung
Bergegas pergi ke sarang di atas sunyi perigi
Dan matahari berkemas sembunyi ke balik bukit

5
Harusnya kukekalkan cinta sepanjang namamu
Sebelum kota sepi. Dan kita terbaring bersama
Mimpi. Tenggelam dlm temaram lampu. Hitam
Sepanjang malam. Lalu membisu sepanjang namamu


1995

Di Pelabuhan Cirebon

“Mon beau navire O ma memoire
Avons-nous assez navigue”
(Guillame Apollinaire)


Di pelabuhan Cirebon, maritim & hatiku beradu

Gemuruh, Kapal-kapal berlayar & berlabuh
Dan saya membisu berjaga menunggu senja yg entah:
O hidup, pelayaran sebentar, sebentar saja hingga!

Dalam penantian, gue jadi teringat dirimu, adikku
Kapal-kapal yg berlayar & berlabuh, menjadi milik kita
Terbuat dr sobekan kertas buku-buku pelajaran sepulang
Sekolah. Dan kitapun melaju di parit & selokan
Dengan senyuman. Dan kita selalu lupa pada ibu
Yang suka marah, kalau menyelidiki buku yg kita punyai

Di pelabuhan Cirebon, adikku sayang
Aku mengenangmu sambil menunggu senja
Senja kematian yg menawan & menyenangkan


1993

Camping

Di bawah gunung kesepian bergulung & memuncak
Dan pada hamparan daratan kuabadikan kecemasan
Tebing kerikil cadas & pinus-pinus yg mendengus
Angin mengantarcuaca sembab. Hujan, tertahan awan


Dan dlm suasana temaram pohon karet berbaris
Sujud dlm sakit yg sama. Memberat ke arah
Barat. Burung-burung pun datang & pergi dalam
Irama yg niscaya. Udara seakan sendu membatu

Dan hidup mirip kumpulan tenda yg dibangun
Dan diruntuhkan. Dan kematian berkibar pada tiang
Bendera di suatu perkemahan. Nyanyian yg rindu
Dilantunkan petualang di antara lereng & jurang


1996