Perubahan kurikulum hanya akan memiliki efek pada terjadinya pergeseran kurikulum selanjutnya. Padahal siklus dari perjalanannya belumlah tuntas. Dapat diterka, perubahannya akan menghasilkan dampak negatif yang telah niscaya terjadi. Pertama, kebingungan para guru yang mau berujung pada sikap apatis menghadapi perubahan ini. Kedua, pemborosan budget yang berjumlah milyaran rupiah. Mulai dari proses uji publik terkesan dipaksakan kesudahannya hingga pada proses sosialisasi, training, dan segala bentuknya yang hanya akan melahirkan banyak sekali biaya baru. Daerah pun ditentukan akan ikut-ikutan mengalokasikan anggaran terkait kurikulum gres 2013 ini.
Pemerintah semestinya lebih memfokuskan pada pengembangan komptensi guru apalagi dulu. Secara ilmiah datanya sudah mereka peroleh secara jelas, salah satunya melalui UKG yang perolehan angkanya masih sungguh jauh dari keinginan. Belum lagi janji menawarkan sertifikasi pendidik yang belum tertunaikan untuk lebih dari satu juta guru. Persoalan ini belum cukup bila kita menepis eksistensi jutaan honorer yang tersebar di aneka macam kawasan dengan honorarium seadanya.
Bukan malah menuntaskan kompleksitas problem guru yang menjadi penentu keberhasilan pendidikan, pemerintah malah menambah keruwetan dengan kebijakan pemerintah yang baru ialah kurikulum 2013. Di balik realita ini besar impian kita biar kebijakan baru yang ada terlepas dari kepentingan politik, terlebih tahun 2014 ini merupakan puncak gemuruh perpolitikan nasional. Jangan hingga kurikulum 2013 dijadikan sebagai alat untuk kesuksesan meraih target pemilu 2014.
Kita semua tahu kesalahan mendidik satu generasi akan menawarkan pengaruh pada generasi selanjutnya. Tidak cukup sampai di situ, dampaknya akan terus menjalar bahkan melewati takdir ajal. Lantas mau dibawa kemana pendidikan bangsa ini? …
Kemunculan kurikulum 2013 bukan yang terakhir, mungkin pada ketika yang akan tiba akan kembali timbul kurikulum gres, mirip yang sering dilontarkan “ganti menteri, ganti kurikulum”. Dan dikala perubahan tersebut sudah masuk ranah politik, maka pihak manapun sukar untuk membendungnya, alasannya kekuatan hukum kita ada di direktur dan legislatif. Di tangan mereka lah kebijakan dan keputusan selsai, terkadang tanpa utuh dan akhir mengecek satu tata cara yang sedang berjalan.
Penyelenggara pendidikan di tataran ujung tombak adalah sekolah, dituntut responsif dalam mensikapi perubahan tersebut, sambil kita tidak melupakan peran utama dan sasaran optimal dari suatu proses pendidikan, ialah perubahan penerima latih ke arah yang lebih baik. Arah yang betul-betul bisa membangun kesadaran akseptor latih dalam mensikapi banyak sekali persoalan lebih matang dan sampaumur.
Secara otomatis, kita pun mesti menawarkan tenaga-tenaga pendidik yang bukan cuma mempunyai komptensi secara akademis, namun juga secara prestasi. Mampu menghadirkan guru yang siap menawarkan keteladanan baik dan lebih awal memperlihatkan sesuatu yang bagus ketimbang peserta didiknya.
Persoalan di dunia pendidikan ini bukan cuma berkutat pada masalah kurikulum kognitif belaka, tetapi bagaimana muatan-muatan adab mampu menjawab dekadensi budpekerti generasi kita pada hari ini. Kalau hari ini pemerintah merasa besar hati dengan prestasi olimpiade robot, cekatan di bidang otomotif, dan atau mapan pada ranah informatika hingga tingkat internasional, apakah sudah seperti itukah kepada pujian akhlak akseptor bimbing kita?. Di sini menggambarkan betapa pentingnya membangun sinergitas target antara muatan dunia dan darul baka, ialah suatu sistem pendidikan yang tidak hanya bertumpu pada keterampilan kognitif belaka.
Bacaan terkait ini : pengaruh kurikulum 2013.