close

Kurungan Badan Pengganti Denda Terhadap Tindak Kriminal Perikanan Di Wpp-Ri (Zona Ekonomi Pribadi Indonesia)

* ditulis oleh Topan Renyan (Expert at Secretariat RPOA-IUUF)
Dengan luasan bahari meliputi sekitar 2.7 juta km2, Indonesia ialah salah satu Negara kepulauan paling besar yang ada di dunia[1]. Perjuangan dalam membentuk pengesahan akan Negara Kepulauan oleh Kabinet Djuanda dan Mochtar Kusumaatmaja merupakan suatu prestasi yang tidak dapat dipandang sebelah mata[2]. Hasil dari perjuangan tersebutlah yang membuat kita dapat menikmati wilayah maritim territorial, zona aksesori dan zona ekonomi eksklusif termasuk sumber daya landas kontinen yang dapat dipergunakan seutuhnya dan sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia. Indonesia yang memiliki batas dengan sepuluh Negara tetangga dan sembilan puluh dua pulau terluar yang eksklusif berbatasan dengannya, membutuhkan kebijakan pengelolaan sumber daya bahari yang didukung dengan peraturan dan perundangan yang dapat mengakomodir keseimbangan antara pengawasan dan pemanfaatan sumber daya tersebut.
Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah Negara Kepulauan yang memiliki kedaulatan atas perairan pedalaman, perairan kepulauan dan bahari teritorial, termasuk ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya, dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) ialah realisasi juridis ekspansi daerah bahari utamanya wacana keadaan ekonomi dalam pengelolaan, pengawasan dan pelestariannya, sehingga upaya memajukan kemakmuran bangsa dengan cara memanfaatkan sumber daya alam laut mampu dilakukan dengan sebaik mungkin. ZEEI yang pengaturannya tertuang dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1983, yaitu upaya tindak lanjut Konvensi tahun 1982 dimana rezim aturan laut dan rezim hukum negara kepulauan telah menerima akreditasi secara internasional. Rezim aturan internasional tentang ZEEI yang telah dikembangkan oleh penduduk internasional dimaksudkan untuk: 
  1. Melindungi negara pantai dari bahaya kemungkinan dihabiskannya sumber daya alam hayati didekat pantainya oleh acara negara-negara lain dalam mengelola perikanan menurut rejim laut lepas. Dengan sumbangan bahwa sumber daya alam hayati selain tidak mengenal batas kawasan juga akan mampu pulih kembali, tetapi tidak menutup kemungkinan habisnya sumber tersebut apabila tidak mengamati jumlah tangkapan dan frekuensi penangkapan; dan
  2. Melindungi kepentingan-kepentingan negara pantai dibidang pelestarian lingkungan maritim serta observasi ilmiah kelautan dengan upaya mempergunakan sumber daya alam di zona tersebut yang sebagian besar wilayahnya berisikan wilayah perairan (maritim) yang sungguh luas, peluangperikanan yang sungguh besar dan bermacam-macam. [3]
Potensi perikanan yang dimiliki ketika ini merupakan peluangekonomi yang mampu dimanfaatkan untuk era depan bangsa, diantara sekian banyak persoalan ekonomi ilegal, praktik pencurian ikan atau IUU Illegal, Unregulated and Unreported (IUU)fishing practices oleh armada kapal ikan abnormal di kawasan WPP-RI adalah yang paling banyak merugikan negara.
United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) mengatur penegakan hukum Negara pantai kepada langkah-langkah pidana perikanan yang dilakukan oleh Negara lain. Pada prinsipnya UNCLOS mengontrol tetang hak berdaulat agar:
  1. Negara Pantai melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif mengambil langkah-langkah, tergolong menaiki kapal, menilik, menangkap dan melaksanakan proses peradilan, sebagaimana dibutuhkan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini;
  2. Kapal-kapal yang ditangkap dan awak kapalnya mesti secepatnya dibebaskan setelah diberikan sebuah uang jaminan yang pantas atau bentuk jaminan lainnya;
  3. Hukuman Negara pantai yang dijatuhkan kepada pelanggaran peraturan perundang-seruan perikanan di zona ekonomi pribadi dihentikan meliputi pengurungan, jika tidak ada kesepakatansebaliknya antara Negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk eksekusi tubuh yang lain; dan
  4. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal abnormal Negara pantai mesti secepatnya memberitahukan terhadap Negara bendera, lewat susukan yang sempurna, mengenai langkah-langkah yang diambil dan mengenai setiap eksekusi yang lalu dijatuhkan[4].
Undang-Undang Nasional Indonesia sudah mengakomodir prinsip pasal penegakan aturan yang tertera pada UNCLOS mirip dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan dengan Pasal 102 yang berbunyi: Ketentuan wacana pidana penjara dalam Undang-Undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia), kecuali sudah ada persetujuanantara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan. Indonesia sendiri sudah mengakomodir ketentuan dalam UNCLOS tersebut kedalam Undang-Undang Nasional yang cuma menertibkan pidana denda saja, baik dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 wacana Perikanan maupun dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, seperti dalam Pasal 97 yang berbunyi:
  1. Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan, yang selama berada di daerah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
  2. Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera ajaib yang sudah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang menjinjing alat penangkapan ikan yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), dipidana dengan pidana dendapaling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
  3. Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera ajaib yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar tempat penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Namun dalam prakteknya, banyak terpidana yang sudah terbukti melakukan tindakan melawan hukum perikanan di ZEEI tidak pernah membayar denda tersebut. Indonesia sebagai Negara yang berdaulat harus mengaplikasikan kedaulatan tersebut baik dalam bentuk suatu upaya yang membuat efek jera (detterent) dengan memakai sistem pemidanaan dengan prinsip yurisdiksi yang berlaku di Indonesia.
Ketentuan Internasional melarang adanya kurungan badan, ditambah dengan penegasan dalam Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 selaku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang didatangi oleh seluruh anggota Kamar Pidana, Perdata, Agama, Militer dan Kamar Tata Usaha Negara yang menghasilkan rumusan khusus Kamar Hukum Pidana bidang Perikanan yang menyatakan dalam masalah illegal fishing di ZEEI kepada Terdakwa cuma dapat dikenakan pidana denda tanpa dijatuhi kurungan pengganti denda.
Namun, dalam prakteknya, pidana pengganti denda kepada tindak pidana perikanan walaupun bertentangan dengan Pasal 73 Konvensi Hukum Laut 1982 tetap saja dilaksanakan di Indonesia. Posisi perkara pemidanaan pengganti denda terdapat dalam masalah KM. KOSIN PRA THAN CHAI 5 yang ialah kapal penangkap ikan abnormal. Pada hari Selasa tanggal 24 Maret 2015 sekitar pukul 06.00 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2015, bertempat di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia pada posisi 04009’735” LU – 104059’300” BT, melaksanakan kegiatan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang bertempat di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dengan cara menggunakan alat penangkap ikan pukat (jaring trawl). Nahkoda Kapal/Terdakwa dijatuhi pidana denda sebesar Rp. 1.500.000.000,- (Satu milyar lima ratus juta rupiah ), tanpa dicantumkan pidana kurungan selaku pengganti pidana denda alasannya pasal 73 ayat (3) United Nations Convention On The Law of the Sea (UNCLOS) Tahun 1982 yang diratifikasi ke Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang “Penjelasan UNLOS “ tidak boleh pidana bandan dalam bentuk apapun bila tidak ada persetujuanantara Negara-Negarar yang bersangkutan. Walaupun demikian, menurut pendapat Pengadilan Tinggi adilah kiranya apa jikalau denda tidak dibayar oleh Terdakwa tetap diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;
Tujuan hakim dalam dalam menerapkan peraturaan perundangan sudahlah sempurna dengan menerapkan pidana kurungan pengganti denda. Dapat dilihat secara umum bahwa, pelanggaran di Zona ekonomi Eksklusif Indonesia banyak dijalankan dan kadang-kadang terjadi. Teori pemidanaan relatif yang memikirkan banyak sekali faktor target yang mau diraih di dalam penjatuhan pidana perlu dilaksanakan kepada Terdakwa. Penjatuhan pidana ini bukanlah sekedar untuk melaksanakan pembalasan atau pengimbalan terhadap orang yang telah melaksanakan suatu tindak kriminal, namun mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang berfaedah. Teori ini sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory) dengan ciri pokok selaku berikut:
  1. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);
  2. Pencegahan bukan tujuan selesai namun cuma sebagai fasilitas untuk meraih tujuan yang lebih tinggi adalah kesejahteraan penduduk ;
  3. Hanya pelanggaran-pelanggaran aturan yang mampu dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal sebab sengaja atau culpa) yang menyanggupi syarat untuk adanya pidana;
  4. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;
  5. Pidana menyaksikan ke paras (bersifat prospektif), pidana mampu mengandung unsur pencelaan, tetapi bagian pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan penduduk .
Diharapkan Putusan pelaksanaan yurisdiksi hakim ini dapat didukung selaku upaya penerapan imbas jera yang sangat merugikan Indonesia dari sisi pemanfaatan sumber daya yang dipergunakan sepenuhnya bagi penduduk Indonesia. Serta dibutuhkan sebuah Standard Operational Procedure untuk prompt release ABK non-justisia dan juga amandemen UU Perikanan yang dapat mengakomodir ketentuan internasional dalam upaya penegakan hukum di ZEEI. 
Semoga berguna.
Referensi:
[1] Indonesia Fisheries Profile http://www.fao.org/fi/oldsite/FCP/en/idn/profile.htm
[2] Indonesia berhasil memperkenalkan konsepsi negara kepulauan (archipelagic state) dengan Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957. Konsepsi Negara Kepulauan berikut berbagai konsekuensinya sudah diakomodasi dalam Konvensi Hukum Laut 1982.
[3] P. Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia,Penerbit Rineka Cipta, Jakarta 2009. hal. 63.
[4] UNCLOS Pasal 73