Sudah hampir satu bulan persiapan cobaan final pendidikan dokter seorang ahli ini kupersiapkan. Mulai dari membaca ulang catatan ringkasan bahan-materi kuliah, bertanya ke teman-sahabat yg telah cobaan duluan wacana kira-kira pertanyaan apa yg hendak diajukan tim penguji.
Aku juga meminta doa ke orang tua, suami, mertua, belum dewasa, & semua kerabat serta merencanakan anak-anak agar senantiasa terjaga kesehatannya, karena ada lima amanah anak yg mesti kuperhatikan.
Aku tak mau memperpanjang abad kuliah ini dgn argumentasi sibuk merawat anak, sehingga saya benar-benar mesti bisa memanajemen waktuku dgn baik. Maka aku berupaya semua masalah kuliah final kukerjakan di Rumah Sakit tempat saya berguru. Mulai mencar ilmu, membuat laporan masalah, menciptakan referat, membuat peran akhir & lain-lain. Alhamdulillah sepanjang perjalanan dari rumah ke Rumah Sakit kurang lebih satu jam aku bisa manfaatkan waktu untuk membaca text book.
Waktu cobaan kian mendekat sementara pasien yg harus kupersiapkan belum kunjung kudapat. Hati ini mulai khawatir sampai-hingga sempat terbesit jangan-jangan saya tak mampu mengikuti cobaan ini sebab tak bisa melakukan satu sesi cobaan yakni operasi mata.
Mulailah kami semua peserta cobaan hunting pasien dgn banyak sekali cara, antara lain bakti sosial, skrining ke puskesmas, klinik, & lain-lain. Dan risikonya dari 10 penerima yg hendak cobaan cuma saya yg belum dapat pasien. Panik, itu yg ada di pikiranku sebab hingga tujuh hari sebelum ujian pasien itu belum juga kudapatkan.
Berjuntai doa kupanjatkan siang malam terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala supaya mempermudah proses ujian selesai ini.
Dosen pendamping ujian operasi telah mulai menanyakan bagaimana kondisi pasien kandikat operasi, apakah keadaan secara biasa wajar atau ada sesuatu. “Dok, bagaimana ini? Sampai hari ini belum ada pasiennya” jawabku ketika itu sambil menahan air mata yg akan tumpah. Sebenarnya kemarin telah ada pasien yg sesuai dgn standar namun ternyata pasien ada sesuatu keadaan yg tak memungkinkan untuk dioperasi.
Aku telah mulai tak fokus lagi untuk mencar ilmu alasannya terpecah pikiranku untuk menerima pasien yg memenuhi patokan.
Di malam itu saya ingat sekali, hari Kamis, merupakan hari terakhir untuk menentukan apakah harapanku untuk mendapatkan pasien kandidat cobaan bisa kulaporkan ke dosen pendamping. Sampai jadinya pukul 19.00 ada telpon dari dosenku yg mengabarkan jika saya disuruh ke daerah prakteknya.
“Ini pasien yg rumahnya kira-kira 40 Km dari tempat praktekku, tiba-datang saja tiba untuk minta operasi. Setelah kujelaskan ongkosnya, pasien ini ternyata tak mampu untuk memenuhinya. Dan aku jadi ingat kamu yg se&g mencari pasien. Semoga menyggupi persyaratan ya, besuk secepatnya cek darah & lain-lain,” kata dosenku.
“Baik Dok, terima kasih sekali”
Pagi hari saya bergegas ke Rumah Sakit untuk merencanakan pasien tersebut. Dan alhamdulillah siang harinya semua hasil cek darah & foto thorax sudah final dgn hasil dlm batas normal. Pasien & keluarga kuberitahu jika hari Senin akan kuoperasi segera. Lalu putri bapak tersebut mengajukan pertanyaan, “berapa ongkosnya, Dok?” Sambil tersenyum kukatakan “Semua ongkos gratis, Mbak…”
Tiba-tiba perempuan itu menangis sambil bersimpuh di kakiku sembari mengucapkan “Alhamdulillah… matur suwun nggih Dok, kulo tiyg mboten mampu saestu..” (Alhamdulillah… terima kasih ya Dok, saya orang yg betul-betul tak mampu).
Sore hari aku melaporkan kondisi pasien lelaki tersebut ke dosen pendamping ujian operasi. Lalu komentar dia “Lelaki itu datang dari langit, untuk memudahkan urusanmu”
Aku kian bersyukur pada Allah alasannya sesungguhnya bersama kesusahan ada kemudahan. [DwiKap]