TUBUHNYA gemetar. Perlahan tangan wanita itu bergerak, menyusuri lekuk-lekuk watu tanah gundukan di hadapannya.
Tangannya yg sebelah lagi meremas-remas tanah. Badannya kian bergetar luar biasa tatkala ia berusaha menahan air yg nyaris melabrak kelopak matanya.
“Ibu, apa alasannya kita wanita?” lirihnya.
Gadis itu menghela napas. Kamboja, demikian namanya. Ia anak tunggal. “Ibu, kamu sudah melahirkanku dlm kondisi sukar payah. Saat itu kita harus mengungsi sebab kampung kita didatangi kalangan bersenjata. Orang-orang kampung kita pun diklaim selaku pemberontak. Ibu lari terbirit-birit sambil membawaku dlm perut ibu. Begitu cerita yg kudengar dr Nek Mah, bidan kampung kita,” ucapnya sambil menahan tangis.
Kamboja dilahirkan dlm hutan di pinggir kampungnya. Saat itu, mereka mengungsi hingga empat puluh hari. Ia lahir pada hari kelima di pengungsian. Saat itu, ibu Kamboja ditolong oleh Nek Mah, seorang wanita setengah baya yg bekerjsama bukan bidan, pun bukan dokter. Kebetulan Nek Mah pernah diajarkan sebuah isim* oleh orangtuanya. Isim itu disebut seulusoh* dlm bahasa mereka. Dengan kemampuan seulusoh itulah, Nek Mah membantu ibu Kamboja melahirkan. Kamboja lahir sungsang. Kakinya lebih dahulu menonjol, gres kemudian kepala.
“Ibu, kata Nek Mah, ibu sangat kesakitan tatkala melahirkan saya. Perut ibu serasa dililit akar. Perih. Nek Mah pula yg menyampaikan kalau perih ibu ditolong dgn daun mariam. Ibu, mampu kubayangkan menderitanya ibu ketika itu. Aku yg lahir sungsang, ibu yg kesakitan. Sedangkan ayah? Ibu….”
Kamboja masih berusaha menahan tangis. Tubuhnya bergetar kian kencang. Tangan kanannya terus menelusuri lekuk kerikil nisan di tanah gundukan di hadapannya. Tangan kirinya makin kuat mencengkeram tanah di sampingnya.
“Aku tak mampu menyalahkan ayah, Ibu. Ayah memang meninggalkan ibu, meninggalkan kita. Tapi, ayah terpaksa. Kaum laki tak boleh hidup di kampung kita waktu itu. Semua lelaki lari & bersembunyi. Makanya banyak yg menentukan bergabung dgn golongan pemberontak. Perempuan diminta untuk di rumah, jika tak ingin mengungsi ke hutan. Aku tahu itu, Ibu. Hanya saja, kenapa kita tak boleh ikut melawan, Ibu? Apa alasannya adalah kita wanita?”
Kamboja karenanya tak dapat menahan air matanya. Ia sesenggukan. Bening yg telah lama mengambang itu pecah pula dr balik kelopak matanya yg berbulu lentik. Satu per satu bening itu jatuh menimpa pinggiran nisan ibu Kamboja.
“Ayah mati terkena peluru nyasar. Tepat sehari sebelum perjanjian damai antara pemberontak & pemerintah. Apa salah ayah? Ah, terlalu sulit memberi alasan antara salah & benar di kampung ini, Ibu. Mengapa terlalu cepat ibu lewati aku?”
Kamboja menjatuhkan kepalanya di kerikil nisan tersebut. Beberapa kali ia benturkan kepalanya ke watu itu. Ia bisikkan sesuatu di sana. Suaranya pelan. Hampir tak terdengar diantara angin siang yg sedikit kencang.
“Ibu, jika sesudah berbaring pun ketenanganmu mesti terusik, katakan pada Tuhan, biarkan gue yg mengambil alih kamu di sini,” lirihnya.
Lama Kamboja diam setelah mengucapkan kata-kata itu. Tubuhnya masih bergetar, kendati matahari sudah di puncak kepala. Kamboja mandi keringat. Namun, sedikit pun ia tak menyeka keringat itu. Ia bahkan nyaris melalaikan letak kerudungnya yg melorot ke pundak. Rambutnya yg biasa tersimpan rapi di balik kerudung itu mulai terlihat . Angin pun membelai rambut hitam keriting itu.
“Ibu, bagaimana lagi caranya mengatakan pada mereka wacana penderitaanmu, penderitaan kaum wanita? Lihat, Ibu! Kau besarkan gue tanpa ayah. Kau melakukan pekerjaan upahan untuk memberiku makan. Kau sekolahkan gue hingga tingkat menengah. Kau pula yg mengajarkan gue biar hidup tak mudah menyerah.”
Kamboja berhenti sejenak. Ia tengadah ke langit. Sinar mata- hari tepat menghunjam retina mata Kamboja. Ia tak berkedip. Hanya memicingkan mata sedikit.
Kamboja sesenggukan. Ia bersimpuh di hadapan nisan ibunya. Lehernya menekuk. Kepalanya nyaris menyentuh lutut. Tubuhnya masih terus bergetar. Isaknya pun mulai deras.
“Ibu, bagaimana caranya gue mempertahankanmu? Besok pagi, tempat peristirahatanmu ini akan diratakan. Kau ingat dahulu waktu kampung kita berkecamuk? Orang-orang kampung berperang dgn serdadu pemerintah. Kini, tentara pemerintah pula yg akan menjarah rumahmu ini, Ibu.”
Dua pekan lalu, rombongan dr kabupaten mengunjungi ke- pala kampung daerah Kamboja tinggal. Mereka membicarakan soal pembangunan hotel berbintang yg akan diresmikan di kampung itu. Menurut informasi, hotel itu akan dibangun dgn kriteria internasional. Ada mal pula nantinya di dlm hotel tersebut.
Untuk itu, akan terjadi pembebasan tanah. Salah satu lokasi yg mendapat efek pembebasan tanah yaitu kompleks pemakaman umum korban pertentangan. Di sanalah ibu Kamboja & sejumlah janda konflik dimakamkan. Menurut investor, lahan pekuburan massal itu sangat strategis untuk dibangun hotel mahamegah.
“Ibu, hingga ketika ini gue tak tahu di mana ayah dikuburkan. Mayatnya pun tak ada yg menemukan. Ibu dimakamkan di sini selaku janda pertentangan. Ibu ialah ibu sekaligus ayah bagiku. Dulu, mereka (pemerintah—Pen) yg membuat lokasi pemakaman di sini. Alasannya, bersahabat dgn kompleks pemakaman satria masa Belanda. Kini, mereka pula yg akan menggerus pemakaman ini, Ibu. Pemerintah itu tak memiliki otak, Ibu. Mereka cuma mempertimbangkan uang, duit, & duit.”
Tangis Kamboja semakin menjadi. “Ke mana ibu akan kubawa? Kita tak punya apa-apa lagi. Apa Ibu harus kubawa ke kota tempatku sekarang? Di kota, gue menyewa rumah kontrakan sederhana sambil melanjutkan sekolah. Aku sekolah ke kota demi Ibu. Ibu yg mengatakan bahwa wanita pula harus punya cita-cita, harus sekolah tinggi. Kata Ibu, gue harus sekolah hingga ke universitas. Dari jauh gue senantiasa berdoa agar Ibu mampu istirahat dgn tenang di kampung kita. Setiap libur sekolah, gue selalu menjengukmu. Jika esok hari pemakaman ini akan diratakan oleh pemerintah demi gedung bertingkat, ke mana lagi gue akan menyaksikan Ibu ketika libur semester nanti?”
Kali ini Kamboja terdiam lebih usang. Ia berupaya mengendalikan napas. Ia tatap potongan kepala nisan ibunya. Lalu tatapannya berpindah ke cuilan tubuh. Selanjutnya ke watu di belahan kaki. Lama tatapan itu berhenti di sana.
Kamboja bangun, menuju kepingan kaki ibunya. Ia duduk perlahan. Kedua telapak tangannya menjamah watu nisan itu. Lalu, kepalanya ia tundukkan biar mampu mencium nisan di kaki ibunya.
“Ibu, ampuni segala ketidakberdayaanku. Aku berjanji akan berupaya mempertahankan Ibu walau mungkin itu tidak mungkin. Di tempat ini, bukan cuma ibu dikuburkan. Masih banyak korban pertentangan lainnya. Mustahil memang bagiku untuk mempertahankan Ibu sendiri, sedangkan keluarga korban lainnya sudah menerima duit pembebasan tanah ini. Mereka sudah menjual ayah ibunya yg dimakamkan di sini. Mereka lebih menentukan setumpuk uang dr pemerintah tanpa menyadari orangtuanya di sini akan dipijak-pijak, akan diluluhlantakkan dgn mesin penggiling.”
Kamboja mengangkat kepala. Dipandanginya nisan ibunya dgn bernafsu. Tatapannya nyalang. “Aku tak akan menjual Ibu pada pemerintah atau pada siapa saja. Meski gue harus mati di sini, gue tetap akan menjaga Ibu.”
Kamboja kembali menangis, tetapi kali ini suaranya memelan. “Ibu, ajari gue bagaimana caranya melawan pemerintah? Aku tidak punya senjata, Ibu!”
Perlahan terdengar suara langkah kaki mendekat. Sayup-sayup ada yg bicara.
“Di sinilah akan kita bangun hotel itu, Pak. Luasnya seribu meter persegi, hingga di pojok sana,” ucap sebuah suara sarat semangat.
“Di situ? Bukankah itu kompleks pemakaman?” suara parau menyela.
“Benar, Pak. Tapi, Bapak tenang saja. Semua sudah diatur. Izin penggunaan lahan pemakaman ini sudah diurus. Semua orang yg punya kekerabatan kekerabatan dgn yg dimakamkan di
sini sudah dihadiri. Mereka mendapatkan haknya. Semua sudah beres, Pak.”
“Pemakaman apa itu?”
”Pemakaman korban pertentangan, Pak.”
“Hmm…, apa tak berbahaya nantinya mendirikan hotel di atas makam, makam korban konflik pula? Pasti ada yg mati berdarah di sini.”
“Ah, Bapak ini ada-ada saja. Mana ada orang mati bisa hidup lagi.”
Kamboja bangun. Dari makam ibunya, ia berteriak. “Siapapun kalian, menghormati hak-hak orang yg masih hidup itu memang sukar, apalagi rakyat kecil. Namun, menghormati ketenangan orang yg sudah mati, apakah pula tak kalian miliki? Di mana nurani kalian? Di sini terkubur saksi kezaliman masa konflik. Apa kalian mau mereka jadi saksi kezaliman kalian di hadapan Tuhan?”
“Siapa beliau?”
“Dia, Pak? ia kayaknya orang aneh. Sudah tiga hari ia menangis terus di makam itu.”
Kamboja mendekati orang tersebut. “Ya, saya sudah asing. Saya ajaib sebab mempertahankan hak-hak orang mati. Makam ini adalah rumah mereka yg sudah istirahat dgn tenang. Saya asing alasannya menghendaki ketenangan mereka. Sedangkan kalian, asing sebab ingin hotel megah tanpa melihat penderitaan orang lain.”
Lelaki yg sedari tadi disapa “bapak” berbalik meninggalkan lokasi pemakaman. “Anda bilang semua sudah beres. Kasus makam ini ternyata belum selesai,” ujarnya sembari meninggalkan daerah itu. [*]