Kisah Seekor Ayam | Cerpen Dadang Ari Murtano

Datanglah ke kota ini & kau akan mendapati setiap orang mengetahui kisah ini. Kisah yg dituturkan ibu-ibu untuk mengirim tidur anak-anaknya. Kisah yg diulang-ulang oleh para laki-laki di warung kopi. Kisah yg bermula dr masa tatkala binatang-binatang mampu mengobrol.

Adalah seekor ayam kampung yg berimajinasi menjadi rajawali. Ayam berbulu blorok dan berparuh kuning lancip. Matanya berkilau & dadanya tegap membusung. Tajinya panjang & tajam. Ia gemar bertarung. Ia serang setiap mahir yg berpapasan dengannya. Ia terjang tiap-tiap yg berkokok lebih nyaring darinya. Ia senantiasa menang. Hanya dlm beberapa detik lawannya akan tersungkur dgn leher koyak atau dada moyak.

Paruh, taji, sayap, & cakarnya seakan menyimpan belati tajam yg mampu merobek siapa saja, apa pun. Awalnya, pertandingan-pertarungan itu dilakukannya untuk menawan betina-betina supaya mau menampung bibit benihnya. Namun kemudian, pertandingan-pertarungan itu dilakukannya semata untuk menuntaskan dahaganya. Ia kecanduan menyaksikan darah. Ia merasa lezat tiap kali taji atau patuknya menancap di tubuh musuh. Pertarungan sudah menjadi candu baginya. Sebagaimana candu yang lain, ia merasa sakit tatkala tak ada yg dapat diserangnya. Semakin hari, makin meningkatlah jumlah jantan yg mesti dikaparkannya.

Kemudian, ia ingin jadi elang. Ia lihat rajawali itu. Elang yg berdada lebih tegap & lebih membusung dr dadanya. Elang yg berparuh serta bercakar lebih kuat & tajam dr paruh & cakarnya. Elang dgn sepasang sayap lebar yg sanggup menerbangkan pemiliknya di awang-awang, sementara sayapnya sendiri cuma bisa membantunya melompat dr planggrangan ke tanah. Ia ingin menjadi rajawali supaya segala unggas kian takut kepadanya.

Sudah lama ia memendam iri. Ia ingin menjadi yg paling perkasa, paling jemawa bagi segala ayam. Tapi, rajawali jauh lebih bersembada, bukan cuma dlm lingkaran unggas, namun pula reptil & ikan. Maka, lihatlah bagaimana induk ayam berkotek duka melepas salah satu piyiknya tercengkeram cakar & lesap dlm paruh rajawali. Lihatlah pula bagaimana ikan-ikan mempersembahkan sebagian kelompoknya untuk mengenyang-kenyangkan elang itu, reptil-reptil paling tidak, harus mengikhlaskan ekornya untuk santap siang sang rajawali. Adakah yg berani membantah rajawali? Bahkan, angin & hujan paling topan sekalipun tak sanggup menggoyahkan terbangnya.

  Pezikir Jembatan | Cerpen Ken Hanggara

Ia ingin menjadi elang. Ia mulai berdoa untuk itu. Berdoa supaya ketika terbangun esok hari ia telah berubah menjadi elang yg perkasa. Namun, doa tetaplah sekadar doa, sekadar pinta sarat harap yg lebih sering berujung kecewa daripada tercipta. Sudah begitu dr dahulu, dr zaman awal, dr zaman Nietszche belum menyampaikan bahwa dewa sudah mati. Orang-orang sangat tahu hal itu alasannya moyang manusia pun, Adam yg mulia, tak terkabul doanya agar diberi ketekunan untuk tak menjamah khuldi. Toh, Adam malah menelannya. Pun, Nuh, nahkoda paling cemerlang dlm bentang sejarah, yg berdoa agar anak istrinya selamat & menerima hidayah dr banjir mahabesar pula tak terkabul. Maka, apalah arti dr doa seekor ayam yg berimajinasi terlalu muluk? Ia terbangun pada parak pagi sebagai seekor ayam & akan senantiasa terbangun selaku ayam sebagaimana tatkala ia menetas dr cangkang telurnya. Selalu seperti itu.

Namun, ayam itu tak mengalah. Ia kecewa karena doa-doanya sia-sia. Tapi, ia tak putus asa. Kau tahu, berhari-hari kemudian ia tak beranjak dr pangkringan. Ia hilang selera makan & gairah bertarung yg biasanya menggebu-gebu. Di luaran, ayam-ayam lain merasa heran untuk kemudian dilanjutkan dgn gunjingan-gunjingan. Beberapa dr mereka percaya bahwa jantan itu sedang sakit. Yang lain menyangka ia telah mati. Sebagian yg lain menyangka ia tengah bertapa supaya semakin kuat & kuat tubuhnya. Namun, rekaan-rekaan kejadian itu sebatas gunjingan yg tiap hari bertambah tak terang.

Pada hari keempat, seekor betina yg diiringi tujuh piyiknya bercerita bahwa jantan itu telah muksa ke neraka selaku eksekusi atas kejahatannya selama ini. Lepas dr itu semua, walau tak ada yg dengan-cara langsung mengungkapkan, para ayam itu merasa lega & berharap bahwa jantan pembikin berantakan itu tak akan pernah kembali lagi, tak pernah keluar lagi dr pangkringannya.

  Makelar | Cerpen Sri Lima Ratna Ndari

Namun, sebagaimana doa jantan yg ingin jadi rajawali, doa-doa para ayam itu pula tak terkabul. Pada hari keenam, jantan itu keluar. Badannya kurus kurang makan & bulunya kusut. Namun, tatapan matanya jauh lebih tajam dr lazimnya , teramat tajam. Ia terlihat menakutkan dgn penampilan mirip itu. Ayam-ayam lain yg berpapasan jalan dengannya menyingkir sambil berkotek dgn nada sarat ketakutan. Ia berjalan terus menuju lapangan paling luas. Sesampai di sana, ia berkokok dgn bunyi paling keras yg pernah dikeluarkannya, mengundang ayam-ayam lain untuk secepatnya berkumpul.

Tak lama, lapangan telah sarat dgn ayam. Ia berkata, “Tuhan telah menemuiku selama enam hari berturut-turut. Itulah sebabnya gue tak pernah turun planggrangan. Tuhan memintaku menjadi elang. Tuhan telah memberiku pengetahuan perihal bagaimana menjadi rajawali. Mulai kini, semua mesti menganggapku elang, memanggilku elang.”

Tiba-tiba situasi gaduh. Ayam-ayam yg jumlahnya ratusan itu berkotek tak terang. Salah seekor dr mereka tiba-tiba berteriak, “Bagaimana kami bisa percaya dgn apa yg kamu katakan jika tampilan fisikmu masih berbentukayam?”

Jantan itu merasa diremehkan dgn pertanyaan bernada mengolok-olok mirip itu. “Yang tak percaya akan mati alasannya mengingkari perintah Tuhan yg diwahyukan pribadi kepadaku,” jawabnya.

Suasana kembali gaduh. Kali ini diselingi teriakan-teriakan, “Kami percaya. Kami percaya.”

Menjelang sore, kerumunan bubar. Semua ayam menyimpan pikirannya sendiri-sendiri. Pikiran-pikiran yg tak berani mereka keluarkan. Mereka mengira jantan itu sudah abnormal. Barangkali ia sudah mengalami hal menakutkan selama enam hari yg mengganggu syaraf-syarafnya. Namun, sekali lagi, tak ada yg berani mengatakannya. Mereka lebih memilih membisu saja daripada berkata hal yg niscaya berujung ajal di ujung patuk atau taji jantan itu.

  Cerpen: Memimpikan Yang Kuasa

Tak ada satu pun yg mengira bahwa pertemuan hari itu ialah perjumpaan terakhir mereka dgn ayam jantan yg mengaku elang itu. Sekali lagi, ia menghilang. Berbulan-bulan. Mungkin, memang tak akan timbul lagi.

Ah, Tuhan memang tak seperti yg kita kira. Ia senantiasa menjawab doa-doa dgn yg tak terkira. Maka, demikianlah Tuhan menjawab doa-doa para ayam semoga jantan itu tak ada lagi. Beberapa ayam kemudian memberi kesaksian bahwa mereka menyaksikan dgn mata kepala sendiri seekor elang menukik dr langit, menghunjamkan cakar-cakarnya ke tubuh jantan itu sesaat sesudah pertemuan bubar & pelataran telah sepi. Semua ayam setuju meyakini kebenaran berita itu.

*****

Datanglah ke kota ini. Singgahlah di warung kopi atau nimbrunglah di kalangan ibu yg tengah bergunjing sambil bergantian mencari kutu. Kau akan mendengar mereka menceritakan kisah ini dgn segala variasinya. Kau boleh meminta model mana yg ingin kau dengar. Dengan senang hati, mereka akan berkisah panjang lebar.

Inilah beberapa versi cerita itu yg sempat kudengar: pencuri yg mengaku pejabat negeri, penjahat & pembunuh yg mengaku pemuka agama, atau pembual yg mengaku penyair. Masih banyak model-model lain turunan dr kisah ayam jantan itu yg tak mungkin kutulis dlm cerita ini lantaran akan terlalu panjang.

Kau hanya perlu datang ke kota ini. Kau akan tahu semuanya. Sungguh. (*)