Konflik Antara Dinasti Turki Utsmani Dengan Dinasti Safawiyah

Konflik antara Dinasti Turki Utsmani dengan Dinasti Safawiyah, wikimedia.org
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setelah Khilafah Abbasiyah di Baghdad runtuh balasan serangan prajurit Mongol, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaannya tercabik-cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi. Beberapa peninggalan budaya peradaban Islam bbanyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol itu. Namun kemalangan tidak berhenti sampai di situ. Timur Lenk, sebagaimana yang sudah disebut, mengancurkan sentra-pusat kekuasaan Islam lainnya. Keadaan politik umat Islam secara keseluruhan gres mengalami kemajuan kembali sesudah timbul dan berkembangnya kerajaan besar: Utsmani di Turki, Mughal di India, dan Syafawiyah di Persia. 
Utsmani yang bangun sehabis beberapa dinasti kecil mulai hilang peradabannya, dengan segera menjadi kerajaan besar dengan kawasan kekuasannya yang luas. Penaklukan kota Konstantinopel dan negeri Balkan ialah tonggak yang sungguh memilih dalam sejarah Utsmani. Selain membuat puas bangsa Turki, Imperium Utsmani, dan ambisi umat Muslim, penaklukan tersebut menyebabkan mereka leluasa. Rezim Utsmani menjadi pejuang Muslim paling besar untuk perjuangan agama.  Ketika kerajaan Utsmani sudah mencapai puncak kemajuannya, kerajaan Syafawiyah di Persia gres bangkit. Kerajaan ini meningkat dengan cepat. Dalam perkembangannya, kerajaan Syafawi sering bentrok dengan Turki Utsmani.  
Dua kerajaan besar Islam pada kala masa pertengahan yaitu Utsmani dan Syafawiyah selama periode berdirinya kedua kerajaan besar tersebut memiliki relasi yang tidak baik alasannya terlibat pertentangan yang cukup panjang. Dinasti Turki Utsmani yang berkuasa di Anatolia semenjak 1300 M, menganut mazhab Sunni sementara Dinasti Syafawiyah yang berdiri pada tahun 1501 M oleh Syah Ismail di Persia, menganut mazhab Syiah Itsna Asyariah. Perbedaan ideologi tersebut mulanya tidak menjadi problem antara kedua kerajaan tersebut. Namun permusuhan di antara keduanya tak sekedar perbedaan ideologi, namun juga masalah teritorial. Puncak dari konflik antara dua dinasti ini tercurah pada perang Chaldiran tahun 1514 M.
B. Rumusan Masalah 
1. Bagaimana latar belakang konflik antara Dinasti Turki Utsmani dengan Dinasti Safawiyah?
2. Bagaimana kondisi dinasti Syafawiyah pasca peristiwa Perang Chaldiran tahun 1514 M?
C. Tujuan Masalah
1. Mendeskripsikan latar belakang terjadinya pertentangan antara Dinasti Turki Utsmani dengan Dinasti Syafawiyah.
2. Menjelaskan keadaan Dinasti Syafawiyah pasca kejadian Perang Chaldiran tahun 1514 M.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Konflik antara Dinasti Turki Utsmani dengan Dinasti Syafawiyah
Dinasti Syafawiyah di bawah kepemimpinan Syah Ismail yang dikala itu masih berusia tujuh tahun mempersiapkan pasukan bernama Qizilbash (baret merah). Kemudian pasukan tersebut digunakan untuk menyerang AK Koyunlu hingga berhasil merebut dan menduduki Tabriz, ibukota AK Koyunlu. Syah Ismail juga disebut selaku Ismail I.  Ismail I berkuasa selama kurang lebih 23 tahun, ialah antara tahun 1501-1524 M. Pada sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya. Ia dapat menghancurkan sisa-sia kekuatan AK Koyunlu di Hamadan (1503 M), menguasai propinsi Kaspia di Nazandaran,  Gurgan,  dan Yazd (1504 M), Diyar Bakr (1505-1507 M), Baghad dan daerah barat daya Persia (1508 M), Sirwan (1509 M) dan Khurasan (1510 M). Hanya dalam waktu sepuluh tahun itu kawasan kekuasaanya sudah meiputi seluruh Persia dan bagian timur Bulan Sabit Subur (Fortile Cresent). Tidak hingga di situ, ambisi politik mendorongnya untuk terus membuatkan sayap menguasai daerah-tempat yang lain, mirip ke Turki Utsmani.  
Syah Ismail ash-Shafawi berusaha keras mengakibatkan Syiah selaku mazhab yang dianut masyarakatIran. Karena adanya ketidak puasan psikologis dari golongan masyarakatIran yang sebagian besar berhaluan Sunni, maka Syah Ismail memandang bahwa dia harus membentuk pasukan dari kalangan orang-orang Syiah untuk menghadapi penentangan ini. Ternyata Syah Ismail mendapatkan perlindungan yang berpengaruh dan bala bantuan dari beberapa pihak. Kemudian, beliau bangkitkan semangat mereka untuk menumpas orang-orang yang menentangnya dan mengokohkan mazhab Syiah di Iran. Dalam melakukan misinya, Syah Ismail memainan politik yang licik untuk memperkuat ajakan politik dan mazhabnya. Syah Ismail mengandalkan beberapa kabilah Tarlibasy yang berasal dari keturunan Turki untuk menjadi benih kekuatan militernya. Sebab, penduduk Iran pada waktu itu berisikan aneka macam suku bangsa yang berbeda-beda, balasan dari gelombang pertempuran yang bertubi-tubi melanda negeri tersebut, sehingga sulit untuk menyatukan semua suku bangsa yang berlawanan-beda itu dalam satu kawasan. Dengan kebijakannya ini, Syah Ismail ash-Shafawi sukses mengoptimalkan kekuatan mahzabnya pada kabilah-kabilah Tarlibasy untuk dijadikan selaku sandaran utama kekuatan pemerintah, sehingga semua kalangan lebur dalam satu kesatuan mazhab yang memungkinkannya membentuk suatu eksistensi politik yang baru.  
Syah Ismail memimpin mazhab Syiah dan antusiasbesar untuk berbagi Syiah ke seluruh penjuru negeri.  Seruannya hingga ke daerah-kawasan kekuasaan Dinasti Utsmaniyah. Pemikiran dan keyakinan sesat yang disebarkan di wilayah-daerah itu ditentang keras oleh masyarakat Utsmani yang bermazhab Sunni. Di antara iman-keyakinan yang Syiah yang rusak adalah mengkafirkan para sobat, melaknat generasi permulaan Islam, mengganti Al-Qur’an serta pemikiran dan dogma-iktikad yang lain yang rusak. Maka, wajar bila Sultan Salim I selaku pemimpin Negara yang berhaluan Sunni melakukan pelawanan kepada permintaan Syiah itu. 
Selama kala Syafawiyah di Persia kompetisi untuk mendapatkan keuasaan antara Turki dan Persi menjadi realita. Namun demikian, Syah Ismail menjumpai saingan terberat sebagai kepala batu yaitu Sultan Turki Utsmani, Salim I. 
Ketika Syah Ismail memasuki daerah Irak dia melaksanakan kejahatan besar dalam Islam adalah, membunuh kaum muslimin beraliran Sunni dalam jumlah banyak, serta menghancurkan masjid-masjid Ahlusunnah dan kuburan-kuburan mereka. Bahaya Syiah ini semakin bertambah parah pada era-kala selesai pemerintahan Bayazid II. Ketika Sultan Salim I memegang kekuasaan, maka perangkat-perangkat keselamatan Dinasti Utsmaniah melaksanakan pengepungan kepada orang-orang Syiah pengikut Syah Ismail dan orang-orang yang menentang Dinasti Utsmaniah. Kemudian Sultan Salim I melakukan pencucian terhadap para pengikut Syah Ismail, sehingga banyak para pengikut Syah Ismail dipenjara dan dibinasakan di Anatolia.  
Puncak perseteruan antara dua Dinasti besar Islam itu tertuang pada perang Chaldiran tahun 1514 M. Sultan Salim I mulai bersiap untuk menyerang Syah Ismail dengan mempersiapkan pasukannya. Sultan Salim I berupaya mempercepat pertempurannya menghadapi pasukan Syiah di bawah komando Syah Ismail. Bahkan, ketika Syah Ismail meminta gencatan senjata Sultan Salim I menolak permintaan tersebut dan tetap melanjutkan perjalanan ke gurun Chaldiran. 
Pada bulan Rajab 920 H atau bulan Agustus 1514 M, Sultan Salim I tiba di Chaldiran dan sukses menduduki lokasi-lokasi strategis di gurun Chaldiran dan menguasai kawasan-tempat dataran tingginya. Hal ini memungkinkan baginya untuk melancarkan serangan mematikan kepada Syah Ismail dan para tentaranya.   Sebagian Referensi menyampaikan bahwa jumlah pasukan Utsmani lebih banyak dari pada pasukan Qizilbash Syafawiyah, sekita dua sampai tiga kali lipatnya. Meskipun demikian, dengan kekurangan ini pasukan Syafawi bertempur dengan sangat baik, bahkan mereka mungkin mampu mengungguli pertempuran bila Utsmani tidak mengerahkan artilerinya. Meriam dan artileri yang lain diarahkan dan mendarat di pasukan kavaleri elit Syafawiyah yang tidak berdaya menahannya. Syah Ismail mengalami kekalahan telak, suatu kekalahan bagi pasukan Syiah Shafawi yang terjadi di wilayahnya sendiri. Ismai As Shafawi terpaksa melarikan diri pada dikala Sultan Salim I hendak memasuki Tibriz, Ibukota pemerintahan Safawiyah. Setelah Sultan Salim berhasil memasuki Tibriz, beliau menahan semua harta benda milik Syah Ismail dan para pembesar Qizilbash. 
B. Keadaan Dinasti Syafawiyah Pasca Peristiwa Perang Chaldiran tahun 1514 M
Sutan Salim I merasa cukup dengan kemenangannya di Chaldiran. Dia terpaksa kembali ke negaranya dan tidak melakukan pengejaran alasannya adalah berapa sebab :
1. Adanya pembangkangan di barisan petinggi serdadu Utsmani untuk meneruskan peperangan di Persia, sesudah Sultan Salim I berhasil mewujudkan tujuannya dan bisa  melemahkan kekuatan Syah Ismail. 
2. Sultan Salim I merasa khawatir pasukannya akan jatuh ke dalam perangkap orang-orang Syafawi jikalau mereka terlalu dalam memasuki negeri mereka. 
3. Dia beropini bahwa sudah saatnya untuk menaklukkan kerajaan Mamluk. Sebab, perangkat keamanan Dinasti Utsmani mengawasi adanya surat-menyurat antara kaum Mamalik dengan orang-orang Syafawi yang membuktikan ada koordinasi untuk melawan Dinasti Utsmani.  
Kekalahan Dinasti Syafawiyah pada Perang Chaldiran, tersebut meruntuhkan pujian dan iman diri Syah Ismail. Akibatnya, kehidupan Ismail I berubah. Ia lebih bahagia menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura dan berburu. Keadaan ini mengakibatkan pengaruh negatif bagi kerajaan Syafawi, yakni terjainya persainan segitiga antara pimpinan suku-suku Turki, pejabat-pejabat keturunan Persia, dan Qizilbash dalam merebut dampak untuk memimpin kerajaan Syafawi.  
Konflik antara Dinasti Utsmani dengan Dinasti Syafawi tidak berhenti setelah perang Chaldiran berakhir. Sepeninggal Ismail, pertempuran-peperangan antara dua kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali pada zaman pemerintahan Tahmasp I (1524-1576 M ), Ismail II (1576-1577 M), dan Muhammad Khudabanda (1577-1587 M).  Pada periode tiga Raja tersebut, Dinasti Syafawi dalam  keadaan lemah. Di samping alasannya adalah seringnya terjadi pertempuran melawan Dinasti Utsmani, yang lebih kuat, juga karena sering  terjadi pertentangan  antara kalangan-kelompok di dalam negeri. Kondisi memprihatinkan ini gres bisa dituntaskan sesudah raja Syafawi ke lima, Abbas I, naik tahta. Ia memerintah dari tahun 1588-1628 M. 
Langkah-langkah yang ditempuh oleh Abbas I dalam rangka memulihkan kerajaan Syafawi yakni: pertama, berupaya menetralisir dominasi pasukan Qizilbash atas kerajaan syafawi dengan cara membentuk pasukan baru yang anggotanya budak-budak, berasal dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia, dan Sircassia yang sudah ada sejak raja Tahmasp I. kedua, mengadakan perjanjian hening dengan Turki Utsmani. Untuk merealisasikan pernjanjian ini, Abbas I terpaksa harus menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georigia, dan sebagian kawasan Luristan. Di samping itu, Abbas berjanji tidak akan mencemooh tiga Khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Usman) dalam khotbah-khotbah Jumat. Sebagai jaminan atas syarat-syarat itu, ia menyerahka kerabat sepupunya, Haidar Mirza sebagai sanera di Istanbul.   
  Adapun dampak yang ditimbulkan balasan Perang Chaldiran ialah sebagai berikut:
1. Masuknya kawasan Irak bab utara dan Diyarbakir ke dalam kekuasaan Dinasti Utsmaniah.
2. Bangsa Turki Utsmani mengamankan batasan Negara mereka di sebelah Timur.
3. Mazhab Sunni menjadi dominan di Asia Kecil sehabis Sultan Salim I sukses menumpas para pengikut dan pendukun Syah Ismail, ditambah kekalahan orang-orang Syiah di Chaldiran. Ini menunjukkan bahwa Dinasti Utsmaniah memiliki rasa tangung jawab terhaap Dunia Islam, utamanya setelah ia menginformasikan dirinya selaku pelindung kaum muslimin.
4. Tumbuhnya kesadaran Dinasti Utsmaniah akan pentingnya menumpas kekuatan  yang  kedua, yakni Dinasti Mamluk.
5. Konflik bersenjata antara Dinasti Utsmaniah dengan Dinasti Syafawiyah menimbulkan turunnya pendapatan bea cukai pemerintahan Utsmani dari jalur-jalur jual beli yang usang di Anatolia. Pemasukan Negara mengalami penurunan sesudah tahun 918 H (1512M) sebagai akibat dari peperangan-peperangan yang terjadi anatara kaum Syafawi dengan bangsa Turki Utsmani. Sebab, sebagian besar jalur perdagangan yang lama ditutup, di sampig timbulnya berbagai macam bahaya. Akibatnya, perdagangan bilateral antara wilayah-wilayah Iran dan Utsmani menjadi terbatas. Karena itu, pendapatan pemerintahan Utsmani menurun dari Sutra Persia. 
6. Bangsa Portugal memanfaatkan pertentangan yang terjadi antara Dinasti Syafawiyah dengan dinasti Utsmani. Mereka berusaha melaksanakan blokade total terhadap lautan-lautan di sebelah timur dan menutup jalan-jalan lama yang menghubungkan antara timur dan barat.
7. Orang-orang Eropa bergembira atas pertempuran-peperangan yang terjadi antara bangsa Turki dan kaum Syafawi. Orang-orang Eropa berupaya memperlihatkan tunjangan kepada kaum Syiah Syafawi dalam melawan Dinasti Utsmaniyah untuk melemahkannya, sehinga Turki Utsmani tidak mampu melanjutkan penyerangan kepada kawasan-wilayah Eropa. 

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dinasti Turki Utsmani yang berkuasa di Anatolia semenjak 1300 M, menganut mazhab Sunni sementara Dinasti Syafawiyah yang bangun pada tahun 1501 M oleh Syah Ismail di Persia, menganut mazhab Syiah Itsna Asyariah. Kedua kerajaan besar Islam ini terlibat pertentangan yang panjang. Perbedaan ideologi tersebut awalnya tidak menjadi permasalahan antara kedua kerajaan tersebut. Namun permusuhan di antara keduanya tak sekedar perbedaan ideologi, tetapi juga dilema teritorial. Puncak dari konflik antara dua dinasti ini tercurah pada perang Chaldiran tahun 1514 M yang dimenangkan oleh pasukan Utsmani dibawah perintah Sultan Salim I. Beberapa perang antara Dinasti Utsmani dengan inasti Saywafi masih terjadi sesudah perang Chaldiran. Namun pada pemerintahan Abbas I, raja kelima dinasti Syafawiyah menyelenggarakan perjanjian damai dengan dinasti Turki Utsmani yang isinya adalah: pertama, menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan sebagian wilayah Luristan. Kedua, Abbas berjanji tidak akan mencibir tiga Khalifah pertama Islam (Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Usman) dalam khotbah-khotbah Jumat. 
DAFTAR PUSTAKA
  Karim, M. Abdul, 2012, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka Book Publisher.
  Lapidus, Ira M, 2000, Sejarah Sosial Umat Islam: Bagian Satu dan Dua, terj. Ghufron A. Mas’adi, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
  Maryam, Siti dkk, 2012, Sejarah Peradaban Islam: dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta : Lesfi.
  Ash-Shalabi, Ali Muhammad, 2017, Sejarah Daulah Utsmaniyah: Faktor-aspek Kebangkitan dan Sebab-karena Keruntuhan, Jakarta : Ummul Qura.
  Yatim, Badri, 2008, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah jilid 2, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Internet:
  https://ganaislamika.com/dinasti-safawi-4-pertempuran-chaldiran/#_ftn1 diunduh pada tanggal 24 Maret 2019, pukul 10.26 wib