Kisah Kegembiraan Penghabisan | Cerpen Nicko Fernando

Malam itu, gue & adik-adikku berkumpul di samping lahan kosong, yg tak usang lagi bakal ditanami suatu gedung. Seperti gedung-gedung lain di kota kami. Seperti biasa, usai menghabiskan pagi hingga petang untuk melakukan pekerjaan , gue & adik-adikku menghabiskan malam untuk saling bercerita.

Beberapa waktu lalu, tempatku & adik-adik berkumpul masih sarat pepohonan. Namun kini pohon-pohon itu tumbang, digergaji, dibakar & dibawa oleh orang-orang entah ke mana. Cuma tertinggal suatu pohon, yg besok pun bakal tumbang pula. Di bawah pohon itulah, gue & adik-adikku berkumpul.

Ucup, Ujang, & Budi sudah tiba. Kedua adikku yg lain belum tiba. Mungkin mereka masih di perjalanan.

“Ucup, bagaimana koranmu? Semua terjual?” tanyaku.

“Seperti kaulihat, Kak. Aku tak menjinjing apa-apa. Semua habis terjual.”

“Syukurlah,” batinku. “Ujang, Budi. Koran kalian pula habis terjual?”

“Ya, Kak,” jawab Ujang.

Budi hanya membisu.

“Yei, cerita belum dimulai bukan? Aku belum ketinggalan bukan?” ucap Maman, lantang, mengagetkan saya, Ucup, & Ujang.

Aku tersenyum menyaksikan Maman & Ucok yg gres tiba. Kini, semua adikku sudah berkumpul.

Kulihat Maman & Ucok masih menjinjing koran. Koran mereka tak terjual.

“Maman, Ucok, ke mana saja kalian? Tak mirip biasa, malam ini kalian telat datang.”

“Keliling kota, Kak. Menghabiskan koran.”

“Ya, Kak. Seharian ini koran kami tak laku,” timpal Ucok.

“Baiklah, biar Kakak yg menjual koran kalian besok,” ucapku. “Mari kita mulai cerita. Malam ini, Kakak hendak bercerita wacana Abu Nawas. Adakah yg sudah tahu?”

“Aku, Kak,” sahut Maman. “Aku pernah mendengar kisah Abu Nawas & seekor monyet.”

“Ya, kemudian?”

“Lalu gue lupa ceritanya, Kak.”

“Dasar!” ucap Ucup.

“Hu…!” sahut Ujang & Ucok.

Maman tersenyum meringis sembari menggaruk kepala.

“Baiklah, Kakak mulai kisah,” ucapku.

Abu Nawas seorang sufi & penyair. Aku ragu memberikan kata “sufi” & “penyair” pada adik-adikku. Mereka masih kecil & kukira belum perlu tahu makna kata-kata itu. Lagipula, apalah arti sufi & penyair bagi adik-adikku.

Mungkin mereka pula belum perlu tahu sejarah Abu Nawas yg sering berpura-pura gila. Abu Nawas berpolah begitu biar raja tak menentukan ia menjadi hakim. Abu Nawas khawatir kalau mesti menjadi hakim, sebab merasa belum mampu bersikap adil.

  Sabda Tuhan di Kepala Orang Gila | Cerpen Ken Hanggara

“Kisah Abu Nawas & seekor monyet,” ucapku mengawali cerita. “Kala itu suatu keramaian mengejutkan Abu Nawas yg sedang jalan-jalan. Kata orang-orang, dlm hiruk pikuk itu ada pertunjukan monyet aneh. Monyet itu memahami percakapan orang-orang,” ucapku sembari memandang adik-adikku.

Mereka membisu. Mungkin sedang menyimak gue atau malah melamunkan hal lain.

*****

“Siapa pun yg mampu menciptakan monyetku mengangguk, akan menerima hadiah uang dariku,” begitulah ucap tuan pemilik monyet.

Abu Nawas datang & menantang monyet itu. Ya, Abu Nawas sudah menanti-nunggu ketika itu. Sejak tadi tak ada seorang pun yg bisa menciptakan monyet itu mengangguk.

“Tahukah kamu-sekalian siapa saya?” Abu Nawas bertanya

Si monyet menggelengkan kepala.

“Apakah kamu-sekalian takut kepadaku?” Kembali Abu Nawas bertanya.

Si monyet tetap menggelengkan kepala.

“Apakah kau-sekalian takut pada tuanmu?”

Si monyet membisu.

“Bila kau-sekalian hanya membisu, kuadukan kau-sekalian pada tuanmu,” lanjut Abu Nawas mengancam si monyet.

Akhirnya monyet itu mengangguk. Dan, Abu Nawas pun mendapat hadiah duit dr tuan pemilik monyet.

Tuan itu malu sekaligus jengkel. Lalu ia pun melatih monyetnya untuk tak menggelengkan kepala. Tuan itu bahkan mengancam si monyet bila menggelengkan kepala, apalagi pada Abu Nawas.

Keesokan harinya, Abu Nawas tiba kembali ke pentasmonyet. Segera ia melempar pertanyaan pada monyet itu. “Tahukah kamu-sekalian siapa saya?”

Si monyet mengangguk.

“Apakah kau-sekalian tak takut kepadaku?”

Si monyet mengangguk.

“Apakah kau-sekalian tak takut pada tuanmu?”

Si monyet tetap mengangguk. Si monyet ternyata lebih takut menghadapi ancaman dr tuannya dibandingkan dengan menjawab pertanyaan Abu Nawas.

Abu Nawas pun mengeluarkan bungkusan kecil berisi balsam panas.

“Tahukah kamu-sekalian guna balsam ini?”

Si monyet mengangguk.

“Baiklah. Kugosok badanmu dgn balsam ini ya?”

Si monyet tetap mengangguk. Abu Nawas pun mengoleskan balsam ke tubuh si monyet. Monyet itu kepanasan & ketakutan. Namun tanpa menghiraukan si monyet, Abu Nawas membuka bungkusan balsam lebih besar.

“Maukah kau-sekalian bila semua balsam ini kuoleskan ke badanmu?”

Si monyet ketakutan. Ia berlangsung mundur & terpaksa menggelengkan kepala pada Abu Nawas.

*****

Begitulah, aku, Ucup, & Ujang tertawa. Maman tertawa pula , bahkan paling keras. Ucok cuma tersenyum, sedangkan Budi cuma diam.

Tawaku, Ucup, & Ujang mereda. Namun Maman masih tertawa.

“Cerita lagi, Kak!” ucap Maman sehabis berhenti tertawa.

  Unsur Ekstrinsik Dalam Cerpen

“Baiklah,” ucapku.

Aku melanjutkan cerita. Kulihat Ucup, Ujang, Maman, & Ucok terus tersenyum mendengar ceritaku. Sesekali Maman menyela, sembari mereka-reka lanjutan ceritaku. Rekaan Maman selalu salah & ia selalu kena ujaran celetukan dr adik-adikku yg lain.

Gelak tawa, ekspresi menguap, & pukulan adik-adikku pada Maman meramaikan malam itu. Suara bus pinggir jalan, klakson, & desingan bunyi mesin motor memaksaku bercakap lebih lantang supaya suaraku terdengar oleh adik-adikku.

Malam itu, bintang-bintang mengedipkan sinar. Menghambur di langit mendampingi bulan agar tak bersinar sendirian. Angin malam yg berembus menggugurkan daun-daun kering. Angin malam berembus kembali. Kali ini lebih kencang. Aku & adik-adikku menggigil diterpa angin malam.

Tak jauh di belakangku, kusaksikan gemerlap cahaya merah, ungu, & putih lampu-lampu gedung. Di samping kiriku ada pula lampu di puncak tiang pinggir jalan memancarkan cahaya kuning.

Pikiranku melayang ke masa lalu. Dahulu, daerah itu tak segersang sekarang. Ada pohon & sawah. Warga sering berkumpul pada waktu malam untuk saling sapa & mengajukan pertanyaan kabar.

Sore hari halaman masjid ramai oleh bawah umur kecil yg bermain bola. Selagi mereka bermain, ibu & kakak wanita mereka menyapu halaman rumah. Di jalanan desa, para bapak & kakak laki-laki mereka berlalu sembari menjinjing ketela, dedaunan, & bawaan lain dr sawah atau ladang.

Lalu masa itu tiba. Orang-orang asing datang & memaksa kami pindah ke tempat lain, entah ke mana. Tentu saja siapa saja menolak. Aku pula menolak pindah. Namun kami tak berdaya. Mereka mengatasnamakan hukum, undang-undang, kesejahteraan, bahkan mengancam.

Kami kalah. Tempat kami menjadi proyek ekspansi wilayah kota & pembangunan jalan.

Aku mendapatkan Ucup, Ujang, Maman, & Ucok dikala bersembunyi dr kejaran orang-orang pasar. Mereka sekawanan pencuri. Budi kutemukan berdiam diri berhari-hari di lahan penggusuran. Aku & mereka sama. Sama-sama telantar & tak tahu mesti berbuat apa.

Malam bertambah malam. Aku & adik-adikku larut dlm cerita.

“Sudah, Kakak kekurangan cerita Abu Nawas. Sekarang Kakak ceritakan kisah lain.”

“Apa, Kak?”

“Dengarkan saja!” ucapku membalas Maman. “Suatu hari, seorang pemburu mencari macan di hutan. Setelah usang berkeliling, pemburu akhirnya menemukan seekor harimau. Segera pemburu itu mengambil ancang-ancang & bersiap menembak.”

“Menembak pakai apa, Kak?”

  Perihal Orang Miskin yang Bahagia | Cerpen Agus Noor

“Senapan, Man.”

“Senapan itu apa, Kak?”

“Senapan itu semacam alat tembak yg dipakai tentara, Man.”

“Oh, ya ya ya. Aku pernah melihat di tipi pos ronda,” balas Maman.

“Ya, begitulah, Man,” sahutku.

“Kakak teruskan kisah!”

“Ya, Kak,” sahut Ucup, Ujang, Maman, & Ucok bersama-sama.

“Setelah berkemas-kemas, pemburu itu melepas tembakan,” lanjutku. “Dor!” capku lantang.

Ucup, Ujang, Maman, & Ucok tersentak. Kaget.

“Tembakan pemburu itu meleset. Harimau itu kaget, kemudian bangun & mengejar-ngejar sang pemburu. Pemburu berlari kencang hingga akibatnya hingga di ujung jurang. Pemburu yg ketakutan & panik segera berdoa pada Tuhan.”

“Kenapa diam, Kak?” sela Maman melihat gue menghentikan cerita.

“Kau tahu apa yg terjadi pada pemburu itu ketika berdoa, Man?”

“Harimau memakannya.”

“Tidak. Harimau tak memangsanya.”

“Kok bisa?”

“Ya, saat pemburu itu membuka mata, ternyata si macan sedang menadahkan kedua kaki depan. Pemburu heran, kemudian mengajukan pertanyaan pada macan. Ternyata harimau itu sedang berdoa sebelum makan.”

Maman tertawa pingkal-pingkal. Begitu pula Ucup, Ujang, & Ucok.

“Lagi, Kak!” ujar Maman yg masih tertawa.

“Baiklah. Ini kisah terakhir malam ini,” balasku.

*****

Suatu tatkala tukang becak sedang melintasi jalan. Di pojok jalan itu ada plang bertuliskan “Becak Dilarang Masuk”. Tukang becak mengabaikan perayaan itu. Seorang polisi tahu & menyemprit.

“Apa kamu-sekalian tak melihat plang itu? Becak dihentikan masuk!” Polisi itu membentak si tukang becak.

Tukang becak itu menjawab. “Oh, saya lihat, Pak. Tapi gambar becak di plang itu kosong, padahal becakku berpenumpang. Kaprikornus boleh masuk.”

Polisi kembali membentak, “Bodoh! Apa ananda tak bisa membaca? Di bawah gambar itu ada goresan pena becak tidak boleh masuk.”

“Tidak, Pak. Saya tak bisa membaca. Kalau bisa membaca, saya bakal jadi polisi seperti sampean. Tidak jadi tukang becak.”

*****

Ucup, Ujang, Maman, & Ucok tertawa. Budi cuma tersenyum mendengar ceritaku.

Gelak tawa menutup malam. Tak lama usai mendengar ceritaku, Ucup, Ujang, Maman, & Ucok tertidur. Mereka terlelap.

Budi beranjak dr duduknya, kemudian mendekatiku.

“Kak, besok kita tinggal di mana?”

“Tidurlah, Budi! Besok kita niscaya menerima daerah tidur gres,” ucapku menenangkan Budi.

Nicko Fernando, lahir di Grobogan, 20 Agustus 1995, bergiat di Rumah Buku Simpul Semarang (RBSS)