A. Konsep Plot
Plot dalam film fiksi yaitu serangkaian kejadian yang dipilih untuk ditampilkan dan kemudian dirangkai dengan korelasi karena akibat sehingga membentuk dongeng.
Kehidupan insan memang berlangsung secara kronologis tetapi dalam bercerita kita tidak selalu menampilkannyademikian. Contoh yang paling sering yaitu hadirnya flashback, yang membuat kejadian seolah berjalan mundur sesaat untuk lalu menunjukkan dorongan untuk perkembangan dongeng ke depannya. Atau bisa juga kita tampilkan bab paling dramatik dalam kisah di awal film, baru lalu dirunut mengapa huruf bisa sampai ke titik tersebut. Berbagai seni manajemen penyusunan plot bisa digunakan untuk mencapai kesan tertentu bagi penonton.
Di sini diperlukan kejelian pencerita dalam memilih dan merangkai perisitwa yang dianggap berhubungan untuk dimasukkan ke dalam dongeng. Karena tidak semua detil perisitwa harus ditampilkan dalam film. Misalnya realitanya orang berdiri tidur, kemudian mandi, lalu sarapan, kemudian masuk ke garasi untuk mengendarai kendaraan menuju tempat aktifitas. Tapi bisa jadi dalam cerita semua insiden itu tidak penting ditampilkan satu persatu. Bisa saja kita pribadi begitu karakter berdiri tidur, melajukan mobil, dan datang di tempat kegiatan. Peristiwa yang tidak relevan untuk keperluan dongeng tidak perlu dimasukkan alasannya hanya akan mengusik dramatik. Untuk mengukurnya, senantiasa tanya pada diri sendiri “bila adegan atau aksi ini aku hilangkan, apa pengaruhnya ke kisah?”. Jika jawabannya tidak ada, memiliki arti adegan atau aksi tersebut memang harus dibuang.
Dalam menyusun rangkaian plot pun kita seharusnya menjaga eskalasi dramatik cerita. Kalau kita lihat grafik pada Bab sebelumnya, kita bisa lihat kisah yang bagus, semakin jauh kisah berlangsung, intensitas dramatiknya semakin naik, secara grafik pun makin naik. Artinya dilema yang dihadapi huruf kita makin rumit dan kompleks, sehingga membutuhkan perjuangan lebih dari yang sebelumnya, bahkan yang aksara bisa bayangkan beliau punya lakukan. Jika pertama abjad berjumpa dengan prajurit, maka berikutnya beliau berhadapan dengan jendral, dan akhirnya berjumpa dengan raja. Dengan demikian, penonton pun turut bareng dengan aksara secara emosional menghadapi problematika yang kian sukar, tetapi dari sudut pandang penonton, makin seru untuk disaksikan.
B. Chekhov’s Gun Theory
Teori ini muncul dari seorang tokoh drama panggung Anthony Chekhov. Dia menggambarkan suatu adegan dalam suatu pentaspanggung di mana huruf mengeluarkan sebuah pistol dan meletakkannya di suatu laci pada permulaan cerita, lalu dalam perkembangkan kisah, saat salah satu aksara dalam keadaan terancam, beliau meraih pistol yang ada di laci dan menggunakannya.
Dalam rancangan ini, apa yang dipersipkan di awal, mesti terjelaskan di simpulan dongeng. Hal penting yang seolah datang-datang timbul di selesai dongeng, mesti telah diperkenalkan (meski dengan sungguh halus) di permulaan kisah. Tanpa salah satunya, penonton akan merasa ada yang janggal dan dampaknya penonton merasa ada bab dari kisah yang belum tuntas. Bayangkan saja jika ada tokoh dalam kasus di atas yang datang-datang mengeluarkan pistol dan menyimpannya dalam laci tapi dalam perkembangan kisah tak lagi dibahas tentang pistol tersebut, penonton akan menunggu-nunggu apa fungsi adegan pistol di awal.
Sudah menjadi sifat dasar penonton untuk menilai gosip apapun yang ditampilkan kepada meraka sebagai hal yang penting. Jika ada hal yang seolah penting tetapi kemudian tidak dibahas tuntas dalam film, penonton akan menunggununggu dan saat kisah simpulan tak juga dibahas, penonton akan mengganggap kisah tersebut tidak tuntas. Hal yang sama saat datang-datang saja ada tokoh dalam perkara di atas ketika berada dalam keadaan terdesak datang-tiba membuka laci dan mengeluarkan pistol. “Kok beliau tahu jikalau di situ ada pistol?”
Penonton mampu merasa dikelabuhi karena apa yang ditampilkan seolah kebetulan semata atau adanya campur tangan tuhan (Deux-ex Machina). Meski dalam kehidupan positif kita sering menemukan kebetulan-kebetulan dan tanpa mampu dielaskan nalar mengalami keajaiban dari penguasa semesta, namun dalam dongeng fiksi, kebetulan-kebetulan atau bantuan Tuhan seperti ini susah diterima nalar penonton.
Kebetulan atau santunan Tuhan dalam dongeng fiksi dianggap sebagai kegagalan pembuat cerita dalam membangun akal dongeng. Dalam konteks dongeng di atas, penonton merasa perlu untuk diperlihatkan bahwa huruf dalam cerita tersebut telah mengenali bahwa dilacinya terdapat pistol sehingga dikala ia terdesak dan membutuhkannya beliau sadar atas apa yang sudah diketahuinya. Meski demikian, aturan ini jadi tidak sepenuhnya berlaku ketika kebetulan dan perlindungan Tuhan ini memang sejak permulaan didesain menjadi inti dari dongeng tersebut.
Prinsip menyimpan pistol dan memakai pistol di atas berkembangkan dalam dunia penceritaan, tergolong dalam film, dengan nama PLANTING OF INFORMATION dan PAY OFF. Tidak cuma soal pistol atau properti, tapi bisa banyak sekali unsur filmis seperti aksara, setting, kostum, musik, dan lain-lain. Tujuannya tetap sama, untuk menjaga nalar dunia penceritaan dalam anggapan penonton. Pembuat cerita perlu sadar bahwa penonton menganggap penting banyak sekali bagian yang ada di kisah sehingga apa yang sudah diperkenalkan di awal, mesti terjelaskan kemudian. Begitu juga sebaliknya, apayang muncul di akhir, harus sudah diperkenalkan sebelumnya. Logika seperti ini yang berlaku dalam anggapan penonton ketika menikmati suatu film.
Sekian dan untuk penjelasan perihal Planting of Information dan Pay-Off mampu dibaca pada artikel Planting of Information dan Pay-Off dalam Film.
Sumber: Buku Menulis Cerita Film Pendek: Sebuah Modul Workshop Penulisan Skenario Tingkat Dasar.
Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.
Tim Penyusun: Perdana Kartawiyudha (koordinator), Baskoro Adi Wuryanto, Damas Cendekia, Melody Muchransyah, dan Rahabi Mandra.