Kebohongan Ustad Baihaqi | Cerpen Hasan Al Banna


Oleh: Hasan Al Banna 


Setiba di rumah, air muka Baihaqi keruh. Apa pasal? Apalagi, jika bukan alasannya adalah aduan istrinya tentang kehadiran tamu lepas asar tadi. Lama Baihaqi terpaku. ia mengais janggutnya dgn jemari, seolah hendak melacak jawaban. Namun, ia tetap tak kuasa membebaskan diri dr sandera pertanyaan: kenapa Ujang Pelor bertamu ke rumahnya?


Ujang Pelor! Sejak kanak tumbuh di jalanan. Keluar masuk penjara, makanannya. Sebutir peluru pernah menembus rahangnya, namun nyawa serep menyelamatkannya. Riwayat luka tembak itu yg mengantarnya dijuluki Ujang Pelor, hingga jadinya dinobatkan selaku preman yg ditakuti sekaligus disegani.


Selang beberapa masa, Ujang Pelor berubah menjadi The Godfather yg diketahui selaku bandar judi togel—toto gelap—di kota itu. Ehem, sudahlah, tak usah digunjingkan kenapa pisau hukum, pula palu fatwa, tak pernah mempan menyetop bisnisnya. Hampir tak ada yg bernyali merecoki Ujang Pelor. Pun Baihaqi, serupa pemuka agama lainnya, memilih tak berurusan dgn Ujang Pelor. Tapi, apa urusan Ujang Pelor mencari Baihaqi?


Jalan asumsi Baihaqi buntu. Kumandang azan Magrib tak mengguitnya untuk bergegas bersuci, hingga tidak mungkin menunaikan sembahyang jamaah di masjid kompleks yg tak jauh dr kediamannya.

“Magrib dulu Abi,” kata istrinya, Salmah, yg sudah bermukena, “Tadi Ujang Pelor berpesan, bakda Isya datang lagi.”

“Mmh….” Baihaqi yg diundang abi oleh istrinya kehilangan kegesitan untuk beribadah.

“Abi .…”

“Ya, Umi,” Baihaqi tersentak.

“Ayo jamaah!” desak Salmah. Baihaqi berusaha menawar kegalauan dgn tersenyum. Namun, kekhusyukan ibadahnya terus ditohok kegalauan.

*****


“Abang harap Adinda mau,” derak suara Ujang Pelor seperti wujud intimidasi. Baihaqi menarik napas, hati-hati.

“Berapa pun Adinda minta, mudah.”

“Abang kok pilih saya?”

“Bah, itulah. Ustad Tajuddin tak mampu. Ustad Bambang juga. Lalu, ustad…, mmh .…” Ujang Pelor usang terhenti, “Hah, ustad yg dosen itu…. Alah, siapa pula namanya itu.…”

“Ustad Idrus,” salip Baihaqi.

“Ha, iya! Tapi, sibuk ia katanya.”

“Mmh.…” Baihaqi mengangguk-angguk. Ujang Pelor menyalakan rokok. Asapnya menggebu-gebu.

“Jadi, bisa?” cecar Ujang Pelor seusai mulutnya mengepulkan asap.

“Diminum dahulu tehnya, Bang,” Baihaqi tengah mencari cara menampik Ujang Pelor. Seturut itu, ia pula sedang kerepotan memburu argumentasi kenapa Ujang Pelor berubah drastis. Memang, telah lama desas-desus beredar, katanya Ujang Pelor tak mengurusi bisnis judi lagi. Katanya lagi, Ujang Pelor kini mengelola restoran. Kabar lain berembus, ia sibuk mengurus lahan sawit. Namun, Baihaqi tak ingin ambil sakit kepala. Yang penting, bagaimana sedapat mungkin ia tak memiliki masalah dgn Ujang Pelor.

“Abang mau berubah, Adinda. Maklum, telah kepala lima. Gini-gini takut pula Abang masuk neraka, ah!” Ujang Pelor tertawa. Sementara, lawan bicaranya makin tak tenteram.

  Kampung Pelarian | Cerpen Aris Kurniawan

“Kasih gue waktu satu-dua hari untuk cari waktu yg pas, Bang.”

“Boleh, tetapi jangan usang-lama, Adinda. Ya, tak bisa tiga-empat kali sepekan, dua kali seminggu cocoklah itu, heh!” ujar Ujang Pelor mantap, bagai telah mendapat kata setuju.

Ujang Pelor pamit, tetapi tak serta-merta merenggangkan beban asumsi Baihaqi. Jujur, selain mewakafkan diri dlm ibadah, ia butuh dana menyambut kelahiran anak keduanya. Belum lagi anak sulungnya, Syifa, segera masuk Taman Kanak-kanak. Tawaran Ujang Pelor bisa jadi solusi. Tapi, … ah, ia terjebak diskusi alot dgn diri sendiri, pula dgn istrinya.

Sebagai ustad muda, Baihaqi merasa perlu mengutip rekomendasi. ia jumpai sejumlah sejawat & para tuan guru. Jawaban yg ia terima seragam: demi kebaikan, abaikan! Alhasil, Baihaqi mengangguk untuk mengabaikan Ujang Pelor. Tapi, bernama apa abaian kalau toh ia pergi pula ke rumah Ujang Pelor?

“Terima kasih, Adinda!” pekik Ujang Pelor.

“Tapi, ada syaratnya, Bang.”

“Soal bayaran? Jangan cemas.”

“Bukan itu, Bang.”

“Kaprikornus?”

Baihaqi pun menyodorkan syarat dgn bunyi yg terseret. Ujang Pelor terperanjat. Dengan nada mengancam, Ujang Pelor menolak mentah-mentah.

“Kalau tidak ingin, tak apa. Abang carilah ustad lain.” Entah dr mana muasal keberanian Baihaqi hingga balik mengancam.

“Ustad ajaib.…” gerutu Ujang Pelor.

“Preman gila,” desis Baihaqi, pelan.

*****


Ujang Pelor dilanda perangah! Apa-apaan ini? Meski geli dgn tampilannya sendiri; bersarung, berkoko putih dgn kopiah sempit di kepala, tetapi Ujang Pelor limbung pula menyambut Baihaqi. Ya, Baihaqi timbul dgn celana jins dongker & kaus ketat bubuk-bubuk. Tangan kanannya menentengtas dompet. Ei, kepala Baihaqi kehilangan peci! Lalu, kenapa pula setangkup janggut di dagunya terlihat lebih ramping & kelimis daripada biasanya?

“Gantian kita, Bang,” sergap Baihaqi menyerobot keterperangahan kandidat muridnya.

“Apa Abang salah pilih ustad?” Ujang Pelor bercanda pada dirinya sendiri.

“Abang sudah siap?” todong Baihaqi. Sedang calon muridnya masih pula terperangah.

Sebenarnya, bukan Ujang Pelor saja yg disembelih keheranan. Salmah tak kalah uring-uringan. Bagaimana tidak? Tanpa disangka, Baihaqi menerima anjuran Ujang Pelor. Pakai standar yg tak menguntungkan pula. Meski suaminya panjang lebar menjelaskan argumentasi, Salmah tetap berat hati. Lebih-lebih kala suaminya dengan-cara sepihak mundur sebagai penceramah di pengajian ibu-ibu, saban malam Kamis. Yang bikin Salmah tambah sewot, ia ketua asosiasi pengajian itu.

Apa boleh buat. Baihaqi sudah bertekad akan ke tempat tinggal Ujang Pelor dua kali seminggu bakda Isya. Malam Senin Baihaqi tak memiliki jadwal. Maka, malam Kamis ia memutuskan untuk memenuhi kuota tekadnya. Keputusan itu bikin Salmah kesal, “Semua awut-awutan gara-gara Ujang Pelor!”

  Cerpen: Tuhan Tidak Dilihat Mata

Namun, Baihaqi tetap teguh. Keteguhan macam apa hingga entah dgn argumentasi apa lagi, tiba-tiba ia berpenampilan necis ketika berangkat ke rumah Ujang Pelor? Salmah hilang nalar. Memang, suaminya tampak lebih tampan, tapi tak lantas ia nrimo suaminya memelorotkan ciri khas keustadan. Salmah protes, tapi senyum Baihaqi & kado kecupan di dahi membuatia luluh. Suaminya tak tercegah. Kalau ya, manalah mungkin Baihaqi berada di ruang tamu Ujang Pelor malam itu. Malam perdana ia memiliki murid gres, Ujang Pelor .…

*****


Jins dongker & kaus ketat bubuk-abu jadi seragam rutin Baihaqi. Malam Senin, malam Kamis. Malam Senin, malam Kamis. Baihaqi begitu sabar menjalani malam-malam membimbing Ujang Pelor mengaji. Hanya kesabaran yg menguatkan Baihaqi untuk melunakkan pengecap muridnya mengeja aksara-aksara Quran. Meski kadang, ia mengumpat juga: mending mengajari anak kecil!

Selain itu, rasa sesal atas syarat yg ia bikin sendiri kerap pula menyerbu batinnya. Namun, astaghfirullah, ia mesti menangkis penyesalan sambil terus merawat keteguhan. Kesabaran mirip apa lagi?

Entahlah, jikalau saja menurutkan kesal hati, ingin ia tinggalkan Ujang Pelor. Bayangkan, sudahlah terbata setengah mati mengeja, eh, ekspresi Ujang Pelor kerap pula meletuskan sendawa. Yang membuatBaihaqi meradang, busuk bir yg menyusul sendawa. Satu-dua kali konferensi, Baihaqi masih menoleransinya. Tapi, pada entah konferensi ke berapa, ia angsur pula teguran.

“Masih mabuk Abang, ya?”

“Banyak pun minum bir, tak kan mabuk Abang, Adinda.”

“Makara, untuk apa Abang minum?”

“Haus.”

“Mmh.…”

“Mabuk itu haram kan, Adinda?”

“Ya!”

“Abang kan tak mabuk. Minum bir, iya.”

Baihaqi merasa dipermainkan. Wajahnya melepuh, namun masih ia coba mengganjal amarah.

“Begini saja, Bang. Kalau Abang masih sendawa, gue berhenti!” geraham Baihaqi berderam. Ujang Pelor merasa tersudut.

“Tapi, bila malam ini, tak mungkin sendawa mampu berhenti. Soalnya, tadi entah nyekek berapa botol,” jawab Ujang Pelor dgn kekeh yg sumir. Baihaqi mengurut dada, beristighfar. Sabar, sabar, anjurnya pada diri sendiri. Pelajaran mengaji pun dilanjutkannya meski tak sepenuh hati.

Tapi, bahaya Baihaqi manjur. Pada malam-malam berikutnya, sendawa Ujang Pelor tak meletus lagi. Lidah Ujang Pelor memang tak kunjung serasi melafalkan aksara-aksara Quran, tapi paling tidak, sendawa tak lagi menyela. Kendati demikian, sesekali, busuk ekspresi Ujang Pelor masih meniupkan uap bir. Tak apa, mengubah kebiasaan tak simpel, begitu bisikan—entah dr siapa—yang bersarang ke telinga Baihaqi. Tapi, bahaya gres ia maklumatkan: Kalau masih ada busuk bir di ekspresi Abang, gue betul-betul berhenti. Alhamdulillah, beres! Pada konferensi selanjutnya, mulut Ujang Pelor negatif dr busuk minuman.

  Negeri Penidur | Cerpen Toni Lesmana

Namun, pernah suatu malam, selepas pelajaran, Baihaqi nyaris kalap. Ya, kala ia hendak beranjak dr duduknya, kakinya memelantingkan sesuatu di bawah meja. Suara gelinding botol terdengar nyaring, disusul mekar aroma bir. Bahkan, sisa bir rupanya sudah simbah di kaki celana jins Baihaqi. Seketika rona murka membekap parasnya.

“Ma…af, Adinda. Abang tak tahu itu bir siapa. Adinda tengok tadi kan , Abang tak sendawa lagi, ekspresi Abang pun tak bau bir….” Ujang Pelor mengiba sambil mengelap celana Baihaqi dgn tangan. Baihaqi mematung. Marah, ya! Serbasalah juga! ia merasa tak patut membiarkan Ujang Pelor berlutut. Bukankah Ujang Pelor lebih pantas sebagai ayah ketimbang Abang? Maka Baihaqi batal kalap, meski mungkin, Ujang Pelor berbohong soal bir di bawah meja.

Begitulah. Ada saja kejadian yg mesti dihadapi Baihaqi semenjak bersinggungan dgn Ujang Pelor. ia pun mesti sabar menanggungkan gunjingan. Para tetangga di kompleks sempat memedaskan telinganya. ia digelar ustad mata duitan. Senada dgn tudingan sejawatnya sesama penceramah atau guru mengaji. Seperti pada sebuah malam di jenjang masjid, lepas Isya berjamaah, ia sempat merasa diinterogasi.

“Ana masih tak habis pikir, apa dasar Antum meladeni Ujang Pelor,” ujar Mara, rekannya semasa menimba ilmu di Mesir. “Masih banyak umat yg layak diislamkan, Bai,” tambah Mara.

“Iya,” timpal Bram, masih muda, tetapi sudah hafiz Alquran, “Kan tak enak jika ada yg bilang ‘percuma tamatan Mesir, punya titel el-si’. Timbang lagi masak-masak, Saudaraku.”

Baihaqi tersenyum. Sebenarnya, kerongkongannya ingin memuntahkan banyak hal. Tapi, ia sedang tak selera membela diri. Tepatnya, malas berdebat.

“Oya, kemarin Pak Darwin, itu yg anggota dewan, butuh orang mengajari anaknya baca Alquran. Nah, ambil itu, lepaskan Ujang Pelor,” kali ini Bram unjuk suara lagi.

“Ya, jikalau soal imbalan, Ana kira Pak Darwin tak pelit, insya Allah,” songsong Mara.

“Tahu berapa Pak Darwin kasih harga, ha?” cecar Bram dgn mata berbinar, lalu mendekatkan mulutnya ke pendengaran Baihaqi, “Pukulan besar, Bai!” lonjak Bram, “Mmh… Ujang Pelor kasih berapa, hayo?”

“Iya, Ujang Pelor kasih berapa, Bai?” desak Mara.

“Berlipat ganda dr yg disediakan Pak Darwin,” jawab Baihaqi setengah berbisik. Kontan dua sejawatnya toleh-menoleh. Keheningan terasa melenggang leluasa. Lantas, Baihaqi terburu-buru melafaz salam selaku bukti pamit diri. Ini malam Kamis! ia mesti segera pulang, menukar busana, lantas ke rumah Ujang Pelor. ia tak sudi Ujang Pelor menunggu lama. Dalam langkah setengah berlari, wajah Baihaqi kolam kembang berseri.

Entahlah, baru kali ini Baihaqi merasa bahagia seusai berbohong.… (*)

Griya Sakinah, Medan, 2012