Aku sedang mengganti posisi tas punggung ke depan dada dikala bubuk terminal buyar diterpa angin balasan laju bus renta yg cukup karatan. Tidak ada bus menuju Surabaya lagi. Artinya, gue harus menanti meski tak tahu berapa lama.
Seorang nenek berjilbab hitam datang mendekatiku yg duduk di bersahabat musala Terminal Terboyo. Kulitnya hitam & keriput. Peluh membasahi permukaan wajahnya.
“Monggo, Mas. Lima ribu saja,” katanya menawariku koran.
Aku mengambil satu eksemplar. Hitung-hitung buat bahan baca biar tak begitu jenuh ketika sudah naik bus.
“Matur nuwun, Mas,” ucap ia sehabis mendapatkan selembar duit kusut dariku. Nenek penjual koran itu segera pergi menuju kandidat pembeli lain. Entah kenapa, gue tiba-tiba ingat Mamak. Aku membayangkan Mamak dikala berdagang pecel di kampung. Beliau niscaya sama dgn nenek itu, berteriak-berteriak, menjajakan barang jualan.
Rasa rindu pada Mamak tiba-tiba menggelegak. Aku merasa bersalah tak pulang hampir selama satu semester. Padahal, gue hanya kuliah di salah satu universitas di Semarang & kampung halamanku Pati. Jarak kedua kota itu tidaklah jauh.
“Aku belum mampu pulang, Mak. Maaf,” ucapku beberapa kali ketika kami tersambung via telepon.
Mamak & Bapak cuma mampu mengiyakan sambil berpesan yg baik-baik. Baru kali pertama ini gue usang tak pulang. Tiga semester yg sudah-sudah, gue senantiasa pulang dua ahad sekali. Paling usang satu bulan sekali. Namun lantaran semester ini banyak sekali tugas & aktivitas luar kelas yg mesti kukerjakan, tradisi pulang itu agaknya memunah.
“Sabar ya, Mak, Pak,” kataku tiap kali hendak menutup telepon. Aku tahu orang renta akan selalu menanam kerinduan begitu besar pada anak-anaknya, sebesar apa pun, setua apa pun sang buah hati sudah berkembang. Aku bersyukur pada H-3 hari raya ini gue mampu pulang. Aku sudah tak sabar mencium tangan Mamak & Bapak, melihat segores senyum di wajah mereka.
Sekitar setengah jam menunggu, risikonya ada dua bus masuk terminal. Dua-duanya bus jurusan Semarang-Surabaya. Aku lekas bangkit & mendekati kedua bus itu bersama belasan orang lain. Kondektur bus pertama berwarna hijau bilang akan berangkat satu jam lagi, sedangkan bus kedua mampu eksklusif berangkat. Praktis, gue & para kandidat penumpang secepatnya antre. Kami berdesakan. Aku pikir, rindu yaitu penyebab semua ini.
Saat hendak naik bus, seseorang tiba-tiba menepuk bahuku. Aku menoleh. Sosok yg tak asing. Tiba-tiba gue diselimuti rasa senang.
“Wah, assalamu’alaikum, Pak Imron,” sapaku.
Pak Imron yaitu guruku waktu MTs & MA. Beliau mengajar mata pelajaran fathul qarib dan iktikad adab.
“He-he, wa’alaikumussalam. Ayo naik dulu,” ajaknya.
Pak Imron memegang tengkukku sambil sedikit memijat. Aku jadi ingat waktu masih sekolah. Hampir tiap berjumpa denganku ia senantiasa melaksanakan hal itu.
Kami mendapat tempat duduk di belahan tengah-kanan. Pak Imron kupersilakan duduk di akrab jendela. Karena bus nyaris sarat , sopir langsung menginjak gas. Aku pun membuka dialog.
“Pak Imron dr Semarang atau dr mana?”
“Ungaran, Bu. Tadi ada program di sana.”
“Sendirian, Pak?”
“Iya, namun sekarang ada teman. He-he.”
Pak Imron memang guru agama yg hobi bercanda. Namun ia tak pernah kehilangan wibawa. Murid-muridnya senantiasa menaruh hormat sebab laki-laki berperawakan agak gemuk itu tahu menempatkan candaan.
Kami ngobrol ngalor-ngidul soal kuliahku, kemajuan madrasah, & hal-hal lain dr remeh-temeh hingga yg penting. Kalimat demi kalimat, curhatan demi curhatan, & pesan yang tersirat demi hikmah hadir sepanjang jalan pantura. Aku rasa, koran yg kubeli cuma akan jadi kipas penghalau gerah dlm bus. Sekarang sudah ada Pak Imron yg menunjukkan ilmu & hiburan buatku.
“Oh, ya, bagaimana si Mulud, Pak?” tanyaku. Mulud adik kelasku yg terkenal pembangkang & konyol.
“Ya masih kayak dulu. ia masih sering godain cewek. Segitu kesepian dia,” jawab Pak Imron.
Aku ingin terkekeh. Namun mengingat sedang di bus & di samping Pak Imron, yg keluar cuma tawa kecil yg kututup dgn tangan.
Di pinggiran jalan pantura, gue melihat banyak yg membuka gubuk-gubuk kecil menjual blewah, buah khas bulan puasa. Sepanjang jalan pula, gue mendapatkan banyak baliho dr berbagai forum yg menyambut bulan ampunan. Tiba-tiba sebuah pertanyaan yg tak pernah kupikirkan melintas: kenapa bulan bulan ampunan ada? Mengapa Tuhan membuat bulan mulia?
Pertanyaan itu terus membuntuti. Meski timbul keraguan dlm hati, gue jadinya mengajukan pertanyaan pada Pak Imron.
“Pak Imron, saya ada pertanyaan.”
“Mangga.”
“Kenapa Allah membuat bulan mulia?”
“He-he ananda mulai kritis ya, Bu,” tanggap dia.
Aku hanya tersenyum sambil mengingat-ingat betapa dulu gue jarang mengajukan pertanyaan pada guru. Kalaupun mengajukan pertanyaan, ya pertanyaan retoris.
“Allah rindu. Oleh karena itulah, ia membuat bulan berkat.”
“Kok bisa, Pak?”
“Ya mampu. Kita ini makhluk-Nya yg supersibuk. Sepanjang tahun kita melakukan pekerjaan , tiba menghadiri banyak sekali acara yg kita anggap penting, & jalan-jalan ke mana saja kita mau. Tanpa sadar banyak hal penting kita lalaikan. Nah, bulan berkat sinyal biar kita merenung. Ben eling. Bulan suci ini pula jadi sinyal kerinduan Allah pada kita. Allah bantu-membantu ingin dekat dgn kita.”
Aku menyimak klarifikasi Pak Imron.
“Jangan pikir yg bisa kangen cuma kita. Tuhan pun merindu. Kenapa rindu, karena ia mencintai kita,” lanjut dia. “Kaprikornus ikatan kita dengan-Nya ini ikatan cinta. Cinta, Bu, ia menyayangi kita. Maka kedatangan bulan pahala itu biar kita menyayangi Dia. Cinta yaitu hakikat kita denganNya. Itu maqom tertinggi yg bisa seorang hamba capai. Oleh lantaran itu, salah satu julukan Nabi yakni Habiballah, kekasih Allah.”
“Bagaimana kita tahu kita cinta Dia, Pak?”
“Ya bila kita lapang dada melakukan sesuatu, bukan lantaran takut siksa atau ingin pahala. Mencintai itu kan ikhlas memberi & lapang mendapatkan. Yang terperinci kita senantiasa rindu pada-Nya. Tak heran kita sering dengar orang rindu Ramadhan. Insya Allah mereka pencinta Allah.”
Obrolan kami pun terus berlanjut, sementara bus sudah hingga di wilayah Kudus. Beberapa penumpang turun, berubah penumpang lebih banyak. Bus kian sarat . Banyak yg berdiri berdesakan.
“Oleh lantaran itu ketika bulan puasa ada puasa. Kita disuruh menahan nafsu. Itu jalan pembersihan diri. Jalan takwa. Puasa ialah puisi cinta Tuhan.”
Aduh, gue tertegun mendengar kalimat Pak Imron. Selain penuh makna, untaian kalimatnya indah. Kalimat-kalimat itu membawaku ke suatu perenungan. Dan, gue hingga ke titik kesetujuan dengannya.
“Coba ananda pikir: kalau tak ada bulan rahmat, masihkah kita mendekatkan diri pada Tuhan? Kenapa Tuhan cuma ngasih bulan mulia sebulan dr dua belas bulan selama setahun, lantaran supaya bulan suci ini dianggap istimewa. Kan kita suka yg istimewa baru mau ngerjain. Yang lazimkayak salat lima waktu malah sering kita tinggal lantaran mesti dilakukan tiap hari.”
Deg! Pertanyaan & pernyataan itu pribadi menamparku. Aku merasa berdosa, seakan sudah mempermainkan Allah. Benar memang kata Pak Imron. Aku kemudian bercermin: gue memang suka yg istimewa. Aku lebih suka tarawih, namun kerap lalai salat lima waktu. Padahal, salat lima waktu wajib hukumnya. Aduh, ya Allah, ampuni gue yg berlogika semrawut ini.
Bus terus melaju, seperti diskusiku dgn Pak Imron. Tanpa sadar, kami sudah sampai di Pati. Beberapa menit gue akan sampai di kawasan penurunan penumpang. Sebab rumah berlawanan dr Pak Imron, gue minta pamit.
“Saya pamit, Pak,” ucapku. Aku mencium tangan Pak Imron & mengucap salam. Aku turun dr bus dikala sampai di alun-alun Juwana.
Suasana begitu ramai ketika gue turun. Namun kebisingan jalan masih kalah dr penjelasan Pak Imron yg masih membekas. Ia bersemayam, berdiskusi denganku di sini.
Ah, gue baru tahu, ternyata Tuhan pula mampu rindu. Barangkali seperti rindu seseorang pada kekasihnya, atau rinduku pada Mamak-Bapak & sebaliknya. Ah, tidak, tidak. Rindu Allah rasanya jauh lebih romantis. Tak bisa disamakan dgn rindu makhluk. Terbukti, ia menawarkan hadiah berupa bulan berkat yg begitu indah.
Jalan bulan berkat ini mengirimkan pada Tuhan yg Mahaperindu, sementara jalan itu, jalan-jalan di Pantura itu, mengantarkan gue pada Mamak yg sudah menungguku di depan pintu rumah. Ah, kerinduan memang menggembirakan. Bukankah begitu? (*)