close

Kaset Menenteng Periode Keemasan Musik Indonesia



Kaset rekaman Apple bikinan Bandung



Oleh Mayong S Laksono 
Barangkali tak ada negara lain yang industri musiknya berkembang justru karena pelanggaran hak cipta kecuali Indonesia. Ya, sejarah industri musik Indonesia yang bermula di permulaan periode ke-20 dalam bungkus piringan hitam, menjadi sangat marak justru sehabis dikembangkan oleh para pembajak dalam format pita kaset.
Kaset lantas beralih ke piringan cakram digital, lalu meningkat bahkan dilengkapi video. Perjalanan sejarah yang begitu dinamis layaknya musik rock’n roll itu dicatat secara rinci oleh wartawan senior Theodore KS dalam bukunya Rock’n Roll Industri Musik Indonesia dari Analog ke Digital. Berikut ini cukilannya.

Masa keemasan Mas Yos dengan Irama-nya, dengan jumlah PH terjual 30.000/bulan pada tahuntahun 1962, 1963, 1964, merosot jadi 10.000 pada 1966. Menjelang gulung tikar tahun 1967, buatan PH Irama cuma 2.000. Di samping pemasaran merosot, yang menciptakan Irama tak mampu bertahan yaitu pajak penjualan dan pajak barang glamor sebesar 34%, serta 30% penggalan untuk penyalur atau biro. Irama menerima 36% sisanya, yang mesti dibagi lagi untuk royalti pencipta lagu, pemusik, dan penyanyi.

Era memang berubah. Piringan hitam digantikan oleh kaset yang lebih hemat biaya dan melibatkan peralatan yang lebih sederhana. Namun pemegang peran terbesar dari massalnya peredaran kaset ialah para pelanggar Hak Cipta alias pembajak. Mereka merekam lagu-lagu dari PH ke dalam format kaset. Perusahaan PH mati kutu.

Terlepas dari kemudahannya untuk dibajak, kaset juga menjinjing pada era keemasan musik Indonesia. Remaco sukses dengan album-album Koes Plus. Ini kemudian mengilhami grup band lain seperti Mercy’s, D’Lloyd, Favorite’s, dll. Didukung oleh meningkat -nya acara musik di TVRI.

Tapi album musik yang cukup fenomenal justru populer tidak melalui TVRI, tetapi selaku gambaran film dan lalu dipopulerkan oleh siaran radioradio swasta pada selesai 1970-an,“Badai Pasti Berlalu”. Album ini dilakukan oleh personel yang sebelumnya terlibat dalam buatan bareng Guruh Soekarnoputra dalam album “Guruh Gypsy”. Melesatlah nama Chrisye dan Berlian Hutauruk selaku penyanyi, juga Erros Djarot dan Yockie Soeryoprayogo selaku pencipta lagu/penata musik.

  Sejarah Legiun Mangkunegaran, Pasukan Tentara Modern Pertama Di Jawa

Jenis musik yang ikut menikmati masa keemasan kaset adalah dangdut, yang sampai menjelang tamat 1990-an tak pernah surut. Menurut para agen di Glodok, Jakarta, yang menyalurkan kaset ke seluruh Indonesia, 30 hingga 40% buatan kaset lagu Indonesia yaitu musik dangdut. Sifat bibit unggul dangdut dengan mudah mampu berbaur dengan warna musik lain.

Dangdut disko yang mengandalkan MIDI (Musical Instrument Digital Interface), suara-bunyian artifisial menguasai pasar selama 1991-1994. Memasuki tahun 1995-1996, datang giliran dangdut tradisional yang mengandalkan alat khas seperti gendang, sitar, dan suling, membuat lagu yang bermacam-macam. Maka lahirlah penyanyi-penyanyi muda berparas elok dan bersuara khas dangdut tahun 1996: Evie Tamala (27 tahun), Iis Dahlia (24), Ikke Nurjanah (22), Cucu Cahyati (25), mendampingi pendahulu mereka yang tetap berjaya mirip Elvy Sukaesih (45), Camelia Malik (41), Rita Sugiarto (36), Itje Trisnawati (36), juga penyanyi pria seperti Mansyur S (48), Meggy Z (51), dan Rhoma Irama (49).

Meski tidak mendapat porsi sebanyak musik dangdut, musik rock juga telah lama menancapkan eksistensinya, utamanya semenjak pergeseran politik Orde Lama ke Orde Baru. Surabaya memiliki AKA (lalu menjadi trio SAS minus Ucok Harahap), Bandung melahirkan Rollies, Freedom of Rhapsodia, Giant Step, Harry Roesli, Trio Bimbo, Remy Rylado, Deddy Dores, dll.

Pada tahun 1970-an, musik rock didukung sarat oleh pentaspanggung dan liputan media, utamanya Majalah Aktuil (pada 1975, majalah ini berhasil menggelar konser Deep Purple di Jakarta).

Di musik jazz, nama gitaris Jopie Item terbilang paling sukses hadir di panggung dan rekaman. Berkat tangan Jopie muncul para penyanyi seperti Rien Djamain, Margie Siegers, Ermy Kullit, Nunung Wardiman, Cici Sumiati, dll. Di golongan pemusik timbul Embong Rahardjo, Christ Kayhatu, Abadi Soesman, Yance Manusama, Udin Syach, dkk. yang lalu dibukakan jalan oleh Peter Gontha tampil di North Sea Jazz Festival, Negeri Belanda.

Tekanan politik Orde Lama dan Orde Baru yang melarang peredaran dan dinyanyikannya lagu-lagu Mandarin di kawasan umum, justru melahirkan lagu-lagu Indonesia berirama Mandarin. Diawali Titiek Sandhora tahun 1971 dengan lagulagu Terang Bulan di Gunung, Si Cantik Jelita, Dayung Sampan, dengan sebagian besar menggandakan lagu Mandarin.

  Napak Tilas Jalan Raya Pos Anyer Panarukan

Industri musik Indonesia tahun 1975 bagai hutan belantara. Jiplak-menggandakan terjadi begitu saja, seperti suatu lagu tidak ada pemiliknya. Itulah yang terjadi pada lagu Ling Ling yang datang-datang dinyanyikan Lily Junaedi dengan judul Kenangan Manis. Lagu Dinding Pemisah yang dinyanyikan Merry Andani dalam irama dangdut tahun 1993 juga mirip Kai Sen Yen.

Rekaman suara penyanyi legendaris Teresa Teng yang dibuat PT Suara Sentral Sejati dengan lisensi PolyGram seharga Rp11.000 per kaset dan yang tanpa lisensi diterbitkan Saktimas Audio Records dengan harga Rp7.000, mampu didapatkan bahu-membahu di satu toko kaset. Anehnya, dua duanya mencantumkan tanda lolos sensor dari Kejaksaan Agung RI.

Sementara itu, kaset keroncong yang lazimnya di jalur lambat peredaran, pada 1996 tiba-tiba melejit dengan keroncong disko-reggae yang dilakukan sejumlah orang muda. Lagu Keroncong Dinda Bestari, Keroncong Telomoyo, Keroncong Dewi Murni, dsb. diaransemen ulang dengan teknologi musik baru sehingga mendekati jenis pop-disko atau dangdut disko. Tokoh yang lalu dikenal yakni Rama Aiphama, yang bisa menciptakan kaset sampai ratusan ribu buah.

Berbicara ihwal jumlah kaset yang meledak, sehabis lagu Jangan Sakiti Hatinya oleh Iis Sugianto, yang kata Rinto Harahap, pencipta lagunya, meraih empat juta buah, JK Records juga menghasilkan lagu Tak Ingin Sendiri (Dian Piesesha) ciptaan Pance Pondaag yang terjual dua juta buah. Agak mengejutkan, rekor pemasaran kaset itu justru didekati bukan oleh album lagu pop, melainkan album salawat Haddad Alwi, “Cinta Rasul I” (1999) yang terjual 1,5 juta buah.

Dalam sejarahnya, kaset lagu-lagu rohani memang ada yang mencapai angka penjualan mengagumkan seperti terbitan Maranatha Records (1996), lagu Di Doa Ibuku Namaku Disebut yang dinyanyikan Natasha Nikita (8 tahun), ialah 500.000 buah.

Angka yang dikeluarkan oleh perusahaan rekaman itu ialah angka resmi dan bisa diverifikasi. Tapi yakni realita, di penduduk juga beredar versi bajakan yang jumlahnya bahkan mampu berlipat kali. Salah satu bukti yakni beredarnya rekaman konser amal “Live Aid” berbarengan di London dan Philadelphia, AS, 13 Juli 1985, dan konser Band Aid menjelang Natal 1984.

Beredarnya kaset itu membuat heran Bob Geldof, pemrakarsa konser, alasannya adalah beliau tidak pernah merekam dalam bentuk audio, kecuali satu lagu, Dancing on the Street. Ternyata perusahaan di Indonesia merekamnya dari video konser itu. Team Records, Joker, dan Billboard yang pertamatama memproduksi kaset “Live Aid” berhasil memasarkan masingmasing 20.000 kaset kemudian mengekspornya ke luar Indonesia.

  Kisah Memilukan Monyet Yang Bunuh Diri

Bob Geldof marah dan mengunjungi KBRI London pada permulaan November 1985, mengimbau turis untuk tidak datang ke Indonesia, juga menenteng masalah itu menjadi perbincangan di Majelis Rendah Inggris pada 20 Desember 1985. Kemudian Masyarakat Eropa juga mendesak pemerintah Indonesia membereskan masalah pembajakan lagu Barat. Lahirlah Kepres No. 17/1988 yang mengesahkan santunan Hak Cipta atas rekaman suara. Kaset lagulagu Barat nonlisensi mesti ditarik dari pasar, jumlahnya diperkirakan tiga juta buah dengan nilai sekitar Rp6 miliar.

Mulai 10 Agustus 1988, banyak perusahaan rekaman di Indonesia menjadi pemegang lisensi perusahaan Barat. Pada ketika yang sama, pemerintah membentuk satuan-satuan peran untuk memonitor peredaran kaset dan memberantas pembajakan.

Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri) lahir pada 1 Februari 1978, pada ketika industri musik Indonesia setengah pingsan dilanda pembajakan dan kaset obral “seribu tiga” bahkan ada yang “seribu lima”. Ketika Asiri dipimpin Imam Supeno DJ (1999-2002), industri musik sedang mengalami kenaikan omzet VCD karaoke. Dari 1.335.390 keping (1998) menjadi 4.196.590 keping (Oktober 1999). Lahir Asosiasi Produser Rekaman Indonesia (Asprindo) yang beranggotakan 20 perusahaan. Harga kaset yang mencapai Rp14.000 (1999) menghasilkan rekor lagu Air ciptaan Papa T. Bob yang dinyanyikan penyanyi cilik Joshua terjual lebih dari 1 juta kaset.

Persatuan Artis Penyanyi dan Pencipta Lagu, dan Penata Musik Indonesia (PAPPRI) bangun pada18 Juni 1986, dan kemudian membentuk unit pemungut royalti yang kemudian menjadi Yayasan Karya Cipta Indonesia. Juga timbul ajang kontes dan pemberian penghargaan yang diprakarsai perusahaan kaset. Misalnya Festival Lagu Populer Indonesia dan beberapa pameran lain secara insidentil, BASF Awards, HDX Awards, Anugerah Musik Indonesia. Semua hingarbingar itu meredup seiring dengan hadirnya revolusi digital yang menciptakan produk-produk CD, lantas meningkat dengan memanfaatkan jaringan internet. (sumber)