Lakon Lama | Cerpen Pipiet Senja


Oleh: Pipiet Senja


Telah beberapa bulan ibuku harus dirawat. Keluhannya tak lain sakit kepala yg menghebat. Migrain, katanya. Kemarin kami sudah menjemputnya. Ibu mesti banyak istirahat di rumah. Tiap pagi gue sibuk bantu Emih, melayani para pembeli, saatnya banyak orang belanja. Ikut membungkusi, itu pun kadang masih mesti diperbaiki oleh nenekku.

Sudah, beli kuliner sana,” usir Emih bila sudah tak tahan lagi dgn kelakuanku. Aku berjingkrak kegirangan, berlari menuju jongko Mih Ocah, pedagang serabi. Sebetulnya kueyg paling kusukai yakni cendil Ceu Anik. Penganan yang dibuat dr sagu, diiris kecil-kecil, warna-warni. Rasanya manis & gunyal-ganyel di lidah. Emih akan murka kalau memergokiku makan cendil buatan Ceu Anik.

Pake pewarna, tak manis buat anak-anak. Nanti jadi penyakit.” Mulanya gue tak paham dgn perilaku nenekku kepada Ceu Anik. Belakangan gue pun mulai bisa menilai. Ceu Anik kalau jualan tak kira-kira. Dandanannya terlalu menor, rok ketat lehernya belah. Belum lagi riasan parasnya, pipinya merah-merah macam habis digampari.

Aku akan keluyuran di sekitar pasar. Menyusuri deretan warung & jongko sepanjang Tagog. Mengamati macam-macam dagangan dr satu jongko ke jongko lainnya. Usiaku tujuh tahun, kelas tiga SD. Aku sudah menyukai hal-hal yg umumnya luput dr pengamatan belum dewasa sebayaku. Mungkin alasannya adalah kegemaran baca, sering tualang bareng karya para penulis dunia yg kusimak.

Ibuku pernah berkata, kelak gue akan menjadi seorang polisi perempuan.

Biasanya segera disangkal ayahku. “Putrimu yg satu ini lebih berbakat menjadi seorang wartawan.

Tikah!” Aku tersentak, terbirit-birit menjauhi Enjay, lelaki sakit jiwa yg suka lontang-lantung di sekeliling pasar Tagog. Padahal masih asyik mengamati kelakuannya. Meracau riuh, senyum & ketawa-ketiwi. Emih melambaikan tangannya, mengawasiku dr depan jongkonya. Sudah melalui Zhuhur, Emih mulai merapikan sisa barang jualan. Biar gampang diangkut pulang.

Nanti malam kita nonton sandiwara, ya Tik,” katanya sambil makan siang yg terlambat. Nasi bekal dr rumah dicampur bakso Mas Joro.

Asyik!” Nyaris saja biji bakso loncat dr mulutku.

Jangan ribut sama siapa-siapa. Kita pergi berdua saja.

Iya, kesepakatan tak bakalan bilang siapa-siapa. Apalagi si Arnie!” Adikku suka ganggu ketika enak-enaknya nonton sandiwara, muncul bodor pimpinan Mang Obet, eh, malah merengek minta pulang.

  Jasmine | Cerpen Gola Gong

Bakda Ashar Bi Eem tiba melalui pintu dapur.

Taya sasaha ieu teh, Eneng Tikah?” katanya menyelidik.

Teu aya, nuju barobo da.”

Emih cepat menggamit lengan janda miskin itu ke biliknya. Sekilas kulihat Bi Eem menawarkan sesuatu ke tangan Emih. Nenekku memeriksanya sekejap. Tanpa banyak bicara lagi menyelipkan upah ke tangan Bi Eem. Sebuah transaksi gres saja berjalan di depan mataku. Demikianlah nenekku. Saking hobi nonton sandiwara, bila tak memiliki duit, menggadaikan kain batiknya.

Kulihat Arnie masih saja main dgn boneka. Kemarin gue melemparkan si butut itu. Kesal, gara-gara benda jelek itu hampir gue kehilangan buku kesayangan. Arnie merobek beberapa halaman untuk selimut dedenya.

Nanti malam gue akan diajak nonton sandiwara sama Emih,” kuleletkan pengecap, kugerak-gerakkan jari-jemari di sisi kedua telinga.

Ikut!” jeritnya histeris.

Ih, nggak boleh ikut, nggak boleh!

Si ceriwis abrut-abrutan sambil teriak-teriak.

Ada yg melongok dr jendela kamar depan. Pasti tidur Bapak terusik. Matanya merah, habis pulang konsinyir di markas tiga malam.

Ada apa? Ribut terus belum dewasa ini?” tanyanya terdengar kesal.

Eh, ini si Arnie…,” gue tergagap ketakutan.

Sudah bawah umur, mainnya jauh-jauh sana!” Ibu pula ikut melongok dr jendela.

Pengen ikutan nonton sandiwara!

Emih muncul dr pintu dapur. Sekilas mengerlingku dgn kesal. Matanya seolah berkata, “Kamu ini tak bisa diandalkan!” Aku cuma cengengesan.

Katanya mau nonton sandiwara Mang Obet, Mih?” tanya Bapak.

Eh, iya, diajakin Eem.

Sekalian saja dibawa dua-duanya. Nanti ditambah buat jajannya.

*****

Bakda Isya bertiga sudah siap berangkat ke gedung sandiwara. Letaknya di sentra kota, dekat alun-alun. Berjalan kaki menyusuri gang demi gang, menyeberangi jembatan kecil Kali Cimahi. Malam Jumat banyak orang yg menonton. Hari libur para tentara yg sedang pendidikan. Cimahi pusat pendidikan tentara, makanya disebut Kota Hijau. Para prajurit biasanya jalan bareng, kostumnya sama, pet sama, perawakan ibarat. Bahkan, jalannya pun kolam dipola, mirip.

Emih banyak kenalan di gedung sandiwara. Teteh Entin sering memberi penganan. Teteh Entin melambai ke arah kami. Lusinan permen dlm sekejap sudah menyanggupi tas kecil kami. “Ih, barudak teh ngerakeun pisan, nya? Nuhun atuh, Nyi Entin.” Teteh Entin menolak tatkala nenekku akan bayar. Aku & Arnie secepatnya berlarian menuju gugusan kursi paling depan.

Lakonnya Bangkit dr Alam Kubur. Asyik, ada kuntilanaknya!” gue menakuti adikku. Arnie merinding, namun pipinya gembil sarat permen jahe.

Ingat ya, jangan minta pulang selagi rame!

Teteh nggak takut sama kuntilanak?

Arnie menatap wajahku, sesudah celingukan ke sana-sini. Seolah takut ada yg mendengar omongannya.

Ngapain takut, itu bohongan!

Kan ada kuntilanak!” Arnie makin merinding.

Yang jadi kuntilanaknya pula Teteh kenal, niscaya Ceu Lilis!

Lakon sandiwara pun digelar. Baru dengar ilustrasi musiknya yang: haaauuung waaauu, waaauu. Adikku kontan menangis, bahkan kemudian jerit- jeritan segala.

Takut, mau pulang!

Akhirnya Emih memangku adikku & menuntunku, balik menuju warung Teteh Entin. “Nyi Entin, tolong nitip si Tikah. Adiknya ngadat!

Sekilas kuperhatikan adikku menyusupkan kepalanya di dada nenekku.

Tak mau diturunkan lagi. Beberapa saat gue duduk manis di dingklik depan warung Teteh Entin. Ada laki-laki berewok menyambangi. Mereka asyik ngobrol tak memedulikanku lagi. Aku pun lari, balik ke dingklik depan. Menyusupkan diri di samping ibu-ibu.

Lakonnya sungguh menggelikan, angker, menggemaskan. Konsepnya menyerupai dongeng film vampir Mandarin. Komedi, berkelahi, drama, diselipi horor. Seorang perawan dipaksa kawin dgn saudagar gaek. Si gaek malah hobi menganiaya istrinya, Ceu Lilis. Ups, tokoh perawan itu, hingga tewas!

Puncaknya tatkala kuntilanak menakuti ronda. Kelompok bodor Mang Obet, eksyen.

Ini yg paling kutunggu. Rame, heboh, pake jungkir-balik, nunggingin penonton segala. Pendeknya kenyang ketawa, diteror horor. Pagelaran sandiwara usai sudah. Layarnya pun diturunkan. Baru ngeh lagi, nenekku belum balik?

Aku terbawa arus insan, terseret & tergencet. Para penonton kolam ditumpahkan dr kapal. Tahu-tahu gue sudah balik ke warung Teteh Entin. Tapi, tak ada siapa-siapa. Saat itulah gue baru menyadari betul keadaanku. Bagaimana mau pulang? Bingung, nangis sajalah. Tahu-tahu gue sudah dikerumuni banyak orang.

Nyasar, ya? Ke mana ortunya?

Seenaknya saja ninggalin anak!” Keruan saja gue makin kebingungan & panik. Teteh Entin cepat muncul, membawaku masuk ke warungnya.

Neng Tikah, memangnya ke mana saja? Dari tadi dicari-cari. Sudah, jangan nangis lagi. Nanti diantar pulangnya, ya?

Tak berapa lama Emih muncul jua. Emih menentukan jalan protokol. Iyalah, siapa lagi yg mau kucluk-kucluk jalan kampung? Tengah malam mesti melewati jembatan & kali, gelap, ada pohon warudoyong. Bagaimana kalau sudah ditunggu kuntilanak?

*****

Kuat-besar lengan berkuasa kucekal ujung kebaya Emih. Lewat jalan protokol pun sepi & lengang. Tak tampak sepotong manusia pun kecuali kami. Sudah lewat tengah malam. Saatnya manusia tenggelam dlm lautan mimpi. Semeter, dua meter, saat melintasi gerumbulan pohon beringin. “Emih, Tikah seperti lihat kuntilanak?

  Cerpen: Parjo Salah Memaknai Kebangkitan Nasional

Pssst, jangan omong sembarang pilih. Mending baca ayat-ayat suci!” Melangkah lagi, mengintil di belakang Emih. Tapi, bayangan Ceu Lilis dlm kostum kuntilanak, perasaan makin banyak, makin banyak. Beterbangan ke arahku.

Aku mau merem saja.” Tanganku semakin besar lengan berkuasa-berpengaruh memegangi ujung kebaya Emih.

Kadang pindah mencengkeram tangannya. Beberapa meter masih berlangsung kondusif hingga tiba-tiba, jidat kananku menabrak tiang listrik.

Berhenti lagi, Emih menyelidiki jidatku. Diusap-usap, ditiup sedikit. “Sudah, nggak apa-apa. Cucu Emih Encun mah pahlawan.” Baru pula beberapa meter kembali jidatku nabrak tiang listrik. Kali ini yg sebelah kanan. Aku mulai menjerit, marah & sakit!

Emih merandek lagi, menilik jidatku. Kali ini sambil baca mantra segala. “Jangan ganggu cucuku, ini cucu buyutmu juga, Embah.

Kalimatnya terputus oleh bunyi ajaib, ampun. Tiang kurang asuh itu lagi-lagi sukses gemilang menghajar jidatku, total: tiga kali!

Embung, siah! Teu sudi teuing, nyeri!”Aku nangis histeris, menggeloso di jalanan, guling-gulingan. Emih menyeret tanganku. Kadang badan kecilku diangkat, diseret, diangkat. Demikian terus menghabiskan sisa perjalanan hingga rumah.

Begitu sampai di rumah, Emih kewalahan nyaris membanting tubuhku di tengah rumah. Semua penghuni rumah menyaksikanku guling-gulingan, jerit- jerit kesakitan. Beberapa waktu gue tak pernah mengintil nenekku nonton sandiwara. Nenekku pula terpaksa menghentikan hobinya. Tapi, begitu tak ada lagi yg mengingat insiden malam itu, gue pun kembali mengintil nenekku. Nonton sandiwaralah, Brow! (*)

Kosakata:

  • Gunyal-ganyel: goyang pengecap
  • Taya sasaha ieu teh, Eneng Tikah: nggak ada siapa-siapa nih, Eneng Tikah?
  • Teu aya, nuju barobo da: Nggak ada lagi pada tidur tuh.
  • Ih, barudak teh ngerakeun pisan, nya? Nuhun atuh, Nyi Entin : Iiiih…, belum dewasa ini bikin malu saja, nya? Terima kasih, Ni Entin.
  • Abrut-abrutan: jingkrak-jingkrak
  • Konsinyir: piket
  • Embung, siah! Teu sudi teuing, nyeri!: Ogah, ogah lu! Nggak sudi, sakit!