L O P | Cerpen Putu Wijaya

1

SEORANG mantan bromocorah meninggal selaku orang pintar. Desa Sepi yg biasa tenang itu mendadak jadi hiruk-pikuk dikerubuti mereka yg ingin memberi penghormatan terakhir. Nama Bolong memang sudah melambung menembus luar negeri sebagai pakar pengobatan alternatif.

Puluhan tahun yg kemudian, Bolong pernah tersohor selaku momok yg paling biadab. Karena ia sudah memakan insan hidup-hidup.

Apakah itu cuma bungkus bahasa, kepingan dr sihirnya untuk mensugesti penduduk biar tak berani melawan, entahlah. Tak ada yg pernah buka verbal mengungkapkan misterinya.

Ketika keluar dr penjara, Bolong sempat kelimpungan beberapa tahun. Terpental ke sana-kemari bareng keluarganya mencari daerah berteduh. Tapi di mana-mana, ia ditolak. Siapa yg berani mengambil risiko, hidup memelihara macan?

Aku sudah putus asa! Saat itu, kami hampir mau bunuh diri. Istri & kedua anakku yg masih kecil, sudah oke. Habis daripada tak ada cita-cita, katanya menceritakan masa lalunya.

Tapi malam itu, mendadak ada tsunami. Kami tunda dahulu bunuh diri untuk menolong mereka.

Ternyata banyak anak kecil jadi yatim piatu. Tidak ada yg peduli, karena semua sibuk ngurus nasibnya sendiri. Akhirnya terpaksa kami ngurus & keterusan sampai kini.

Untung pula ada tsunami, kalau tidak, kami sudah mati. Berkat itulah, kami diizinkan tinggal sehabis bersumpah tobat. Aku diawasi terus siang-malam biar tak kambuh. Memang dulu bekas-bekas anak buahku sering tiba mengajak membahas proyek. Kontan gue tolak. Aku tak suka proyek-proyekan lagi. Aku sudah kenyang makan kerikil.

Sekarang bawah umur itu sudah waktunya ngisi perut. Mereka berhak kenyang, memilih nasibnya sendiri. Jangan hingga gue gondeli. Aku tak mau mereka makan manusia mirip saya.

Mereka tak boleh nyontek saya. Untuk tak menambah dosaku yg sudah tak mampu ditebus, gue ajari mereka kebajikan. Bukan karena gue ingin diampuni, tetapi untuk mencegah mereka mengikutiku.

  Tentang Seorang Yang Membunuh Keadilan di Penjaga Konstitusi | Cerpen Remy Sylado

Tapi apa yg terjadi? Saat kepergianku justru jadi momentum reuni, mengumpulkan mereka kembali yg sudah berserak dlm masyarakat. Balik lagi menyulut api untuk mengibarkan bendera hitam.

2

ENTAH tiba dr mana kepintarannya, Bolong telah banyak menyembuhkan orang. Memberikan penyelesaian yg tepat yg dgn jitu membukakan pintu mereka yg minta dibantu. Dan untuk itu, ia tak minta imbalan apa-apa. Tidak pula berharap akan disanjung atau menuntut dihormati sakti.

Semua itu kebetulan yg lebih banyak diciptakan oleh keseriusan kalian sendiri, yg bertekad keluar dr perangkap itu, kata Bolong senantiasa dgn rendah hati.

Bukan cuma itu yg menciptakan kedatangan Bolong makin seru. Bolong sama sekali tak pernah menawan riak ombak ketenarannya untuk mencuci masa lalunya.

Aku dulu mafia. Sekarang pun tetap cecunguk. Meskipun sudah sempat menjalani hukuman, tak memiliki arti gue jadi bersih. Aku tetap bekas bromocorah. Hukuman itu pembayar dosa bukan membuat mentalku suci! Aku tak mungkin menghapus yg sudah terjadi. Aku pula bukan orang pintar. Aku hanya bola polos di atas meja bilyar, untuk menggasak bola bernomor masuk lubang.

Tapi apa daya semua informasi Bolong itu jadi tak penting. Karena yg kemudian berkibar, ketenaran Bolong jadi katrol pamor pemutih semua kejahatannya Mantan anak buahnya pun keluar dr sarangnya & dgn berani unjuk gigi bahwa mereka tetap ada & tak takut untuk terus beraksi.

3

SAYA hadir tetapi terpaksa minggir. Hormat saya pada Bolong berlawanan dgn luapan magma yg menggelegak mendobrak dada para teman lamanya. Mereki terbakar oleh kobaran solidaritas satu nasib dlm penjara. Mereka bukannya sedih, tapi malah beringas. Ingin berdiri lagi setelah menahun tersekap kebekuan mendalam.

  Kota Kami | Cerpen Lena Hanifah

Entah dapat halusinasi, lamat-lamat kuping saya menangkap senandung Bendera Hitam. Itu lagu anonim yg dinyanyikan oleh seorang superstar dangdut yg melejit jadi lagu kebangsaan para narapidana.

Nampaknya mantan anak buah Bolong serasa berada di rimba Sherwood bersama Robin Hood. Mungkin mereka mengidentifikasi dirinya sebagai begal budiman yg merampok orang kaya, untuk bantuan bagi kaum miskin.

Para mantan narapidana itu pula tak rela duka kami, teman-sahabat gres almarhum, terlalu akrab. Seakan takut kebangkitan mereka mampu terkotori oleh anggapan kami yg mereka anggap lawan. Tapi saya tak ingin mengganggu. Saya mengerti perasaan mereka yg tak mau membuang peluang itu. Tapi walaupun menyisih, saya tidak ingin dihapuskan. Karena kita semua bareng kepingan dr nasi rames dlm satu piring untuk selamanya.

Lalu saya cari istri Bolong. ia sedang melipat busana-busana yg ditinggalkan suaminya. Sesuatu yg bantu-membantu bisa dilaksanakan lain waktu. Kenapa mesti dilakukan saat penguburan suaminya? Pasti ada sesuatu.

Saya yakin ia sedang mengelak . “Maaf,” katanya mendahului, “Saya sudah tegur mereka. Ini bukan penjara, tetapi mereka tetap saja menyanyikan itu. Saya kan jadi malu pada tamu-tamu yg layat.”

“Kami maklum, Bu. Persahabatan itu lebih kuat dr persaudaraan. Saudara belum pasti sahabat.”

“Tapi itu kan dulu. Bapak sudah bukan pengusung bendera hitam lagi, Mas tahu, itu, kan?”

“Ya.”

“Kami sudah renta. Almarhum senantiasa bilang mau menghabiskan sisa hidupnya untuk menolong orang. Kenapa mereka selalu tiba?”

“Berarti pengaruli Bapak masih kuat, Bu.”

“Almarhum pernah bilang mereka semua berharap balikan mendesak ia jadi corong.”

“Bapak, Bu?”

“Ya. Tapi almarhum tak meladeni.”

“Sekarang peluang mereka memaksakannya.”

Perempuan yg sedang sedih itu mengusap air matanya. Aku tak sanggup menyaksikan. Tapi mencoba menenangkannya, sebelum melangkah mundur.

  Kenangan Kemerdekaan | Cerpen Junaidi Khab

“Kami paham, Bu.”

4

SEORANG yg tak mau disebutkan namanya, tetapi mudah diduga siapa beliau, menulis surat pembaca:

“Saya tak mewakili siapa saja. Tapi saya merasa saya memaparkan apa yg ingin disampaikan oleh banyak orang. Terutama oleh mereka yg sudah sempat ditolong oleh almarhum. Saya mujur belum pernah berutang akal oleh kebaikannya, jadi tak mampu dicurigai selaku iklan murahan. Tetapi seorang manusia biadab yg sudah menganibal manusia tak berdosa meskipun alasannya sedang kerasukan setan, hanya pantas dihukum mati.

Dan memang sudah dipenalti begitu. Tapi keajaiban terjadi. Setelah ia dieksekusi & tim dokter sudah menyatakan ia dengan-cara medis, klinis, mati, namun tatkala liang lahatnya mau diuruk, mendadak ia bangun & hidup lagi. Setelah perdebatan beberapa tahun dgn hasil tetap buntu, apakah ia perlu ditembak mati sekali lagi, ia mati dengan-cara alami.

Kebingungan kita pun senyap. Tapi mendadak sekali lagi terjadi keajaiban. Malam hari ada yg mendengar suara dr kuburnya. Tatkala dibongkar ternyata ia masih hidup. Sejak itu, hukum tak lagi menyentuhnya. ia hidup bebas seperti kita semua. Dan yg sungguh mengagumkan, almarhum dr makhluk biadab yg memakan manusia hidup-hidup, berganti total, menjadi warga yg santun, kooperatif, senantiasa menolong, menolong, mendorong kita semua untuk berbuat baik, toleran, mengamalkan gotong-royong & hidup damai dlm berbeda.

Almarhum sama sekali bukan bajingan biadab yg sudah makan orang hidup-hidup itu. Hanya tubuhnya memang itu-itu juga. Tapi jangan salah, almarhum yakni orang pandai yg sudah menolong nyawa ribuan orang. Satu kalimat saja yg ingin saya ucapkan dgn lirih supaya jangan berbau provokasi: “Mbok jangan melupakan sejarah, Bo!”. [*]