dongeng sejarah terdapat seorang wanita yang protes pada Nabi Muhammad SAW, protes itu berkenaan terhadap aturan dzihar (aturan talak yang pada dikala itu), perempuan itu bernama Khaulah binti Tsa’labah. Kisah ini sudah banyak diceritakan oleh para ulama tafsir dalam banyak sekali kitab. Di antaranya yaitu oleh Syekh Nawawi Banten dalam kitab Al-Munȋr li Ma’ȃlimit Tanzȋl. Kisah ini diambil dari artikel NU Online dengan Judul Khaulah binti Tsa’labah, Perempuan yang Memprotes Nabi dan Dibela Allah
Pada suatu hari, Aus bin As-Shamit yang merupakan suami dari Khaulah binti Tsa’labah, melihat istrinya yang sedang melaksanakan shalat di dalam rumahnya. Selama istri sedang shalat, Aus terus menerus memandanginya dari arah belakang. Sang suami sungguh terkesan dengan keindahan tubuh istrinya. Terlebih ketika Khaulah sedang bersujud, bagian belakang tubuhnya membuat Aus menginginkan untuk menggauli istrinya.
Ketika si istri telah final shalat, Aus mengajaknya untuk melaksanakan kekerabatan suami istri, namun Khaulah tidak mengikuti keinginannya. Atas penolakan ini, kemudian Aus murka besar hingga jadinya keluar kalimat yang mengakibatkan Khaulah tertalak. Kepadanya dengan emosi Aus menyampaikan, “Bagiku engkau laksana punggung ibuku!” (Ucapan inn dalam tradisi penduduk Arab waktu itu, yaitu menyamakan istri dengan punggung ibu suami yaitu cara suami untuk menceraikan istrinya).
Syekh Nawawi Al Bantany dalam hal ihwal sikap seks Aus mempunyai catatan tersendiri yang perlu diketahui. Disebutkan bahwa Aus berminat kepada wanita dan mengharapkan menggaulinya dengan cara yang tidak sebaiknya perempuan digauli. Karenanya Khaulah menolak permintaannya itu. Atas penolakan ini Aus murka dan mengatakan, “Bila kau keluar dari rumah sebelum aku melakukannya denganmu, maka bagiku engkau mirip punggung ibuku.”
Setelah melontarkan kalimat tersebut Aus menyesalinya. Ia paham resiko dan dampat dari pengucapan kalimat seperti itu sama saja beliau menceraikan istrinya. Pada dikala itu, di periode Jahiliyah, belum ada aturan yang rinci ihwal dhihar. Kalimat dhihar seperti itu masih dianggap dan dihukumi sebagai talak.
Khaulah tidak terima dengan ucapan cerai dicerai dari suaminya. Maka serta merta beliau mendatangi Rasulullah SAW. Kepada beliau ia sampaikan, “Aus menikahiku saat saya masih gadis yang digemari banyak laki-laki. Kini sehabis saya tua dan memiliki banyak anak, ia menyamakanku dengan ibunya (menceraikan). Aku mempunyai bawah umur yang masih kecil. Kalau mereka aku serahkan terhadap Aus, mereka akan tersia-sia. Tapi kalau mereka saya yang mengurus, mereka akan kelaparan.”
Dengan aduan itu Khaulah berharap Rasulullah tidak menghukumi talak atas relasi perkawinannya dengan Aus. Namun Rasulullah tetap menghukumi talak atas ucapan Aus tersebut. Khaulah masih belum mau menerima. Ia bersikeras, “Rasul, demi Allah beliau tidak menyampaikan kalimat talak. Dia itu bapaknya anak-anakku. Dia itu orang yang paling aku cintai.”
Namun Rasulullah tetap bersikeras menghukumi talak atas Khaulah dan Aus. “Engkau haram baginya,” kata beliau. Tapi Khaulah tetap tak inginterima. Terjadilah perdebatan di antara keduanya. Khaulah bersikeras untuk tidak mau dihukumi talak, sementara Rasulullah tetap dengan pendiriannya.
Sebagaimana dikenali, bahwa setiap kali ada permasalah yang disampaikan oleh para teman terhadap Rasulullah, maka ia tidak akan menghukumi kecuali setelah adanya wahyu dari Allah. Pun demikian dengan perkara Khaulah ini. Karena tidak ada wahyu yang turun menyangkut perkara tersebut, maka ia tetap menghukumi talak dan tidak menerima ajakan Khaulah untuk menetapkan aturan lainnya. Melihat kenyataan bahwa keinginannya tak akan dipenuhi oleh Rasulullah, Khaulah tak berputus asa. Kepada Rasul ia katakan, “Baiklah, akan aku adukan masalah ini kepada Allah!”
Maka kemudian Khaulah menengadahkan kepalanya ke arah langit. Dengan bunyi lantang beliau berseru,
“Ya Allah, saya mengadu kepada-Mu. Turunkanlah solusi bagi masalahku ini melalui verbal Nabi-Mu!”
Ia terus mengadukan masalahnya terhadap Allah. Di saat seperti itulah wajah Rasulullah terlihat berubah. Kepada beliau turun ayat yang menghukumi bahwa problem Khaulah dan suaminya itu yaitu masalah dhihar, bukan talak. Seorang suami yang men-dhihar istrinya dan berhasrat untuk mencabut ucapannya itu, maka ia tidak boleh menggauli istrinya kecuali setelah memerdekakan seorang budak. Bila tidak mampu memerdekakan budak, maka berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Dan jika tidak mampu, maka memberi makan kepada enam puluh orang miskin.
Ayat dimaksud yang turun atas permasalah Khaulah ini ialah ayat 1 – 4 dari surat Al-Mujadilah. Allah berfirman:
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ (١) الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (٢) وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (٣) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٤)
Artinya: “Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan somasi kepadamu (Muhammad) ihwal suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. Orang-orang di antara kau yang menzihar istrinya, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibunya. Ibu-ibu mereka hanyalah perempuan yang melahirkannya. Dan sebenarnya mereka sungguh-sungguh sudah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan bergotong-royong Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun. Dan mereka yang menzihar istrinya, lalu mempesona kembali apa yang sudah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kau kerjakan. Maka barangsiapa tidak dapat (memerdekakan hamba sahaya), maka (beliau wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Tetapi barangsiapa tidak bisa, maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kau beriman terhadap Allah dan Rasul-Nya. Itulah aturan-aturan Allah, dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat azab yang sangat pedih.”
Demikianlah Khaulah binti Tsa’labah. Perempuan dari kalangan sahabat yang tidak saja mengadukan permasalahannya terhadap Rasul namun juga kepada Allah. Sahabat wanita yang aduannya didengar dan dikabulkan oleh Allah, dan risikonya terbentuklah aturan dhihar dalam syari’at Islam.