Kebijakan dan Prestasi Bani Ummayah Damaskus Syria, https://live.staticflickr.com |
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Sejarah Bani Umayyah mengalami banyak distorsi yang dijalankan oleh pemerintahan Bani Abbas, lawan politik Bani Umayyah, dimana sejarah Islam mulai ditulis sejak kurun pemerintahan mereka. Distorsi ini juga dikerjakan oleh golongan Syiah dan Khawarij, lawan tradisional mereka. Juga dari kalangan awam yang yang menceritakan sejarah lewat cara oral. Sehingga pemerintah Bani Umayyah harus mengalami banyak tuduhan dan tudingan dalam aneka macam bentuknya.[1]
Hal tersebut menyebabkan literatur sejarah lebih banyak memfokuskan pandangannya pada kelemahan segi manusiawi diantara pimpinan mereka. Pandangan negatif wacana Utsman bin Affan, Abu Sufyan, dan Muawiyyah lebih banyak terekspos dibanding jasa-jasanya. Tragedi yang terjadi pada kurun itupun lebih ditonjolkan, mirip tragedi meninggalnya Husein di Karbala dan insiden Hurah dihalalkannya kehormatan Madinah Al-Munawwaroh.
Disisi lainnya Nabi Muhammad SAW sudah bersabda: “Manusia terbaik yakni manusia yang berada pada masaku, kemudian generasi sesudah mereka, lalu generasi setelah mereka” (HR. Bukhari, Tirmidzi, Bin Majah dan Ahmad bin Hanbal). Sedangkan era Bani Umayyah memimpin ialah masa yang sangat bersahabat dengan kala Khulafaur Rasyidin.
Maka dari paparan di atas, perlu kiranya penulis menggambarkan tentang kebijakan dan prestasi yang sudah diraih selama kekuasaan Bani Umayah secara objektif.
2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis lalu merumuskan problem selaku berikut:
1. Apa saja kebijakan-kebijakan penting yang diambil para Khalifah Bani Umayah?
2. Apa saja prestasi-prestasi yang dicapai di abad Daulah Bani Umayyah?
3. TUJUAN PENELITIAN
1. Apa saja kebijakan-kebijakan penting yang diambil para Khalifah Bani Umayah
2. Untuk mengetahui prestasi-prestasi yang diraih di abad Daulah Bani Umayyah
BAB II
PEMBAHASAN
1. SEKILAS BANI UMAYYAH
Nama ”Bani Umayah” berasal dari nama ” Umayah bin Abdi Syam bin Abdi Manaf”, adalah salah seorang dari pemimpin Qurays di zaman Jahiliyah.[2] Bani Umayah merupakan keturunan Umayah, yang masih mempunyai ikatan famili dengan para pendahulu Nabi. Naiknya bani Umayah ke puncak kekuasaan, dimulai oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan, salah seorang keturunan bani umayah dan salah seorang sobat Nabi, dan beliau menjadi bab penting dalam setiap masa pemerintahan para khulafaur-rasyidun.[3]
Awal pendirian Daulah ini berawal dari duduk perkara tahkim yang menjadikan perpecahan di kelompok pengikut Ali, yang selsai dengan kematiannya. Sepeninggal Ali itu sebenarnya masyarakat secara beramai-ramai membaiat Hasan, putra Ali, menjadi khalifah. Tetapi Hasan kurang terpikatuntuk menjadi khalifah. Karena itu setelah Hasan berkuasa beberapa bulan, dan Mu’awiyah meminta semoga jabatan khalifah diberikan kepadanya, Hasan dengan menawarkan beberapa standar, dengan rela jabatan itu dilimpahkan terhadap Mu’awiyah. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan perumpamaan amul jama’ah, atau tahun persatuan umat islam.[4]
Peristiwa Amul Jama’ah yang terjadi pada tanggal 25 Rabiul Awwal 41 H/661 M, menjadi hitungan awal berdirinya Daulah Bani Umayyah. Sedangkan akhir Daulah ini ditandai dengan kekalahan khalifah Marwan bin Muhammad di Perang Zab pada bulan Jumadil Ula tahun 132 H/749 M.[5]
Dengan demikian, Daulah Bani Umayyah ini berlangsung selama 91 tahun. Pemerintah ini dikuasai oleh dua keluarga dan diperintah oleh 14 orang Khalifah. Dua keluarga tersebut yakni keluarga Abu Sufyan dan keluarga Bani Marwan.[6]
PARA KHALIFAH DINASTI UMAYAH[7]
NO NAMA MASA BERKUASA
1 Mu’awiyah I bin Abi Sufyan 41 -60 H/661-679 M
2 Yazid I bin Mu’awiyah 60-64 H/679-683 M
3 Mua’wiyah II bin Yazid 64 H/683 M
4 Marwan I bin Hakam 64-65 H/683-684 M
5 Abdul Malik bin Marwan 65-86 H/684-705 M
6 Al-Walid I bin Abdul Malik 86-96 H/705-714 M
7 Sulaiman bin Abdul Malik 96-99 H/714-717 M
8 Umar bin Abdul Aziz 99-101 H/717-719 M
9 Yazid II bin Abdul Malik 101-105 H/719-723 M
10 Hisyam bin Abdul Malik 105-125 H/723-742 M
11 Al-Walid II bin Yazid II 125-126 H/742-743 M
12 Yazid II bin Walid 126 H/743 M
13 Ibrahim bin Al-Walid II 126-127 H/743-744 M
14 Marwan II bin Muhammad 127-132 H/744-750 M
Menurut Ahmad Amin dalam bukunya Fajr Islam, menjelaskan bahwa kemapanan peradaban Bani Umayyah cuma terjadi Muawiyah bin Abi Sufyan, Abdul Malik bin Marwan dan Umar bin Abd al-Aziz. Namun demikian menurut Ahmad Amin, secara biasa peradaban Islam pada era dinasti ini berkuasa sudah sampai pada puncaknya, dibandingkan peradaban pada era-kurun sebelumnya.[8]
B. KEBIJAKAN DAN PRESTASI-PRESTASI BANI UMAYYAH
Terdapat banyak kebijakan yang diambil para khalifah Bani Umayyah. Dalam pemerintahan yang ditempuh selama 90 tahun ini banyak kebijakan diambil dan memberi efek besar terhadap dinamika kehidupan islam selanjutnya. Diantara kebijakan-kebijakan dan prestasi-prestasi penting pada periode daulah ini berkuasa ialah sebagai berikut:
1. Memindah ibu kota dari Madinah ke Damaskus (Syiria)
Setelah Muawwiyah menjadi khalifah, ia mulai menata pemerintahannya. kebijakan ini dijalankan untuk mengantisipasi tindakan-tindakan yang muncul dari reaaksi pembentukan kekuasaannya. utamanya dari golongan yang tidak menyukainya. Langkah awal yang diambilnya ialah memindahkan sentra pemerintahan dari Madinah ke Damaskus.[9]
Hal ini mampu dimaklumi, karena jikalau dianalisa setidaknya ada 2 faktor yang menimbulkan Muawwiyah mengambil langkah ini, ialah karena di Madinah selaku sentra pemerintahan khulafaurrasyidin sebelumnya, masih terdapat sisa-sisa golongan yang antipati terhadapnya. Ini akan mengusik stabilitas kekuatannya, disamping itu di Madinah ia kurang memiliki pengikut yang berpengaruh di fanatik, sedang di Damaskus pengaruhnya telah membuat nilai simpatik penduduk , basis kekuatannya cukup besar lengan berkuasa.[10]
2. Merubah Sistem Pemerintahan Menjadi Monarki Absolut
Pada masa-kurun Awal Mu’awiyah menjadi penguasa kekuasaan masih berlangsung secara demokratis, namun sehabis berlangsung dalam sementara waktu, Mu’awiyah mengganti versi pemerintahnya dengan versi pemerintahan monarchiheredetis (kerajaan turun temurun).[11]
Muawiyah bin Abu Sufyan dipengaruhi oleh metode monarki yang ada di Persia dan Bizantium, istilahkhalifah tetap dipakai, tetapi Muawiyah bin Abu Sufyan menunjukkan interprestasi sendiri dari kata-kata tersebut dimana khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah padahal tidak ada satu dalil pun dari al-Qur’an dan Hadits Nabi yang mendukung pendapatnya.[12]
Perubahan versi dan acuan pemerintahan tersebut menunjukkan bahwa Mu’awiyah telah mengawali mengubah paradigma pemerintahan dari yang demokratis (di zaman itu) menjadi dinastian, yang menempatkan kekuasaan sebagai sesuatu yang mutlak dipegang oleh keluarga besar Mu’awiyah. Ia telah mulai melaksanakan revolusi suksesi kekuasaan dengan logika yang belum pernah dilakukan oleh para khalifah sebelumnya. Abu Bakar terpilih dengan cara aklamasi, Umar, Ustman dan Ali juga demikian adanya.
Keempat Khalifah tersebut bukan atas dasar dinastian. Sejak Abu Bakar hingga Ali, suksesikepemimpinan dilaksanakan dengan cara musyawarah untuk memilih posisi puncak sebagai khalifah. Pada masa khalifah ar-rasyidun tradisi musyawarah sungguh-sungguh dilakukan dengan baik, sesuai dengan apa yang disebutkan dalam al-Qur’an. Menurut Taqiyuddin Bin Taimiyah, bagi seorang waliyul amri, syura merupakan sesuatu yang tidak bisa dinafikan, alasannya adalah Allah sudah memerintahkan terhadap Nabi untuk senantiasa bermusyawarah.[13]
Namun demikian, pada kala Dinasti Umayyah suksesi pemerintahan tidak lagi menempatkan tradisi musyawarah selaku bab integral dalam proses suksesi kepemimpinan. Mu’awiyah telah mengganti contoh suksesi kekhalifahan dengan akal turun temurun, yang dimulai ketika Mu’awiyah mewajibkan kepada seluruh rakyatnya untuk menyatakan kesetiaan kepada Yazid, putera Mu’awiyah.[14]
Perintah ini pastinya menunjukkan sinyal awal bahwa kesetiaan kepada Yazid ialah bentuk pengokohan kepada tata cara pemerintahan yang turun temurun sudah coba dibangun oleh Mu’awiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan menurut asas musyawarah (syuro) dalam menentukan seorang pemimpin baru. Mu’awiyah telah mengganti versi kekuasaan dengan model kerajaan yang membenarkan regerisasi kekuasaan dengan cara menawarkan kepada putera mahkota. Orang-orang yang berada di luar garis keturunan Mu’awiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan kesempatan yang serupa untuk memimpin pemerintah Umat Islam, sebab system dinasti cuma membenarkan satu kebenaran bahwa suksesi hanya bisa diberikan kepada keturunan dalam dinasti tersebut.
Perubahan rancangan suksesi kepemimpinan yang dilaksanakan oleh Mua’wiyah sudah melahirkan penolakan yang besar lengan berkuasa dari kubu-kubu yang tidak searah dengan kubu Mu’awiyah. Deklarasi pergantian kekuasaan terhadap Yazid oleh Mu’awiyah, selain sudah menyalahi kebiasaan kekuasaan para penguasa Arab, namun sudah melahirkan kekecewaan dari musuh-musuh politik Mu’awiyah, sehingga menjadikan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat dan kadang kala melahirkan konflik perang antar saudara, Husein bin Ali di Kufah tahun 680 M, Mukhtar di Kufah tahun 685 M, dan Abdullah bin Zubair di Makkah tahun 692 M. Khalifah Yazid melakukan perlawanan keras dengan pemberontak. Hal ini lalu melahirkan bencana-peristiwa mirip tragedi meninggalnya Husein di Karbala, insiden Hurah dihalalkannya kehormatan Madinah Al-Munawwaroh dan diserangnya Ka’bah dengan Manjaniq. [15]
3. Penguatan Militer dan Kebijakan Ekspansi
Pada masa Bani Umayyah organisasi militer terdiri dari Angkatan Darat (al-Jund), Angkatan Laut (al-Bahriyah), dan Angkatan Kepolisisan (asy- Syurthah). Berbeda dengan era Usman, yang bala serdadu atasa dasar kesadaran sendiri, pada kala ini ada tekanan penguasa. Bahkan pada era Abdul Malik bin Marwan diberlakukan Undang-Undang Wajib Militer (Nidzom at-Tajdid Al-Ijbari). Pada waktu itu aktifitas bala prajurit diperlengkapi dengan kuda, baju besi, pedang dan panah. [16]
Penguatan militer yang dilakukan oleh para khalifah Bani Umayyah itu tidak lain dikarenakan kebijakan ekspasionis, yakni kebijakan perluasan wilayah kerajaan. Pada abad Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada kurun khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan menaklukan Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai tempat Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan hingga ke Kabul. Sedangkan angkatan lautnya telah mulai melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Sedangkan perluasan ke timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan mengirim prajurit menyeberangi sungai Oxus dan sukses menundukkan Balkanabad, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan hingga ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan tempat Punjab hingga ke Maltan.[17]
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan al-Walid adalah kurun ketenteraman, kesejahteraan dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup senang. Pada kala pemerintahannya yang berlangsung kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju daerah barat daya, benua Eropa, yakni pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko mampu ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di sebuah tempat yang kini dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol mampu dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan cepatnya mampu dikuasai. Menyusul sesudah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru sesudah jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan gampang alasannya menerima pinjaman dari rakyat setempat yang semenjak usang menderita balasan kekejaman penguasa.[18]
Di zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dikerjakan ke Perancis melalui pegunungan Pirenia. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeaux, Poitiers. Dari sana dia menjajal menyerang Tours. Namun, dalam pertempuran yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping kawasan-kawasan tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam abad Bani Umayyah ini betul-betul sungguh luas. Daerah-kawasan itu mencakup Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, tempat yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.[19]
Disamping perluasan kawasan yang dilaksanakan, militer juga difungsikan oleh muawwiyah untuk menjadi serdadu pelindung raja (Hijaban). Kebijakan ini dijalankan muawwiyah berkaca dari sejarah, semoga terbunuhnya khalifah oleh para pemberontak tidak terulang sebagaimana 3 khulafaurrasyidin sebelumnya.
4. Penataan Administrasi Negara
Saat Muawiyah menjabat kekhalifahan diantara langkah strategis yang dilakukan ialah kenaikan pengelolaan manajemen negara.[21] Apa yang dikerjakan Muawiyah tersebut lalu terus disempurnakan oleh khalifah-khalifah setelahnya. Hal-hal tersebut meliputi:
a. Merancang Pola Pengiriman Surat (Post). Mu’awiyah yang memulai kebijakan ini kemudian dimatangkan lagi pada kurun Malik bin Marwan. Proyek al-Barid (pos) ini, makin ditata dengan baik, sehingga menjadi alat pengiriman yang bagus pada waktu itu.[22]
b Meresmikan Lambang Kerajaan. Sebelumnya Al-Khulafaur Rasyidin tidak pernah menciptakan lambang Negara baru pada era Umayyah, memutuskan bendera merah selaku lambang negaranya. Lambang itu menjadi ciri khas kerajaan Umayyah.
c. Membentuk Lembaga Pemerintahan, yakni:
1) An-Nizam al-Siyasi : lembaga politik
2) An-Nizam al-Mali : lembaga keuangan
3) An-Nizam al-Idari : forum tata usaha negara
4) An-Nizam al-Qada’i : lembaga kehakiman
5) An-Nizam al-Harbi : lembaga ketentaraan
6) Diwan al-Kitabah : lembaga sekretaris negara
d.Membentuk semacam Dewan Sekretaris Negara (Diwan al-Kitabah) untuk untuk mengorganisir banyak sekali permasalahan pemerintahan,[23] meliputi:
1) Katib al-Rasail : sekretaris manajemen
2) Katib al-Kharraj : sekretaris keuangan
3) Katib al-Jundi : sekretaris serdadu
4) Katib as-Syurthah : sekretaris kepolisian
5) Katib al-Qadhi : sekretaris kehakiman
5. Kemajuan di Bidang Arsitektur
Bani Umayyah mencatat sebuah pencapaian yang gemilang di bidang seni, khususnya seni bangunan (Arsitektur).[24] Teknik arsitektur ialah hal yang sangat diamati pada kurun ini diantaranya alasannya efek dari Byzantium. Diantara bangunan penting yang dibangun dengan teknik arsitektu tinggi yakni:
1. Masjid Damaskus
Masjid ini mulanya ialah Gereja st. John berasal dari sebuah kuil Romawi, dikelilingi tembok dirombak pada jaman Nasrani. Kemudian al-Walid (705-15) mengambil alih dan menjadikannya masjid, hingga sekarang terkenal dengan nama masjid Agung Damaskus. Tembok keliling dirombak sehingga terbentuk polaHypostyle yakni berupa sebuah sahn yaitu halaman dalam berbentuk segi empat dikelilingi oleh bab bangunan beratap. Sisi terpanjang sekitar 150 M, tegal lurus sumbu arah kiblat, segi terpendeknya sekitar 95 M berimpit dengan arah kiblat. Luas masjid sekitar 14.250 M2 , denga bentuk skema tersebut, susunan jamaah dalam bersembahyang, melebar ke arah kiblat. Konstruksi, bentuk dan ornament-pernak-pernik bab depan sangat terperinci mendapat pengaruh arsitektur Romawi.[25]
2. Masjid Agung di Kufah (Irak)
Tercatat Ziyad bin Abih, salah seorang gubernur dari pemerintahan Umayyah, masjid direnovasi dan perluas dengan ruang-ruang beratap datar disangga oleh kolom-kolom watu. Menurut Tabari (838-923) seorang sejarawan dan teolog, penentuan luas masjid dengan cara memerintahkan seseorang untuk melempar tombak ke empat arah mata angin, yang diarah kiblat (selatan) kemudian ditempatkan dinding kiblat, dengan cara ini ternyata dinding dan lajur kolom-kolom sempurna ke arah kiblat. Denah masjid Kufa, berpola hypostyle mirip masjid Nabi. Di tengah terdapat halaman dalam atau sering disebut sahn atau zulla, dikelilingi oleh riwaq, haram atau ruang sembahyang yang utama. Selain dinding luar yang sangat tebal, di dalam tidak ada dinding. Denah terbentuk oleh dinding keliling tebal ini, hamper bujur sangkar, panjang masing-masing dinding sisi tidak banyak berlainan, lebih kurang 125 M. selain merenovasi Masjid agung, Ziyad bin abih pada waktu serempak juga membangun istana, berfungsi selain selaku tempat tinggal juga menjadi daerah manajemen pemerintahan. Bangunan sejenis ini k emudian disebut dar al-Imara, yang artinya rumah gubernur. Istana menempel dengan masjid, sebagian dinding utara istana, menjadi satu dengan dinding selatan masjid. Konon hal ini agar gubernur atau khalifah dapat masuk ke masjid tanpa lewat jamaah yang lain.[27]
3. Kubah Batu Karang (dome of the rock)
Abul Malik penguasa V (685-705) salah seorang pemimpin terkuat dari Dinasti Umayyah mempunyai perhatian besar pada Jerussalem. Dia membangun Kubah Batu (dome of the rock atau qubat al saka)di Jerussalem, higga ketika ini menjadi salah satu monumen Islam paling besar. Kubah Batu karang terletak di atas buki karang dari Gunung Moriah dibangun antara tahun 687-692. Gunung Moriah diidentifikasikan sebagai tempat Nabi Ibrahim akan mengorbankan putranya Nabi Ismail untuk dipersembahkan kepada Allah kemudia tidak boleh oleh malaikat.[29]
6. Gerakan Penerjemahan dan Arabisasi
Selain itu, gerakan penerjemahan ke dalam bahasa Arab (Arabisasi buku), juga dikerjakan, khususnya pada masa khalifah Marwan. Pada saat itu, beliau memerintahkan penerjemahan sebuah buku kedokteran karya Aaron, seorang dokter dari iskandariyah, ke dalam bahasa Siriani, kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Arab. Demikian pula, Khalifah menyuruh menerjemahkan buku kisah dalam bahasa sansakerta yang diketahui dengan Kalilah wa Dimnah, karya Bidpai. Buku ini diterjemahkan oleh Abdullah bin Al-Muqaffa. Ia juga telah banyak menerjemahkan banyak buku lain, seperti filsafat dan nalar, tergolong karya Aristoteles :Categoris, Hermeneutica, Analityca Posterior serta karya Porphyrius :Isagoge[31].
Gerakan Arabisasi juga bukan cuma dikerjakan pada penerjamahan, tetapi juga dalam konteks kebijakan pemerintahan. Pada kurun Abd. Malik (685-705 M) mulai diperkenalkan bahasa Arab untuk tujuan-tujuan administrasi, mata duit gaya gres dipetkenalkan, dan hal ini memiliki arti yang sangat penting, alasannya mata uang merupakan symbol kekuasaan dan identitas.[32] Sebab, mata duit baru inipun dicetak dengan memakai kata-kata semata, memproklmasikan dengan bahasa Arab keesaan Tuhan dan kebenaran agama Islam.
Proses Arabisasi kian komplit dengan adanya kemajuan kaligrafi pada periode tersebut. Ia yaitu Qutbah Al Muharrir, kaligrafi umayyah pertama yang paling usang bertahan dengan kecakapan luar biasa. Qutbah punya nama terhormat dalam banyak literature Arab, alasannya sukses mewariskan
4 jenis kaligrafi penting, yaitu Thumar, Jalil, Nishf, dan Tsuluts.. Dia juga dikenal menulis sejarah dan bunga rampai Arab dan sungguh masyhur khususnya alasannya mempercantik miharab Masjid Nabawi dengan beragam ayat Al Qur’an yang ditulis dengan fan Jalil yang indah.
Selain Qutbah, para kaligrafer kenamaan yang lain adlah Khalid bin Al Hayyaj, Khasynam dan Malik bin Katsir. Khalid bin Hayyaj sangat populer selaku kaligrafer resmi Khalifah Al Walid bin Abdil Malik yang sudah menulis banyak mushaf Al Qur’an berukuran besar dengan fan Thumar dan Jalil.[34]
7. Kemajuan Pengetahuan dan Sastra
Para penguasa Bani Umayyah yang sungguh berorientasi keakraban itu sangat mendorong kenyatan baru yang meupakan fenomena kebangkitan sastra dan pemikiran, terutama yang berhubungan dengan syair-syair jahiliah dan budbahasa istiadat arab pra-islam itu. dalam hal ini, penguasa Bani Umayyah ingin menciptakan Kufah dan Bashrah selaku alternatif bagi Mekkah dan Madinah di era jahiliah dalam lapangan sastra dan akhlak istiadat.
Dengan pemberian dari penguasa itu, pada kala pemerintahan abd al-Malik bin Marwan, Kufah dan Basrah bermetamorfosis kota-kota ilmu pengetahuan. perkembangan lebih lanjut yaitu hdirnya orang-orang muslim dari negeri tetangga, mirip persia, syiria dan kota-kota irak yang lain, disamping untuk menuntut ilmuy juga untuk mencari kebeuntungan di sua kota yang sedang meningkat itu, baik lapangan jual beli maupun lapangan industri. oleh alasannya itu, dua kota ini menjadi kota yang penduduknya mejemuk (heterogen), yang hendak tak inginmengalami proses arabisasi, alasannya bahasa arab saat itu merupakan bahasa negera dan sekaligus bahasa agama.[35]
Daulah ini juga mendirikan sentra aktivitas ilmiah di Kufah dan Bashrah yang jadinya memunculkan nama- nama besar seperti Hasan al-Basri, Bin Shihab al-Zuhri dan Washil bin Atha. Bidang yang menjadi perhatian ialah tafsir, hadits, fikih, dan kalam.
Penyair-penyair Arab gres bermunculan sehabis perhatian mereka terhadap syair Arab Jahiliyah dibangkitkan. Mereka itu yakni Umar Bin Abi Rabiah (w. 719 m.), Jamil al-Udhri (w. 701 M.), Qays Bin al-Mulawwah (w. 699 M.) yang lebih dikenal dengan nama Majnun Laila, al-Farazdaq (w 732M.), Jarir (w. 792 M) dan al-Akhtal (w. 710 M.).
Waktu dinasti ini sudah mulai dirintis jalan ilmu naqli ; berbentukfilsafat dan eksakta. Dan ilmu pengetahun berkembang dalam tiga bidang, yakni bidang diniyah, tarikh, dan filsafat. Kota-kota yang menjadi sentra ilmu wawasan selama pemerintahan dinasti Umayah, antara lain kota Kairawan, Kordoba, Granda dan lain sebagainya. Sehingga secara perlahan ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua macam, ialah : pertama, Al-Adaabul Hadits (ilmu-ilmu gres), yang meliputi : Al-ulumul Islamiyah (ilmu al-Qur’an, Hadist, Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, At-Tarikh dan al-Jughrafi), Al-Ulumul Dkhiliyah (ilmu yang diperlukan untuk perkembangan Islam), yang mencakup : ilmu thib, filsafat, ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari Persia dan Romawi. Kedua :Al-Adaabul Qadamah (ilmu usang), yakni ilmu yang telah ada pasa zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah yang empat, seperti ilmu lughah, syair, khitabah dan amtsal.[36]
Pada periode Daulah Umayah, gerakan sastra dan seni juga sempat muncul dan berkembang, yakni pada abad khalifah Abdul Malik, sehabis al-Hujjaj berhasil menundukkan bin Zubair di Hijaz. Di negeri itu sudah muncul generasi gres yang bergerak di bidang sastra dan seni. Pada kala itu timbul tokoh Umar bin Abi Rabi’ah, seorang penyair yang sungguh mashur, dan timbul asosiasi penyanyi dan ahli musik, seperti Thuwais dan Bin Suraih serta al-Gharidl.[37]
Demikian juga, pada masa dinasti Umayah, sudah mulai dirancang tentang undang-undang yang bersumber dari al-Qur’an, sehingga menuntut penduduk mempelajari perihal tafsir al-Qur’an. Salah seorang ahli tafsir pertama dan termashur pada kurun tersebut adalah Bin Abbas. Pada waktu itu beliau telah menafsirkan al-Qur’an dengan riwayat dan isnad, lalu kesulitan-kesulitan dalam mengartikan al-Qur’an dicari dalam al-hadist, yang pada gilirannya melahirkan ilmu hadist.
Pada ketika itulah kitab ihwal ilmu hadist sudah mulai dikarang oleh para ulama muslim. Beberapa ulama hadist yang terkenal pada periode itu, antara lain : Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidilah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhri, Bin Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky, Al-Auza’i Abdurrahman bin Amr, Hasan Basri as-Sya’bi.
Dalam bidang hadist ini, Umar bin Abd Aziz secara khusus menyuruh Bin Syihab az-Zuhri untuk mengumpulkan hadist. Oeh alasannya adalah itu, Bin Syihab telah dianggap sanat berjasa dalam berbagi hadist sampai menembus aneka macam zaman. Sejak ketika itulah perkembangan kitab-kitab hadist mulai dikerjakan.[38]
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Bani Umayah merupakan salah satu penguasa Islam yang cukup masyhur seperti yang penguasa-penguasa muslim yang lain. Bahkan pada kala ini, perubahan demi perubahan dilakukan, setidaknya keberanian Bani Umayah untuk keluar dari tradisi Arab dalam dilema perubahan kepemimpinan serta pemindahan sentra kekuasaan dari Jazirah Arab ke Damaskus (luar jazirah Arab) menjadi bukti sederhana perihal dinamika yang terjadi pada masa Bani Umayah berkuasa.
Terdapat banyak kebijakan yang diambil para khalifah Bani Umayyah. Dalam pemerintahan yang ditempuh selama 90 tahun ini banyak kebijakan diambil dan memberi dampak besar terhadap dinamika kehidupan islam berikutnya. Diantara kebijakan-kebijakan dan prestasi-prestasi penting pada era daulah ini yaitu selaku berikut:
1. Pemindahan ibu kota dari Madinah ke Damaskus (Syiria)
2. Perubahan tata cara pemerintahan menjadi Monarki Absolut
3. Penguatan militer dan kebijakan perluasan
4. Penataan administrasi dan tata pemerintahan
5. Pembangunan fisik yang megah
6. Gerakan penerjemahan dan arabisasi
7. Kemajuan wawasan dan sastra
Menilik prestasi-prestasi tersebut, laiknya Bani Umayah menjadi bab penting dan mempesona dalam sejarah umat Islam, yang harus terus dijadikan selaku pengalaman sungguh berguna. Hal itu dikarenakan tidak semua yang dilaksanakan Bani Umayah itu buruk, mirip yang lazimnya terekspos, tetapi juga mempunyai segi penting yang mesti ditiru oleh umat Islam. Kekuasaan Bani Umayah yang nyaris seabad lamanya dalam memimpin umat Islam, tetaplah suatu prestasi yang harus diapreasi secara kritis. Lebih-lebih kebijakan faktual dan prestasi tersebut mampu ditransformasikan oleh umat Islam pada zaman sekarang.
________________________________________
[1] Sejarah Islam (Sejak Nabi Adam Hingga Abad XX). Ahmad Al-‘Usairy. Jakarta Timur: Akbar Media.2010 Hal 182
[2] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: Pustaka al-Husna, 2003), hlm. 21
[3] Ibid, hal 64
[4] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam. (Teras: Yogyakarta. 2011), hlm. 70
[5] Ahmad Al-‘Usairy, Sejarah Islam (Sejak Nabi Adam Hingga Abad XX) (Jakarta Timur: Akbar Media, 2010), hlm 184
[6] Ibid
[7] Samsul Munir Amin. Sejarah Peradaban Islam.( Jakarta: Amzah, 2009), hlm 121
[8] Ajid Thohir. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. (Jakarta: Raja Grafindo.2004), hlm 37
[9] Syed Mahmuddunasir, Islam Its Concept and History (New Delhi: lahoi Fine Arr Press, 1985), hlm 151
[10] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam. hlm 71
[11] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta, PT. Grafindo Persada, 1998), hlm. 42
[12] Dinasti Bani Umayyah : (Perkembangan Politik, Gerakan Oposisi, Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Kejatuhan Dinasti), Mohammad Suhaidi RB
[13] Taqiyuddin Bin Taimiyah, As-Syiyasah As-Syar’iyah fi Islah Ar-Ra’iyah (Mesir, Darul Kitab al-Gharbi, 1951), hlm. 169
[14] Ibid. Hlm 42
[15] Ahmad Al-‘Usairy, Sejarah Islam (Sejak Nabi Adam Hingga Abad XX). hlm 182
[16] Ali Sodikin dkk. Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Moden. (Yogyakarta: Lesfi. 2009), hlm 76
[17] Ajid Thohir. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Hlm 40
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Diunduh dari www.websolution.net/islamicweb pada tanggal 8 Oktober 2013 pukul 20.00 WIB
[21] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam. Hlm. 82
[22]
[23] Ali Sodikin dkk. Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Moden. Hlm 71
[24] Samsul Munir Amin. Sejarah Peradaban Islam. Hlm 132
[25] Yulianto sumalyo, Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hlm.56-57
[26] Diunduh dari http://wardonojakarimba.blogspot.com pada tanggal 8 Oktober 2013 pukul 21.00 WIB
[27] Yulianto sumalyo, Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim. hlm.56
[28] Diunduh dari http://wardonojakarimba.blogspot.com pada tanggal 8 Oktober 2013 pukul 21.05 WIB
[29] Ibid. hlm. 57
[30] Diunduh dari http://wardonojakarimba.blogspot.com pada tanggal 8 Oktober 2013 pukul 21.10 WIB
[31] C.A. Qadir, Filsafat Dan ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta, Pustaka Obor, 2002), hlm. 37
[32] Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim (Bandung, Mizan, 2004), hlm. 82
[33] Diunduh dari http://dinardirhamtrade.blogspot.com pada tanggal 8 Oktober 2013 pukul 22.00 WIB
[34] Sirajuddin, Seni Kaligrafi Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985), hlm. 78-80
[35] Nisar Ahmed Faruqi, Early Muslim Historoghaphy, Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delhi, 1979
[36] Samsul Munir Amin. Sejarah Peradaban Islam, hlm. 133
[37] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Peradaban Islam, hlm. 70
[38] Drs. Badri Khaeruman, M.Ag, Otentisitas Hadist : Studi Kritis Atas Kajian Hadst Kontemporer (Bandung, Rosda, 2004), hlm. 39
Link : , taufiqurrahman huri 2013,di susukan tgl 18 april