Ada suatu kolam ikan tak jauh dr sekolahku. Kolam ikan itu milik Wak Jasim. Aku selalu melewatinya tatkala berangkat atau pulang ke tempat tinggal dr sekolah. Di kolam ikan itu ada ikan mujahir, nila, lele, & ikan emas. Aku suka menyaksikan ikan-ikan itu berebut kuliner tatkala Wak Jasim memberi mereka pakan. Mereka senantiasa makan bareng -sama dgn ceria. Jujur, kadang-kadang gue iri melihat keakraban mereka. Aku sangat berharap, gue pun mampu lebih dekat dgn keluargaku seperti keakraban ikan-ikan di kolam Wak Jasim itu….
MALAM semakin beranjak matang. Lelaki muda itu kian damai. Tetapi sepasang matanya tak jua redup meski sedari tadi sudah diserang jarum kantuk bertubi-tubi. Tiba-tiba perasaan ganjil menyelinap lindap. Ia seperti meridukan sesuatu yg entah. Sesuatu yg tak wujud, tak terdefinisikan. Mungkin, mirip keceriaan ikan-ikan di kolam Wak Jasim kah?
Kanvas raksasa berpigura horizon diperciki jelaga pekat berhiaskan sepotong bulan pias yg bergantung malas di batas cakrawala dilingkupi awan nimbostratus lebih tampak segerombolan bulu domba. Kesenyapan yaitu melodi paling harmoni yg telah disepakati bersama untuk disenandungkan sekelompok orkestra alam. Nadanya yg dingin tak berkawan melenting ke pori-pori udara lembab, terpantul tak cuma di pucuk-pucuk dedaun berair & ceruk-ceruk bah aspal jalanan yg tak lagi mulus sebab hujan sepanjang sore, tetapi sanggup menembus ke balik dinding-dinding kerikil kamar kontrakan di salah satu gang kompleks perumahan padat suatu kota satelit; menelusup melalui ventilasi udara, serpihan bawah pintu yg tak rapat tepat, & kisi-kisi jendela yg beku. Seperti mantra sihir menghiptonis, murajab mengatupkan jasus lelah seluruh penghuninya sehabis merentang otot sehari penuh. Oh, tidak, kamar di paling ujung ternyata masih menyiratkan tanda-tanda kehidupan di dalamnya.
Sebuah kamar maskulin? Sebuah beker kuno terduduk pasrah di pojok meja kecil berkaki pendek, hampir menempel ke dinding, di tengah ruangan. Putaran jarum merah yg mengatrol pergerakan dua jarum lainnya terdengar khas. Di dekatnya suatu wadah berbentuk balok berdiri dr potongan beling yg direkatkan lem berisi penggaris mika dua puluh senti, dua buah pensil gambar, sebuah bolpen berisi tinta empat warna, & sisir mini setia menemani. Ambal coklat tebal & dua kasur lipat yg menutup lantai keramik kamar itu tepat menyerap gebyar cahaya neon yg menempel di kanopi asbes. Sebuah cermin besar di dinding memotret bayangan di sebrangnya; sepotong span hitam, kemeja lengan pendek biru, sehelai koko baru, peci shalat dr rajutan nilon debu-debu biru, & singlet putih tergantung rapi di sebalik pintu.
Di sudut lain, di antara lemari kayu kuning gading & rak buku raksasa yg menutup lebih separoh dinding timur kamar, sebuah papan acara harian dr karton licin terpasang mewah . Cardboard berlapis gabus setebal satu senti itu hanya ditulisi dua kalimat pendek goresan pena tangan spidol merah darah: Winners don’t do different things. They do things differently. Ungkapan Shiv Khera yg dikutip dr You Can Win, buku pertama sosok Indian yg meledak di pasar lintas kontinental itu. Apakah penghuni kamar itu mengidolakan motivational speaker pencipta tata cara Blueprint for Success yang mencakup point-point berikut ini: motivasi, sikap, ambisi, kepemimpinan, teamwork dan harga diri? Sejatinya ia tak pernah mengidolakan siapa pun, ia hanya terpenjara pada selarik rangkaian huruf-abjad yg ditulis-ulangnya itu. Tak lebih. Dan memang begitulah faktanya. Ia cukup besar hati mengidolakan dirinya sendiri.
Tak ada perabot lain di ruangan tiga kali empat meter itu. Selain galon air mineral & gelas bening berlengan menangkup di ekspresi galon. Tak ada asbak berjubel bubuk kuntung atau sobekan bungkus kopi instan. Karena penghuninya tak pernah merengek minta ditemani keduanya dikala harus melek sampai larut sekalipun. Ia, seorang laki-laki muda berkaos oblong & bersarung, sedang duduk khusyu di tengah ruangan menghadapi suatu meja kecil berkaki pendek.
PERCAYAKAH ANDA BAHWA SAYA ADALAH ORANG TERHEBAT SEDUNIA?
Kamu dapat membaca dgn terang kata-kata itu tertera pada cuilan pungggung kaos oblong yg dikenakannya, memakai aksara balok dgn warna kontras.
99% responden menjawab YA & 1% menjawab TIDAK. Survey telah dilakukan pada 100.000.000 orang & Anda adalah orang yg terakhir.
Kelanjutan kalimat itu, agak jauh letaknya ke bawah nyaris mendekat ke pinggangnya.
Hmm… ananda tak sepenuhnya keliru jikalau menerka ia tipikal robot kapitalis yg lebih sering lupa waktu, kadang lupa diri, & tak pernah sudi diusik. Hampir setiap malam, di ketika semua penghuni kontrakannya lelap dijerat mimpi, ia masih erat berkutat dgn sederetan bahasa pemograman. Tahukah kamu, deret bahasa sandi itu cinta matinya selama beberapa tahun belakangan ini. Simbol-simbol latin itu tak lain nyawanya yg sesungguhnya. Hatinya seolah telah beku, tak tersentuh, tak menyisihkan ruang bagi sosok gemulai—di matamu, tetapi terlanjur terpatri dlm benaknya sebagai pencipta horror. Ia pun setia menjadi diri sendiri di usia yg kian matang & mampu berdiri diatas kaki sendiri.
Tepat pukul dua puluh tiga melalui tiga belas menit sembilan belas detik. Keruwetan acara yg sedari dua jam sebelumnya sudah ia pelototi ternyata menjadikannya jengah pula kali ini. Saat vakum itulah tiba-tiba sebuah pesan singkat dr nomer Ayahnya membuyarkan fokus lelaki muda itu pada monitor 12 inci di hadapannya. Special message alert tone ponsel mungilnya purna merobek keheningan yg berdentang akut di dasar palung hatinya.
O ya, sebaiknya gue perkenalkan terlebih dahulu nama laki-laki muda itu padamu: Satria—ya, ananda panggil sajalah ia Satria. Nama lengkapnya sungguh panjang. Tapi ingat, jangan dibaca “Satrio”, ia sungguh tak suka itu. Karena ia merasa bukan Jawa, alibinya tatkala gue tanyakan hal itu padanya.
“Pa, gue ado PR English. Disuruh buat karangan perihal lingkungan alam sekitar sekolah yg gue lihat. Minimal satu paragraf. Contohnya, I see landscape. Aku dak biso cara nyusun kalimat & kata-katanyo. Kato guru aku, yg dinilai tu cara penyusunan kalimatnyo. Tolong carikan, Pa, gue dak biso. Besok ngumpulnyo!”
Bibir tipis Satria hanya sedikit merekah; tetapi tampang kecutnya membongkar pasang suatu acara berbasis bahasa C++ untuk simulasi pemikiran supersonic—bantu-membantu ia hanya sedang menjajal -coba saja alasannya bukan bidang pemograman kemampuan khususnya, tak sempat berganti rona. Pesan singkat itu forward-an dr SMS adik perempuannya. Ayahnya ternyata sedang di perjalanan dinas & tak sempat menyusun suatu karangan pendek dlm bahasa Inggris untuk memenuhi ajakan bungsunya, gadis kelas tujuh di sekolah menengah.
Ia menentukan hirau & kembali menatap himpunan instruksi-instruksi numerik pada layar monitor. Ada kehampaan merayap seketika di lembar-lembar membran otaknya tanpa bersuara. Ya, meski ananda lihat matanya menancap lekat di deret angka-angka buta.
Ia beralih ke pesan singkat itu lagi.
Inilah peluang yg kau tunggu-tunggu itu! Sebuah hardikan menghentak alam bawah sadarnya.
Ia ragu.
Terpaku.
Bisu.
Dan hardikan itu sekali lagi mencibirnya, menghempaskannya pada suatu ruang kosong dlm lipatan waktu.
Maka, kini ia hendak membuka kembali laci memori paling bawah di lemari otaknya yg sudah sekian lama diabaikan. Kawan, jika ananda ingin tau coba tengoklah sendiri apakah tampak debu lekat menempel di sekujur permukaan laci memorinya itu? Aha! Beruntunglah ia masih menyimpan kunci gembok kecilnya, tergantung di satu sudut nuraninya. Pengembaraan menembus belantara kelam masa silam pun dimulai.
Ia teringat denah sebuah bangunan permanen di sebuah desa satu jam dr pusat hiruk pikuk ibu kota kabupaten, tersempil di satu ruang kecil di kepingan selatan luasnya bongkahan tanah Andalas. Sketsa itu kini makin jelas di pelupuk matanya. Mula-mula sebuah gerbang kokoh dr jalinan batang besi setinggi dua meter warna hijau lumut. Kemudian beranda depan rumah bercat putih dgn besi-besi seukuran telunjuk sisa coran yg mencuat tepat di atasnya. Sebuah meja kuno, dua dingklik plastik, & sebuah bangku rotan yg anyamannya bolong tepat di tengah dudukan pantat untuk duduk santai dahulu teronggok di sana. Namun ia sudah lupa rincian belahan-potongan di dlm bagunan itu. Tentu saja, ia pun tak ingat lagi setiap sudut di serpihan luar yg dulu berhalaman sangat luas itu. Yang masih terekam terperinci hanya serumpun pohon jeruk nipis di pinggir pagar jeruji besi yg buahnya sangat lebat & tak bosan ia buatkan minuman segar di siang terik. Genap delapan tahun ia tak menginjakkan kaki di lantai keramik putih bangunan permanen itu. Keramik putih? Itu dulu, entah sekarang, mungkinkah sudah berganti keramik merah delima?
“Teras depan rumah sudah diperluas sekarang. Banyak pot bunga kesayangan Mamamu di sana. Mirip toko bunga.”
Ayahnya berseloroh setengah bercanda, beberapa waktu sebelumnya, berpromosi meyakinkan ketika memintanya pulang barang beberapa hari saja. Saat itu ayahnya meluangkan mampir selagi tugas ke ibu kota.
Ia bergeming.
“Di samping kiri penggalan belakang rumah, yg dahulu berkembang rindang pohon pelem itu, kini sudah disulap menjelma garasi kendaraan beroda empat,” Ayahnya tak jera, terus saja bercerita tentang kediaman mereka terkini.
“Garasi mobil dinas?” gumamnya retoris, sekadar menegaskan.
Apa kabar pohon salak & durian di belakang rumah?
“Kolam 2 x 4 m di pinggir tembok jalan belakang rumah itu untuk induk gurame. Di pinggir tembok Wak Jasim, sepanjang tiga puluh meter, kandang entog. Rencana untuk sangkar belibis kapasitas 500 ekor,” kata Ayahnya lagi.
Seketika ia teringat tingkah konyol bersama ketiga adiknya tak jauh di pinggir kolam ikan berair jernih yg kini ternyata sudah dibeton semua itu. Kolam ikan itu dahulu bertabur pawai ikan mas & nila. Suatu di saat, kepala adik bungsunya nyaris tertimpa sebutir kelapa renta yg jatuh tanpa permisi dr pohonnya di pinggir kolam itu.
Namun lagi-lagi kehampaan seolah tak letih mencibirnya sempurna. Kekonyolan itu sudah jauh digerus waktu yg terus gegas melaju tak hirau jeritan pilu & rintik sendu yg membisu-membisu menyatroni hatinya kini. Waktu yg tetap diam & terus berjalan tanpa memihak pada semua orang, tanpa menolong siapa saja; tak pernah kalah, tak akan lama, senantiasa baru, senantiasa tegar & segar. *
Ke mana masa-masa sarat senyum itu sirna?
Satria menelan ludah serta merta. Tenggorokannya tiba-tiba mirip kram. Tak ingin ia mengenang kembali dikala-ketika keputusan paling sukar itu menjelma satu-satunya pilihan yg paling diamini neutron syaraf di otaknya. Tak sudi ia terseret arus kembali ke pusaran suatu episode kelabu. Tentang inspirasi-pandangan baru yg senantiasa bersebrangan & tak pernah memperoleh titik temu. Tentang mufakat yg tak lebih indah dr slogan demokrasi, seekor makhluk gila di planet antah-berantah. Kecuali titah tak terbantah. Wanita itu diktator setara Hitler di hadapan goliath pada sosok hijaunya kala itu. Ya, & ayahnya tak pernah benar-benar terlibat atau sengaja melibatkan diri dlm perseteruan antara ia & wanita yg sebaiknya dijunjung setinggi langit sepenuh bumi itu.
Sesungguhnya perasaan terbuang ialah tragedi paling kronik. Seolah perempuan itu hanya menanam janin di perutnya & lantas membuangnya ribuan mil ke tanah sebrang. Membuang? Jika tidak, adakah seorang yg memiliki naluri Hawa sanggup berpisah dr buah hatinya hanya sesaat berselang sehabis kehadirannya? Dan dua puluh tahun terasing sebelum kembali dgn penolakan tersembunyi. Hanya itu yg dimahfumkannya selama ini.
Dirinya adalah alien yg sempat tersasar di residensial berlantai keramik putih itu dahulu. Hingga pada kesudahannya ia memilih tak pernah kembali. Hanya sesekali saja menengok sepasang lelaki renta & nenek renta yg sungguh bersahaja sudah merawatnya semenjak bayi merah di sela acara perkuliahannya yg padat—ia sengaja memadatkannya dgn aktif di berbagai forum kampus, di sebuah universitas negeri tertua di Jawa. Dan, hampir satu dasawarsa bisu menihilkan sapaan kedua anak beranak itu.
“Hidup yakni sebuah misteri dini hari yg sangat pekat. Akan naas jika sudi karam & hanyut dlm lautan sentimentil berlebih. Ada kalanya kita mesti legawa,” suatu waktu kata ayahnya, seolah ditujukan pada dirinya sendiri yg tak pernah sanggup mendinginkan konflik dua belahan jiwanya. Sosok yg mulai beranjak sepuh itu memandang dlm ceruk matanya bersahabat, tak pernah ada kesan menghakimi terdeteksi olehnya. Selalu begitu, beberapa tahun, tak pernah berganti, tak mengenal lelah.
Ia mencoba tersenyum tulus menghormati. Tetapi bayangan seorang pemuda lugu yg sedang duduk mencangkung di ruang tengah rumah berlantai keramik putih itu, lebih sepuluh tahun silam, akan selalu hadir menghantui. Hujan deras, petir menggelegar, listrik mati, perut lapar, perjaka lugu itu terisak, tak memahami kenapa ia ditinggalkan sendiri, tiga hari berturut. Pemuda lugu itu tak lain yakni dirinya yg gres tiba dr Jawa untuk menghabiskan piknik sekolah. Ayahnya tak tahu apa-apa ihwal perlakuan itu karena sedang bertugas ke luar kota semenjak beberapa hari sebelum kedatangannya. Adiknya yg paling besar tinggal di asrama sekolah, sedang dua yg paling kecil belum tahu apa-apa untuk dilibatkan dlm suatu diam-diam pelik itu. Wanita itu memboyong kedua adiknya meninggalkan rumah mereka ke kontrakan salah seorang famili tanpa permisi.
“Kau orang pintar, Nak. Masa kemudian akan menjadi catatan usang yg teronggok di lemari buku penuh kecoa,” lirih Ayahnya, kali ini melalui mimpi yg memaksa kedua matanya kembali terbuka tak lama berselang sehabis terpejam pada suatu dini hari yg menggigilkan tulang.
Hingga pada akibatnya ia luluh, tersedu sendiri. Ego diri yg selama bilangan tahun diagungkannya melumer di hadapan laki-laki pengasih itu. Kamu harus percaya, sesungguhnya ia tak sudi mengalah begitu saja. Namun mata elangnya tak kuasa melawan arus tatapan sepasang mata teduh itu setiap kali ia memberanikan diri menatapnya saat bersua. Sepasang ceruk beretina coklat tua yg menceburkannya pada sebuah kolam yg sungguh dlm tak berombak tak beriak. Ia pun takluk dgn penghormatan tertinggi di dalamnya.
Tapi boleh jadi bukan itu penyebab sesungguhnya. Ia cuma sudah lelah dgn kesendiriannya. Mungkin. Ia memang merasa terbuang, namun ia percaya lelaki sepuh yg ia panggil Ayah itu tak pernah membuangnya. Ia pun hanya mengiris dendam pada seseorang yg tidak ingin disebutnya lagi. Dendam? Entahlah kini. Ia cuma ingin mengawali. Tak ada salahnya untuk memulai sebuah episode baru bukan? Ya, mungkin saja saatnya baru saja tiba.
Setelah membaca sekali lagi pesan singkat itu, memori otaknya kembali terlempar ke suatu lipatan masa, pada Wak Jasim, tetangga belakang rumahnya yg bertani ikan di lahan Ayahnya. Dulu ia beberapa kali menemaninya memberi pakan ikan-ikan lincah itu di kolamnya.
Satria mulai menggurat untaian kata di ponsel mungilnya dlm bahasa Inggris sesuai ajakan di SMS itu….
Beberapa kali jarum detik jam beker tak jauh darinya bersender ke dinding kamar mengitar sempurna tiga ratus enam puluh derajat. Pesan terkirim. Ia melongo. Kesendirian yg melabirin. Seperti menggerogoti nadi keakuannya.
Malam kian beranjak matang. Lelaki muda itu kian damai. Tetapi sepasang matanya tak jua redup meski sedari tadi sudah diserang jarum kantuk bertubi-tubi. Tiba-tiba perasaan ganjil menyelinap lindap. Ia mirip meridukan sesuatu yg entah. Sesuatu yg tak wujud, tak terdefinisikan. Mungkin, mirip keceriaan ikan-ikan di kolam Wak Jasim kah? (*)
Catatan:
* Kata-kata inspiratif Andrie Wongso perihal waktu.