close

Kepergian Bapak | Cerpen Anggi Nugraha

Aku sangat tak mengerti apa permulaan awalnya bapak tiba-tiba saja menjadi pemurung. Usianya nyaris menginjak 60 tahun kala itu. Tak lama lagi ia pensiun dr tugasnya sebagai guru pegawai negeri sipil. Masa-masa itu merupakan waktu tatkala bapak mirip kehilangan separuh jiwanya. Padahal, ibu baik-baik saja. Atau, layaknya ia tengah ditinggal pergi anak-anak tercintanya. Tapi, gue & pula kedua adikku ada di rumah. Kami sehat-sehat saja.

Setiap hari, sembari menanti masa pensiunnya, bapak senantiasa terlihat merenung. Di beranda rumah, tatkala pagi tiba, ia senantiasa berdiam diri. Tatapannya kosong. Tak usang kemudian, ia berangkat ke sekolah. Sekembalinya mengajar, tanpa sepatah kata pun ia ke ruang makan untuk mengisi perut lantas masuk ke kamarnya.

Aku pernah mengajukan pertanyaan pada ibu kenapa bapak jadi seperti itu. Ibu menjawab, “Ndak tahu pula kenapa bapakmu mirip itu. Setiap ditanya, senantiasa saja membisu.”

Apa mungkin bapak merasa duka karena dalam waktu dekat akan pensiun? tanyaku pada ibu. Tapi, berdasarkan ibu, tak ada hubungan diamnya bapak dgn masa pensiun yg dalam waktu dekat tiba.

“Seharusnya, orang-orang senang bila pensiun,” ucapku. “Lihat itu Pak Syam, setelah pensiun, ia malah semakin bersemangat. Setiap pagi ia berolahraga, pula berkebun. Pokoknya hidupnya terasa betul-betul dirasakan sekali.”

Ibu pun hanya bisa membisu manakala lagi & lagi gue bicara perihal keganjilan bapak padanya. Lambat laun, gue merasa mirip ada sesuatu yg tengah disembunyikan ibu padaku.

Tanpa sepengetahuan ibu, gue mengunjungi seorang teman bapak. Pada Pak Kasdiman, gue ceritakan kisah diamnya bapak. “Mungkin ada impian darinya yg belum tercapai, Le?” tanya Pak Kasdiman padaku. Seketika, gue pun teringat insiden beberapa ahad sebelumnya, pada ketika Bapak masih tampak normal mirip umumnya, ia sempat cekcok dgn ibu & terlontarlah kata-kata mirip ini:

“Hampir empat puluh tahun lamanya gue di sini, mengabdi menjadi guru. Dari zaman gajiku sebulan cuman enam puluh ribu. Sudah waktunya kita jual rumah ini & menetap di Jawa. Aku sudah capek hidup di sini!” ucap bapak pada ibu.

  Bendera | Cerpen Mashdar Zainal

Mungkin itulah alasannya kenapa bapak membisu seribu bahasa. Semua bukan tanpa argumentasi. Berat rasanya bila mesti menjual satu-satunya harta yg kami punya, yaitu sebuah rumah, yg bahwasanya kami mampu selaku warisan kakek dr pihak ibu. Itulah kenapa ibu tak berkenan menjualnya. Tapi, lagi-lagi, sepertinya bapak memang teramat ingin meninggalkan kampung kelahiranku ini & menghabiskan masa tuanya di tanah kelahirannya.

Demikianlah bapak menjalani hari-harinya dgn kebisuan. Sampai suatu pagi, seekor kucing betina berwarna kecokelatan memasuki pekarangan rumah kami. Seketika kucing itu pun menarik perhatian Bapak. Diraihnya kucing itu & dielus-elus.

Sedari hari itu, kucing itulah yg menjadi sahabat bapak setiap waktu. Akhirnya, sesudah sekian lama, bapak pun mau bicara lagi. Sayangnya, bukan pada kami, melainkan pada kucingnya itu.

Hari demi hari berubah. Tak lama kucing betina yg ia beri nama Mince itu hamil. Mince melahirkan seekor kucing jantan berwarna belang. Ada motif unik yg seolah membelah wajahnya menjadi dua kepingan, hitam & putih. Bapak menamainya Gorang. Itu tak lain karena kucing jantan yg menghamili Mince disebut-sebut para tetangga sebagai Garong.

Garong adalah kucing dgn perawakan gempal. Otot-ototnya terlihat terperinci. Ia jenis kucing petarung. Tapi, bekerjsama para tetangga lebih sering mendapatinya memangsa bawah umur ayam mereka. Itulah alasannya ia diundang Garong.

Setelah kedatangan Gorang, hidup bapak makin berwarna. Tapi lagi-lagi, ia lebih terlihat punya dunia baru sendiri. Bapak cuma sibuk dgn kucing-kucingnya itu. Ia memandikan mereka dgn rutin sepekan sekali, menggunakan air dgn adonan kembang-kembang biar kucing-kucing tersebut wangi. Setiap pagi pula, bapak pergi ke pasar untuk membeli daging ayam atau ikan pindang selaku menu kuliner Mince & Garong.

Seringkali gue mendapati Ibu mengomel karenanya. “Gimana sih, lha wong tuannya saja ndak makan ikan, ini kucing-kucing setiap hari malah diberi makan daging!”

Tapi, bapak memang tak lagi benar-benar mendengarkan ibu. Sungguh, usang kelamaan bapak seperti orang gila.

“Kenapa jadi begitu ya, Bu?” tanyaku lagi pada ibu di suatu sore, mendapati tingkah Bapak yg kian menjadi-jadi. Mata ibu pun berkaca-beling. Tak lama ia mengakui bahwa memang dulu, mereka pernah berjanji untuk menghabiskan masa pensiun bapak di Pulau Jawa. Tapi lagi-lagi, dikarenakan satu & lain hal, tak mungkin Ibu menjual rumah kami ini.

  Musuh Bebuyutan | Cerpen Agus Salim

“Bagaimana nanti? Apa kata paman-pamanmu, kalau tahu kita akan memasarkan rumah ini? Bukankah wasiat dr kakekmu dulu sebelum meninggal ia melarang untuk menjual rumah ini? Itu yg senantiasa saja menjadi anggapan ibu, bukannya ibu tak nurut bapakmu,” pungkasnya.

Aku pun tercenung. Hari ke hari gue berpikir bagaimana caranya semoga semua bisa kembali normal. Namun, pada suatu pagi sehabis bulan ke bulan berubah, sekonyong-konyong, gue dikejutkan oleh panggilan ibu. Ia tengah mengintip ke dlm kamarnya & bapak melalui celah pintu yg tak terkunci. “Itu, lihat kelakuan bapakmu! Makin hari makin stres saja!” bisik ibu.

Aku pun terkejut melihat bapak tengah menguras p*uting sus* Mince. Aku tak habis pikir dgn apa yg tengah dilakukannya. Bapak sangat sudah tak wajar , pikirku. Aku pun eksklusif masuk kamar & menegurnya. “Ada apa Pak dgn kucing itu?”

Seperti biasa, bapak tak terlihat kaget atau apapun juga. Ia cuma menatapku. Dari gerak-geriknya, gue mengerti. Seminggu sebelumnya, Mince gres saja melahirkan lagi. Akan namun, karena anaknya mati, p*ting sus*nya membengkak. Karenanyalah Bapak menjajal untuk mengisapnya sendiri. Berharap air susunya keluar, & positif-kasatmata usahanya pun tidak berguna. Sungguh, sebuah usaha yg konyol.

Di lain waktu, suatu malam, gue pernah membawa bapak berobat ke dokter. Tatkala itu ia demam tinggi. Menggunakan motor, gue mengajaknya serta, & ia pun mau saja, meski tatkala ditanya dokter ihwal penyakitnya, akulah yg menjelaskan. Bapak sungguh-sungguh sudah bisu. Puasa bicara.

Setelahnya, kami pulang setengah mengebut melewati tanah pekuburan yg tak begitu jauh dr rumah. Jalan itu gelap, tak ada penerangan. Di kanan kiri jalan tumbuh semak-semak, pula ilalang. Tiba-tiba, gue dikejutkan oleh seekor kucing yg tengah melintas. Hampir saja gue menabrak kucing tersebut yg terlihat eksklusif kabur ke semak-semak. Masih separuh kaget, secara tiba-tiba Bapak berteriak kencang memanggil kucing tersebut. “Goraaaaaaang!!”

  Konferensi Para Tikus | Cerpen Aljas Sahni H

Aku pun menghentikan laju motor. Bapak kemudian turun & kembali meneriaki kucing tersebut seraya mencarinya di dekat semak-semak. Tak usang, dr balik ilalang, kucing itu keluar seraya mengeong. Ternyata benar, kucing itu adalah si Gorang, kucing jantan kesayangan Bapak. Segera ia naik ke pangkuan bapak. Sungguh, betapa momen yg tak terlupakan.

Namun, masa-masa itu sudah berlalu. Sampai sekarang, bapak tetap menutup diri, & cuma sibuk dgn kucing-kucingnya yg bertambah banyak saja. Manakala kesudahannya datang masa pensiun, Bapak sudah punya dua puluh dua kucing. Rumah kami lebih menyerupai seperti peternakan kucing daripada rumah manusia. Itulah yg mengakibatkan Ibu alhasil tak tahan & dgn berat hati menjual rumah kami tersebut meski harus berselisih dulu dgn saudara-saudaranya. Kami pun kemudian pindah ke Purworejo.

Akan tetapi, alih-alih bapak jadi wajar kembali setelah di Purworejo, Bapak malah makin membisu.

“Bagaimana mungkin kita mesti menjinjing serta kucing-kucing itu kemari?” tanya Ibu padaku. Aku pun turut kehilangan logika.

Hari demi hari kehidupan kami semakin tak serasi. Bapak makin diam karena memikirkan kucing-kucingnya di rumah lama, sementara Ibu senantiasa marah-murka. Mengomel-ngomel.

Pada suatu pagi, manakala bapak terlihat tengah berdiam diri di serambi rumah, gue mendapatinya dgn perasaan kesal. Kuperhatikan ia dr balik jendela beling. Dari arah seberang, gue menyaksikan sesuatu bergoyang-goyang dr balik pepohonan. Seekor kucing berwarna belang tampak muncul dr baliknya. Sontak, Bapak bangkit. Dengan girang ia meneriaki kucing tersebut.

“Goraaaaang! Goraaaaang!” demikian yg kudengar. Tapi, kucing itu cuma melengos, seolah tak mendengar teriakan bapak. Ia justru berlari menjauh dr halaman rumah kami.

Kulihat wajah bapak yg girang sambil terus saja mengundang-manggil kucing tersebut. Ia lantas berlari memburu kucing yg jadi panik itu ke jalanan raya, kemudian masuk ke arah hutan, seraya terus berseru, “Goraaaaang! Goraaaaang!” Demikian berulang-ulang. Semakin jauh, bunyi bapak kian tak terdengar, kemudian menghilang, tak pernah lagi kembali. (*)