Hal ini alasannya semenjak ketika itu diberikan fleksibilitas penentuan tingkat suku bunga termasuk nol persen (perniagaan bunga sekaligus). Sungguhpun demikian potensi ini belum termanfaatkan dengan baik alasannya tidak diperkenankannya pembukaan kantor bank gres.
Kondisi diatas berlangsung hingga tahun 1988 dimana pemerintah mengeluarkan Paket Oktober (Pakto) 1988 yang memperkenankan berdirinya bank-bank baru. Kemudian posisi perbankan syariah semakin pasti sehabis disahkannya UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 dimana bank diberikan keleluasaan untuk menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya baik bunga ataupun laba-laba bagi hasil.
Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1992 Tentang Bank Bagi hasil yang secara tegas memperlihatkan batasan bahwa “bank bagi hasil tidak boleh melaksanakan acara perjuangan yang tidak menurut prinsip bagi hasil (bunga) sebaliknya pula bank yang aktivitas perjuangan tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan perjuangan menurut prinsip bagi hasil” (pasal 6) maka jalan bagi operasional perbankan syariah semakin luas.
Saat ini, titik kulminasi landasan aturan perbankan syariah sudah tercapai dengan disahkannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, yang membuka potensi bagi semua orang yang hendak mendirikan bank syariah maupun yang ingin mengkonversi dari tata cara konvensional menjadi metode syariah.
- Pendirian kantor cabang atau di bawah kantor cabang baru, atau
- Pengubahan kantor cabang atau di bawah kantor cabang yang melaksanakan aktivitas perjuangan secara konvensional menjadi kantor yang melaksanakan kegiatan perjuangan berdasarkan prinsip syariah.
Demikian secara ringkas lahirnya landasan aturan perbankan syariah di Indonesia. Penjelasan lengkap dapat dibaca pula di Perkembangan Undang-Undang Tentang Perbankan Syariah.